Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus

OMSK dan Rhinotonsilofaringitis Akut

Dokter Pembimbing : dr. Zulrafli, Sp.THT-KL

Penyusun:
Elisabeth Elida Elyus Mandalahi
112020031

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RS BAYUKARTA
PERIODE 19 APRIL – 22 MEI 2021
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Telinga Tengah


Ruang telinga tengah disebut juga kavum timpani. Yang mana dilapisi oleh membran
mukosa, topografinya pada bagian medial dibatasi oleh promontorium, lateral oleh
membran timpani, anterior oleh muara tuba eusthacius, posterior oleh aditus ad antrum dari
mastoid, superior oleh egmen timpani fossa kranii, inferior oleh bulbus vena jugularis.
Batas superior dan inferior dari membran timpani membagi kavum timpani menjadi
epitimpanium atau atik, mesotimpanium, dan hipotimpanium.1
Telinga tengah terdapat 3 tulang pendengaram, susunannya dari laur ke dalam yaitu
maleus, incus, dan stapes yang saling berikatan dan berhubungan membentuk artikulasi.
Prosessus longus maleus melekat di membran timpani, maleus melekat pada incus, dan
incus melekat pada stapes. Sedangkan, stapes terletak tingkap lonjong atau foramen ovale
yang berhubungan dengan koklea.1
Suplai darah untuk kavum timpani oleh arteri timpani anterior, arteri stylomastoid,
arteri petrosal superficial, arteri timpani inferior. Sedangkan untuk aliran darah vena
bersama dengan aliran arteri dan berjalan ke dalam sinus petrosal superior dan pleksus
pterygoideus.1

Otitis Media Supuratif Kronik


Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah radang kronik yang terjadi pada telinga
tengah dengan adanya lubang (perforasi) pada membran timpani (gendang telinga) dan
adanya riwayat keluarnya sekret (cairan) dari telinga (otorea) yang terjadi lebih dari 6-8
minggu, dimana hal ini bisa terjadi secara terus-menerus atau hilang timbul. Pada sekret
bisa didapatkan encer, kental, bening, atau berupa nanah.2

Epidemiologi
Prevalensi terjadinya OMSK di dunia melibatkan 65-330 juta penduduk dan menurut
Bowning juga menyatakan ada lebih dari 90% terdapat di negara-negara berkembang
seperti Asia Tenggara, Afrika, dan daerah pasifik di bagian barat. 3 Sedangkan untuk
prevalensi OMSK di Indonesia antara 3-5,2% atau kurang lebih 6,6 juta penduduk
Indonesia.2

Etiologi
Kejadian OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis,
tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba
Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan
cleft palate dan down’s syndrom. Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang
relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik. Penyebab OMSK antara lain:4

1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana
kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir
dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal yang
padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden
OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik.
Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui
apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis
media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi kronis.
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak
bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukkan bahwa metode kultur yang
digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram- negatif, flora
tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.
5. Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas
atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam
telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap
otitis media kronis.
7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang
alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun hal ini
belum terbukti kemungkinannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustachius
Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema
tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum diketahui.
Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi
tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan
tekanan negatif menjadi normal

Klasifikasi otitis media supuratif kronis


Berdasarkan teori OMSK terdiri dari 2 tipe yaitu tipe benigna dan tipe maligna. Tipe
benigna pada umumnya tidak memberikan komplikasi yang berbahaya. Perforasi yang terjadi
pada tipe benigna letaknya ada di sentral. Sedangkan untuk yang tipe maligna disertai dengan
adanya kolesteatom. Dan perforasi pada tipe maligna ini terletak di marginal atau atik.5
Tipe benigna adalah tipe tubotimpanik, dimana biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba
yang membuat kelainan di kavum timpani, disebut juga tipe mukosa karena proses peradangan
biasanya terjadi hanya di mukosa telinga tengah. Untuk yang tipe aman karena jarang timbul
komplikasi yang berbahaya. Sedangkan untuk OMSK tipe maligna yiatu tipe atiko-antral, karena
biasanya proses dimulai pada daerah tersebut, tipe ini disebut juga tipe tulang karena
menyebabkan erosi pada tulang pendengaran.6
Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar yaitu OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK
tipe aktif adalah OMSK dengan sekret keluar dari kavum timpani secara aktif, dan sedangkan
untuk yang OMSK tipe tenang adalah keadaan kavum timapni terlihat basah atau kering.6

Letak Perforasi
Letak perforasi di membran timpani penting untuk menentukan tipe/jenis pada OMSK.
Perforasi yang terjadi pada membran timpani bisa ditemukan pada daerah sentral, marginal, atau
atik. Pada perfotasi yang letaknya di sentral, perforasi ada di pars tensa, sedangkan untuk yang di
seluruh tepi perforasi masih ada sisa membrane timpani. Untuk yang perforasi marginal sebagian
tepi perforasi nya langsung berhubungan dengan annulus atau sulkus timpanikum. Perforasi atik
adalah perforasi yang letaknya di pars flaksida.7

Gambar 1: Tipe perforasi pada kasus OMSK

Gambar A : perforasi kecil di kuadran anterosuperior


Gambar B : perforasi sentral berbentuk seperti ginjal berukuran sedang
Gambar C : perforasi sentral subtotal
Gambar D : perforasi total dengan annulus finrosus mengalami destruksi
Gambar E : perforasi atik pars flaccida
Gambar F : perforasi marginal di regio posterosuperior
Perforasi yang ada pada gambar A,B,C ada pada OMSK tipe benigna tau tubotimpani sedangkan
gambar perforasi D,E,F terjadi pada OMSK yang dengan kolesteatom.
Tabel 1. Perbedaan OMSK tipe tubotimpani dan atticoantral.8
Karakteristik OMSK Tubotimpani OMSK Atticoantral
Secara umum Benigna dan safe Berbahaya dan unsafe
Otorrhea
 Bau  Tidak berbau  Bau busuk
 Jumlah  Banyak  Sedikit
 Tipe  Mukoid  Purulen
 Periode  Intermitten  Kontinu
Perforasi Sentral Atik atau marginal
Granulasi Tidak ada Ada
Polip Pucat Kemerahan
Kolesteatom Tidak ada Ada
Komplikasi Tidak pernah Tidak jarang

Patofisiologi Otitis Media Supuratif Kronik


Perjalanan penyakit OMSK adalah tahapan-tahapan yang dimulai dari infeksi sampai
dengan kerusakan jaringan dan organ telinga. Awalnya, terjadi infeksi yang mengakibatkan
iritasi dan inflamasi berulang di mukosa telinga tengah. Respon peradangan yang terjadi
menyebabkan terjadinya ulserasi dan kerusakan di lapisan epitel. Mekanisme pertahanan ini yang
akan menyebabkan adanya granulasi, yang bisa berkembang menjadi polip di bagian telinga
tengah. Rangkaian mekanisme ini terjadi berulang-ulang dan akhirnya menghancurkan struktur
ulang di sekitarnya dan menyebabkan perforasi.9

Manifestasi Klinis
1. Telinga berair
Sekret atau cairan yang bersifat purulent (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan
encer) tergantung pada stadium peradangan. Sekret yang bersifat mukus dihasilkan oleh
aktifitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK yang tipe benign,
cairan yang keluar mukopus yang tidak ada bau busuk yang seringkali sebagai reaksi
iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya
cairan dari telinga biasanya terjadi hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat
disebabkan infeksi saluran nafas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi
atau berenang.10
Sedangkan pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai ada sekret telinga. Sekret
yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma. Dapat
terlihat adanya keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas
unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan
mukosa secara luas. Sekret yang telah bercampur dengan darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga, merupakan tanda adanya kolesteatom. Suatu
sekret encer berair tanpa adanya nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.10
2. Gangguan pendengaran
Beratnya ketulian yang terjadi tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani
serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. OMSK tipe
maligna biasanya bisa menyebabkan tuli konduktif.10
3. Otalgia
Draninase pus yang terbendung bisa menyebabkan nyeri pada pasiem OMSK. Nyeri yang
bisa berarti ada ancaman komplikasi akibat ada hambatan pengaliran sekret, ancaman
abses otak, atau terpaparnya duramater otak dan dinding sinus lateralis.10
4. Vertigo
Vertigo pada pasiem OMSK adalah gejala serius lainnya. Dimana keluhan vertigo
seringkali adalah tanda yang telah terjadinya fistel labirin akibat adanya erosi dinding
labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya karena akibat perubahan tekanan
udara yang mendadak atau pada penderita yang sensitif keluhan vertigo bisa terjadi hanya
karena perforasi besar membran timpani yang akan bisa menyebabkan labirin jadi lebih
mudah terangsang pada perubahan suhu.11

Diagnosis
Diagnosis OMSK bisa ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan mikroskop, pemeriksaan audiometri, pemeriksaan
radiologi, dan pemeriksaan bakteriologi. Melalui anamnesis bisa diketahui perjalanan
penyakit, dan hal-hal lain mengarah pada diagnosis OMSK.12,13,14
Pemeriksaan penunjang pada diagnosis OMSK, adalah
1. Pemeriksaan mikroskopis
Dapat dibedakan jenis OMSK, dari berdasarkan perforasi yang terjadi pada
membran timpani, terdiri dari perforasi sentral, atik, dan marginal. Pada tipe yang
benigna/tubotimpani, perforasi selalu sentral dan bisa ditemukan di anterior,
posterior, inferior dari manubrium malleus. Ukuran perforasinya bisa kecil, sedang,
atau besar dimana annulus masih ada. Apabila perforasinya bersar, mukosa telinga
tengah bisa terlihar, dan ketika inflamasi terlihat merah serta edema. Pada tipe
maligna/atikoantral perforasi bisa letaknnya ada di atik maupun di marginal.13
2. Pemeriksaan audiometri
Pada pemeriksaan audiometri, penderita OMSK biasa didapati jenis tuli konduktif,
tetapi bisa juga dijumpai ada jenis tuli sensoneural. Penurunan tingkat pendengaran
tergantung kondisi membran timpani seperti letak perforasi, tulang-tulang
pendengaran dan mukosa telinga tengah.12,13 Tuli konduktif bisa diperbaiki dengan
dilakukan tindakan operasi, sedangkan tuli sensoneural permanen hanya bisa
dibantu dengan alat bantu dengar.15
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi bisa memberikan informasi tambahan untuk melengkapi
pemeriksaan klini. CT-Scan dan MRI dari tulang temporal bisa untuk
menggambarkan luasnya penyakit dan bisa mengindentifikasi kolesteatoma pada
pasien yang asimtomatik. Meskipun CT-Scan dianggap standar emas untuk
kolesteatoma, tetapi CT-Scan memiliki kekurangan dalam membedakan
kolesteatoma dengan jaringan granulasi atau edema terutama ketika erosi tulang
tidak ada.12

4. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas sekret telinga


Pemeriksaan kultus dan sensitivitas sekret dari telinga bisa membantu dalam
pemilihan antibiotik untuk pengobatan OMSK.13 Sekret telinga penting untuk
menentukan bakteri penyebab OMSK sehingga kita bisa menentukan penggunaan
antibiotik yang tepat dalam memberikan pengobatan otitis media supuratif
kronis.14,16

Tatalaksana
Pada OMSK secara umum,tatalaksana nya berupa terapi konservatif yaitu toilet telinga.
Dimana tujuanya adalah menggunakan larutan H2O2 3% selama 3-5 hari adalah untuk
membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme. Sebab,
sekret telinga adalah media yang baik untuk perkembangan mikroorganisme.17
Pasien juga diberikan antibiotik topikal yaitu ofloxacin tetes telinga 2 tetes 2 kali
sehari.2 Secara umum, antibiotik yang sensitif untuk bakteri penyebab OMSK paling tinggi
adalah ciprofloksasin, gentamisin, ofloksasin, dibekacin, dan amoksisilin klavulanat. 17
Golongan kuinolon adalah pilihan utama antibiotik topikal sebab memiliki efek samping
yang rendah dan lebih baik dari aminoglikosida. Topikal kuinolon dilaporkan lebih aman
pada kasus otorea terkait perforasi membran timpani dan timpanostomi pada anak.18
Terapi pembedahan timpanomastoidektomi diindikasikan pada OMSK dengan
komplikasi seperti gangguan pendengaran, palsi nervus fasialis, abses subperiosteal,
petrositis, meningtis, abses serebral, dan fistula labirin.19 Pada OMSK tipe maligna, adalah
dengan operasi untuk mengeradikasi kolesteatoma. Teknik operasi yang dipilih tergantung
luas kerusakan dan pilihan ahli bedah.6
Pasien diedukasi untuk menghindari agar telinga tidak masuk air, menjaga telinga tetap
kering untuk mengurangi rekurensi penyakit dan untuk mengurangi agar tidak bertambah
berat penyakit.20

Komplikasi
Komplikasi pada OMSK seperti labirinnitis, meningitis, dan abses otak yang dapat
juga menyebabkan kematian. Komplikasi OMSK terbagi dua yaitu komplikasi
intratemporal dan intrakranial. Komplikasi intratemporal adalah mastoiditis, petrositis,
paralisis fasial, labirinitis.21 Sedangkan komplikasi intrakranial adalah abses ekstradural,
abses subdural, meningitis, abses otak, tromboflebitis, sinus lateralis, hidrosefalus otitis.22

Rhinotonsilofaringitis akut
Definisi
Faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada faring,
termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis adalah
peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain yang ada disekitarnya. Karena
letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, dimana jarang terjadi hanya infeksi
lokal pada faring atau tonsil. Pengertian untuk faringitis secara luas mencakup tonsilitis,
nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Infeksi yang ada pada daerah faring dan sekitarnya
ditandai dengan adanya keluhan nyeri pada tenggorokan. Faringitis steptokokus beta
haemolitikus grup A (SBHGA) adalah infeksi akut orofaring.23

Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis sebagai
yang manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan
etiologi terbanyak dari penyebab faringitis akut sendiri, terutama pada anak berusia ≤3
tahun atau prasekolah. Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus,
Rhinovirus, dan virus Parainfluenza bisa menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr
(Epstein Barr virus, EBV) bisa menyebabkan terjadinya faringitis, tetapi disertai dengan
gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi
sistemik seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella, dan
berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut. Streptokokus beta
hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak faringitis atau tonsilofaringitis akut.
Bakteri tersebut mencakup 15−30% (di luar kejadian epidemik) dari penyebab faringitis
akut pada anak, sedangkan utnuk dewasa hanya terjadi sekitar 5−10% kasus.23
Streptokokus Grup A biasanya bukan merupakan penyebab yang umum pada anak usia
prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadinya outbreak di tempat penitipan anak atau day
care. Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma juga dilaporkan dapat
menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi.23

Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan
mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi
seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang kurang berperan, demikian juga dapat
melakukan penularan melalui makanan. Penyebaran SBHGA memerlukan pejamu yang
rentan dan dapat difasilitasi dengan kontak yang erat. Infeksi jarang terjadi pada anak
berusia di bawah 2 tahun, mungkin karena kurang kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel
epitel. Infeksi pada toddlers paling sering melibatkan nasofaring atau kulit (impetigo).
Remaja biasanya telah mengalami kontak dengan organisme beberapa kali sehingga
terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA lebih jarang pada kelompok ini. 23
Kontak erat dengan sekumpulan besar anak, misalnya pada kelompok anak sekolah,
akan mempertinggi penyebaran penyakit. Rata-rata anak prasekolah mengalami 4−8
episode infeksi saluran respiratori atas setiap tahunnya, sedangkan anak usia sekolah
mengalami 2−6 episode setiap tahunnya.23
Faringitis akut jarang disebabkan oleh bakteri, di antara penyebab bakteri tersebut,
SBHGA merupakan penyebab terbanyak. Streptokokus grup C dan D telah terbukti dapat
menyebabkan epidemi faringitis akut, sering berkaitan dengan makanan (foodborne) dan
air (waterborne) yang terkontaminasi. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan
glomerulonefritis akut (GNA). Organisme ini mungkin juga dapat menyebabkan kasus-
kasus faringitis sporadik yang menyerupai faringitis SBHGA, tetapi kurang berat.
Streptokokus grup C dan D lebih sering terjadi pada dewasa.23
Arcanobacterium hemolyticum relatif jarang menyebabkan faringitis dan tonsilitis
akut, tetapi sering menyerupai faringitis Streptokokus. Penyakit ini cenderung terjadi pada
remaja dan dewasa muda.23
Saat ini faringitis difteri jarang ditemukan di negara maju. Penyakit ini terutama terjadi
pada anak yang tidak diimunisasi dan yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah.
Infeksi mononukleosis disebabkan oleh EBV, anggota dari famili Herpesviridae, dan
sebagian besar terjadi pada anak berusia 15−24 tahun. Frekuensi kejadian faringitis
Mycoplasma pneumoniae masih belum jelas. Chlamydia pneumoniae menyebabkan
faringitis baik sebagai suatu sindrom tersendiri, bersamaan dengan pneumonia, atau
mendahului pneumonia. Apabila tidak terdapat penyakit saluran respiratori-bawah,
biasanya tidak teridentifikasi.23
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian
menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring
sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula,
dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di
faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil,
atau keduanya. Infeksi Streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan toksin
ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi
akibat kontak tangan dengan sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan
tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72 jam.23

Manifestasi Klinis
Gejala faringitis yang khas karena bakteri Streptokokus yaitu berupa nyeri tenggorokan
dengan mendadak, adanya disagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan
oleh anak dengna usia diatas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain
itu didapatkan juga demam yang bisa mencapai suhu 400C, beberapa jam kemudian
didapatkan adanya nyeri tenggorokan. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk,
konjungtivitis, dan diare yang biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan penderita
rinitis juga ditemukan pada saat anamnesis.23
Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut streptokokus
menunjukkan adanya tanda infeksi streptokokus yaitu seperti eritema pada tonsil dan
faring yang disertai dengan pembesaran tonsil.23
Faringitis streptokokus sangat mungkin jika dijumpai dengan gejala dan tanda berikut:23
- awitan akut, disertai mual dan muntah
- faring hiperemis
- demam
- nyeri tenggorokan
- tonsil bengkak dengan eksudasi
- kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
- uvula bengkak dan merah
- ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
- ruam skarlatina
- petekie palatum mole

Penemuan tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis streptokokus, bisa


juga ditemukan pada penyebab tonsilofaringitis yang lain. Sedangkan bila dijumpai
gejala dan tanda berikut ini, maka kemungkinan besar bukan faringitis
streptokokus: 23
- usia dibawah 3 tahun
- awitan bertahap
- kelainan melibatkan beberapa mukosa
- konjungtivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
- mengi, ronki di paru
- eksantem ulseratif

Tanda khas faringitis difteri adalah membran yang simetris, mudah berdarah,
dan berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas
anterior tonsil hingga ke palatim mole dan ke uvula.23
Pada faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan
dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sangat sulit dibedakan
dengan eksudat pada faringitis streptokokus. Gejala yang timbul bisa hilang dalam
24 jam, berlangsung 4-10 hari, jarang menimbulkan komplikasi, dan memiliki
prognosis baik.23

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium.23
Sangat sulit untuk membedakan antara faringitis streptokokus dan faringitis
virus hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Baku emas untuk
penegakkan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan
kultur dari apusan tenggorok. Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil,
dibutuhkan untuk menegakkan adanya S. Pyogenes. Untuk memaksimalkan
akurasi, makan diambil apusan dari dinding faring posterior dan regio tonsil, lalu
diinokulasikan pada media agar darah domba 5% dan piringan basitrasin
diaplikasikan, kemudia ditunggu selama dalam 24 jam.23
Pada saat ini terdapat metode cepat untuk mendeteksi antigen streptokokus grup
A. Metode uji cepat ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi
sekitar 90%dan 95%, dan hasil bisa diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini
setidaknya bisa digunakan sebagai pengganti pemeriksaan kultur. Secara umum,
bila uji tersebut negatif, maka apusan tenggorok seharusnya di kultur pada dua
cawan agar darah untuk bisa mendapatkan hasil yang terbaik untuk S.pyogenes.
Pemeriksaan kultur bisa membantu mengurangi pemberian antibiotik yang tidak
perlu pada pasien faringitis.23

Tatalaksana
Usaha untuk membedakan faringitis bakteri dan virus yang bertujuan agar
pemberian antibiotik yang sesuai indikasi. Faringitis streptokokus grup A
merupakan satu-satunya faringitis memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam
penggunaan antibiotik, yang mana selain difteri yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae.23
Pemberian antibiotik tidak perlu diberikan pada faringitis virus, karena tidak
akan mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan.
Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis dan hasil
kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok. Antibiotik pilihan pada
faringitis akut Streptokokus grup A adalah penisilin V oral 12-30mg/kgBB/hari
dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan
dosis 600.00 IU (BB<30 kg) dan 1.200.000 IU (BB>30 kg). Untuk anak yang ada
alergi terhadap penislin dapat memberikan eritromisin etil suksinat 40
mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari, dengan pemberian 2,3,
atau 4 kali per hari selama 10 hari atau bisa juga diberikan makrolid misalnya
azitromisin dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari, selama 3 hari berturut-turut.23

Tonsilektomi
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas guna untuk
mengurangi frekuensi tonsilitis rekuren. Terdapat beberapa indikator klinis yang
digunakan, salah satu adalah kriteria yang digunakan Children’s Hospital of
Pittsburgh Study, yaitu tujuh atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi
dengan antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau lebih episode infeksi
tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap tahun selama 2 tahun
sebelumnya, dan tiga atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan
antibiotik setiap tahun selama 3 tahun sebelumnya. American Academy
Otolarynglogy and Head and Neck Surgery menetapkan ada 3 atau lebih episode
infeksi tenggorokan yang diterapi dalam setahun sebagai bukti cukup untuk
melakukan tindakan pembedahan.Keputusan untuk dilakukan tonsilektomi harus
didasarkan pada gejala dan tanda yang terkair secara langsung terhadap hipertrofi,
obstruksi, dan infeksi kronis pada tonsil dan struktur terkait. Ukuran tonsil anak
realtif lebih besar daripada dewasa. Infeksi yang tidak selalu menyebabkan
hipertrofi tonsil, dan tonsil yang terinfeksi kronis mungkin ukurannya tidak
membesar. Dan tonsilekstomi sedapat mungkin harus dihindari pada anak usia
dibawah 3 tahun. Apabila ada infeksi aktif, tonsilektomi harus ditunda hingga 2-3
minggu.23

Komplikasi
Kejadian komplikasi pada faringitis akut sangat jarang terjadi. Beberapa kasus
bisa berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus
dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang cukup luas.23
Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara
hematogen. Akibat adanya perluasan langsung, faringitis bisa berlanjut menjadi
sinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal,
parafaringeal, atau pneumonia. Penyebaran hematogen streptokokus beta
haemolitikus grup A, bisa mengakibatkan meningitis, osteomielitis, atau artritis
septik, sedangkan untuk komplikasi nonsupuratif berupa demam reumatik dan
glomerulonefritis.23
BAB II
Laporan Kasus

I. Indentitas pasien
Tanggal kunjungan : 5 Mei 2021
Nama : An. Dilan
Jenis kelamin : laki-laki
Usia : 2 tahun
Alamat : Karawang

II. Anamnesis : Alloanamnesis


Keluhan Utama : pasien datang keluhan keluar cairan dari telinga kiri
sudah 1 hari SMRS
Riwayat penyakit sekarang
Seorang anak berusia 2 tahun datang dibawa oleh ibunya berobat,
mengeluh adanya keluhan keluar cairan dari telinga kiri sejak 1 hari yang
lalu SMRS. Keluhan ini disertai dengan adanya batuk, pilek, dan demam
sejak 1 hari yang lalu. Keluarnya cairan dari telinga kiri setiap pasien
menderita pilek. Cairan berwarna bening, konsistensi cair, tidak ada bau,
dan tidak ada darah. Tidak ada keluhan nyeri pada telinga.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien sejak berusia 1,5 tahun sudah keluar cairan dari telinga kirinya.
Riwayat penyakit keluarga
Di keluarga tidak ada yang mengalami hal serupa.
Riwayat pengobatan
Pasien hanya datang berobat ke THT sejak usia 1,5 tahun.
Riwayat sosial
Telinga pasien sering masuk air saat mandi
Riwayat alergi
Pasien tidak ada riwayat alergi obat

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Berat badan : 10 kg

IV. Status lokalis THT


1. Telinga
Dextra Sinistra
Tragus Tidak ada nyeri tekan Tidak ada nyeri tekan
Tidak ada edema Tidak ada edema
Auricula Bentuk dan ukuran Bentuk dan ukuran
dalam batas normal dalam batas normal
(normotia) (normotia)
Tidak ada hematom Tidak ada hematom
Tidak ada nyeri tarik Tidak ada nyeri tarik
aurikula aurikula
Liang telinga Tidak ada discharge Ada cairan bening
Tidak ada darah Tidak ada darah
Tidak ada bengkak Tidak ada bengkak
Lapang Lapang
Serumen Ada serumen Tidak ada serumen
Membran timpani Intak Tidak intak
Warna putih Warna putih
Refleks cahaya (+) Tidak ad refleks
pada jam 5 cahaya
Tidak ada hiperemis Ada hiperemis
Tidak ada bulging Tidak ada bulging
Tidak ada retraksi Tidak ada retraksi
Tidak ada perforasi Ada perforasi
2. Hidung

Dextra Sinistra
Bentuk Simestris, Simestris,
hidung luar Tidak ada hiperemis Tidak ada hiperemis
Tidak ada nyeri tekan Tidak ada nyeri tekan
Tidak ada deformitas Tidak ada deformitas
Vestibulum tidak hiperemis Tidak ada hiperemis
nasi tidak ada ulkus Tidak ada ulkus
Cavum nasi Lapang Lapang
Mukosa merah muda Mukosa merah muda
Sekret (+) mukopurulen Sekret (+) mukopurulen
Massa (-) Massa (-)
Benda asing (-) Benda asing (-)
Konka Eutrophy Eutrophy
Edema (+) Edema (+)
Tidak pucat Tidak pucat
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Dislokasi (-) Dislokasi (-)
Polip Tidak ada Tidak ada

3. Tenggorok

Mukosa mulut Tenang


Lidah Bersih, basah
Uvula Simetris, edema (-), hiperemis (-)
Tonsil T1-T1, hiperemis
Mukosa faring Hiperemis (+), petechie (+), granulasi
(-)

V. Resume

Seorang anak berusia 2 tahun datang dibawa oleh ibunya ke poli THT RS
Bayukarta dengan keluhan keluar cairan dari telinga kiri secara terus-menerus sejah 1
hari yang lalu. Pasien sudah sering mengalami keluhan ini sejak berusia 1,5 tahun.
Pasien memiliki riwayat kemasukan air pada telinga kiri nya.
Pada pemeriksaan umum, didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, dengan berat badan 10 kg. Pada pemeriksaan THT
menggunakan otoskop dan endoskopi didapatkkan membran timpani sebelah kiri
tampak perforasi letaknya sentral dan ada sekret bening cair tidak berbau.

VI. Diagnosis kerja


OMSK aman aktif AS dan rhinotonsilofaringitis akut
VII. Diagnosis banding
Rhinitis Alergi
Otitis media akut
Otitis media supuratif kronik tipe bahaya
VIII. Penatalaksanaan
Medika mentosa

 Antibiotik oral: cefixime 8 mg/kg BB 1x sehari atau 4 mg/kg setiap 12 jam


secara oral
 Analgesik: Paracetamol 10-15 mg/kgbb
 Cuci telinga peroksida (H2O2 3%) 3x4 tetes (selama 30 detik)
 Tetes telingan golongan quinolon : 1x5 tetes
Non Medikamentosa
 Telinga jangan kemasukan air
 Obat diminum teratur dan sampai habis
 Menjaga kebersihan
 Kontrol secara teratur

IX. Prognosis
ad vitam : bonam
ad fungtionam : dubia ad Bonam
ad Santionam : dubia ad Bonam
BAB III
Pembahasan

Diagnosis OMSK bisa untuk ditegakkan apabila pada pemeriksaan telinga di


dapatkan adanya perforasi sentral. Dan keluhan ini sudah pernah terjadi sebelumnya.
Penyakit yang menyebabkan bisa terjadinya OMSK adalah pasien yang mengalami
keluhan pilek. Dimana pada pasien ini usia baru 2 tahun, dimana letak anatomi tuba
eusthasius dari anak lebih pendek dari dewasa, sehinga memudahkan sekret dari
hidung untuk keluar dari telinga. Dan juga adanya drainase yang terganggu, terjadi
oklusi tuba eusthasius untuk membuka tuba eusthachius.
Pada pemeriksaan dengan rinoskopi anterior ditemukan adanya kedua mukosa
cavum nasi yang eritem, ada discharge mukopurulen, concha edema. Pada pemeriksaan
tenggorokan ditemukan pada bagian mukosa faring hiperemis, tonsil hiperemis dengan
ukuran T1 pada dextra et sinistra.

BAB IV
Kesimpulan

Terdapat satu kasus yang didapatkan dari pasien berusia 2 tahun poli klinik
THT RS Bayukarta Karawang dengan gambaran klinis, diagnosis sebagai OMSK aman
aktif AS dan rhinotonsiolofaringitis akut yang disebabkan karena keluhan pilek yang
diderita oleh pasien tersebut. Kasus ini harus ditangani segera agar tidak membuat
keluhan dan prognosis klinis nya menjadi buruh. Dan tatalaksana medikamentosa
berupa antibiotik oral, analgesik, obat tetes telinga, dan obat cuci telinga. Untuk terapi
non medika mentosa, pasien diharapkan untuk menjaga agar telinga tidak masuk air.
Prognosis pada penderita ini baik dan dapat sembuh jika rutin minum obat, menjauhi
faktor resiko, lalu kontrol.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nugroho, Puguh Setyo. Wiyadi, HMS. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Perifer.
Jurnal THT-KL.2009;2(2):79
2. Oktaria, Dwita. Nasution, Sheba Denisica. Laki-laki 28Tahun dengan Otitis Media
Supuratif Kronis Maligna dan Parese Nervus Fasialis Perifer. J
AgromedUnila.2017;4(1):67
3. Diana, Fatma. Haryuna, T.Siti Hajar. Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Otitis
Media Supuratif Kronik. MKB.2017;49(2):80
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008
5. Umar, Nabila Sidi. Pary, M.Isa. Soesantry. Karakteristik Pasien Otitis Media Supuratif
Kronik di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan Rumah Sakit Umum Daerah
dr.H.Chasan Boesoirie Periode Januari-Juli 2019. Kieraha Medical
Journal.2019;1(1):63
6. Alkatiri, Fairuziah Binti Bader. Kriteria Diagnosis dan Penatalaksanaan Otitis Media
Supuratif Kronis. ISM.Januari-April;5(1):101
7. Anil KL. Otolaryngology head and neck surgery in Current Diagnosis & Treatment.
Management of adenotonsillar disease. 2nd edition. New York:McGrawHill;2007
8. Tonsil cancer: Sign, Symptoms and Treatment. Diunduh dari
www.canceranswer.com/Tongue.Base.Tonsil.htm, 15 Mei 2020
9. Raymond, Herman Ivan. Prevalensi Kejadian Komplikasi Pada Pasien Otitis Media
Supuratif Kronis di RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2020. Skripsi. Hal 9
10. Helmi. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis. Dalam: Soepardi,
EA, Iskandar, N,Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala&Leher. 5 Edn, Jakarta: FKUI,2001.
11. HR, Dwi Rahmah Sari. Karakteristik pasien Otitis Media Supuratif Kronik di Rumah
Sakit Umum Pusat DR.Wahidin Sudirohusodo Periode Agustus 2018-Juli
2019.Skripsi. Hal 13
12. Chloe RA, Nasor R. Chronis Otitis Media and Cholesteatoma. Ballenger’s Manual of
Otorhinology Head and Neck Surgery. Connecticut: BC Decker, 2009. Hal 217-27
13. Dhingra PL, 2010. Cholesteatoma and Chronic Suppurative Otitis Media, in Disease of
Ear, Nose, and Throat. 5th ed. Elsevier. New Delhi. p: 75-82. 22.
14. Kenna MA, Latz AD, 2006. Otitis Media and Middle Ear Effusion, In Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD, Editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed.
Vol. 1. Philadelphia, USA. Lippincott Williams & Wilkins. p 1265-75. 23.
15. Elemraid AM, Brabin JB, Fraser DW, Harper G, Faragher B et al.l, 2010.
Characteristics of Hearing Impairment in Yemeni Children with Chronic Suppurative
Otitis Media: A Case-Control Study. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology. Elsevier. p 283-86. 24.
16. Iqbal K, Khan IM, Satti L, 2011. Microbiology of Chronic Suppurative Otitis Media :
Experience at Dera Ismail Khan. Gomal Journal of Medical Sciences. Vol.9, No.2
17. Khairani. Imanto, Mukhlis. Kusuma, Anggia Shinta Wijaya Kusuma. Seorang laki-laki
17 tahun dengan Otitis Media Supuratif Kronis Benigna. JPM Ruwa Jurai.2016;2(1):31
18. Rolang PS. Chronic Supurative Otitis Media [internet]USA: Medscape; 2017{diakses
tanggal 13 Mei 2017}. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/859501-
overview
19. Mittal R, Lisi CV. Gerring R. Mittal J. Mathee K. Narasimham G et al. Current
concepts in the pathogenensis and treatment of chronic suppurative otitis media. J Med
Microbiol. 2015;64(10):1103-16
20. Chandrashekharayya SH, Kavitha MM, Handi P, Khavasi P, Doddmani SS dan Riyas
M. To study the level of awareness about complications of chronic suppurative otitis
media (CSOM) in CSOM patient. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2014;
8(2):59-61
21. Jensen RG, Koch A, Homoe P. The risk of hearing loss in a population with a high
prevalence of ch . Dhingra PL, 2010. Cholesteatoma and Chronic Suppurative Otitis
Media, in Disease of Ear, Nose, and Throat. 5th ed. Elsevier. New Delhi. p: 75-
82.ronic suppurative otitis media. Int J Pediatric Otorhinolaryngol. 2013. Sep.
77(9):1530-5.
22. Dhingra PL, 2010. Cholesteatoma and Chronic Suppurative Otitis Media, in Disease of
Ear, Nose, and Throat. 5th ed. Elsevier. New Delhi. p: 75-82
23. Rinotonsilofaringitis. [internet]. Diunduh https://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/RS03_rinotonsilofaringitis-Q.pdf {diakses: 15 mei 2021}

Anda mungkin juga menyukai