Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau
kelainan pada laring. disfonia atau gangguan suara tidak jarang kita temukan dalam klinik,
gangguan suara ini lebih sering terjadi pada kelompok-kelompok tertentu seperti guru,
penyanyi, penceramah, namun semua usia dan jenis kelamin dapat terkena dan berdampak
pada status kesehatan serta kualitas hidup seseorang.

Penyebab disfonia bermacam-macam, yang prinsipnya menimpa laring dan sekitarnya


yang akan menyebabkan disfonia diantaranya radang, neoplasma, paralisis otot-otot laring,
kelainan laring misal sikatriks akibat operasi.

Penatalaksanaan disfonia meliputi diagnosis etiologi, dan pemeriksaan klinik serta


penunjang untuk membantu diagnosis, juga terapi yang sesuai dengan etiologi tersebut.

1. ANATOMI

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran nafas bagian atas. Batas atas laring
adalah aditus laring, sedangkan batas bawah laring adalah batas kaudal kartilago krikoid.
Bangunan kerangka laring tersusun atas tulang dan tulang rawan. Terdiri dari tulang hyoid
yang berbentuk seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah,
mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Tulang rawan yang menyusun laring
adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago
kornikulata, kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea.

3
Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran, kartilago krikoid ini dihubungkan dengan
kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Terdapat sepasang kartilago aritenoid yang
terletak dekat permukaan belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid
yang disebut artikulasi krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata melekat pada kartilago
aritenoid di daerah apeks, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat dalam lipatan
ariepiglotik, dan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral. Pada laring
terdapat 2 buah sendi yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum
yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral,
posterior), ligamentum krikotiroid (posterior,medial), ligamentum kornikulofaringal,
ligamentum hiotiroid (lateral,medial), ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis,
ligamentum vokale (yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid), dan
ligamentum tiroepiglotika.
Gerakan laring dilaksanakan oleh otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot
ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan yaitu m.digastrikus, m.geniohioid,
m.stilohioid, m.milohioid, m.sternohioid, m.omohioid, dan m.tirohioid. Sedangkan otot-otot
intrinsik bekerja pada bagian-bagian laring tertentu yang berhubungan dengan gerakan pita
suara, yaitu m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid,
m.ariepiglotika dan m.krikotiroid, otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-otot
intrinsik laring yang terletak di bagian posterior ialah m.aritenoid transversum, m.aritenoid
oblik dan m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor
(kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali m.krikoaritenoid
posterior yang merupakan otot abduktor (menjauhkan kedua pita suara ke lateral).

4
Rongga Laring
Batas superior rongga laring terdiri dari aditus laring, batas inferiornya ialah bidang
yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas anterior ialah permukaan belakang
epiglottis, tuberkulum epiglottis, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina
kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas posterior ialah m.aritenoid transverses dan
lamina kartilago krikoid. Dan batas lateral nya ialah membrane kuadrangularis, kartilago
aritenoid, konus elastikus dan arkus kartilago krikoid.
Plika vokalis dan plika ventrikularis terbentuk karena adanya lipatan mukosa pada
ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare. Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan
disebut rima glottis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis disebut rima vestibuli. Plika
vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring menjadi 3 bagian yaitu vestibulum
laring (supraglotik), glotik dan subglotik. Rima glottis terdiri dari 2 bagian yaitu bagian
intramembran dan bagian interkartilago.
Pendarahan
Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a.laringis superior dan a.laringis
inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari a.tiroid superior. Arteri laringis
superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-sama
dengan cabang internus dari n.laringis superior kemudian menembus membrane ini untuk
berjalan kebawah di submukosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis untuk

5
mempendarahi mukosa dan otot-otot laring. Arteri laringis inferior merupakan cabang dari
a.tiroid inferior dan bersama-sama n.laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid,
masuk laring melalui daerah pinggir bawah dari m.konstriktor faring inferior.

Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan arteri laringis
superior dan inferior, dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.

6
Persarafan laring
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringis superior dan
n.laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf sensorik dan motorik. Nervus
laringis superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa
laring dibawah pita suara. Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah
saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan
cabang dari n.vagus, saraf ini bercabang 2 menjadi ramus anterior dan ramus posterior.
Ramus anterior mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus
posterior mempersarafi otot-otot intrinsic laring superior dan mengadakan anastomosis
dengan a.laringis superior.

7
2. FISIOLOGI
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta
fonasi. Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk
ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glottis secara bersamaan.
Terjadi penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi
otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak kedepan akibat
kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid, selanjutnya m.ariepiglotika berfungsi sebagai
sfingter. Penutupan rima glottis terjadi karena aduksi plika vokalis.

Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima glottis. Bila
m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago
aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glottis terbuka (abduksi). Dengan terjadinya
perubahan tekanan udara didalam traktus trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi
8
darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Fungsi laring dalam
proses menelan ialah dengan 3 mekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas,
menutup aditus laringis, dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring sehingga tidak
masuk ke dalam laring.

Fungsi laring untuk fonasi dengan membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya
nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh ketegangan plika vokalis, bila plika vokalis dalam
keadaan aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan
menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan
menahan atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan
efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago
aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya
plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya nada. Selain itu dengan refleks batuk, benda
asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan keluar, laring juga mempunyai
fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti berteriak, menangis, mengeluh, dll.

3. DEFINISI

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan
kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat organik maupun
fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau
kelainan pada laring.

Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan dalam


ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (adduksi) kedua pita suara kiri dan kanan akan
menimbulkan dsifonia.

Keluhan gangguan suara tidak jarang kita temukan dalam klinik. Gangguan suara atau
disfonia ini dapat berupa suara yang terdengar kasar dengan nada lebih rendah dari biasanya
(suara parau), suara lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan sulit keluar
(spastik), suara yang terdiri dari beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia)

9
4. EPIDEMIOLOGI

Di dunia barat, sekitar sepertiga penduduk yang bekerja menggunakan suaranya untuk
bekerja, di Inggris sekitar 50.000 pasien per tahun dirujuk ke bidang THT karena bermasalah
dengan suaranya (Doerr S. Hoarseness. Available at www.medicinet.com. Last accessed 4th
may 2012.)

5. ETIOLOGI

Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan getaran, ketegangan dan pendekatan kedua pita
suara kiri dan kanan akan menimbulkan suara serak. Gangguan dalam bersuara seperti suara
serak, biasanya disebabkan berbagai macam faktor yang prinsipnya menimpa laring dan
sekitarnya. Penyebabnya dapat berupa radang, tumor, paralisis otot-otot laring, kelainan lain
seperti sikatrik pasca operasi, fiksasi pada sendi krikoaritenoid. Serta dikarenakan
penggunaan suara yang berlebihan. kelainan patologi yang serius harus disingkirkan, seperti
halnya karsinoma laring dan tumor kepala, dan leher lainnya yang menyebabkan kelumpuhan
nervus laringeus. Banyak faktor yang dapat menyebabkan suara serak. Sebagian besar bukan
masalah yang serius dan dapat hilang dalam waktu yang singkat. Penyebab yang paling
sering adalah laryngitis akut yang biasanya muncul karena common cold, infeksi saluran
pernafasan atas, atau iritasi saat bersuara keras seperti berteriak. Kebiasaan menggunakan
suara berlebihan mengakibatkan timbulnya vocal nodule, atau polip pada pita suara, vocal
nodule sering terjadi pada anak-anak. Penyebab suara serak yang biasa terjadi pada orang
dewasa adalah refluk gastroesofageal. Merokok juga dapat menyebabkan suara menjadi
parau. Penyebab suara parau dapat bermacam-macam, diantaranya :

1. Kelainan kongenital

a. Laringomalasia merupakan penyebab tersering suara serak saat bernafas pada


bayi baru lahir

b. Laryngeal web merupakan suatu selaput jaringan pada laring yang sebagian
menutup jalan udara. 75 % selaput ini terletak diantara pita suara, tetapi
selaput ini juga dapat terletak diatas atau dibawah pita suara.

c. Cri du chat syndrome dan Down syndrome merupakan suatu kelainan genetic
pada bayi saat lahir bermanifestasi klinis berupa suara serak atau stridor saat
bernafas.

10
d. Paralisis pita suara bisa terjadi pada saat lahir, baik satu atau kedua pita suara.
Tumor pada rongga dada (mediastinum) atau trauma saat lahir dapat
menyebabkan kerusakan saraf pada laring yang mempersarafi pita suara.

2. Infeksi

a. Infeksi virus merupakan infeksi yang paling banyak menyebabkan suara serak.
Virus penyebab yang paling sering adalah rinovirus (common cold),
adenovirus, influenza virus.

b. Infeksi bakteri seperti epiglottitis bacterial oleh Haemophilus influenza type B


merupakan salah satu penyebab tersering. Penyebab lain Streptococcus
pneumonia, Staphylococcus aureus.

c. Infeksi jamur seperti candida pada mulut dan tenggorok, ini merupakan
komplikasi yang dapat terjadi pada anak atau orang dewasa dengan
imunosupresi (HIV, kemoterapi, dll).

3. Inflamasi

Berkembangnya nodul, polip atau granuloma pada pita suara dapat diakibatkan oleh
iritasi dan inflamasi yang kronis pada pita suara yang sering terjadi pada perokok,
terpapar racun dari lingkungan, dan penyalahgunaan suara.

a. Nodul paling sering didapatkan pada anak-anak dan wanita, ada hubungan
dengan penyalahgunaan suara. Nodul ini timbul bilateral, lembut, lesinya
bulat terletak pada sepertiga anterior dan dua pertiga posterior dari pita suara.

b. Polip lebih sering didapatkan pada laki-laki dan sangat kuat hubungannya
dengan rokok, polip berupa massa lembut, bisa tunggal ataupun multiple, dan
paling sering unilateral.

c. Kista laryngeal biasanya berupa sumbatan kelenjar mucus atau kista inklusi
epitel dan akan menyebabkan perubahan suara jika terdapat atau dekat dengan
tepi bebas pita.

d. Gastroesophageal reflux disease.

11
4. Neoplasma

a. Papilloma merupakan tumor jinak yang sering didapatkan pada saluran


pernafasan. Disebabkan oleh HPV.

b. Hemangioma merupakan tumor jinak pembuluh darah

c. Limphagioma merupakan tumor pembuluh limfa, sering timbul di daerah


kepala, leher.

d. Tumor ganas misalnya karsinoma laring.

5. Trauma

a. Endotracheal intubation

b. Fraktur pada laring

c. Benda asing

6. Sistemik

a. Endokrin : hypothyroidisme, acromegaly

b. Rheumatoid arthritis berdampak pada kaitan antar sendi pada laring.

c. Penyakit Granulomatous contoh sarcoid, syphilis, TBC.

6. MANIFESTASI KLINIS

1. Radang

Radang laring dapat akut atau kronis, radang akut dapat disebabkan karena laryngitis
akut, gejala seperti suara parau sampai tidak dapat bersuara lagi (afoni), nyeri ketika
menelan atau berbicara, demam, malaise, dan dapat disertai batuk kering yang lama
kelamaan disertai dahak. Sedangkan radang kronis nonspesifik dapat terjadi pada
laryngitis kronis yang biasanya disebabkan karena sinusitis kronis, deviasi septum
yang berat, polip hidung, bronchitis kronis, dan dapat disebabkan karena
penyalahgunaan suara pada seseorang.

12
 Gejala

Gejala yang timbul seperti suara parau yang menetap, rasa tersangkut di
tenggorok, sehingga pasien sering mendeham tanpa mengeluarkan secret, karena
mukosa yang menebal. Radang kronis yang spesifik dapat disebabkan karena
laryngitis tuberculosis, gejala nya seperti rasa kering,panas dan tertekan didaerah
laring, suara parau selama berminggu-minggu dan dapat berlanjut menjadi afoni,
hemoptisis, nyeri menelan yang sangat hebat, batuk kronis, berat badan menurun,
dan keringat pada malam hari.

2. Neoplasma

 Gejala

Terdapat tumor jinak laring yaitu nodul pita suara yang dapat disebabkan
penyalahgunaan suara dalam waktu yang sangat lama, dengan gejala suara parau
dan kadang-kadang disertai batuk. Polip pita suara juga termasuk lesi jinak laring
dengan gejala suara parau. Kista pita suara termasuk kista kelenjar liur minor
laring, terbentuk akkibat tersumbatnya kelenjar tersebut, faktor iritasi kronis,
refluks gastroesofageal diduga berperan sebagai faktor predisposisi, dengan gejala
suara parau.

3. Paralisis otot laring

 Gejala

Gejala kelumpuhan pita suara adalah suara parau, stridor atau bahkan
disertai kesulitan menelan yang tergantung pada penyebabnya. Jika penyebabnya
lesi intrakranial, maka akan muncul gejala kelainan neurologik. Jika penyebabnya
adalah perifer, seperti tumor tiroid, penyakit jantung, maka gejalanya akan disertai
gejala yang sesuai dengan penyebabnya.

13
7. PENEGAKAN DIAGNOSA

a. ANAMNESIS
Anamnesis harus lengkap dan terarah meliputi jenis keluhan gangguan suara,lama
keluhan,progesifitas,keluhan yang menyertai, pekerjaan ,keluarga , kebiasaan
merokok, minum kopi atau alkohol, hobi atau aktifitas diluar pekerjaan,penyakit
yang pernah diderita atau yang sedang diderita.alergi,lingkungan tempat tinggal
dan lain-lain.
b. Pemeriksaan fisik

1) Radang

Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis, membengkak,


terutama diatas dan dibawah pita suara. Biasanya terdapat tanda radang
akut di hidung, atau sinus paranasal. Pada laryngitis kronis yang
penyebabnya akibat TBC bisa terdapat ulkus yang terjadi karena tuberkel
yang pecah di mukosa laring. Dapat juga disertai tanda deviasi septum
yang berat, polip hidung sesuai dengan penyebabnya.

2) Neoplasma

Pada pemeriksaan fisik dengan nodul pita suara terdapat nodul di pita
suara sebesar kacang hijau atau lebih kecil berwarna keputihan, predileksi
nodul tersebut terletak di sepertiga anterior pita suara dan sepertiga medial.
Nodul biasanya bilateral, banyak dijumpai pada wanita dewasa muda.
Polip pita suara biasanya bertangkai, terletak di sepertiga anterior,
sepertiga tengah, bahkan dapat mengenai seluruh pita suara. Lesi biasanya
unilateral, dapat terjadi pada segala usia dan umumnya pada orang dewasa.

3) Paralisis otot laring

4) Paralisis pita suara merupakan kelainan otot intrinsic laring yang sering
ditemukan dalam klinik. Dalam menilai tingkat pembukaan rimaglotis
dibedakan dalam 5 posisi pita suara, yaitu posisi median (kedua pita suara
berkisar 3-5 mm), posisi paramedian, posisi intermedian (kedua pita suara
berkisar 7 mm), posisi abduksi ringan (pembukaan pita suara kira-kira 14
mm) dan posisi abduksi penuh (pembukaan pita suara berkisar 18-19 mm).

14
gambaran posisi pita suara dapat bermacam-macam tergantung dari otot
mana yang terkena, penggolongan menurut lokasi misalnya paralisis
unilateral atau bilateral. Menurut jenis otot yang terkena dikenal paralisis
abductor, sedangkan menurut jumlah otot yang terkena, paralisis sempurna
atau tidak sempurna.
c. Pemeriksaan penunjang
Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis, mencari
penyebab, seperti pemeriksaan laringoskopi indirek, maupun direk. Menggunakan
teleskop laring baik yang kaku (rigid telescope) atau serat optic (fiberoptic
telescope). Penggunaan teleskop ini dapat dihubungkan dengan alat video
sehingga akan memberikan gambaran laring yang lebih jelas dalam keadaan statis
maupun dinamis, selain itu dapat dilakukan dokumentasi hasil pemeriksaan untuk
tindak lanjut hasil pengobatan. Visualisasi laring dan pita suara secara dinamis
akan lebih jelas dengan menggunakan stroboskop, dimana gerakan pita suara
dapat diperlambat sehingga dapat terlihat getaran pita suara. Terkadang diperlukan
pemeriksaan laring secara langsung untuk biopsi tumor, secara langsung dapat
menggunakan teleskop atau mikroskop. Pemeriksaan lainnya seperti darah
lengkap, foto Rontgen thoraks, sinus paranasal, dan patologi anatomi.

8. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan disfonia sesuai dengan kelainan atau penyakit yang menjadi


etiologinya. Terapi dapat medikamentosa, vocal hygiene, terapi suara dan terapi bicara juga
tindakan operatif

1. Radang akut

Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari. Menghirup udara lembab.
Menghindari iritasi pada laring dan faring misalnya merokok, makan makanan yang
pedas, atau minum es. Antibiotik dapat diberikan, bila terdapat sumbatan laring dapat
dilakukan pemasangan pipa endotrakea atau trakeostomi.

15
2. Radang kronis

Dapat diberikan pengobatan sesuai dengan penyebabnya, missal pada TBC, maka
diberikan antituberkulosis primer dan sekunder. Atau penyebabnya sinusitis, maka
dapat diberikan antibiotik, analgetik, mukolitik

3. Neoplasma

Seperti pada nodul pita suara dapat dilakukan penanggulangan awal yaitu istirahat
bicara dan terapi suara. Tindakan bedah mikro dapat dilakukan apabila ada kecurigaan
keganasan atau lesi fibrotik, nodul dapat diperiksa ke bagian patologi anatomi.
Sedangkan pada polip pita suara dilakukan penanganan standar yaitu bedah mikro
laring dan pemeriksaan patologi anatomi. Juga pada kista pita suara dilakukan bedah
mikro laring.

4. Paralisis pita suara

Pengobatan pada kelumpuhan pita suara adalah terapi suara dan bedah pita suara.
Pada umumnya terapi suara dilakukan terlebih dulu, sedangkan tindakan bedah pita
suara dapat dilakukan tergantung pada beratnya gejala, kebutuhan suara pada pasien,
posisi kelumpuhan pita suaradan penyebab kelumpuhan tersebut.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan
kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat organik maupun
fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala
penyakit atau kelainan pada laring.
Disfonia dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab, dapat berupa radang,
neoplasma, paralisis otot-otot laring, kelainan lain seperti sikatrik pasca operasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
penunjang. Penatalaksanaan yang diberikan berdasarkan etiologi yang mendasari
disfonia tersebut.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Arsyad Efiaty,Iskandar Nurbaity dkk Ed, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Ketujuh. Balai Penerbit FK UI : Jakarta, 2012.
th
2. Adam GL, Boied LR, Hilger PA. Boeies Fundamental of Otolaringology.5 Edition
Philadelphia : WB Saunder. 1978.
3. Medlineplus.Hoarseness.Available at
www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003054.htm. last update 23rd November
2010.
4. Moore KL, Agur AM. Essential Clinical Anatomy. Williams and Wilkins : Toronto.
1996. p 433-37.
5. Bastian RW, Thomas JP. Do talkativeness and vocal loudness correlate with laryngeal
pathology? A study of the vocal overdoer/underdoer continuum. J Voice. 2016;30:557-
62.
6. Byeon H, Lee Y. Laryngeal pathologies in older Korean adults and their association
with smoking and alkohol consumption. Laryngoscope. 2013;123:429-33.
7. Huang DY,Yang WY, Yu P, He Y, Han DY. Case-control survey on risk factors of
benign vocal fold lesions. Chinese Journal of Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. 2008;43:120-4.
8. Ruiz R, Achlatis S, Sridharan S, Wang B, Fang Y, Branski RC, dkk. The effect of
antireflux therapy on phonomicrosurical outcomes: a preliminary retrospective study. J
Voice. 2014;28:241-4. 23. Jensen JB, Rasmussen N. Phonosurgery of vocal fold
polyps, cyst and nodules is beneficial. Danish Medical Journal. 2013;60:A4577.
9. Chung JH, Tae K, Lee YS, Jeong JH, Cho SH, Kim KR, dkk. The significance of
laryngopharyngeal reflux in benign vocal mucosal lesions. Otolaryngol Head Neck
Surg. 2009;141:369-73.
10. Yuwono N, Novita S. Nodul pita suara (Singer’s nodes). CDK-217. 2014;41:428-31.

18

Anda mungkin juga menyukai