Anda di halaman 1dari 23

Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

AUTISM SPECTRUM DISORDER

Oleh:
Pascalius Aprilian M
1210015069

Pembimbing:
dr. Diane Meytha Supit, Sp. A(K)

LAB/SMF Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2020

1
LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL

AUTISM SPECTRUM DISORDER

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Stase Anak

Oleh :

Manalu Sesilia Anita Tiodora (1810029055)

Pembimbing
dr. Diane Meytha Supit, Sp. A(K)

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2020

2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Autism Spectrum
Disorder”. Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima


kasih kepada :

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman.

2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.

3. dr. Achmad Wisnu, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.

4. dr. Diane Meytha Supit, Sp. A(K), selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Divisi Tumbuh Kembang.

5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK


Universitas Mulawarman.

Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga


penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.

Samarinda, Januari 2020

Penyusun

3
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. Latar Belakang................................................................................................1
1.2. Tujuan..............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1. Anatomi dan Fisiologi.....................................................................................2
2.2. Definisi............................................................................................................4
2.3. Etiologi............................................................................................................4
2.4. Klasifikasi........................................................................................................5
2.5. Diagnosis.........................................................................................................5
2.6. Penatalaksanaan..............................................................................................10

BAB III PENUTUP ...............................................................................................15


3.1. Kesimpulan.....................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................16

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan Spektrum Autis/Autism Spectrum Disorders (ASDs) merupakan
gangguan perkembangan saraf yang ditandai secara khas dengan adanya gangguan interaksi
sosial, defisit komunikasi secara verbal maupun nonverbal, perilaku berulang, atau perilaku
yang tidak biasa sampai dengan ketertarikan terhadap sesuatu dengan sangat terbatas (NIH
Public Access, 2010). Konseptualisasi autisme sebagai gangguan spektrum menunjukkan
bahwa gangguan tersebut ada pada gangguan kontinum, dengan gangguan autistik mewakili
presentasi yang paling parah dari gangguan autisme yang lainnya (NIH Public Access, 2010).
Istilah gangguan spektrum autisme (ASDs) telah digunakan dalam Diagnostic Manual and
Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR)
kategori diagnostik untuk gangguan autistik, gangguan Asperger dan gangguan
perkembangan pervasif – yang tidak terinci.
Perkiraan terbaru dari prevalensi ASDs adalah sekitar 6,5 – 6,6 per 1.000 kasus
anak (Pediatric AAP). Penelitian pada tahun 2017 yang telah dilakukan Organisasi Healthy
Children menyatakan bahwa setidaknya terdapat 1 dari 59 anak terdeteksi memiliki ASDs
dan kebanyakan dari mereka adalah anak laki-laki dengan tingkat rasio 5:1 dari anak
perempuan. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya perkembangan teknologi
membuat banyak keluarga lebih sadar dengan adanya ASDs ini, dan kebanyakan dari dokter
spesialis anak telah melakukan screening untuk ASDs yang telah sesuai dengan rekomendasi
dari AAP. Ketika hal ini telah dilakukan maka akan ada banyak anak-anak yang terdeteksi
secara dini untuk mengetahui ASDs lebih cepat, dimana hal ini merupakan hal yang paling
baik karena dapat dilakukan terapi sedini mungkin. Penelitian pada ASDs terus dilakukan.
Dulunya, hanya anak-anak dengan gejala autis yang berat yang dapat terdiagnosis namun
sekarang, anak-anak dengan gejala ringan hingga sedang sudah dapat teridentifikasi,
terdiagnosis dan sudah harus dilakukan intervensi dini.

1.2 Tujuan
 Menambah pengetahuan tentang Autisme Spectrum Disorder (ASDs).
 Sebagai salah satu syarat mengikuti ujian stase Ilmu Kedokteran Jiwa.

5
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

World Health Organization’s International Classification of Disease (ICD – 10)


mendefinisikan autisme khususnya childhood autism sebagai adanya keabnormalan dan atau
gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun dengan tipe karakteristik tidak
normalnya dalam tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang diulang-
ulang (World Health Organization dalam NIH Public Access, 2013). Menurut American
Academy of Pediatrics (AAP) ASDs adalah defisit neurologis yang sangat mempengaruhi
keterampilan sosial, komunikasi dan perilaku anak (American Academy of Pediatrics, 2017).

2.2 Epidemiologi

Menurut CDC, autisme terdapat pada 1 dari 166 kelahiran. Berdasarkan penelitian
statistik Departemen pendidikan Amerika Serikat angka pertumbuhan autisme adalah 10-27%
pertahun. National Institute of Mental Health America (NIMH) memperkirakan antara 2 dan
6 per 1.000 orang menderita autisme. Penelitian yang telah dilakukan oleh American
Academy of Pediatrics (AAP) menyatakan bahwa setidaknya ASDs terjadi pada 1 dalam 59
anak-anak. Anak laki-laki yang terdiagnosa ASDs dinyatakan 5 kali lebih sering
dibandingkan dengan anak perempuan.

2.3 Etiologi
Etiologi pasti dari penyebab autisme tidak diketahui dan belum dapat dibuktikan secara
empiris, namun autisme dapat terjadi karena multifaktorial, termasuk faktor genetik maupun
lingkungan diduga mempunyai peran yang signifikan. Ada beberapa teori yang menjelaskan
mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya autisme yaitu:
a. Teori Biologis
Teori biologis itu sendiri terbagi lagi menjadi:
 Faktor Genetik
Keluarga yang memiliki anak dengan gangguan autis memiliki risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan keluarga yang normal. Dinyatakan apabila 1 keluarga memiliki
1 anak autis maka risiko untuk memiliki anak kedua dengan kelainan yang sama
mencapai 5%, risiko yang lebih besar dibandingkan dengan populasi umum.

6
 Prenatal, Natal dan Post Natal
Perdarahan yang terjadi pada kehamilan awal, obat-obatan, tangis bayi yang terlambat
ketika baru lahir, gangguan pernapasan dan anemia merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya autisme. Kegagalan pertumbuhan otak karena tidak
tercukupinya nutrisi karena faktor ekonomi.

 Neuroanatomi
Kimia otak yang paling jelas dijumpai abnormal kadarnya pada anak dengan autis
adalah serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu sebagai neurotransmiter yang
bekerja sebagai pengantar sinyal di sel-sel saraf. Anak-anak penyandang autisme
dijumpai 30-50% mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah. Perkembangan
norepinefrine (NE), dopamin (DA), dan 5-HT juga mengalami gangguan.

b. Teori Psikososial

Beberapa ahli berpendapat bahwa autisme dianggap sebagai akibat hubungan yang
dingin/tidak akrab antara orang tua ibu dan anak. Demikian juga orang yang mengasuh
seorang anak dengan emosional kaku dan atau obsesif tidak hangat bahkan cenderung
dingin dapat menyebabkan anak asuhannya menjadi autistik.

c. Teori Keracunan Logam Berat

Keracunan logam berat dapat terjadi pada anak yang tinggal dekat dengan tambang batu
bara, emas dan lain-lain. Keracunan logam berat pada makanan yang dikonsumsi ibu
yang sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang tinggi. Pada
penelitian diketahui dalam tubuh anak-anak penderita autism terkandung timah hitam
dan merkuri dalam kadar yang relatif tinggi.

2.4 Klasifikasi Autisme


Klasifikasi autisme dapat dibagi berdasarkan berbagai pengelompokan kondisi:
a. Klasifikasi berdasarkan saat munculnya kelainan
a. Autisme infantil; istilah ini digunakan untuk menyebut anak autis yang
kelainannya sudah nampak sejak lahir.
b. Autisme fiksasi; adalah anak autis yang pada waktu lahir kondisinya normal,
tanda-tanda autisnya muncul kemudian setelah berumur dua atau tiga tahun.

b. Klasifikasi berdasarkan intelektual

7
a. Autis dengan keterbelakangan mental sedang dan berat (IQ dibawah 50).
Prevalensi 60% dari anak autistik.
b. Autis dengan keterbelakangan mental ringan (IQ 50 – 70). Prevalensi 20% dari
anak autis.
c. Autis yang tidak mengalami keterbelakangan mental (IQ diatas 70). Prevalensi
20% dari anak autis.

c. Klasifikasi berdasarkan interaksi sosial


a. Kelompok yang menyendiri; banyak terlihat pada anak yang menarik diri,
acuh tak acuh dan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan
perilaku dan perhatian yang tidak hangat.
b. Kelompok yang pasif, dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan
anak lain jika pola permainannya disesuaikan dengan dirinya.
c. Kelompok yang aktif namun aneh, secara spontan anak autis akan mendekati
anak-anak yang lain, namun interaksinya tidak sesuai dan sering hanya
sepihak.

d. Klasifikasi berdasarkan prediksi kemandirian


a. Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari penyandang autis).
b. Prognosis sedang, terdapat kemajuan dibidang sosial dan pendidikan walaupun
masalah perilaku masih tetap ada (1/4 dari penyandang autis).
c. Prognosis baik, mempunyai kehidupan sosial yang normal atau hampir normal
dan berfungsi dengan baik di sekolah ataupun ditempat kerja (1/10 dari
penyandang autis).

2.5 Jenis Gangguan Autisme


Ada beberapa jenis gangguan perkembangan pervasif, seperti:
a. Gangguan Autistik
Gejala ini sering diartikan orang saat mendengar kata autis. Penyandangnya
memiliki masalah interaksi sosial, berkomunikasi, dan permainan imaginasi.
Biasanya terjadi pada anak dibawah usia 3 tahun.

b. Sindrom Asperger
Anak yang menderita Sindrom Asperger biasanya berusia lebih dari 3 tahun dan
memiliki masalah bahasa. Penderita dengan sindrom ini lebih cenderung

8
memiliki intelegensi rata-rata atau lebih tinggi. Namun seperti halnya gangguan
autistik, mereka kesulitan berinteraksi dan berkomunikasi.

c. Gangguan Perkembangan Menurun (PDD NOS/ Pervasive Developmental


Disorder Not Otherwise Specified).
Gejala ini disebut juga non tipikal autisme. Penderita memiliki gejala-gejala
autisme, namun berbeda dengan jenis autisme lainnya, biasanya penderita dengan
PDD NOS ini memiliki IQ yang rendah.

d. Sindrom Rett
Sindrom ini terjadi hanya pada anak perempuan. Mulanya anak tumbuh normal.
Pada usia satu hingga empat tahun, terjadi perubahan pola komunikasi dengan
pengulangan gerakan tangan dan pergantian gerakan tangan.

e. Gangguan Disintegrasi Anak


Pada gejala autisme ini, anak tumbuh normal hingga tahun kedua. Selanjutnya
anak akan kehilangan sebagian atau semua kemampuan komunikasi dan

keterampilan sosialnya.

Berikut penyajian tabel untuk menjelaskan perbedaan secara klinis dari lima jenis
gangguan pervasif tersebut diatas.

9
Tabel 2.1 Diagnosa Banding Autisme dengan Gangguan Perkembangan Pervasif Lainnya

2.6 Karakteristik Anak Autisme


1) Karakteristik dalam interaksi sosial:
a. Menyendiri (aloof): terlihat pada anak yang menarik diri, acuh tak acuh, dan
kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku dan perhatian
yang terbatas (tidak hangat).
b. Pasif: dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak lain jika pola
permainannya disesuaikan dengan dirinya.
c. Aktif tapi aneh: secara spontan akan mendekati anak lain, namun interaksi ini
seringkali tidak sesuai dan sering hanya sepihak.
d. Tidak dapat mempertahankan kontak mata atau hanya dapat melakukan kontak
mata secara minimal.
e. Tidak merespon terhadap senyuman dari orang tua maupun ekspresi wajah yang
lainnya.
f. Tidak dapat menunjukkan kesenangan terhadap suatu barang atau orang kepada
orang tuanya.
g. Tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan cara yang benar.
h. Tidak memiliki empati terhadap lawan bicara.
i. Tidak dapat berteman atau tidak tertarik terhadap pertemanan.

2) Karakteristik dalam komunikasi, antara lain:


a. Bergumam.
b. Sering mengalami kesulitan dalam memahami arti kata-kata.
c. Sering mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa dalam konteks yang
sesuai dan benar.
d. Bicara anak autis cenderung monoton, kaku dan menjemukan.
e. Tidak tahu kapan giliran mereka berbicara, memilih topik pembicaraan dan tidak
dapat melihat kepada lawan bicara/tidak dapat melakukan dan mempertahankan
kontak mata.
f. Tidak merespon dengan baik ketika namanya dipanggil namun akan merespon
jika mendengar suara yang lain (suara klakson mobil atau gonggongan anjing).

10
g. Sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka dengar atau yang pernah
mereka dengar sebelumnya tanpa bermaksud untuk berkomunikasi dan tanpa
memahami artinya. Perilaku ini di namakan parroting atau echoing.
h. Bila bertanya kepada lawan bicara, lebih sering menggunakan kata ganti orang
dengan terbalik. Contoh: menunjuk dirinya sebagai “kamu” sedangkan orang lain
sebagai “saya”.
i. Lebih sering terlihat tidak ingin berkomunikasi.
j. Tidak dapat memulai dan atau melanjutkan percakapan.
k. Kesukaran dalam mengekspresikan perasaan atau emosinya melalui nada suara.
l. Tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuh untuk menyampaikan
keinginannya, tetapi cenderung dengan mengambil tangan orang tuanya untuk
mengambil objek yang mereka inginkan.
m. Mengalami gangguan dalam berkomunikasi nonverbal; mereka sering tidak
menggunakan gerakan tubuh dalam berkomunikasi untuk mengekspresikan
perasaannya, misalnya dengan menggelengkan kepala, melambaikan tangan,
mengangkat alis, dan sebagainya.
n. Memiliki ingatan yang baik, terutama tentang angka, huruf, lagu, nyanyian iklan
di televisi, atau topik tertentu namun dalam suasana yang tidak sesuai.
o. Dapat kehilangan kemampuan berbahasa dan kemampuan sosial, yang biasanya
terjadi pada usia antara 15 bulan dan 24 bulan (sering disebut regression).

3) Karakteristik dalam perilaku dan pola bermain anak:


a. Abnormalitas dalam pola bermain, seperti stereotip, diulang-ulang dan tidak
kreatif.
b. Tidak menggunakan mainannya dengan sesuai.
c. Menolak adanya perubahan lingkungan dan rutinitas baru.
d. Minatnya terbatas, sering aneh, dan diulang-ulang.
e. Hiperaktif pada anak prasekolah atau sebaliknya hipoaktif.
f. Gangguan pemusatan perhatian, impulsifitas, koordinasi motorik terganggu,
kesulitan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.

4) Karakteristik kognitif
a. Hampir 75 – 80% anak autis mengalami retardasi mental dengan derajat rata-rata
sedang.

11
b. Sebanyak 50% dari idiot savants (retardasi mental yang menunjukkan
kemampuan luar biasa) adalah seorang penyandang autisme.

5) Perbedaan perilaku (perilaku repetitif dan perilaku obsesif) pada anak dengan
autisme:
a. Cenderung memiliki sikap membatu, berputar, berayun, memutar jari, berjalan
pada jari kaki/jinjit dalam waktu yang cukup lama atau mengepakkan tangan
(sering disebut “stereotypic behavior”).
b. Rutinitas, perintah dan kebiasaan lainnya sangatlah susah untuk dirubah.
c. Sangat terobsesi dengan beberapa atau aktifitas yang tidak biasa, dan akan
melakukannya secara berulang pada siang hari.
d. Selalu bermain hanya dengan potongan mainan saja, sangat jarang bermain
dengan bentukan mainan seutuhnya.
e. Jarang terlihat merasakan kesakitan atau nyeri.
f. Mungkin akan sangat sensitif atau tidak sensitif sama sekali terhadap bau, suara,
cahaya, tekstur, dan sentuhan.
g. Memiliki tatapan atau penglihatan yang tidak biasa – biasanya mereka akan
melihat suatu objek dari sudut yang tidak biasa.

2.7 Gejala Autisme


Terdapat beberapa cara untuk membedakan anak dengan autisme dari anak
berkembang yang biasa lainnya. Berikut beberapa contoh yang dapat membantu orang tua
agar dapat mengidentifikasi tanda-tanda awal autisme.
a. Usia 12 bulan
 Seorang anak dengan perkembangan tipikal akan memalingkan kepalanya
ketika mendengar namanya disebut.
 Seorang anak dengan ASDs mungkin tidak akan berpaling untuk melihat,
bahkan setelah namanya diulang beberapa kali, tetapi mereka akan
menanggapi suara yang lain.
b. Usia 18 bulan
 Seorang anak dengan keterampilan berbicara yang tertunda akan
menunjuk, memberi isyarat, atau menggunakan ekspresi wajah untuk
menutupi kekurangannya dalam berbicara.

12
 Seorang anak dengan ASDs mungkin tidak akan berusaha untuk
mengkompensasi cara bicara yang tertunda atau mungkin akan membatasi
pembicaraan untuk menirukan apa yang terdengar di televisi atau apa saja
yang baru dia dengar.
c. Usia 24 bulan
 Seorang anak dengan perkembangan khas membawa gambar untuk
menunjukkan kepada orang tuanya dan akan berbagi kesenangannya itu
kepada orang tuanya.
 Seorang anak dengan ASDs mungkin akan membawakan mainan namun
tidak akan melihat wajah orang tuanya dan tidak berbagi kesenangannya
ketika dia bermain dengan mainannya tersebut.

 Menilai keterlambatan Bahasa dan Sosial


Biasanya, evaluasi untuk menilai bahasa dan adanya penundaan sosial dapat meliputi:
 Melakukan observasi secara cermat dari interaksi bermain dan pengasuh anak.
 Riwayat yang mendetail dan hasil pemeriksaan fisik.
 Melakukan peninjauan ulang terhadap riwayat medis.
 Menggali apakah ada intervensi dini sebelumnya, sekolah, atau evaluasi
lainnya.
 Melakukan penilaian perkembangan semua keterampilan yang dimiliki anak,
dimulai dari keterampilan motorik, bahasa, sosial, self-help, dan kognitif.
ASDs harus dicurigai ketika fungsi sosial dan bahasa anak secara signifikan
lebih terganggu daripada tingkat keseluruhan keterampilan motorik, adaptif,
dan kognitif.
 Melakukan tes pendengaran. Semua anak dengan keterlambatan bicara atau
mereka yang dicurigai memiliki ASDs harus dilakukan pemeriksaan tes
pendengaran.
 Evaluasi bahasa yang menyediakan skor standar dari bahasa ekspresif dan
bahasa reseptif, serta evaluasi bahasa pragmatis (penggunaan bahasa sosial)
dan artikulasi (pengucapan).

2.8 Diagnosis Autisme


Ketika seorang anak dicurigai ASDs, maka diperlukan pemeriksaan lengkap atau
evaluasi bertahap dan perlu dirujuk ke pelayanan intervensi awal. Pemeriksaan ini

13
termasuk menanyakan kepada orang tua dan pengasuh anak pasien beberapa pertanyaan,
mengobservasi pasien, melakukan pemeriksaan fisik pasien dan melakukan beberapa jenis
test yang lain yang sekiranya dapat membantu dalam proses penegakkan diagnosis yang
lebih spesifik, dan idealnya serangkaian pemeriksaan dan test ini dilakukan oleh tim
dokter professional.
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan agar semua anak
diperiksa untuk ASDs pada pemeriksaan anak-anak mereka yang berusia 18 dan 24 bulan.
Dengan beginilah diagnosis dini dari autisme dapat lebih baik dideteksi dan segera
dilakukan penanganan lebih dini.

14
 Instrumen Screening untuk ASDs
 CARS rating system (Childhood Autism Rating Scale), dikembangkan oleh Eric
Schopler pada awal 1970an, berdasarkan pengamatan terhadap perilaku. Di
dalamnya terdapat 15 nilai skala yang mengandung penilaian terhadap hubungan
anak dengan orang, penggunaan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, respon
pendengaran, dan komunikasi verbal.
 Checklist for Autism in Toddlers (CHAT) digunakan untuk screening autisme pada
usia 18 bulan. Dikembangkan oleh Simon Baron-Cohen pada awal 1990an untuk
melihat apakah autisme dapat terdeteksi pada anak umur 18 bukan. alat screening
ini menggunakan kuesioner yang terbagi 2 sesi, satu melalui penilaian orang tua,
yang lain melalui penilaian dokter yang menangani.

15
 Autisme Screening Questionnaire adalah 40 poin skala screening yang telah
digunakan untuk anak usia 4 tahun ke atas untuk mengevaluasi kemampuan
berkomunikasi dan fungsi sosialnya.

Adapun untuk menegakkan diagnosis autisme dapat digunakan kriteria diagnostik


menurut DSM IV, seperti yang tertera dibawah ini.

A. Harus ada 6 gejala atau lebih dari 1, 2 dan 3 di bawah ini:


a) Gangguan kualitatif dari interaksi sosial (minimal 2 gejala):
 Gangguan pada beberapa kebiasaan nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah,
postur tubuh, sikap tubuh dan pengaturan interaksi sosial.
 Kegagalan membina hubungan yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
 Tidak ada usaha spontan membagi kesenangan, ketertarikan, ataupun keberhasilan
dengan orang lain (tidak ada usaha menunjukkan, membawa, atau menunjukkan
barang yang ia tertarik).
 Tidak ada timbal balik sosial maupun emosional.

b)  Gangguan kualitatif dari komunikasi (minimal 1 gejala):


 Keterlambatan atau tidak adanya perkembangan bahasa yang diucapkan (tidak disertai
dengan mimik ataupun sikap tubuh yang merupakan usaha alternatif untuk
kompensasi).
 Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup. terdapat kegagalan dalam
kemampuan berinisiatif maupun mempertahankan percakapan dengan orang lain.
 Penggunaan bahasa yang meniru atau repetitif atau bahasa idiosinkrasi.
 Tidak adanya variasu dan usaha untuk permainan imitasi sosial sesuai dengan tingkat
perkembangan.

c)  Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat dan
aktivitas (minimal 1 gejala):
 Kesibukan (preokupasi) dengan satu atau lebih pola ketertarikan stereotipik yang
abnormal baik dalam hal intensitas maupun fokus.
 Tampak terikan kepada rutinitas maupun ritual spesifik yang tidak berguna.
 Kebiasaan motorik yang stereotipik dan repetitif (misalnya mengibaskan atau
memutar-mutar tangan atau jari, atau gerakan tubuh yang kompleks).
 Preokupasi persisten dengan bagian dari suatu obyek.

16
B. Keterlambatan atau fungsi yang abnormal tersebut terjadi sebelum umur 3 tahun, dengan
adanya gangguan dalam 3 bidang yaitu: interaksi sosial; penggunaan bahasa untuk
komunikasi sosial; bermain simbol atau imajinasi.
C. Kelainan tersebut bukan disebabkan oleh penyakit Rett atau gangguan disintegratif
(sindrom Heller).

2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya ASDs tidak dapat disembuhkan, dan tidak ada pengobatan “one-size-fits-
all”. Tujuan terapi pada autis adalah untuk mengurangi masalah sosial, komunikasi,
fungsional dan perilaku serta untuk meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya
terutama dalam penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini mungkin dan dilakukan
manajemen multidisiplin yang sesuai yang tepat waktu, diharapkan dapat tercapai hasil yang
optimal dari perkembangan anak dengan autisme. Penatalaksanaannya dibagi menjadi dua,
yaitu non medikamentosa dan medikamentosa.

1. Non Medikamentosa
a. Terapi Edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan
sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode
penganjaran antara lain metode TEACHC (Treatment and Education of
Autistic and related Communication Handicapped Children) metode ini
merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan
metode klasikal yang individual, metode pengajaran yang sistematik
terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata khusus.

b. Terapi Perilaku
Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun
metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin
yang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak
dipakai adalah ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana
keberhasilannya sangat tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan
(terbaik sekitar usia 2 – 5 tahun).

c. Terapi Wicara
Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan, mengingat
tidak semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi secara verbal.

17
Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif dengan terapi-
terapi yang lain.

d. Terapi Okupasi
Terapi ini dilakukan dengan tujuan agar individu dengan autisme dapat
melakukan gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan
teratur sesuai kebutuhan saat itu.

e. Sensori Integrasi
Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan,
sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)untuk
menghasilkan respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada otak
menerima informasi mengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya,
sehingga diharapkan semua gangguan akan dapat teratasi.

f. Auditory Integration Training (AIT)


Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang mengganggu
pendengaran dengan audimeter. Lalu diikuti dengan seri terapi yang
mendengarkan suara-suara yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara
yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan desentisasi terhadap suara-suara
yang menyakitkan tersebut.

g. Intervensi Keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik
perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapat
tercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan
dapat bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga
yang dapat berinteraksi satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling
mendukung. Oleh karena itu pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan
manajemen terapi menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga
rasanya sulit sekali kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu
dengan autisme.

2. Medikamentosa
Individu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana yang tegang bagi
lingkungan keluarga, pengasuh, sekolah maupun terapisnya. Kondisi ini seringkali
memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang mempunyai potensi untuk

18
mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan bersama-sama dengan intervensi
edukasional, perilaku dan sosial.
a. Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen terbaik
adalah dengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik tapi dapat juga dengan
agonis alfa adrenergik dan antagonis reseptor beta sebagai alternatif.
 Neuroleptik
- Neuroleptik tipikal potensi rendah: Thioridazin dapat menurunkan
agresifitas dan agitasi.
- Neuroleptik tipikal potensi tinggi: Haloperidol dapat menurunkan
agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotipik.
- Neuroleptik atipikal: Risperidon akan tampak perbaikan dalam
hubungan sosial, atensi dan absesif.
 Agonis reseptor alfa adrenergik
- Klonidin, dilaporkan dapat menurunkan agresifitas, impulsifitas
dan hiperaktifitas.
 Beta adrenergik blocker
- Propanolol dipakai dalam mengatasi agresifitas terutama yang
disertai dengan agitasi dan anxietas.

b. Jika perilaku repetitif menjadi target terapi


Neuroleptik (Risperidon) dan SSRI dapat dipakai untuk mengatasi perilaku
stereotipik seperti melukai diri sendiri, resisten terhadap perubahan hal-hal
rutin dan ritual obsesif dengan anxietas tinggi.

c. Jika inatensi menjadi target terapi


Methylphenidat (Ritalin, Concerta) dapat meningkatkan atensi dan
mengurangi destruksibilitas.
d. Jika insomnia menjadi target terapi
Dyphenhidramine (Benadryl) dan neuroleptik (Tioridazin) dapat mengatasi
keluhan ini.
e. Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama
Gangguan metabolisme yang sering terjadi meliputi gangguan pencernaan,
alergi makanan, gangguan kekebalan tubuh, keracunan logam berat yang
terjadi akibat ketidakmampuan anak-anak dengan ASDs untuk membuang

19
racun dari dalam tubuhnya. Intervensi biomedis dilakukan setelah hasil tes
laboratorium diperoleh. Semua gangguan metabolisme yang ada diperbaiki
dengan obat-obatan maupun pengaturan diet.

2.10 Prognosis
Intervensi dini yang tepat dan program pendidikan terspesialisasi serta pelayanan
pendukung mempengaruhi hasil pada penderita autisme. Autisme tidak fatal dan tidak
mempengaruhi harapan hidup normal. Penderita autis yang dideteksi dini serta langsung
mendapat perawatan dapat hidup mandiri tergantung dari jenis gangguan autistik apa yang
diderita dan berapa umurnya saat terdeteksi dan ditangai sebagai penderita autis.

20
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Autisme merupakan kumpulan keadaan kelainan perkembangan yang ditandai dengan


kesulitan dalam berinteraksi sosial, masalah komunikasi verbal dan nonverbal, disertai
dengan adanya pengulangan tingkah laku dan ketertarikan yang dangkal dan obsesif.
Kelainan perkembangan ini dapat secara pasti dideteksi saat anak berusia 3 tahun dan pada
beberapa kasus pada usia 18 bulan, tapi tanda-tanda yang mengarah ke gangguan ini
sebenarnya sudah dapat terlihat sejak umur 1 tahun, bahkan pada bayi usia 8 bulan.
Patofisiologi yang menjelaskan autisme adalah adanya abnormalitas kadar serotonin
5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu sebagai neurotransmitter yang bekerja sebagai pengantar
sinyal di sel-sel saraf. Perkembangan norepinefrine (NE), Dopamine (DA), dan 5-HT juga
mengalami gangguan. Gejala-gejala yang timbul dapat berupa hendaya kualitatif dalam
interkasi sosialnya, hendaya kualitatif dalam komunikasi dan hendaya pola perilaku.
Penatalaksanaan pada autisme harus dilakukan secara holistik dan meliputi semua displin
ilmu yang terkait, baik dari segi medis maupun non medis.

21
DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Zaenal., dkk. 2008. Model Pembelajaran Untuk Mengembangkan Interaksi Dan
Komunikasi Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD). Indonesia : Departemen Koperasi
Inspektorat jenderal

Delaney, dkk. 2010. 101 Permainan dan Aktivitas Untuk Anak-Anak Penderita Autism,
Asperger, dan Gangguan Pemrosesan Sensorik. Yogyakarta : Andi
Fadhli, Aulia. 2010. Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta : Penerbit Pustaka
Anggrek.

Hadis, Abdul. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus-Autistik : bahan ajar dan bacaan
untuk : mahasiswa, dosen, guru, orangtua, masyarakat dan pemerhati anak autistic. Bandung :
Alfabeta

Kopacz, Jeanne. 2004. Color in Three Dimensional Design. New York: The Mcgraw Hill
companies, Inc.

Naga, Dali S., dkk. 2006. Jurnal Provitae Vol. 2. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Priyatna, Adi. 2010. Amazing Autism. Indonesia : Elex Media Computindo.
Pamudji,dkk. 2007. Model Penyembuhan Anak Autisme Melalu Terapi Terpadu.
Indonesia : Departemen Koperasi Inspektorat Jenderal

Ririmasse, Yona. 2005. Keajaiban Kasih Dalam Dunia Autis. Jakarta : BPK Gunung
Mulia.
Sari, Sriti Mayang. 2010. Implementasi Desain Par-tisipasi dalam Desain Interior Ruang
Terapi Perilaku Anak Autis dengan Menggunakan Metode ABA/Lovass. Laporan
Penelitian, Surabaya: Uni-versitas Kristen Petra.

Semiun, Yustinus., OFM. 2006. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

22
Wade, Carole., Carol Tavris. 2011. PSIKOLOGI, Edisi 9, jilid 1. Jakarta :Erlangga.

Wijayakusuma, Hembing. 2006. Psikoterapi anak autisma : teknik bermain kreatif non
verbal & verbal : terapi khusus untuk autisma. Jakarta : Pustaka Populer Obor

Yatim, Faisal DTM&H, MPH. 2009. Autisme : Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak-Anak. Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia.

::Internet ::
Nurdin, Rofianisa. 13 Agustus 2016. Galeri : Sebuah Ruang yang Dibatasi,(online),
(http://arsitekturbicara.wordpress.com/2011/08/16/galeri-sebuah-ruang-yang-dibatasi/ ,
diakses pada 30 April 2016)

Harnowo, Putro Agus. 02 April 2012. Jumlah Anak Autis di 2012 Makin Banyak, (online),
(http://health.detik.com/read/2012/04/02/100034/1882522/763/jumlah-anak-autis-di-2012-
makin-banyak di akses pada 26 maret 2013 pukul 21:04)

Administrator. 12 Januari 2010. 10 Jenis Terapi Autisme, (online),


(http://www.autis.info/index.php/terapi-autisme/10-jenis-terapi-autisme, di akses pada 23
April 2013 pukul 23:30)
Blythe L. 14 Juni 2010. Improvisational Music Therapy for Children with Autism,(online),
(http://www.musictherapyresearchblog.com/improvisational-music-therapy-for-children-
with-autism/, diakses pada 1 Desember 2013 pukul 11:37)
Ikarowina Tarigan. (Tanggal tidak tercantum). Terapi Musik Dorong Perubahan Positif
Autisme. (online), (http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/213-terapi-
musik-dorong-perubahan-positif-autisme, diakses pada 1 Desember 2013 pukul 18:13)
Dra. Dyah Puspita. Kiat Praktis Mempersiapkan dan Membantu Anak Autis Mengikuti
Pendidikan di Sekolah Umum, (Online),
(http://komunitasputerakembara.net/joomla/mempersiapkan-anak-autis-mengikuti-sekolah-
umum.html, diakses pada 30 November 2013, pukul 23:48)
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 25 Desember 2012. Kemdikbud Akan Bangun Autis
Center di 29 Lokasi. , (online), (http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/berita/861 , diakses
pada 24 April 2013 pukul 00:14)

23

Anda mungkin juga menyukai