Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Disfonia yaitu setiap gangguan suara yang disebabkan kelainan pada organ-

organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat organik maupun fungsional. Disfonia

bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau kelainan

pada laring1. disfonia dapat mempengaruhi semua kelompok umur2. Walaupun tidak

diketahui berapa jumlah pasti orang dengan disfonia, diperkirakan 1,2-23,4%

populasi mengalami gangguan pada suara.

Penyebab dari disfonia dapat berupa infeksi virus saluran nafas atas yang

menyebabkan lapisan kotak suara membengkak (laryngitis), asam lambung/enzymes

lambung mengiritasi tenggorokan (laryngopharyngeal reflux), pembentukan soft

tissue (polyps) atau penebalan (nodules) di pita suara, masalah dengan kekuatan paru-

paru juga dapat menyebabkan perubahan suara, masalah dengan gerakan dari pitas

suara (paralysed vocal cords)3.

Gangguan suara atau disfonia ini dapat berupa suara parau yaitu suara

terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara lemah

(hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spastik), suara

terdiri dari beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia), atau

ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu. Setiap keadaan yang

menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan dalam ketegangan serta gangguan


dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri dan kanan akan menimbulkan

disfonia.

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinik, dan

pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan disfonia atau disebut juga suara serak

diawali dengan diagnosis yang tepat dan terapi yang sesuai dengan diagnosis dan

etiologi tersebut. Terapi dapat berupa medikamentosa, vocal hygiene, terapi suara dan

bicara serta tindakan operatif


BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi Laring


Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.

Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar

daripada bagian bawah1. Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan beberapa

kartilago yang berpasangan atau tidak. Disebelah superior terdapat os hioideum,

struktur yang berbentuk U dan dapat dipalpasi di leher depan dan lewat mulut pada

dinding faring lateral. Meluas dari masing-masing sisi bagian tengah os atau korpus

hioideum adalah sesuatu prosesus panjang dan pendek yang mengarah ke posterior

dan suatu prosesus pendek yang mengarah ke superior. Tendon dan otot-otot lidah,

mandibular dan kranium, melekat pada permukaan superior korpus dan kedua

prosesus4. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis, kartilago

tiroid, kartilagi krikoid, kartilago aritenoid (2 buah), kartilago kornikulata (2 buah),

dan kartilago kuneiformis (2 buah)1.


Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago

krikoid, kartilago aritaenoid, kartilago kornikulata, dan kartilago tyroid. Kartilago

krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid dengan ligamentum krikotiroid. Bentuk


kartilago krikoid berupa lingkaran membentuk sendi dengan kartilago tiroid

membentuk artikulasi krikotiroid. Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago aritenoid yang

terletak dekat permukaan belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilado

krikoid, disebut artikulasi krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan

kanan) melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan sepasang

kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotik, dan kartilago triticea

terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.

Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum

seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial,

ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringeal, ligamentum

hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum

ventrikularis, ligamentum vokale yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan

kartilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika.

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot ekstrinsik dan intrinsik. Otot-

otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot

intrinsik menyebabkan gerak bagian-bagian laring sendiri. Otot-otot ekstrinsik laring

ada yang terletak di atas tulang hioid (suprahioid) dan ada yang terletak di bawah

tulang hioid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik yang suprahioid adalah m.digastrikus,

m.geniohioid, m.stilohioid, m.milohioid. Otot-otot yang infrahioid adalah m.

sternohioid, m.omohioid, m.tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid


berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid berfungsi menarik

laring keatas.

Otot-otot intrinsik laring adalah m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika,

m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, dan m.krikotiroid. otot-otot ini terletak

pada bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di posterior, adalah

m.aritenoid transversum, m.aritenoid oblik, m.krikoaritenoid posterior.

Rongga laring. Batas atas rongga laring (cavum laringeus) adalah aditus

laringeus, batas bawahnya adalah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago

krikoid. Batas depannya adalah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik,

ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus

kartilago krikoid. Batas lateralnya adalah membrana kuadrangularis, kartilago

aritenoid, konus elastikus, dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya

adalah M.Aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid. Dengan adanya lipatan

mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare, maka terbentuklah

plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita suara palsu). Dalam menilai

tingkat pembukaan rima glotis dibedakan dalam 5 posisi pita suara, yaitu posisi

median, posisi paramedian, intermedian, abduksi ringan dan abduksi penuh. Pada

posisi median kedua pita suara terdapat di garis tengah, pada posisi paramedian

pembukaan pita suara berkisar 3-5 mm dan pada posisi intermedian 7 mm. Pada

posisi abduksi ringan pembukaan pita suara kira-kira 14 mm dan pada abduksi penuh

kira-kira 18-19 mm.


Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan, disebut rima glotidis, sedangkan

antara plika ventrikularis, disebut rima vestibuli. Plika vokalis dan plika ventrikularis

membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu vestibulum laring, glotik dan subglotik.

Vestibulum laring adalah rongga laring yang terdapat di atas plika ventrikularis.

Daerah ini disebut daerah supraglotik. Antara plika vokalis dan plika ventrikularis,

pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring morgagni. Rima glottis terdiri dari 2

bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian interkartilago. Bagian intermembran

adalah ruang antara kedua plika vokalis, dan terletak di bagian anterior, sedangkan

bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago aritenoid, dan terletak di

bagian posterior. Daerah subglotik adalah rongga laring yang terletak di bawah pita

suara (plika vokalis). Pada orang dewasa dua pertiga bagian pita suara adalah

membran sedangkan pada anak-anak bagian membran ini hanya setengahnya.

Membran pada pita suara terlibat dalam pembentukan suara dan bagian kartilago

terlibat dalam proses penapasan. Jadi kelainan pada pita suara akan berefek pada

proses bersuara dan atau pernapasan, tergantung lokasi kelainannya.

Traktus vokalis supraglotis merupakan organ pelengkap yang sangat penting

karena suara yang dibentuk pada tingkat pita suara akan diteruskan melewati traktus

vokalis supraglotis. Di daerah ini suara dimodifikasi oleh beberapa struktur oral

faringeal (seperti lidah, bibir, palatum dan dinding faring), hidung dan sinus. Organ

tersebut berfungsi sebagai articulator dan resonator.3 Perubahan pada posisi, bentuk,
atau kekakuan pada dinding faring, lidah, palatum, bibir dan laring akan merubah dari

produksi kualitas suara.

Persyarafan Laring

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus., yaitu n.laringis superior

dan n.laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan

sensorik. Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu

memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan

cabang dari n.vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan

dibawahnya , sedangkan n rekuren kiri akan menyilang arkus aorta.

Vaskularasasi laring

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a.laringis superior dan

a.laringis inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari a.tiroid superior.

Arteri laringis inferior merupakan cabang dari a. tiroid inferior. Didalam laring arteri

itu bercabang-cabang, mengaliri mukosa dan otot serta beranastomosis dengan

a.laringis superior. Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar

dengan a.laringis superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid

superior dan inferior.


Gambar 2.1 Persyarafan dan Vaskularisasi Laring

Pembuluh Limfa Laring

Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vocal. Disini

mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Didaerah lipatan vocal

pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior.


2.2 Fisiologi Laring

Laring memiliki 3 fungsi utama yaitu fonasi, respiratori dan proteksi (refleks

batuk) disamping beberapa fungsi lainnya.

1. Fungsi fonasi
Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya

interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh

adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya

ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring,

dan hidung.
Terdapat dua teori mengenai pembentukan suara yaitu :
Teori Myoelastik Aerodinamik.
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak

langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-

otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai

variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-

otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan

menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai

puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika

vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara


otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali

membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir

siklus glotal. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang

subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi

saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan

aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara

yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada

dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi

semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan

proses seperti di atas akan terulang kembali.


Teori Neuromuskular.
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal

dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf

pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut

teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan

banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi

dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara

masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis

bilateral).
2. Fungsi respiratori
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk

memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang

sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini


dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2

tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO 2 tinggi

akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring

mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan

pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan

parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

3. Fungsi proteksi
Laring berfungsi untuk mencegah adanya benda asing masuk ke dalam

trakea dengan adanya refleks (berupa refleks batuk) dari otot-otot yang

bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,

pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang

ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah

interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeal Superior sehingga sfingter

dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan

celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan

makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke

introitus esofagus.
Laring juga merupakan salah satu reseptor utama dari batuk, selain

pada faring, trakea,karina dan bronkus mayor. Batuk mempunyai fungsi

penting sebagai salah satu mekanisme utama pertahanan respiratorik. Batuk

akan mencegah aspirasi makanan padat atau cair dan berbagai benda asing
lain dari luar. Batuk akan terbangkitkan apabila ada rangsangan pada reseptor

batuk yang melalui saraf aferen akan meneruskan impuls ke pusat batuk

tersebar difus di medulla. Dari pusat batuk melalui saraf eferen impuls

diteruskan ke efektor batuk yaitu berbagai otot respiratorik. Reseptor batuk

dapat terangsang secara mekanis ( secret, tekanan), kimiawi ( gas yang

merangsang) atau secara termal (udara dingin). Mereka juga dapat terangsang

oleh mediator lokal seperti histamine, prostaglandin, leukotrine, dan oleh

bronkokonstriksi.

Sistem produksi suara, pusat kontrol suara dan penghubung keduanya

mempengaruhi kualitas suara yang dihasilkan.

1. Sistem produksi suara

Laring (voice box) terdiri atas kartilago dan otot-otot serta memiliki

sepasang pita suara yang akan saling menjauh saat inspirasi dan mendekat

saat ekspirasi. Pita suara dapat saling mendekat dan menjauh sehingga

dapat mengatur jumlah udara yang melewatinya. Frekuensi getaran yang

melalui pita suara dapat berubah secara cepat oleh karena otot di sekitar

pita suara dan tekanan udara saat bernafas, sehingga timbul nada pada

suara yang diproduksi. Pharynx dan cavum oris keduanya bertindak

sebagai resonator. Suara yang dihasilkan merupakan hasil koordinasi dari

lidah, rahang bawah, palatum mole. Proses ini dinamakan artikulasi.

2. Pusat kontrol suara


Kontrol suara berada pada otak yang menerima dan mengirimkan kembali

rangsang dari berbagai tempat yang berbeda seperti diafragma, otot-otot

dinding dada, abdomen, larynx, pharynx, cavum oris, palatum mole dan

rahang bawah serta mengkoordinasi seluruh bagian tersebut

3. Neuron penghubung

Syaraf yang berperan penting dalam membawa sinyal dari otak menuju

otot-otot penghasil suara adalah n. laryngeus, yang merupakan cabang

langsung dari n. vagus.

Gambar 2.2 Pita suara saat menarik nafas dalam, posisi respirasi

Gambar 2.3 Pita suara tertutup, posisi fonasi

Gambar 2.4 Pita suara terbuka, terdapat celah sempit antara bagian

interkartiloago, posisi berbisik

2.3 Defenisi Disfonia


Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang

disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat

organik maupun fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi


merupakan gejala penyakit atau kelainan pada laring. Gangguan suara atau disfonia

ini dapat berupa suara parau yaitu suara terdengar kasar (roughness) dengan nada

lebih rendah dari biasanya, suara lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara

tegang dan susah keluar (spastik), suara terdiri dari beberapa nada (diplofonia) , nyeri

saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas

tertentu. Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan

dalam ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (adduksi) kedua pita suara kiri

dan kanan akan menimbulkan disfonia.

2.4 Etiologi

Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan getaran, ketegangan dan

pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan akan menimbulkan suara parau.

Kelelahan suara merupakan keadaan kompleks dan melibatkan banyak organ

tubuh sesuai dengan hambatan yang terjadi pada fisiologi pembentukan suara

serta sifat biomekanis pita suara.

Penyebab suara parau dapat bermacam macam yang prinsipnya menimpa

laring dan sekitarnya. Penyebab ini secara garis besar dapat diklasifikasikan

berupa adanya kelainan kongenital (laringomalasia, laryngeal webs); proses

infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus ataupun jamur (laryngitis akut,

laryngitis kronis); proses inflamasi (nodules, polip, kista, LPR); adanya tumor

jinak (papilloma, hemangioma, limphangioma) ataupun tumor ganas; adanya

trauma serta penyakit sistemik.


Beberapa penyebab suara parau yang jarang terjadi antara lain alergi,

masalah pada tiroid, gangguan pada syaraf, dan trauma pada area pita suara.

Suara parau dapat terjadi dalam waktu lama apabila seseorang

menggunakan suara berlebihan, terlalu keras, atau menggunakan suara dalam

waktu yang sangat lama.

1. Kelainan Kongenital
a. Laringomalasia

Merupakan penyebab tersering suara parau saat bernafas pada bayi

baru lahir. Kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan

merupakan akibat dari kelainan genetik atau kelainan embriologik.

Walaupun dapat terlihat pada saat kelahiran, beberapa kelainan baru

nampak secara klinis setelah beberapa bulan atau tahun. Dua teori besar

mengenai penyebab kelainan ini adalah bahwa kartilago imatur

kekurangan struktur kaku dari kartilago matur, sedangkan yang kedua

mengajukan teori inervasi saraf imatur yang menyebabkan hipotoni.

Sindrom ini banyak terjadi pada golongan sosio ekonomi rendah, sehingga

kekurangan gizi mungkin merupakan salah satu faktor etiologinya.

b. Laringeal webs
Merupakan suatu selaput jaringan pada laring yang sebagian menutup

jalan udara. 75 % selaput ini terletak diantara pita suara, tetapi selaput ini

juga dapat terletak diatas atau dibawah pita suara.

2. Infeksi
a. Infeksi virus
Infeksi paling banyak yang menyebabkan suara parau dikarenakan oleh

infeksi virus. Virus penyebab yang paling sering yaitu rhinovirus

(common cold virus) , adenovirus, influenza virus dan parainfluenza

virus.
b. Infeksi bakteri
Infeksi bakteri pada daerah laring bisa terjadi, epiglottitis bakterial oleh

Hemophilus influenzae type B (HiB) merupakan salah satu yang sering

terjadi dan kadang dapat menimbulkan infeksi yang fatal. Bakteri

penyebab yang lain yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus

pneumoniae tetapi jarang.


c. Infeksi jamur

Infeksi jamur candida pada mulut dan tenggorokan kadang bisa

menyebabkan suara parau pada anak yang sehat, tetapi ini merupakan

komplikasi yang jarang terjadi kecuali anak dengan imunosupresi

(kemoterapi, HIV, atau Immune deficiency syndrome).

Laringitis merupakan penyebab tersering suara parau yang dapat

diakibatkan infeksi virus atau bakteri dan biasanya terjadi bersamaan dengan
common cold. Inflamasi menyebabkan pembengkakan jaringan-jaringan

laring.

Pembengkakan korda vokalis terjadi pada infeksi saluran napas atas,

common cold, atau pemakaian suara berlebihan. Radang laring dapat akut

atau kronik.

Laringitis Akut

Laringitis akut merupakan radang mukosa pita suara dan laring kurang

dari tiga minggu. Penyebab radang ini adalah bakteri. Pada radang ini

terdapat gejala radang umum seperti demam, malaise, dan gejala lokal seperti

suara parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri menelan atau

berbicara serta gejala sumbatan laring.

Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis, membengkak,

terutama di atas dan bawah pita suara. Terapi yang diberikan berupa istirahat

berbicara dan bersuara selama 2-3 hari., menghirup udara lembab,

menghindari iritasi pada laring dan faring. Antibiotika diberikan jika

peradangan berasal dari paru.

Laringitis Kronik

Penyakit ini ditemukan pada orang dewasa. Sebagai faktor yang

mempermudah terjadinya radang kronis ini ialah intoksikasi alkohol atau


tembakau, inhalasi uap atau debu yang toksik, radang saluran napas dan

penyalahgunaan suara (vocal abuse).

Pada laringitis kronis terdapat perubahan pada selaput lendir, terutama

selaput lendir pita suara. Pada mikrolaringoskopi tampak bermacam-macam

bentuk, tetapi umumnya yang kelihatan ialah edema, pembengkakan serta

hipertrofi selaput lendir pita suara atau sekitarnya. Terdapat juga kelainan

vaskular, yaitu dilatasi dan proliferasi, sehingga selaput lendir itu tampak

hiperemis.

Bila peradangan sudah sangat kronis, terbentuklah jaringan fibrotik

sehingga pita suara tampak kaku dan tebal, disebut laringitis kronis

hiperplastik. Kadang-kadang terjadi keratinisasi dari epitel, sehingga tampak

penebalan pita suara yang di suatu tempat berwarna keputihan seperti tanduk.

Pada tempat keratosis ini perlu diperhatikan dengan baik, sebab mungkin di

bawahnya terdapat tumor yang jinak atau yang ganas. Suara parau juga dapat

disebabkan oleh tuberkulosis (TB) dan lues.


Gambar 2.5 laring dan pita suara pada laringitis

3. Inflamasi
Berkembangnya nodul, polip atau granuloma pada pita suara dapat

diakibatkan oleh iritasi dan inflamsi yang kronis pada pita suara yang berasal

dari merokok, batuk, penyalahgunaan suara dan terpapar racun dari

lingkungan.
a. Nodules
Nodule paling sering didapatkan pada anak-anak dan wanita. Pada

laki-laki jarang. Terdapat berbagai sinonim klinis untuk nodul vokal

termasuk screamers nodule, singers node, atau teachers node. Nodulus

jinak dapat terjadi unilateral dan timbul akibat penggunaan korda vokalis

yang tidak tepat dan berlangsung lama. Letaknya sering pada sepertiga

anterior atau di tengah pita suara, unilateral atau bilateral.


Klinis yang ditimbulkan adalah suara parau, kadang-kadang disertai

batuk. Pada pemeriksaan terdapat nodul di pita suara sebesar kacang hijau

atau lebih kecil, berwarna keputihan. Diagnosis ditegakkan dengan

pemeriksaan laring tidak langsung / langsung. Beberapa pasien berespon

baik dengan pembatasan dan reedukasi vokal, namun banyak juga yang

memerlukan pembedahan endoskopik.5


Gambar 2.6 Vocal Nodule
b. Polip

Polip laring ditemukan pada orang dewasa, lebih banyak pada pria dari

pada wanita, dan sangat jarang didapatkan pada anak. Pada pemeriksaan,

polip paling sering ditemukan di sekitar komisura anterior, tampak bulat,

kadang-kadang berlobul, berwarna pucat, mengkilat dengan dasarnya yang

lebar di pita suara, dan tampak kapiler darah sangat sedikit serta ditemukan

dapat tunggal atau multipel namun paling sering unilateral.

Pada polip yang besar, meskipun dasarnya di pita suara, polip ini

ditemukan di subglotik. Epitel di sekitar polip tidak berubah, tidak ada

tanda radang. Polip dengan vaskularisasi yang banyak akan berwarna

merah, kadang-kadang terjadi fibrotik, sehingga tidak tampak mengkilat

lagi.

Pengangkatan bedah harus dilakukan pada satu sisi berturut-turut,

untuk mencegah pembentukan sinekia pada komisura anterior. Pembedahan

harus diikuti menghentikan merokok dan reedukasi vokal. Jika tidak

demikian, mungkin terjadi kekambuhan jaringan polipoid yang tebal

sepanjang korda vokalis.


Gambar 2.7 Polip pada pita suara
c. Kista

Kista pita suara merupakan massa yang terdiri dari membran (sakus).

Kista dapat berlokasi dekat permukaan pita suara atau lebih dalam, dekat

ligament. Sama seperti nodul dan polip, ukuran dan lokasi mengganggu

getaran dari pita suara dan menyebabkan suara parau. Terapi pembedahan

diikuti terapi vokal merupakan terapi yang disarankan.

Gambar 2.8 Kista pada pita suara


d. Laringofaringeal Refluks

Laringofaringeal refluks adalah suatu keadaan dimana kembalinya isi

perut kedalam esofagus dan masuk kedalam tenggorokan (laring dan

faring). Beberapa sinonim untuk LPR dari beberapa literature kedokteran:


reflux laryngitis, laryngeal reflux, gastropharyngeal reflux,

pharyngoesophageal reflux, supraesophageal reflux, extraesophageal

reflux, atypical reflux. Dan yang paling diterima dari berbagai sinonim

terrsebut adalah extraesophageal reflux.

Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograde dari asam

lambung atau isinya (pepsin) ke supraesofagus dan menimbulkan cidera

mukosa. Sehingga terjadi kerusakan silia yang menibulkan pembentukan

mucus, aktivitas mendehem (throat clearing) dan batuk kronis yang

berakibat iritasi dan inflamasi pada faring.

Patofisiologi tentang LPR masih menjadi kajian banyak para ilmuan.

Sampai saat ini dua hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk

proses terjadinya LPR. Hipotesis yang pertama yaitu asam lambung secara

langsunng menciderai laring dan jaringan sekitarnya. Hipotesis yang

kedua menyatakan bahwa asam lambung dalam esofagus distal

merangsang reflex vagal yang mengakibatkan bronkokonstriksi dan

gerakan mendehem (throat clearing) dan batuk kronis, yang pada

akhirnnya menimbulkan lesi pada mukosa saluran nafas.

Pasien dengan LPR bisanya mempunyai gejala yang tidak spesifik

seperti globus sensation, kelelahan vocal, suara serak, batuk kronis,

tenggorokan terasa kering, sakit tenggorokan dan disfagia.


Gejala tersebut bukan merupakan gejala yang harus ada pada LPR,

namun gejala lain yang biasanya menyertai adalah: eksaserbasi asma,

otalgia, lender tenggorakan berlehihan, halitosis (bauk mulut), sakit leher,

odinofagia, postnasal drip dan gangguan pada suara.

4. Tumor
Tumor Jinak
a. Papilloma

Papiloma laring adalah suatu tumor jinak pada laring yang berasal dari

jaringan epitel skuamosa.4 Papiloma laring adalah tumor jinak yang

sering dijumpai pada anak-anak 80% pada usia kelompok usia di bawah 7

tahun, sedangkan pada orang dewasa 20-40 tahun.

Tumor ini dapat digolognkan dalam 2 jenis :

1. Papiloma laring juvenile

Ditemukan pada anak-anak biasanya berbentuk multipel dan

mengalami regresi pada waktu dewasa.

2.
Pada orang dewasa

Biasanya berbentuk tunggal, tidak akan mengalami resolusi dan

merupakan prakanker dan menjadi ganas bila dijumpai subtype yang

spesifik yaitu HVP 16. Pada pasien dengan papilloma laring, mukosa

normalnya terdapat HVP pada 20% kasus, sebaliknya pada mukosa

jalan nafas yang normal ditemukan HVP 4% kasus.


Gejala klinis yang timbul tergantung pada letak dan besarnya tumor.

Gejala yang paling sering dijumpai adalah perubahan suara. Cohen

(1980) menemukan 90% kasus terjadi perubahan suara.Suara serak

merupakan gejala dini dan keluhan yang paling sering dikemukakan

apabila tumor tersebut terletak di pita suara. Papilloma laring dapat

membesar, Kadang-kadang dapat mengakibatkan sumbatan jalan nafas

yang mengakibatkan stridor dan sesak.

Secara makroskopik dapat terlihat papiloma laring berupa lesi

eksofitik, seperti kembang kol, berwarna abu-abu atau kemerahan dan

mudah berdarah. Tipe lesi ini bersifat agresif dan mudah kambuh, tetapi

dapat hilang sama sekali secara spontan, letak dapat diadaerah glottis, sub

ataupun supraglotis.

Gambar 2.9 Papilloma pada pita suara sebelah kiri


Gambar 2.10 Bilateral papilloma

b. Hemangioma
Merupakan tumor jinak pembuluh darah, mungkin timbul pada daerah

jalan nafas dan menyebabkan suara parau atau lebih sering stridor.
c. Limphangioma ( higroma kistik)
Merupakan tumor pembuluh limfa. Sering timbul didaerah kepala dan

leher dan dapat mengenai pada jalan nafas yang menyebabkan stridor

atau suara parau.

Tumor ganas
Tumor Ganas laring lebih sering mengenai laki-laki dibanding

perempuan, dengan perbandingan 11 : 1. Terbanyak pada usia 56-69 tahun.

Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa

hal yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok,

alkohol, sinar radio aktif, polusi udara, radiasi leher dan asbestosis.
Karsinoma sel skuamosa meliputi 95 98% dari semua tumor ganas

laring, dengan derajat difrensiasi yang berbeda-beda.


Karsinoma Verukosa adalah satu tumor yang secara histologis

kelihatannya jinak, akan tetapi klinis ganas. Insidennya 1 2% dari seluruh

tumor ganas laring, lebih banyak mengenai pria dari wanita dengan

perbandingan 3 : 1. Tumor tumbuh lambat tetapi dapat membesar sehingga

dapat menimbulkan kerusakan lokal yang luas. Tidak terjadi metastase

regional atau jauh. Pengobatannya dengan operasi, radioterapi tidak efektif

dan merupakan kontraindikasi. Prognosanya sangat baik.

Adenokarsinoma. Angka insidennya 1% dari seluruh tumor ganas

laring. Sering dari kelenjar mukus supraglotis dan subglotis dan tidak pernah

dari glottis. Sering bermetastase ke paru-paru dan hepar. two years survival

rate-nya sangat rendah. Terapi yang dianjurkan adalah reseksi radikal dengan

diseksi kelenjar limfe regional dan radiasi pasca operasi.

Kondrosarkoma. Adalah tumor ganas yang berasal dari tulang rawan

krikoid 70%, tiroid 20% dan aritenoid 10%. Sering pada laki-laki 40 60

tahun. Terapi yang dianjurkan adalah laringektomi total.

Berdasarkan Union International Centre le Cancer (UICC) 1982, klasifikasi

dan stadium tumor ganas laring terbagi atas :

1. Supraglotis

Terbatas pada daerah mulai dari tepi atas epiglottis sampai batas atas glottis

termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring.


2. Glotis

Mengenai pita suara asli. Batas inferior glottis adalah 10 mm dibawah tepi

bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot otot intrinsic pita

suara. Batas superior adalah ventrikel laring. Oleh karena itu, tumor glottis

dapat mengenai satu atau kedua pita suara, dapat meluas ke subglotis sejauh

10 mm, dan dapat mengenai komisura anterior atau posterior atau prosesus

vokalis kartilago arytenoid.

3. Subglotis

Tumbuh lebih dari 10 mm dibawah tepi bebas pita suara asli sampai batas

inferior krikoid.

Suara parau yang persisten atau perubahan suara yang lebih dari 2-4

minggu pada perokok perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengenali apakah

terdapat kanker laring.

Hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak

tumor. Apabila tumor tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala

dini dan menetap. Apabila tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, di bagian

bawah plika ventrikularis, atau di batas inferior pita suara, serak akan timbul

kemudian. Pada tumor supraglotis dan subglotis, serak dapat merupakan

gejala akhir atau tidak timbul sama sekali. Pada kelompok ini, gejala pertama

tidak khas dan subjektif, seperti perasaan tidak nyaman, rasa ada yang

mengganjal di tenggorok. Tumor hipofaring jarang jarang menimbulkan serak,


kecuali tumornya eksentif. Fiksasi dan nyeri menimbulkan suara bergumam

(hot banana voice).

Pilihan terapi yang diberikan meliputi pembedahan, radiasi dan atau

kemoterapi. Ketika kanker laring ditemukan lebih awal maka pilihan terapi

berupa pembedahan atau radiasi dengan angka kesembuhan tinggi, lebih dari

90%.5

Gambar 2.11 Karsinoma Sel Squamosa pada Laring


5. Trauma
Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu

kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan

penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan

nafas, pengaturan pernafasan dan penghasil suara terganggu, sehingga dapat

menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.


Pada trauma laring, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan

adalah sesak nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher,

kepala, dada), sianosis, gangguan suara juga merupakan tanda dan gejala

klinis yang mengarah ke perlukaan jalan nafas.


a. Endotracheal intubasi pada pembedahan atau resusitasi bisa menyebabkan

suara parau.

b. Benda asing
Benda asing yang termakan oleh anak-anak bisa masuk ke laring dan

menyebabkan suara parau dan kesulitan bernafas.


c. Fraktur pada laring
Trauma langsung pada laring dapat menyebakan fraktur kartilago laring

yang menyebabkan lokal hematoma atau mengenai saraf.

6. Paralisis pita suara


Paralis berarti terganggunya kemampuan anggota tubuh untuk

bergerak dan berfungsi, yang biasanya diakibatkan karena kerusakan saraf.

Paralisis dapat terjadi juga pada pita suara. Paralisis pita suara terjadi ketika

salah satu atau kedua pita suara tidak dapat membuka ataupun menutup

dengan semestinya. 6

Pada daerah laring, secara anatomis terdapat nervus vagus dan

cabangnya yaitu nervus laringeus rekurens yang mempersarafi pita suara. Jika

terjadi penekanan maupun kerusakan terhadap nervus ini maka akan terjadi

paralisis pita suara, di mana pita suara tidak dapat beradduksi. Secara normal,

ketika berfonasi, kedua pita suara beradduksi, tetapi karena terjadi paralisis

salah satu atau kedua pita suara, maka vibrasi yang dihasilkan oleh pita suara

tidak maksimal.
Gambar 2.12 Paralisis Pita Suara

7. Penyakit sistemik

a. Endokrin: hypothyroidisme, acromegaly

b. Rheumatoid arthritis berdampak pada kaitan antar sendi pada laring

c. Penyakit Granulomatous contoh. sarcoid, Wegener's, syphilis, TB


Tabel.2.1 Penyebab Suara parau pada umumnya
2.5 D

ia
Disfoni Secara anatomi normal, tetapi terjadi penggunaan yang
fungsional abnormal dari mekanisme suara. Kondisi ini terkait dengan g
stress, gangguan psikologi atau kompensasi dari infeksi
saluran napas atas. n

Laryngeal Pertumbuhan massa di laring yang disebabkan oleh infeksi os


papilloma HPV
is
Disfoni akibat Gangguan suara sebagai akibat dari tekanan yang berlebihan
ketegangan otot atau tidak seimbang saat bicara. Kondisi ini diakibatkan oleh
teknik bicara yang tidak tepat dan biasanya berhubungan
dengan refluk laryngitis.

Reflux Inflamasi laring yang disebabkan iritasi asam lambung.


laryngitis

Reinke's.d.e Akumulasi cairan pada pita suara. Kondisi ini berkaitan


edema dengan merokok dan penyalahgunaan suara. Dapat juga pada
refluk laringitis.

Disfoni Suatu kondisi di mana suara terhenti tiba-tiba dan bicara


Spasmodik yang terputus-putus. Hal ini merupakan disfonia yang terjadi
secara fokal pada otot-otot laring.

Paralysis pita Kelemahan atau tidak bergeraknya satu atau kedua pita
suara suara.

Vocal nodules Pembentukan jaringan fibrotik pada pita suara. Biasa disebut
nodes
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinik, dan

pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis
Anamnesis harus lengkap dan terarah meliputi jenis keluhan gangguan

suara, lama keluhan, progesifitas, keluhan yang menyertai, pekerjaan,

keluarga, kebiasaan merokok, minum kopi atau alkohol, hobi atau aktivitas

diluar pekerjaan,penyakit yang pernah atau sedang diderita, alergi,

lingkungan tempat tinggal dan bekerja,adanya trauma dan lain-lain.

2. Pemeriksaan Klinik dan Penunjang

Pemeriksaan klinik meliputi pemeriksaan umum (status generalis),

pemeriksaan THT termasuk pemeriksaan laringoskopi tak langsung untuk

melihat laring melalui kaca laring atau dengan menggunakan teleskop

laring baik yang kaku (rigid telescope) atau serat optic (fiberoptic

telescope). Penggunaan teleskop ini dapat dihubungkan dengan alat video

(videolaringoskopi) sehingga akan memberikan visualisasi laring (pita

suara) yang lebih jelas baik dalam keadaan diam (statis) maupun pada saat

bergerak (dinamis). Selain itu juga dapat dilakukan dokumentasi hasil

pemeriksaan untuk tindak lanjut hasil pengobatan. Visualisasi laring dan

pita suara secara dinamis akan lebih jelas dengan menggunakan stroboskop

(videostroboskopi) dimana gerakan pita suara dapat diperlambat

(slowmotion) sehingga dapat terlihat getaran (vibrasi) pita suara dan


gelombang mukosanya (mucosal wave). Dengan bantuan alat canggih ini

diagnosis anatomis dan fungsional menjadi lebih akurat.

Selain secara anatomis fungsi laring dan pita suara juga dapat dinilai

dengan menganalisa produk yang dihasilkannya yaitu suara. Analisis suara

dapat dilakukan secara perseptual yaitu dengan mendengarkan suara dan

menilai derajat (grade), kekasaran (roughness), keterengahan (breathyness,

kelemahan (astenisitas) dan kekakuan (strain). Saat ini juga telah

berkembang analisis akustik dengan menggunakan program computer

seperti CSL (Computerized Speech Laboratory), Multyspeech, ISA

(Intelegence Speech Analysis) dan MDVP (Multy Dimensional Voice

Programme). Hasil pemeriksaan analisis akustik ini berupa nilai parameter-

parameter akustik dan spektrogram dari gelombang suara yang dianalisis.

Parameter akustik dan spektrogram ini dapat dibandingkan antara suara

normal dan suara yang mengalami gangguan. Alat ini juga dapat digunakan

untuk menilai tindak lanjut (follow up) hasil terapi.

Terkadang diperlukan pemeriksaan laring secara langsung (direct

laringscopy) untuk biopsy tumor dan menentukan perluasannya (staging)

atau bila diperlukan tindakan (manipulasi) bagian-bagian tertentu laring

seperti arytenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, daerah komisura

anterior atau subglotik. Laringoskopi langsung dapat menggunakan

teleskop atau mikroskop (mikrolaringoskopi).


Pemerikasaan penunjang lain yang diperlukan meliputi pemeriksaan

laboratorium, radiologi, elektromiografi (EMG), mikrobiologi dan patologi

anatomi.

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan disfonia atau disebut juga suara serak diawali dengan

diagnosis yang tepat dan terapi yang sesuai dengan diagnosis dan etiologi tersebut.

Terapi dapat berupa medikamentosa, vocal hygiene, terapi suara dan bicara serta

tindakan operatif. Tindakan operatif untuk mengatasi gangguan suara atau disfonia

disebut Phonosurgery.

BAB III

KESIMPULAN

Disfonia yaitu setiap gangguan suara yang disebabkan kelainan pada organ-

organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat organik maupun fungsional. Disfonia
bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau kelainan

pada laring. Manifestasi gangguan kualitas suara pada disfonia dapat bervariasi

seperti desahan, parau, tegang, tercekik, tebal, nada menjadi tinggi atau rendah,

tergantung struktur anatomis yang terganggu dan patofisiologi produksi suara yang

disebabkan penyakit yang mendasari disfonia


Etiologi disfonia bervariasi yaitu: adanya kelainan kongenital (laringomalasia,

laryngeal webs); proses infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus ataupun

jamur (laryngitis akut, laryngitis kronis); proses inflamasi (nodules, polip, kista,

LPR); adanya tumor jinak (papilloma, hemangioma, limphangioma) ataupun tumor

ganas; adanya trauma serta penyakit sistemik.


Untuk mendiagnosa diperlukan anamnesis lengkap dan terarah meliputi jenis

keluhan gangguan suara, lama keluhan, progesifitas, keluhan yang menyertai,

pekerjaan, keluarga, kebiasaan merokok, minum kopi atau alkohol, hobi atau aktivitas

diluar pekerjaan,penyakit yang pernah atau sedang diderita, alergi, lingkungan tempat

tinggal dan bekerja, dan lain-lain. Diperlukan juga pemeriksaan seperti laringoskop

langsung dan tak langsung, stroboskop, analisis suara serta penunjang lainnya seperti

pemeriksaan laboratorium, radiologi, elektromigrafi (EMG), mikrobiologi dan

patologi anatomi.
Penatalaksanaan disfonia atau disebut juga suara serak diawali dengan

diagnosis yang tepat dan terapi yang sesuai dengan diagnosis dan etiologi tersebut.

Terapi dapat berupa medikamentosa, vocal hygiene, terapi suara dan bicara serta

tindakan operatif. Tindakan operatif untuk mengatasi gangguan suara atau disfonia

disebut Phonosurgery.
BAB 4
PENUTUP

Demikian telah disajikan refarat mengenai disfonia meliputi : definisi,


etiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan. Diharapkan dengan adanya laporan ini dapat
bermanfaat dalam menangani kejadian disfonia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin N, Restuti RD. BUKU AJAR ILMU


KESEHATAN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA DAN
LEHER. 7th ed. Badan Penerbit FKUI; 2012. 209-214 p.

2. Schwartz SR, Cohen SM, Dailey SH, Rosenfeld RM, Deutsch ES, Gillespie
MB, et al. Clinical practice guideline: Hoarseness (Dysphonia). Otolaryngol -
Head Neck Surg. 2009;141(3 SUPPL. 2).

3. AH-See K. ABOUT Hoarsness. (06452601).

4. Adams GL, Boies LR, Hilger PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 1996. 369-
376 p.

5. Yuwono N, Novita S. Nodul Pita Suara ( Singer s Nodes ). 2014;41(6):428


31.

6. Vocal Cord Paralysis [Internet]. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/863779-overview

Anda mungkin juga menyukai