Anda di halaman 1dari 24

Medicine

Just another WordPress.com weblog

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan oleh
kelainan pada organ–organ fonasi, terutama laring baik yang bersifat organik maupun
fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau
kelainan pada laring. Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan
dalam ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri dan
kanan akan menimbulkan disfoni.2

Keluhan gangguan suara tidak jarang ditemukan dalam klinik. Gangguannya dapat berupa
suara terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara lemah
(hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spatik), suara terdiri dari
beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan mencapai
nada atau intensitas tertentu.2

Penyebab disfonia dapat bermacam-macam yang prinsipnya menimpa laring dan sekitarnya.
Penyebab paling sering disfoni umumnya adalah infeksi pada tenggorok, biasanya karena
infeksi saluran nafas atas, lesi jinak pita suara dan gangguan suara fungsional. Perlu
diwaspadai apabila suara serak lebih dari 2 minggu harus segera diperiksakan untuk menilai
gangguan pada pita suara.1,2,3

Disfoni akibat gangguan neurologis dibagi dalam dua sub bagian, yaitu gangguan
neurologis sentral dan gangguan neurologis perifer. Penyebab sentral antara lain: posterior
fossa malformations, hidrosepalus, meningomyelocele, syringomyelia, demyelinating
myopathies, neuro degenerative disorders, stroke, tumor, encephalitis, dan trauma kepala. 5

1.2 Batasan Masalah

Clinical science session ini membahas mengenai anatomi dan fisiologi laring, mekanisme
fonasi (pembentukan suara), definisi, klasifikasi dan etiologi, diagnosis serta penatalaksanaan
pada disfonia akibat gangguan neurologis.
1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui anatomi dan fisiologi laring, mekanisme fonasi (pembentukan suara), definisi,
klasifikasi dan etiologi, diagnosis serta penatalaksanaan pada disfonia akibat gangguan
neurologis.

1.4 Metode Penulisan

Clinical science session ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan kelainan
pada organ–organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat organik maupun fungsional.
Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau kelainan
pada laring. Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan dalam
ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri dan kanan akan
menimbulkan disfoni.2

Gangguan suara dapat berupa suara parau (hoarseness), suara terdengar


kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara lemah (hipofonia), hilang
suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spatik), suara terdiri dari beberapa nada
(diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan mencapai nada atau
intensitas tertentu.2

2.2.1. Anatomi larynx

Larynx adalah organ khusus yang mempunyai sphincter pelindung pada pintu masuk jalan
nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di atas larynx terbuka ke dalam
laryngopharynx, dan di bawah larynx berlanjut sebagai trachea.6
Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis terdiri
dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan
ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik
memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi,
konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal unik pada neonatus.7

Kerangka larynx dibentuk oleh beberapa kartilago, yang dihubungkan oleh membrana dan
ligamentum serta digerakkan oleh otot. Larynx dilapisi oleh membrana mukosa. Cartilago
thyroidea terdiri atas dua lamina cartilago hyalin yang bertemu di garis tengah pada tonjolan
sudut V, yaitu jakun (Adam’s apple). Pinggir posterior dari setiap lamina menjorok ke atas
membentuk cornu superior dan ke bawah membentuk cornu inferior. Pada permukaan luar
setiap lamina terdapat linea obliqua sebagai tempat lekat m.sternothyroideus, m.thyroideus,
dan m.constrictor pharyngis inferior.6

Cartilago cricoidea berbentuk cincin cartilago yang utuh. Bentuknya mirip cincin cap dan
terletak di bawah cartilago thyroidea. Cartilago ini mempunyai arcus anterior yang sempit
dan lamina posterior yang lebar. 6

Cartilago arytenoid merupakan cartilago kecil, dua buah, dan berbentuk pyramid. Keduanya
terletak di belakang larynx, pada pinggir atas lamina cartilago cricoidea. Cartilago corniculata
adalah dua buah nodulus kecil yang bersendi dengan apex cartilaginis arytenoid dan
merupakan tempat lekat plica aryepiglottica.6

Cartilago cuneiformis merupakan dua cartilago kecil berbentuk batang yang terletak
sedemikian rupa sehingga masing-masing terdapat di dalan satu plica aryepiglottica.
Cartilago ini berfungsi menyokong plica tersebut. Epiglottis adalah sebuah cartilago elastis
berbentuk daun yang terletak di belakang radix linguae. 6

ADITUS LARYNGIS.6

Aditus laryngis menghadap ke belakang dan atas ke arah laryngopharynx. Pintu ini dibatasi di
depan oleh pinggir atas epiglotis; di lateral oleh plica aryepiglotica, yaitu lipatan membrana
mukosa yang menghubungkan epiglotis dengan cartilago arytenoid; dan di posterior dan
bawah oleh membrana mukosa yang terbentang antara kedua kartilago arytenoid. Kartilago
corniculata pada apex cartilaginis arytenoid dan cartilago cuneiformis yang berbentuk batang
kecil, menyebabkan pinggir atas plica aryepigoticca kanan dan kiri sedikit meninggi.

CAVITAS LARYNGIS. 6

Cavitas laryngis terbentang dari aditus sampai ke pinggir bawah cartilago cricoidea, dan
dapat dibagi menjadi tiga bagian:

(1) Bagian atas atau vestibulum


(2) Bagian tengah

(3) Bagian bawah

OTOT-OTOT LARYNX. 6

Otot-otot dapat dibagi dalam dua kelompok: .

(1) Otot-otot ekstrinsik

Otot-otot ekstrinsik dapat dibagi dalam dua kelompok yang berlawanan, yaitu kelompok
elevator larynx dan depresor larynx. Larynx tertarik ke atas selama proses menelan dan ke
bawah sesudahnya. Karena os hyoideum melekat pada cartilago thyroidea melalui
membrana thyrohyoidea, gerakan os hyodeum akan diikuti oleh gerakan larynx.

Otot-otot elevator larynx meliputi m.digastricus, m.stylohyoideus, m.mylohyoideus, dan


m.geniohyoideus. m.stylopharyngeus, m.salphingo-pharyngeus, dan m.palatopharyngeus
yang bernsersio pada pinggir posterior lamina cartilaginis thyroidea juga mengangkat larinx.

Otot-otot depresor larynx meliputi m.sternothyroideus, m.sternohyoideus, dan


m.omohyoideus. kerja otot-otot ini dibantu oleh daya pegas trachea yang elastis.

(2) Otot-otot intrinsik

Otot-otot intrinsik dapat dibagi menjadi dua kelompok: kelompok yang mengendalikan aditus
laryngis dan kelompok yang menggerakkan plica vocalis.

Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare, maka
terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita suara palsu). Bidang
antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glotis, sedangkan antara kedua plika
ventrikularis disebut rima vestibuli.8

Gambar 1. Anatomi Laring 15

Gambar 2. Anatomi Laring 16, 17


Gambar 3. Anatomi pita suara18

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringis superior dan n. laringis
inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. 3 Saraf sensorik
yang mempersarafi membrana mukosa larynx di atas plica vocalis berasal dari n.laryngeus
internus, cabang dari n.laryngeus superior (cabang n.vagus). di bawah plica vocalis,
membrana mukosa dipersarafi oleh nervus laryngeus reccurens. 6

Saraf motorik ke otot-otot intrinsik larynx berasal dari n.laryngeus recurrens, kecuali
m.cricothyroideus yang dipersarafi oelh ramus laryngeus externus dari n.laryngeus superior
(n.vagus). 6

Nervus laringis superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada


mukosa laring dibawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak diatas m. konstriktor faring
medial, disebelah medial a.karotis interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor
tulang hioid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi
diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus.2

Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m. konstriktor faring inferior dan menuju ke
m krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m. Tirohioid terletak disebelah medial
a. tiroid superior, menembus membran hiotiroid dan bersama-sama dengan a. laringitis
superior menuju ke mukosa laring.2

Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n. rekuren setelah saraf itu memberikan
cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang dari n.vagus.2

Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan dibawahnya, sedangkan n. rekuren
kiri akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantar cabang-cabang
a.tiroid inferior dan melalui dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai
pada permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini
bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan
n.laringis superior ramus internus.2

Gambar 4. Persarafan dan Vaskularisasi Laring 19

Gambar 5. Anatomi nervus laringeus rekuren kiri20


Gambar 6. Anatomi nervus laringeus rekuren kiri 11

Vaskularisasi laring dibedakan menjadi dua bagian, yakni laring bagian atas divaskularisasi
oleh a. carotis eksterna, a. tiroid superior dan a. laringeus superior, sedangkan laring bagian
bawah divaskularisasi oleh a. subclavia, a. tirocervical, a. tiroid interna, dan a. laringeus
inferior.8,9

Suplai arteri ke setengah bagian atas larynx berasal dari ramus laryngeus superior
a.thyroidea superior. Setengah bagian bawah larynx didarahi oleh ramus laryngeus inferior
a.thyroidea inferior. Pembuluh limfe bermuara ke dalam nodi lymphoidei cervicales profundi. 6

2.2.2 Fisiologi Laring

Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi, yang menyatukan trakea dan
bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Laring berfungsi dalam kegiatan
sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks. Sebagian besar otot-otot laring adalah
adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m. krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor
pada laring adalah untuk mencegah benda-benda asing masuk ke dalam paru-paru melalui
aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai katup untuk mencegah udara keluar dari
paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan intra thorakal yang dibutuhkan untuk
batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam menghasilkan suara, dengan mengeluarkan
suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang
menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh jumlah udara yang menggetarkan plika
vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot
fasial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.7

2.2.3 Mekanisme Fonasi (Pembentukan Suara)

Sistem pembentukan suara secara fisiologis merupakan suatu fenomena aerodinamik dan
proses akustik yang sangat komplek.Tahapan pembentukan suara antara lain3:

1. Aliran udara (Airstream/ Airflow) dari paru

Berfungsi sebagai tenaga pengaktif suara. Fungsi paru yang baik sangat diperlukan untuk
mendukung proses pembentukan suara yang normal, karena pada saat fonasi akan terjadi
penutupan rima glotis oleh pita suara, sehingga aliran udara dari paru tertahan di subglotis.
Akibatnya perbedaan tekanan udara di atas dan di bawah glotis cukup tinggi, sehingga
terjadi getaran (vibrasi). Tingginya tekanan udara di subglotis yang akhirnya melewati celah
glotis pada saat pita suara membuka (abduksi) secara tiba- tiba akan menentukan intensitas
energi suara yang akhirnya keluar melalui ronga mulut. Bila ingin menghasilkan suara
dengan volume keras maka harus melakukan inspirasi dan ekspirasi maksimal, agar terjadi
tekanan udara yang tinggi di subglotis.

Gambar 7. Proses Fonasi 4

1. Getaran pita suara yang berfungsi sebagai generator suara

Pada keadaan istirahat pita suara dalam keadaaan abduksi dengan jarak antara pinggir
lateral ke median 8 mm. Pada saat fonasi, terjadi kontraksi dari otot-otot intrinsik laring
seperti m.krikotiroid dan m.krikoaritenoid lateral dengan cara menarik kartilago aritenoid ke
arah medial, sehingga terjadi penutupan rima glotis (adduksi), karena pita suara kanan dan
kiri saling merapat. Bila pita suara menjadi tipis, kaku, dan panjang maka akan menghasilkan
suara tinggi. Sebaliknya pita suara tebal, kendor dan pendek, maka akan menghasilakan
suara yang rendah.

1. Resonansi suara dibentuk oleh perubahan ukuran dan bentuk laring dan
rongga mulut

Frekuensi dan energi suara sangat lemah, maka diperlukan organ resonansi untuk
memperkuatnya, yaitu dengan cara kontraksi otot-otot konstriktor faring dan perubahan
posisi lidah, sehingga suara yang dihasilkan berubah ubah sesuai dengan kebutuhan.
Resonansi juga dipengaruhi oleh rongga hidung dan sinus paranasal.

1. Koordinasi dan kontrol diatur oleh susunan saraf pusat dan saraf tepi

Koordinasi ini sangat diperlukan mengingat pembentukan suara tidak hanya melibatkan otot-
otot laring, tetapi juga otot-otot diafragma, dada, leher, dasar mulut, dan palatum.

Gambar 8. Organ yang terlibat dalam proses fonasi 11

Suara dihasilkan oleh pembukaan dan penutupan yang cepat dari pita suara, yang dibuat
bergetar oleh gabungan kerja tegangan otot dan perubahan tekanan udara yang cepat.
Tinggi nada terutama ditentukan oleh frekuensi getaran pita suara.9

Mekanisme fonasi terdiri dari tiga subsistem, yakni sistem respirasi (tekanan udara), sistem
fonasi (vibrasi) dan sistem resonansi. Masing-masing subsistem memiliki bagian yang
berbeda dan peran tertentu dalam menghasilkan suara. Ketiga subsistem fonasi dijelaskan
pada tabel 1.10

Tabel 1. Subsistem Fonasi 10


Subsistem Organ Suara Peranan dalam Produksi Suara
Sistem tekanan
udara

(air pressure system)Diafragma, otot dada, costa, otot abdomen, paru-paruMenghasilkan dan
meregulasi tekanan udara sehingga mengakibatkan plica vocalis bergetarSistem vibrasi

(vibratory system)Laring

Plica vocalisPlica vocalis bergetar, mengubah tekanan udara menjadi gelombang suara, yang
digambarkan sebagai suara dengungan (buzzy sound) dengan nada yang bervariasiSistem
Resonansi

(Resonating system)Traktus vokalis: faring, cavitas oral, pasase nasalMengubah suara


dengungan menjadi suara yang dapat dipahami

Gambar 9. Subsistem Fonasi 20

2.3 Klasifikasi dan Etiologi5

Pembagian disfoni :

1. Kelainan fungsional
2. Kelainan organik: gangguan neurologis sentral dan perifer
3. Kelainan sistemik

2.3.1. Disfoni akibat gangguan neurologis sentral5

2.3.1.1 Arnold-Chiari Malformations

Malformasi Arnold-Chiari adalah deformitas fossa posterior yang paling penting, terdiri dari
empat jenis, dan Chiari I dan II paling sering ditemui. Pasein dengan Chiari I mengalami
herniasi serebelum tonsil 5 mm di bawah foramen magnum tanpa malformasi otak lainnya.
Angka kejadiannya 1% dan dapat menyebabkan kompresi batang otak dan reflek vagal.

Gejalanya sering tidak berkembang sampai masa dewasa, meliputi nyeri kepala tussive
(tekanan intrakranial meningkat), perubahan visual, sinkop, pusing, disfagia dan suara serak,
tidak ada refleks muntah, dan ataksia. Tingginya insiden terlihat dari kaitannya dengan
syringomyelia (kavitas dari bagian tengah tulang belakang biasanya di daerah servikal).
Pada Chiari II, fossa posterior ukurannya kecil dan serebelum, pons, dan medulla berpindah
ke berbagai tingkatan ke dalam kanal servikal. Bayi dengan disfungsi batang otak, termasuk
kesulitan menelan, makan lambat, aspirasi berulang, dan kesulitan bernafas (misalnya,
apnea dan stridor) dari paresis pita suara. Anak-anak dan orang dewasa mungkin memiliki
kelemahan ekstremitas, perubahan sensorik, dan kesulitan menelan. Pada pasien tertentu,
bedah dekompresi fosa posterior akan memungkinkan pemulihan neurologis.

2.3.1.2 Multiple Sclerosis

Multiple sclerosis (MS) adalah demielinasi mielopati ditandai dengan defisit sensorik dan
motorik yang timbul dan berulang. Masalah penglihatan (misalnya, kabur mendadak atau
kehilangan penglihatan pada satu mata menunjukkan terjadinya neuritis optik), mati rasa,
dan kelemahan ekstremitas umum dijumpai. Hampir 50% pasien dengan MS memiliki
keluhan yang berada dalam bidang otolaryngologist, termasuk vertigo, tremor,
scanning (bicara diperlambat dengan penekanan yang sama ditempatkan pada semua suku
kata), dan disfagia. Insiden puncak antara usia 20 dan 40 tahun, dimana wanita terkena dua
kali lebih sering daripada pria. Eropa Utara dan Amerika Serikat bagian utara memiliki
prevalensi tertinggi, dengan lebih dari 30 kasus per 100.000 orang. Kecenderungan genetik
diusulkan oleh studi kembar, dan kejadian familial langka dikaitkan dengan antigen HLA DR2.
Sebagian besar bukti mendukung dasar autoimun untuk penyakit ini.

Secara histologi, daerah fokus demielinasi yang diikuti oleh gliosis reaktif dalam substansia
alba, sumsum tulang belakang, dan saraf optik. Pengobatannya termasuk interferon²,
glatiramer asetat (campuran polimer yang menstimulasi protein dasar mielin), imunoglobulin
intravena (IVIg), kortikosteroid, dan agen sitotoksik. Meskipun belum ada pengobatan
spesifik, setidaknya pemulihan parsial dari episode akut dapat diantisipasi.

2.3.1.3 Parkinson disease

Parkinson disease merupakan gangguan gerakan paling umum di antara pasien lanjut usia,
mempengaruhi hingga 2% orang dengan usia di atas 60 tahun pada semua kelompok etnis
dengan distribusi jenis kelamin yang sama. Hingga 80% pasien menunjukkan kesulitan vokal,
dengan 30% ditemukannya bagian yang paling melumpuhkan dari gangguan tersebut. Gejala
klasik meliputi tremor pill rolling, rigiditas cog-wheel, wajah topeng, tulisan tangan yang
kecil, penurunan kemampuan berkedip, postur tubuh bertekuk dengan gaya berjalan
menyeret, dan pengurangan ayunan lengan.

Penyakit Parkinson adalah penyebab paling umum dari parkinsonism, namun penyebab lain
harus selalu dikecualikan karena mereka memiliki prognosis yang berbeda dan respon yang
berbeda terhadap perawatan medis dan bedah.
Pemeriksaan histologis menunjukkan hilangnya pigmentasi dan sel-sel di substansia nigra,
globus pallidus, dan putamen dengan kehadiran butiran inklusi disebut badan Lewy. Hal ini
umumnya percaya bahwa keseimbangan normal antara antagonis dopamin dan asetilkolin
neurotransmitter terganggu karena menipisnya neuron dopaminergik.

Penyebab sekunder dari penyakit Parkinson termasuk stroke, dan postencephalitic,


paraneoplastic, traumatis (ensefalopati petinju), induksi obat (fenotiazin), dan akibat racun
(pestisida dan obat-obatan seperti MPTP, analog meperidin). Faktor keturunan jarang pada
penyakit ini, biasanya terkait mutasi autosom dominan pada 4q21 dan mutasi autosom
resesif gen 6q25.2-Q27.

Parkinsonism plus syndrome à Penting untuk mengidentifikasi gangguan neurodegenerative


lain di mana parkinson adalah fitur karena entitas memiliki neuropathologies berbeda dan
prognosis berbeda, dan memerlukan penanganan yang berbeda. Empat sindrom yang paling
sering ditemukan adalah multisistem atrofi, supranuclear palsy progresif, penyakit body
Lewy difus, dan degenerasi basal ganglionic kortikal, Penting untuk otolaryngologists
berwaspada terhadap atrofi multisistem.

2.3.1.4 Multi System Atrophy

Multisistem atrofi (MSA-Shy Drager Sindrom) merupakan gabungan parkinsonisme dengan


kegagalan otonom dan biasanya bermanifestasi sebagai hipotensi ortostatik berat, Gangguan
pada control sfingter (inkontinensia urin atau tinja), dan impotensi. Banyak pasien menderita
distonia orofacial atau craniocervical terkait dengan karakteristik dysarthria bergetar,
bernada tinggi. Penurunan sensasi dari laryngopharynx dan refleks batuk berkurang dapat
mengakibatkan aspirasi berulang. Imobilitas lipat vokal pada pasien parkinsonisme sangat
sugestif dengan MSA. Stridor inspirasi berkembang pada 30% pasien. Individu-individu ini
mengalami berbagai gangguan tidur, termasuk obstruktif dan sentral sleep apnea,
hipoksemia, tekanan arteri sistemik berupa phasic swing, berkurang REM sleep, dan
gangguan REM sleep behavior. Ketika obstruktif sleep apnea terjadi pada pasien dengan
MSA, ada risiko signifikan terjadi kematian mendadak (6), dan tracheostomy dianjurkan.

2.3.1.5 Wilson Disease

Penyakit Wilson adalah gangguan resesif autosomal dari metabolisme tembaga yang
menimbulkan disfungsi neurologik dan hati. Temuan umum adalah cincin Kayser-Fleisher
(yaitu, bilateral cincin berpigmen cokelat yang berkembang pada perimeter iris sebagai hasil
dari deposisi tembaga). Secara neurologis, keterlibatan yang tidak proporsional dari ganglia
basal dengan kelainan gerakan (tremor, chorea dari tungkai, wajah meringis, kekakuan,
disartria, disfagia, dan ataksia). Pengobatan dengan penisilamin, tembaga-pengkelat agen,
yang terus hidup. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, pasien dapat mengharapkan
pemulihan sempurna atau hampir sempurna.
2.3.1.6 Stroke

Stroke dan penyakit pembuluh darah memiliki efek menghancurkan pada semua aspek
berbicara dan menelan. Arteri serebral media memiliki hubungan yang sangat kuat dengan
berkurangnya kemampuan berbahasa setelah stroke, berdasarkan distribusi ke area
Wernicke dan Broca. Kelumpuhan lipat vokal sebagai akibat langsung dari stroke paling
sering dikaitkan dengan infark batang otak (infark lateral medulla atau sindrom Wallenberg).

2.3.1.7 Laryngeal Dysfunction Following Closed Head Injury

Cedera otak menghasilkan kerusakan difus ke koneksi saraf antara struktur otak interaktif.
Beberapa orang mungkin menderita kelenturan dan hyperfunction laring (7), sedangkan yang
lain mengalami inkompetensi glotal disebabkan oleh paresis atau atrofi lipat vokal sering
diperparah oleh usaha yang buruk. Hypernasality disebabkan oleh insufisiensi velopharyngeal
juga dilaporkan.

2.3.2. Disfoni akibat gangguan neurologis perifer5

Motor neuron disease

2.3.2.1 Bulbar palsy

Bulbar palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan otot yang disediakan oleh inti motor batang
otak lebih rendah, khususnya saraf kranial IX-XII. Saraf trigeminus dan facial dapat terlibat,
tetapi ini tidak semestinya dalam bulba atau medula. Kelemahan rahang, wajah,
sternokleidomastoid (SCM), trapezius, lidah, faring, dan laring yang menonjol, bersama
dengan jatuhnya langit-langit, depresi refleks gag, pengumpulan air liur dalam faring, batuk
yang lemah, dan terbuang, fasiculating lidah. Hal ini dapat terjadi pada berbagai gangguan
termasuk difteri, poliomielitis, myasthenia gravis, distrofi myotonic, botulisme, dan
malformasi Chiari. Bulbar palsy progresif adalah tipe yang berbeda pada onset dewasa dari
penyakit motor neuron yang disebabkan oleh lesi yang mempengaruhi inti motor saraf
cranial.

Pseudobulbar palsy sering sekunder pada multiple lesi vascular bilateral di atas batang otak
tetapi juga dapat disebabkan oleh penyakit motor neuron. Kelemahan otot-otot bulbar
dengan hyperrefleksi (gag hiperaktif dan brisk jaw jerk), menunjukkan penyebab dari upper
motor neuron. Lidah berkontraksi dan kaku dan tidak dapat digerakkan dengan cepat dari sisi
ke sisi. Selain itu, labilitas emosional (menangis atau tawa tanpa alasan), gangguan kognitif
subkortikal, dan disartria dengan tebal, cadel, sulit, dan kadang-kadang muncul artikulasi
peledak. Hypernasalitas bisa ditemukan, namun refleks palatal dan faring jarang. Penting
untuk dicatat bahwa setiap penyakit yang melibatkan jalur corticobulbar dapat menyebabkan
pseudobulbar palsy termasuk MS,neoplasma, ensefalitis, dan penyakit vaskular.
2.3.2.2 Amyotropik lateral sklerosis

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah degenerasi progresif kornu anterior tulang
belakang ,inti saraf kranial di bawahnya, jalur kortikospinal dan kortikobulbar sehingga
muncul defisit neurologis pada Upper Motor Neuron dan Lower Motor Neuron. Onset penyakit
biasanya setelah umur 50 tahun dan bersifat fatal dalam 3-6 tahun setelahnya. Insiden
kejadian pertahun adalah 2/100.000, dengan kejadian pada laki-laki lebih dominan daripada
perempuan. 5% kasus terkait autosom dominan.

Kelemahan otot bulbar merupakan tanda awal pada 20% pasien. Gangguan fungsi lidah
paling sering terjadi, manifestasinya berupa suara serak, disfagi, dan hipersalivasi. Pasien
bisa saja sukar batuk dan bernafas akibat kelemahan bahkan paralisis fungsi respirasi. Gejala
lain dapat berupa kelemahan progresif, atropi, fasikulasi dan hiperreflek otot-otot
ekstremitas. Pada umumnya tidak ada keterlibatan otot-otot ekstraokular mata ataupun
spinkter.

Kerusakan yang sistematik melanda kornu anterior dan jaras kortikobulbar/ kortikospinal,
menimbulkan kelumpuhan yang disertai tanda-tanda LMN dan UMN secara bersamaan.
Terutama pada tahap dini kombinasi tersebut tampak dengan jelas. Atrofi dan fasikulasi pada
otot-otot tenar, hipotenar dan interosea berkombinasi dengan hiperrefleksi dan adanya reflek
patologik. Tetapi pada tahap lanjut tanda-tanda UMN akan lenyap dan hanya tinggal tanda-
tanda LMN saja. Di batang otak, inti-inti saraf motorik terkena proses degeneratif itu,
sehingga otot lidah dan otot-otot menelan lumpuh secara bilateral. Atrofi dan fasikulasi
tampk pada lidah dengan jelas. Namun demikian reflek masseter dapat meninggi dan forced
crying dan forced laughing dapat disaksikan.13

Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit motor neuron, namun terapi percobaan
berbagai jenis nerve growth factor sedang dikembangkan. Terapi simptomatik yang diberikan
dapat berupa antikolinergik untuk hipersalivasi, percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG)
tube, dan trakeotomi dengan menggunakan ventilasi. Motor neuron disease adalah penyakit
progresif dan selalu bersifat fatal dalam 3-6 tahun dengan penyebab kematian paling sering
adalah infeksi pulmonal.

Infective Disorders of Anterior Horn Cells5

2.3.2.3 Poliomyelitis

Poliomielitis disebabkan oleh virus RNA grup picornavirus, sudah jarang di negara
berkembang sejak adanya vaksin. Setelah fase prodromal yang mirip gejala common cold,
terjadi kelemahan asimtris pada bulbar dan otot pernafasan dengan atau tanpa kelemahan
ekstremitas. Tidak ada defisit sensoris. Terapi yang dapat dierikan adalah terapi supportif.
2.3.2.4 Post polio syndrom

Postpolio sindrom terjadi beberapa tahun setelah polio, dengan kelemahan yang makin
meningkat setelah sebelumnya hilang timbul. Penyebab kelemahannya adalah karena
kerusakan pada kornu anterior akibat infeksi polio Terapinya adalah suportif.

2.3.2.5 Neuropathy (Immobility, Paresis, Paralysis)

Paralisis laring terbagi atas 2 tipe: Abduktor dan Adduktor. Paralisis laring disebabkan oleh
kelainan kongenital atau didapat (trauma bedah, trauma non-bedah, keganasan, inflamasi,
neurologik, penyakit lain dan idiopatik) 14,15

Paralisis otot laring dapat disebabkan oleh gangguan persarafan, baik sentral maupun
perifer, dan biasanya paralisis motorik bersama dengan paralisis sensorik. Kejadiannya dapat
unilateral dan bilateral. Lesi intrakranial biasanya mempunyai gejala lain dan muncul sebagai
kelainan neurologik selain dari gangguan suaranya.Penyebab sentral misalnya paralisis
bulbar, siringomielia,tabes dorsalis, multiple sclerosis. Penyebab perifer misalnya tumor
tiroid,struma, pasca strumektomi,trauma leher, tumor esophagus dan mediastinum, penyakit
jantung dengan hipertensi pulmonal,kardiomegali, atelektasis paru, aneurisma aorta dan
arteria subklavikula kanan.

Paralisis pita suara merupakan kelainan otot intrinsik laring yang sering ditemukan di klinik.
Paralisis (kelumpuhan) pita suara adalah terganggunya pergerakan pita suara karena
disfungsi saraf ke otot-otot laring. Hal ini merupakan suatau gejala penyakit bukan
merupakan diagnosis. Kelumpuhan ini dapat kongenital atau didapat. Gambaran posisi
paralisis pada pita suara dapat bermacam-macam tergantung dari otot mana yang terkena.
Saraf laring superior dan inferior bersifat motorik dan sensorik, maka biasanya paralisis
motorik terdapat bersamaan dengan paralisis sensorik pada laring.

Paralisis motorik otot laring dapat digolongkan menurut lokasi, jenis otot yang terkena atau
jumlah otot yang terkena. Penggolongan menurut lokasi, misalnya paralisis unilateral atau
bilateral. Menurut jenis otot yang terkena dikenal paralisis adduktor, paralisis abduktor atau
paralisis tensor. Sedangkan penggolongan menurut jumlah otot yang terkena, paralisis
sempurna atau tidak sempurna.

Kelumpuhan (paralisis) pita suara dapat disebabkan oleh keganasan pada paru, esofagus dan
tiroid. Penyebab lain adalah tindakan pembedahan tiroid. Trauma leher atau kepala juga
menyebabkan kelainan ini. Selain ini aneurism arkus aorta, pembesaran jantung kiri dan
dilatasi arteri pulmonalis dapat menjadi penyebab kelainan ini. Tuberkulosis paru dapat
menjadi penyebab kelumpuhan pita suara karena keterlibatan kelenjar atau jaringan parut di
mediastinum. Kelainan di sentral seperti penyakit serebrovaskuler dapat menyebabkan
kelumpuhan pita suara Pada banyak kasus penyebab tidak diketahui (idiopatik).Gejala
kelumpuhan pita suara didapatkan adalah suara parau, stridor atau bahkan disertai kesulitan
menelan tergantung pada penyebabnya.

Posisi statis dan penampakan dari paralisis pita suara tergantung dari derajat dan permanen
atau tidaknya dari denervasi saraf, dan derajat yang berhubungan dengan atrofi otot dan
persendian serta fibrosis yang terjadi. Paralisis nervus laringeus rekuren unilateral akan
menyebabkan paralisis seluruh nervus otot ekstrinsik (kecuali m.krikoaritenoid) pada sisi
yang sama.

Secara histopatologik pada paralisis pita suara akan menunjukkan atrofi pada bagian otot
pita suara, sehingga terjadi pengurangan massa dan kekakuan pada lapisan tubuh pita suara.
Biasanya bagian penutup luar tidak terpengaruh.

Gejala perseptual (subyektif) yang tersering dari paralisis pita suara unilateral adalah
breathiness (terdengar ada udara lepas, sebab pita suara tidak menutup sempurna,
terdengar suara berbisik atau berdesah) dan hoarseness (suara serak karena kombinasi pita
suara yang ireguler dengan turbulensi lewat pita suara). Presentasi klinis dari paralisis pita
suara tergantung dari posisi pita suara yang paralisis. Terdapat posisi pita suara yang dekat
ke garis tengah (paralisis abduktor) dan paralisis yang menjauhi garis tengah (paralisis
adduktor).

Pada paralisis abductor unilateral, terjadinya cedera pada nervus laringeus rekuren dapat
menyebabkan pita suara terletak dekat dengan garis tengah (posisi median). Sisi pita suara
kontralateral yang sehat akan mengkompensasi dalam usaha untuk tercapainya penutupan
rima glottis agar tidak terjadi disfonia. Pada paralisis adduktor unilateral, posisi pita suara
terletak pada posisi abduksi (lateral/paramedian). Suara akan terdengar lemah
dan breathy (berdesah dengan udara lepas, waku fonasi memendek, volume suara dan tinggi
nada berkurang). Pada pemeriksaan laring tampak kelumpuhan pita suara pada posisi
paramedian. Tidak ada gerakan ke lateral dari pita suara yang lumpuh, dan bentuk tampak
mengelembung ke atas pada fonasi.

Pada kasus yang lama biasanya posisi pita suara terletak di median. Pada pemeriksaan
tampak pita suara yang lumpuh agak atrofi dan letaknya sedikit lebih rendah dari pita suara
yang normal. Aritenoid pada sisi lumpuh, cenderung terletak pada posisi ke depan. Gejala
biasanya tidak jelas, dan suara tetap normal pada pembicaraan. Tetapi, suara yang
memerlukan perubahan tinggi nada yang luas, seperti pada waktu bernyanyi, akan
terganggu. Pada latihan jasmani yang berat akan terdapat stridor dan sesak napas.

Kompensasi terjadi dalam dua bentuk: 1.Pita suara yang normal akan melampaui garis
tengah, mendekati pita suara yang lumpuh. 2.pita suara palsu akan mengambil alih fungsi
fonasi dan fungsi sfingter dan terjadilah disfoni plika ventrikularis.
2.3.2.7 Neuro muscular junction, myastenia gravis

Penyakit otot apapun dapat menyebabkan disfonia jika melibatkan otot-otot laring. Penyakit
otot yang paling umum menyebabkan disfonia adalah miastenia gravis. Ini ditandai oleh
lemahnya dan mudah lelahnya otot lurik khususnya yang dipersarafi oleh nervus kranial
termasuk wajah, oral, palatum dan otot faringeolaringeal. Kelelahan memburuk dengan
kegiatan aktivitas yang berlebihan sampai akhirnya paralisis. Istirahat dapat membuat otot
kembali pulih seperti semula. Miastenia gravis umumnya terjadi pada dewasa muda tapi
dapat muncul pada usia berapa saja.

Miastenia gravis disebabkan oleh imunoglobulin yang bereaksi terhadap reseptor asetilkolin
pada neuromuscular junction. Kelainan ini disebabkan oleh kegagalan transmisi melewati
hubungan myoneural. Miastenia gravis hampir selalu bersamaan dengan keterlibatan
kelainan bulbar atau mata yaitu sekitar 40%.

Gejala yang paling umum adalah diplopia, terjadi pada 90% kasus. Gangguan persendian dan
suara hipernasal sering ditemukan. Kelemahan laring dan faring muncul pada sepertiga
pasien miastenia gravis. Disfonia juga memburuk pada pemakaian suara yang lama dan
berlebihan. Adduksi yang tidak sempurna dari pita suara mengakibatkan sura lemah dan
suara bernafas. Jika abduksi yang terganggu gejala predominan adalah stridor dan dispneu.
Penyakit ini dapat berubah menjadi kegagalan pernafasan. Perbaikan kekuatan otot dengan
pemberian neostigmin atau edrophonium adalah sutau hal yang diagnostik. Steroid dan
asetilkolinesterase inhibitor seperti neostigmin merupakan terapi medis jangka panjang yang
utama pada miastenia gravis.

Penyakit otot apapun dapat menyebabkan disfonia jika melibatkan otot-otot laring. Penyakit
otot yang paling umum menyebabkan disfonia adalah miastenia gravis. Ini ditandai oleh
lemahnya dan mudah lelahnya otot lurik khususnya yang dipersarafi oleh nervus kranial
termasuk wajah, oral, palatum dan otot faringeolaringeal. Kelelahan memburuk dengan
kegiatan aktivitas yang berlebihan sampai akhirnya paralisis. Istirahat dapat membuat otot
kembali pulih seperti semula. Miastenia gravis umumnya terjadi pada dewasa muda tapi
dapat muncul pada usia berapa saja.

Miastenia gravis disebabkan oleh imunoglobulin yang bereaksi terhadap reseptor asetilkolin
pada neuromuscular junction. Miastenia gravis hampir selalu bersamaan dengan keterlibatan
kelainan bulbar atau mata. Gejala yang paling umum adalah diplopia, terjadi pada 90%
kasus. Gangguan persendian dan suara hipernasal sering ditemukan. Kelemahan laring dan
faring muncul pada sepertiga pasien miastenia gravis. Disfonia juga memburuk pada
pemakaian suara yang lama dan berlebihan. Adduksi yang tidak sempurna dari pita suara
mengakibatkan sura lemah dan suara bernafas. Jika abduksi yang terganggu gejala
predominan adalah stridor dan dispneu. Penyakit ini dapat berubah menjadi kegagalan
pernafasan. Perbaikan kekuatan otot dengan pemberian neostigmin atau edrophonium adalah
sutau hal yang diagnostik. Steroid dan asetilkolinesterase inhibitor seperti neostigmin
merupakan terpi medis jangka panjang yang utama pada miastenia gravis.

2.3.2.8 Hyperfunctional Disorders

1. Essential Tremor

Tremor esensial adalah suatu tremor intens yang terjadi lebih banyak pada pasien wanita
dewasa daripada pasien pria, dengan insiden 30% keterlibatan vokal. Oscillatory tangan
gemetar berosilasi dan gerak kepala ritmik merupakan area yang paling banyak terkena.
Gejala-gejala pada vokal terkait dengan tremor pada otot laring, faring, langit-langit lunak,
dan serabut otot leher. Walaupun diperburuk oleh kecemasan, bicara didepan umum, dan
penggunaan telepon, dan dikurangi dengan obat penenang, tremor berbeda dari disfonia
spasmodik dengan ritmisitas dan tampilan disemua tugas pidato. Sebagian besar pasien
dengan tremor esensial diobati dengan agen sistemik; namun, dalam pengalaman kami
tremor suara tidak merespon sebaik tremor kepala atau tangan. Suntikan toksin botulinum
dapat berguna untuk mengurangi amplitudo tremor dengan melemahkan otot yang terkena,
tapi tidak menghilangkan tremor.

1. Tic Disorders

Tik merupakan pergerakan atau vokalisasi tiba-tiba, berulang, cepat, abnormal yang
mengganggu aktivitas normal. Tik dapat ditekan sementara, walaupun hal itu dapat
menyebabkan kecemasan. Tik biasanya diperburuk oleh stres, kemarahan, kegembiraan, dan
dapat dikurangi dengan relaksasi dan tidur. Kelainan tik, suatu diagnosis klinis, sering
menunjukkan respon baik terhadap terapi medis.

Sindrom Gilles de la Tourette adalah suatu kelainan tik onset masa kanak-kanak yang
berasosiasi dengan abnormalitas perilaku (96% pada usia 11). Gangguan kepribadian
kompulsif, gangguan defisit atensi, dan gangguan cemas tampak pada kebanyakan individu
ini. Hanya 10% sampai 20% memiliki koprolalia.

1. Myoclonus

Mioklonus okulopalatolaringofaringeal adalah suatu gangguan umum yang terdiri atas


twitchlike, kontraksi ritmik dari langit-langit lunak, faring, dan laring dengan jumlah satu atau
dua kali kontraksi per detik. Kondisi ini mungkin hanya terjadi pada langit-langit, atau
seluruh laringofaring. Kondisi ini bisa jadi bagian dari gangguan kejang, pasca trauma, atau
disebabkan oleh virus, ensefalopati toksik atau metabolik, dengan perubahan pada nuklei
olivari. Pidato mungkin berombak dengan hipernasalitas intermiten dari disfungsi palatal.
Seringkali, keluhan utama berupa jentikan telinga menetap. Langit-langit dan lipatan vokal
dapat diobati dengan suntikan toksin botulinum untuk mengurangi keparahan kontraksi,
tetapi disfungsi tuba eustachius dan insufisiensi velofaringeal merupakan batasan penting.
Pengobatan sistemik dapat menolong.

1. Voice Disorders

Beberapa gangguan suara terjadi tanpa kelainan anatomis atau saraf dari laring (contoh:
afonia fungsional, muscle tension disfonia, dan gangguan paradoks dari pergerakan pita
suara). Beberapa gangguan disebabkan oleh keadaan laring yang abnormal dan sering terjadi
sebagai kompensasi sementara dari gangguan fungsi laring (laringitis) dimana kondisi laring
tetap abnormal meskipun telah terjadi resousi. Pada kasus yang jarang, kondisi abnormal
mencerminkan manifestasi fisik atau masalah psikososial pasien. Ganggguan ini tidak
merepresentasikan penyakit yang disebabkan saraf tetapi sering muncul dalam diagnosis
banding.

1. Functional Aphonia

Afonia Fungsional (dalam literatur lama hal ini mengacu kepada disfonia psikogenik, tetapi
terminologi ini telah ditinggalkan karena konotasinya tidak sesuai) adalah keadaan suara
yang ditandai oleh kehilangan suara total, meskipun keadaan saraf laring baik. Pemeriksaan
laring pada beberapa pasien menunjukkan respon normal terhadap gerakan non-bicara
(mengendus, batuk, bersenandung), tetapi bila fonasi dicobakan, maka terjadi inkordinasi
dari sistem respirasi dan laring. Pendekatan terapi kepada pasien-pasien yang menderita
afonia fungsional perlu dilakukan secara dini dengan merawat semua kondisi-kondisi medis
komorbid dan usaha terapi wicara oleh professional terkait.

1. Muscle Tension Dysphonia

Muscle tension disfonia adalah gangguan dimana pasien menggunakan otot instrinsik dan
ekstrinsik dari pita suaranya secara hiperfungsional, menyebabkan sesak dan disfonia karena
kekerasan, dan produksi suara bergelombang. Pada pemeriksaan didapatkan pita suara
hiperadduksi dengan disertai kontraksi dari supraglotis (berbeda dengan kontraksi spasmodik
yang terlihat pada disfonia spasmodik). Muscle tension disfonia dapat menjadi keadaan pimer
atau sekunder. Muscle tension disfonia primer dapat terjadi pada individu-individu yang
antusias bersuara atau yang memiliki frekuensi sering dalam bersuara, dan sering
bermanifestasi ISPA atau LFRD. Semua kondisi medis komorbid harus segera ditatalaksanai
denganterapi wicara oleh professional terkait. Muscle tension disfonia sekunder terjadi
disebabkan oleh kompensasi ketidakmampuan glotis. Pertolongan pertama dengan
menangani kondisi patologis glotis yang mendasari (paresis pita suara, atrofi pita suara, lesi
mukosa), dan kemudian menyediakan terapi wicara untuk merehabilitasi biomekanik laring.

1. Paradoxical Vocal Fold Motion Disorder


(Episodic Paroxysmal Laryngospasm)

Pita suara normal mempertahankan pembukaan rima glotis (ruangan atau pembukaan antara
pita suara) saat istirahat, abduksi selama inspirasi dan adduksi saat ekspirasi. PVFMD adalah
sebuah kondisi dimana laring menunjukkan adduksi paradoks pita suara selama
inspirasi. Atenuasi dari komponen inspirasi dari loop flow volume, mengindikasikan obstruksi
jalan nafas ekstra thoraks, bisa dilihat ketika gejala.

Keterangan Gambar:

Loop Flow-volue menunjukkan aliran inspirasi dan ekspirasi dalam liter/ sekon (sumbu y)
terhadap volume dalam liter (sumbu x) selama inspirasi dan ekspirasi paksa.

A. Normal loop flow-volume.

Kurva inspirasi berada di bawah dan berjalan dari kiri ke kanan. Kurva ekspirasi berada di
atas dan melengkapi loop dari kanan ke kiri.

B. Pola obstruksi jalan nafas (seperti stenosis subglotis)

Aliran yang terbatas dan mendatar dari kurva inspirasi dan ekspirasi

C. Pola obstruksi ekstra paru (seperti spasme laring atau PVFMD)

Aliran yang terbatas dan mendatar pada kurva inspirasi, sedangkan kurva ekspirasi tidak
terjadi apa-apa. Pola ini hanya terlihat saat pasien dalam gejala.

PVFMD kebanyakan terdapat pada individu yang berumur 10-40 tahun yang berprestasi
tinggi, berpendidikan, dan kompetitif dalam karirnya. Gangguan kecemasan tingkat tinggi
terlihat pada populasi ini.

Pada orang dewasa, gangguan dominan ditemukan pada wanita, tetapi perbedaan jenis
kelamin tidak terlalu berpengaruh pada anak-anak dan remaja (16). Selain itu 60% insiden
asma menyertai, yang semakin merumitkan diagnosis dan pengobatan(17). Pasien
menunjukkan bermacam-macam gejala, termasuk batuk, mengi, dispnea, suara parau, kaku
tenggorokan, dan stridor. Beberapa individu memiliki riwayat gangguan respirasi berulang,
pernah dilakukan intubasi atau trakeotomi, evaluasi yang tidak diketahui penyebab patologi
yang tepat. Pertanyaan penting untuk ditanyakan adalah apakah pasien kesulitan menarik
nafas (PVFMD) atau mengeluarkan nafas (asma), dan merasa tercekik pada bagian
tenggorok yang berhubungan dengan disfonia (PVFMD)

Manajemen utama termasuk perawatan terhadap kondisi medis komorbid, seperti


laryngopharyngeal reflux (LFR), alegri, dan asma, dalam hubungannya dengan terapi wicara
yang sesuai. Heliox dan tekanan udara positif perbaikan jalan nafas, yang berhubungan
dengan mengurangi kecemasan dan penenang, dapat membantu mengurangi gangguan
bernafas selama serangan akut. Terapi wicara termasuk teknik pernafasan dada dan perut
dengan terengah-engah dan endusan untuk mendorong abduksi pita suara. Laringoskopi juga
telah digunakan.

2.4 DIAGNOSIS

2.4.1. Anamnesis

Anamnesis meliputi keluhan gangguan suara, lamanya keluhan, progesifitas, riwayat keluhan
sebelumnya (penggunaan suara berlebih), keluhan yang menyertai (sesak nafas, batuk),
pekerjaan, riwayat keluarga, kebiasaan merokok, minum kopi atau alkohol, riwayat penyakit
lain yang pernah diderita (trauma, kehamilan), riwayat penyakit sistemik yang berhubungan
(tuberculosis), alergi dan lingkungan tempat tinggal.8

2.4.2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

1. Pemeriksaan umum (status generalis)

2. Pemeriksaan fisik: telinga, hidung dan tenggorok, daerah leher dan


dada

1. Pemeriksaan laringoskopi tak langsung à untuk melihat laring melalui


kaca laring atau dengan menggunakan teleskop laring, baik yang kaku
(rigid telescope) atau serat optik (fiberoptic telescope). Penggunaan
teleskop ini dapat dihubungkan dengan alat video sehingga
memberikan visualisasi laring yang lebih jelas.8, 12

Dengan pemeriksaan ini dapat dinilai kondisi anatomis, pergerakan, dan posisi pita suara
pada saat respirasi dan fonasi.Pada kelumpuhan pita suara akibat paralisis nervus laringeus
rekuren dapat terlihat pita suara lemah dan tak bergerak.3

Visualisasi laring dan pita suara secara dinamis akan lebih jelas dengan menggunakan
stroboskopi dimana gerakan pita suara dapat diperlambat (slow motion) sehingga dapat
terlihat getaran (vibrasi) pita suara dan gelombang mukosa (mucosal wave). Dengan
bantuan alat canggih ini diagnosis anatomi dan fungsional menjadi lebih akurat. 8, 12

Dengan memeriksa ada tidaknya gelombang mukosa, onset munculnya serta berapa besar
kecepatan gelombang yang terjadi. Sercarz melaporkan asimetris pada gelombang mukosa,
terutama ditemukan pada paralisis nervus vagus diikuti paralisis pada nervus laringeus
rekuren dan selanjutnya pada paralisis pada nervus laringeus superior.3
1. Analisis suara à dapat dilakukan secara subjektif dengan metode GRBAS
yaitu dengan mendengarkan suara dan menilai derajat penyimpangan
(grade of deviance), kekasaran (roughness), keterengahan/desahan
(breathiness), kelemahan (astenitas), dan kekakuan (strain). Saat ini
juga telah berkembang analisis akustik dengan menggunakan program
komputer, seperti CSL (Computerized Speech Laboratory), Multispeech,
ISA (Intelegence Speech Analysis), dan MDVP (Multi Dimensional Voice
Program).8, 12

Rough voice adalah suara kasar dan bernada rendah, biasanya disebabkan oleh adanya
massa yang mengganggu getaran (vibarasi) pita suara seperti adanya tumor atau kelainan
yang terdapat pada pita suara. Breathy voice adalah suara yang terdengar seperti kering,
mendesah, terengah engah, berbisik biasanya dihubungkan dengan penutupan pita suara
yang tidak sempurna.Voice strain adalah suara yang kaku, tegang, sulit dikeluarkan sehingga
nada yang terdengar terputus -putus, pendek dan bergetar (tremor). Astenitas adalah suara
yang lemah disebabkan oleh rendahnya tekanan subglotis yang disebabkan oleh kebocoran
celah glotis atau lemahnya tenaga generator yang diaktifkan paru.3

Pemeriksaan dapat menilai derajat disfonia berdasarkan metode GRBAS dengan


menggunakan skala ordinal sebagai berikut 3
:

1. Derajat 0 tidak ada disfonia

2. Derajat 1 disfonia ringan

3. Derajat 2 disfonia sedang

4. Derajat 3 disfonia berat

5. Pemeriksaan laringoskopi langsung

Pemeriksaan ini bertujuan untuk biopsi tumor dan menentukan perluasan (staging) atau bila
diperlukan suatu tindakan atau manipulasi bagian tertentu dari laring. Laringoskop langsung
dpaat menggunakan teleskop atau mikroskop (mikrolaringoskop).8, 12

1. Pemeriksaan Elektromiografi

Pemeriksaan ini bersifat invasif dan relatif sulit dikerjakan, karena harus memasukkan
elektroda dengan menembus membrana krikotiroid setinggi glotis. Elektroda tersebut harus
menempel pada otot intrinsik laring seperti m.krikotiroid dan m.tiroaritenoid atau
m.krikoaritenoid lateral. Bila terdapat kelumpuhan nervus laringeus rekuren, akan
terdiagnosis dengan alat ini, karena alat ini dapat menilai status neuromuskuler. 3

1. Pemeriksaan Aerodinamik
Waktu fonasi maksimal adalah waktu terlama seseorang untuk mengucapkan huruf hidup
setelah melakukan inspirasi maksimal. Biasanya menggunakan huruf vokal /a/. Pada laki-laki
dewasa normal waktu yang dibutuhkan lebih dari 20 detik dengan standar deviasi 5,7. Pada
wanita dewasa nilainya adalah lebih dari 15 detik dengan standar deviasi 4,2, sedangkan
pada anak-anak lebih dari 10 detik. Penelitian Soedjak pada pria Indonesia dianggap tidak
normal bila < 8 detik dan pada wanita Indonesia dianggap tidak normal bila <6,4 detik. Hal
ini menunjukkan sangat buruknya aliran udara yang diperlukan untuk siklus fonasi, sehingga
perlu evaluasi dengan pemeriuksaan lanjut seperti foto torak dan fungsi paru untuk
mengetahui etiologi dari kelainan pada paru.3

Pemeriksaan aerodinamik lainnya antara lain berupa rerata kecepatan aliran fonasi (Mean
Phonatory Flow Rate), di mana niali normal untuk dewasa 40-300 ml/ detik, sedangkan pada
anak-anak sebesar 50-170 ml/detik. MPFR yang tinggi di atas 900 ml/detik menggambarkan
adanya paralisis saraf laringeus rekuren.3

1. Pemeriksaan penunjang lain, meliputi pemeriksaan laboratorium,


radiologi (foto leher jaringan lunak), elektromiografi, mikrobiologi, dan
patologi anatomi.8, 12

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

3. 1 Kesimpulan

1. Disfonia adalah setiap perubahan kualitas suara menyangkut nada


maupun intensitasnya, yang ditera secara obyektif maupun secara
subyektif, yang disebabkan adanya gangguan laring secara fungsional
maupun organik yang terletak di sentral maupun perifer. Disfonia bukan
merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala dari suatu
penyakit. Istilah disfoniasendiri dapat merefleksikan kelainan
(abnormalitas) yang letaknya bisa di berbagai tempat di sepanjang
saluran vokalis, mulai dari rongga mulut hingga paru.

1. Aliran udara ( Airstream/ Airflow) dari paru

2. Getaran pita suara yang berfungsi sebagai generator suara

3. Resonansi suara dibentuk oleh perubahan ukuran dan bentuk laring


dan rongga mulut.
4. Koordinasi dan kontrol diatur oleh susunan saraf pusat dan saraf tepi.

2. Laring merupakan batas paling bawah dari saluran napas atas


yang merupakan pintu masuk serta spingter ke saluran napas
bawah. Adanya spingter inilah yang menyebabkan laring
mempunyai proteksi terhadap masuknya bahan makanan atau
minuman ke saluran napas pada proses menelan. Laring terletak
setinggi vertebra servikal III sampai VI, tetapi pada wanita dan
anak-anak biasanya lebih tinggi. Batas atas laring adalah epiglotis
dengan plika ariepiglotika,sedangkan bagian bawahnya adalah
cincin trakea pertama.

3. Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang


menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif
umum. Laring berfungsi dalam kegiatan sfingter, fonasi, respirasi dan
aktifitas refleks.

4. Sistem pembentukan suara secara fisiologis merupakan suatu fenomena


aerodinamik dan proses akustik yang sangat komplek. Tahapan
pembentukan suara adalah:

1. Berdasarkan etiologi, disfonia dibedakan ke dalam 7 bentuk, yakni :

1. Disfonia organik

2. Disfonia fungsional

3. Disfonia spasmodik

4. Disfonia akibat kelainan endokrin

5. Disfonia akibat kelainan sentral

6. Disfonia akibat kelainan muskular

7. Paralisis laring/Paralisis pita suara

8. Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif


dibagi dalam 3 fase yaitu fase akut, fase laten (intermediate) dan fase
kronik (obstruktif).

6. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunujang


dengan lengkap dan teliti.

7. Penatalaksanaan disfonia disesuaikan dengan penyebab yang


mendasarinya. Terapi disfonia meliputi: Terapi medikamentosa, koreksi
bedah dan rehabilitasi.
3. 2 Saran

Suara serak (disfoni) bukanlah suatu penyakit melainkan gejala dari suatu penyakit,
umumnya berhubungan dengan gangguan pita suara. Gangguan pita suara dapat terjadi
karena adanya infeksi pada tenggorok, pemakaian suara yang berlebihan, pertumbuhan
tumor pada pita suara, gangguan saraf pita suara, trauma pada leher akibat benturan dan
infeksi paru-paru.

Penyebab disfonia dapat bermacam-macam yang prinsipnya menimpa laring dan sekitarnya.
Perlu diwaspadai apabila suara serak lebih dari 2 minggu harus segera diperiksakan untuk
menilai gangguan pada pita suara. Diagnosis dini dan penatalaksanaan pada kelainan laring
maupun kelainan pada pita suara sangat penting untuk mencgah gangguan atau kerusakan
yang berat pada pita suara yang dapat menyebabkan afoni.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aldiano, RD, dkk. Penatalaksanaan Suara Serak. Diakses


dari http://www.scribd.com. Tanggal 15 Februari 2010.

2. Hermani, Bambang, dkk. 2007. Disfoni. Dalam Buku Ajar Ilmu


kesehatan THT-KL. Ed.6 Jakarta : FKUI.

3. Aziza, Elissa. 2004. Pemeriksaan Analisis Suara pada Sindrom Ortner.


Dalam Kumpulan Makalah THT Laring-Faring. Departemen THT/FKUI
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

4. Anonim. Understanding the Voice.Diakses


dari http://www.singintune.org. Tanggal akses 15 Februari 2010.

1. Bailey BJ and Pillsburry III HC. 1993. Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. JB Lippincott Co: Philadelphia.

2. Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy. 7th Edition. Littincot William


and Willins : Philadelphia.

3. Bye, MR. Laringomalacia. Diakses dari http://www.emedicine.com.


Tanggal 15 Februari 2010.

1. 8. Soepardi EA, Inskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007.


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher. Edisi 6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
2. Lee KJ. 2003. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Ed.
McGraw Hill: New York.

3. Adam GL, Boies LR, Hilger PA, eds. 1989. Boies Fundamentalis of
Otolaryngology. WB Sounders Co: Philadelphia.

4. Anonim. 2010. Laryngectomy.Diakses


dari http://www.yoursurgery.com. Tanggal akses 15 Februari 2010.

1. Paparella MM, Shumrick DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL.


1991. Otolaryngology. Vol III. 3th Ed. WBSaunders Co:
Philadelphia.

2. Marjono M, Sidarta P. 2006. Neurologi Klinis Dasar.Dian Rakyat :


Jakarta

3. Probst R, Grevers G, Iro H. 2006. Basic Otorhinolaryngology: A


Step-by-Step Learning Guide. Thieme: New York.

4. Sklar, Steve. 2009. Types of Throat Singing With Tips. Diakses


dari http://www.Tranquanghaisworld.blogspot.com. Tanggal 15
Februari 2010.

5. http://www.myspace.com/bonnie4000. Diakses tanggal 15 Februari


2010.

6. Parks, Jeffrey. 2009. Laryngeal Crush. Diakses


dari http://www.ohiosurgery.blogspot.com. Tanggal 15 Februari
2010.

7. Anonim. Normal Laryng (online) Diakses


dari http://www.Voiceandswallowing.com. Tanggal 15 Februari
2010.

8. Coyne, Jerry A. 2009. Why Evolution is True. Diakses


dari http://www.geophagus.wordpress.com. Tanggal akses 15
Februari 2010.

Hermani, Bambang. Disfonia. Diakses dari http://www.repository.ui.ac.id. Tanggal 15


Februari 2010.

This entry was posted on November 4, 2011 at 1:14 pm and is filed under Ilmu Penyakit THT. You can follow any
responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

Anda mungkin juga menyukai