Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

BLOW OUT FRACTURE

Disusun oleh :

Maya Mahardikari 102117080

Pembimbing :

dr. Nova Arianti Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat dengan judul “Hemifacial Spasme”

untuk memenuhi Tugas kepanitraan klinik Ilmu Kesehatan Mata

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr.

Nova Arianti, Sp. M selaku pembimbing klinik yang telah bersedia meluangkan waktunya

untuk membimbing penulis selama mengikuti kepanitraan klinik Ilmu Kesehatan Mata.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu

saran dan kritik sangat diharapkan, guna memperoleh hasil yang lebih baik dalam

menyempurnakan refarat ini. Sehingga refarat ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis

dan pembaca pada umumnya.

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................1

KATA PENGANTAR ..............................................................................................2

DAFTAR ISI .............................................................................................................3

I. PENDAHULUAN ..............................................................................................4

II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................6


A. DEFINISI ........................................................................................................................ 6
B. EPIDEMIOLOGI ............................................................................................................ 6
C. ANATOMI ....................................................................................................................... 6
D. PATOFISIOLOGI ......................................................................................................... 12
E. TANDA DAN GEJALA ................................................................................................ 19
F. PEMERIKSAAN ........................................................................................................... 20
G. PENATALAKSANAAN ................................................................................................ 22
H. KOMPLIKASI ............................................................................................................... 23
I. PROGNOSIS ................................................................................................................. 24

III. KESIMPULAN ................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................26

3
I. PENDAHULUAN

Walaupun mata memiliki sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga orbita,
kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar, refleks memejam dan mengedip, mata masih sering
mendapat trauma dari luar yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak
mata, saraf mata dan rongga orbita. Kerusakan mata akan dapat mengakibatkan atau
memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan. Oleh karena itu perlu
perawatan yang tepat untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih berat dan kebutaan.[1]

Trauma mata dapat terjadi dalam bentuk sebagai berikut:

 Trauma tumpul
 Trauma tembus bola mata
 Trauma kimia
 Trauma radiasi[1]

Trauma mata dapat mengenai jaringan kelopak, konjungtiva, kornea, uvea, lensa,
retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan trauma jaringan
mata. Hal umum yang perlu diperhatikan dalam menghadapai trauma, seperti[1]:

 Fraktur orbita: sakit terutama pada pergerakan mata, penglihatan ganda,


hifema, penglihatan terganggu.
 Laserasi konjungtiva: sakit, merah, rasa kelilipan.
 Laserasi kornea: penglihatan menurun dan sakit
 Abrasi kornea: sakit dan mata berair[1]

Pada trauma wajah, sering terjadi fraktur orbita. Bentuk dan fungsi bola mata
tergantung integritas dari tulang dan jaringan lunak orbita. Trauma tumpul pada bola mata
atau tulang – tulang orbita, dapat mematahkan tulang tipis dasar orbita.[5]

4
5
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Blow out fracture atau fraktur dasar orbita adalah trauma yang menyebabkan
displacement dari tulang orbita, orbital tissue dan bulbus oculi ke arah luar dari rongga orbita
yang dapat menyebabkan enophtalmus dan dipoplia, yang merupakan akibat tekanan
hidraulik pada bola mata dan dapat berupa tekanan mendadak bola mata.

B. EPIDEMIOLOGI
Fraktur dasar orbita sendiri atau dikombinasikan dengan fraktur tulang fasial lain
merupakan fraktur terbanyak pada fraktur midfasial. Frekuensi dari fraktur dasar orbital
tergantung dari demografi dan kondisi sosioekonomi.[2]

C. ANATOMI
Orbita secara skematis digambarkan seperti piramid berdinding empat yang
berkonvergensi ke arah belakang. Orbita berbentuk buah pir, dengan nervus optikus sebagai
tangkainya. Lingkaran anterior lebih kecil sedikit daripada lingkaran di bagian dalam
tepinya.[3]
Volume orbita dewasa kira – kira 30 cc dan bola mata hanya menempati sekitar
seperlima bagian ruangnya. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Orbita
berhubungan dengan sinus frontalis di atas, sinus maksilaris di bawah, dan sinus ethmoidalis
serta sphenoidalis di medial.[3]
Dasar orbital yang tipis mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata,
berakibat timbulnya fraktur blow out dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris.
Infeksi dalam sinus ethmoidalis dan sphenoidalis dapat mengikis dinding medialnya yang
setipis kertas (lamina papyracea) dan mengenai isi orbita. Defek pada atapnya (misalnya
neurofibromatosis) dapat berakibat terlihatnya pulsasi pada bola mata yang berasal dari
otak.[3]
Dinding orbita
Atap orbita terutama terdiri dari facies orbitalis ossis frontalis. Kelenjar lakrimal
terletak di dalam fossa lakrimalis di bagian anterior lateral atap. Di posterior, ala parva ossis
sphenoidalis yang mengandung kanalis optikus, melengkapi atapnya.[3]

6
Dinding lateral dipisahkan dari atap orbita oleh fisura orbitalis superior, yang
memisahkan ala parva dan ala magna ossis sphenoidalis. Bagian anterior dinding lateral
dibentuk oleh facies orbitalis ossis zygomatici (malar). Tulang ini adalah bagian terkuat dari
tulang orbita.[3]

Dasar orbita dipisahkan oleh dinding lateral oleh fisura orbitalis inferior. Ossis
maksilaris membentuk daerah sentral yang luar pada dasar orbita dan merupakan daerah yang
paling sering terjadi fraktur. Pars frontalis ossis maksilaris di medial dan os zygomaticum di
lateral melengkapi tepian inferior orbita. Processus orbitalis ossis palatini membentuk
segitiga kecil pada dasar posterior.[3]
Batas dinding medial kurang jelas. Os ethmoidalis yang setipis kertas menebal ke arah
anterior saat bertemu os lakrimale. Korpus sphenoidale membentuk bagian paling posterior
dari dinding medial, dan prosesus angularis ossis frontalis membentuk bagian atas crista
lakrimalis posterior, bagian bawah crista lakrimalis posterior dibentuk oleh os lakrimalis.

Batas Os pembatas

Atas / superior Os. Frontalis, Ala parva Os. Sphenoidalis

Lateral Os. Frontal, Os. Zigomatikum,


Ala magna Os. Sphenoid

7
Inferior Os. Zigomatikum, Os. Maksila, Os. Palatina

Nasal / medial Os. Ethmoid, Os. Lakrimalis, Os. Maxila

Apeks orbita adalah tempat masuk semua saraf dan pembuluh darah ke mata dan
tempat asal semua otot ekstra okuler kecuali obliqus inferior (fossa lakrimal).[3]
Nervus optikus dan arteri oftalmika berjalan melalui kanalis optikus yang juga terletak
di dalam anulus Zinn, vena oftalmika inferior dapat melalui sembarang bagian fisura orbitalis
superior.[3] Fisura orbita superior di sudut orbita astas temporal dilalui oleh saraf lakrimal (V),
saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saaraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V), abdusen
(VI), dan arteri vena optalmik.[1]

8
Peredaran darah mata
Suplai darah utama orbita dan strukturnya merupakan turunan dari arteri oftalmika
(cabang besar pertama dari arteri karotid interna),cabang ini berjalan di bawah nervus optikus
dan bersama – sama melewati kanalis optikus masuk kedalam orbital. Cabang pertama saat
memasuki orbita (intraorbita) adalah arteri retina sentralis yang memasuki nervus optikus 8 –
15 mm di belakang bola mata. Cabang – cabang lain dari arteri oftalmika antara lain adalah
arteri lakrimalis (yang memperdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata atas), cabang –
cabang arteri muskularis (ke berbagai otot orbita), 2 arteri siliaris posterior longa
(memperdarahi korpus siliaris dan saling beranastomosis satu sama lain ditambah arteri
siliaris anterior dari cabang – cabang muskularis membentuk sirkulus arterialis mayor iris)
arteri siliaris posterior brevis (memperdarahi khoroid dan bagian – bagian nervus optikus),
arteri palpebralis media (ke kedua kelopak mata), arteri supraorbital dan supra trokhlearis.
Vena orbita terutama melalui vena oftalmika superior dan inferior yang juga
menampung darah dari vena – vena vorteks, vena siliaris anterior dan vena retina sentralis.
Vena oftalmika melalui fisura orbitalis superior berhubungan dengan sinus kavernosus dan
melalui fisura orbitalis inferior berhubungan dengan pleksus venosus pterigoideus. Vena
oftalmika superior (dibentuk dari vena supreorbita, supratrokhlear dan 1 cabang vena
angularis) mengalirkan darah dari kulit daerah periorbital. Vena ini membentuk hubungan
langsung antara kulit wajah dengan sinus kavernosus yang potensial fatal bila terkena infeksi
superfisial di kulit periorbital.[3]

9
Otot Penggerak mata
Otot ini menggerakan mata tergantung pada letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi
otot. Terdiri atas 6 otot, yaitu:[4]
 Oblik inferior: pergerakan ke luar dan ke atas mata
 Oblik superior: pergerakan ke dalam dan ke bawah mata
 Rektus lateral: pergerakan ke luar mata
 Rektus medial: pergerakan ke dalam mata
 Rektus superior: pergerakan ke atas mata
 Rektus inferior: pergerakan ke bawah mata

Masing – masing keenam otot sesungguhnya berperan dalam menetapkan letak mata
kurang lebih 3 axis rotasi. Aksi primer otot mata adalah gerakan utama yang dimiliki otot
tersebut terhadap rotasi mata. Efek yang lebih kecil disebut aksi sekunder atau tersier.[3]

[3]

10
Muskulus Rekti
Keempat muskulus rekti mempunyai origo pada anulus Zinn (yang mengelilingi
nervus optikus dan apeks orbita -membentuk seperti cincin-). Mereka disebut sesuai
insersionya ke dalam sklera pada permukaan medial, lateral, inferior, dan superior mata.
Fungsi mata otot – otot tersebut berturut – turut adduksi, abduksi, menurunkan dan
mengangkat mata. Otot – otot itu panjangnya kira – kira 40 mm. Menjadi tendo kira – kira 4
– 9 mm dari titik insersio, lebar 10 mm. Perkiraan jarak dari titik insersio ke limbus kornea
adalah rektus medialis 5 mm, rektus inferior 6 mm, rektus lateralis 7 mm, rektus superior 8
mm.[3]
Muskulus Oblique
Kedua muskulus oblique terutama mengendalikan gerak torsional, ke atas dan ke
bawah.[3]
Oblikus superior (otot mata terpanjang dan paling tipis), origonya diatas medial
foramen optikum dan menutupi sebagian origo muskulus levator palpebra superior. Oblikus
superior berbentuk fusiformis langsing (40 mm) dan berjalan ke anterior berupa tendo ke
trokhlea (katrolnya). Otot ini kemudian melipat balik dan berjalan ke bawah untuk tertambat
berupa kipas kipas pada sklera di bawah rektus superior. Trokhlear adalah struktur bertulang
rawan yang melekat pada os frontal 3 mm di belakang tepian orbita. Tendo oblikus superior
dibungkus selubung sinovial sewaktu menembus trokhlear.[3]
Muskulus obliqus inferior, berorigo pada sisi nasal dinding orbital tepat di belakang
tepian inferior orbita dan lateral dari duktus nasolakrimalis. Ia berjalan di bawah rektus
inferior, kemudian ke bawah muskulus rektus lateral untuk berinsertio pada sklera (ke dalam
segment posterotemporal bola mata sedikit ke daerah makula) dengan tendo pendek. Panjang
muskulus ini 37 mm.[3]
Fascia Otot Mata
Semua otot ekstraokuler dibungkus fascia. Dekat titik insertio otot – otot ini, fascia itu
menyatu dengan kapsula tenon dan kondensasi fasial ke struktur – struktur orbita berdekatan,
berfungsi sebagai ligamen check (membatasi kerja otot mata). Segmen bawah kapsula tenon
tebal menyatu dengan fasia muskulus rektus inferior dan muskulus oblikus inferior
membentuk ligamentum suspensorium bulbi (ligamentum Lock-wood), tempat terletaknya
bola mata.[3]

11
Persyarafan Otot Mata
Nervus okulomotor (III): muskulus rektus medialis, inferior, superior dan obliqus
inferior. Nervus abdusen (VI): muskulus rektus lateralis. Nervus trokhlearis (IV): muskulus
obliqus superior.[3]

D. PATOFISIOLOGI
Fraktur dasar orbita merupakan akibat dari peningkatan yang mendadak tekanan
hidrolik intraorbital. Objek berkecepatan tinggi yang menghantam bola mata dan palpebra
atas mengantarkan energi kinetik ke struktur periorbital. Energi ini menghasilkan tekanan ke
vektor bawah dan vektor regio medial yang biasanya menargetkan ke arah alur infraorbital.
Kebanyakan fraktur muncul di medioposterial yang tipis. Mekanisme Buckling juga
menggambarkan, dengan kecepatan yang tinggi pula dapat hanya terjadi lekukan dasar orbita
tanpa pergeseran isi orbita. Fraktur dasar orbita yang terjadi pada regio medial dapat
mengakibatkan tipe fraktur apapun pada segala ukuran & bentuk. Fraktur ini biasanya terjadi
bila suatu objek tumpul yang lebih besar dari diameter rima orbita seperti tinju, siku, bola
tenis, dan lain – lain. Jika daya dari objek yang lebih kecil dari diameter rima orbita, bola
mata akan ruptur atau isi orbita akan mengalami kerusakan, tanpa terjadi adanya fraktur.[2]

Fraktur Zygomatikum
Fraktur zygomatikum merupakan fraktur ketiga terbanyak dari fraktur tulang fasial.
Dengan 85% terjadi pada laki – laki. Trauma tumpul terutama disebabkan kecelakaan saat
berkendara atau karena olahraga. Fraktur ini sering disebut fraktur trimalar, yang artinya
fraktur zygomatik frontal, zygomatik maxilaris, dan garis sutura zygomatik temporal. Dan
apabila mengenai sutura zygomatik sphenoid, hal ini disebut fraktur quadramalar. Nervus
infraorbital keluar melalui foramen infraorbital pada persambungan zygomatikum dan
maksila. Kerusakan pada nervus ini mengakibatkan hipesthesia pada dagu hingga mengenai
hidung lateral. Dari badan tulang zygomatikum keluar 2 nervus sensoris yaitu zygomatik
frontal dan zygomatik temporal.[6]
Keseluruhan bola mata dapat tertarik ke bawah akibat penempatan kebawah yang
salah dari ligamen suspensorium Lockwood, yang mana menempel ke tuberkel Whitmall
yang berlokasi pada bagian lateral dari prosesus orbital zygoma.[6]

12
[6]

Diagnosa terutama dicapai melalui anamnesa riwayat kejadian sebelumnya dan


pemeriksaan fisik mata. Biasanya pasien mengaku telah terkena pukulan oleh siku pada mata,
terkena lemparan bola pada mata, atau menubruk benda tumpul saat kecelakaan lalu lintas.[6]
Pasien merasa nyeri terlokalisir sekitar mata dan rasa baal yang ipsilateral pada pipi.
Bila terjadi herniasi lemak sekitar orbita, otot rekti inferior dan otot oblique inferior ke sinus
maksila, dapat menghasilkan keluhan diplopia, dan walaupun tanpa herniasi yang terjadi pada
organ – organ tersebut, penempatan yang salah pada bagian inferior sinus zygomatik yang
mengganggu tuberkel Whitnall serta ligamentum Lockwood, akan menyebabkan keluhan
diplopia juga. Trismus (biasanya tidak dapat membuka lebih dari 3 cm) dapat terjadi bila
terjadi spasme terhadap otot masseter dan temporalis bila terjadi kontusio pada area itu.
Epistaxis juga dapat terjadi. Pada inspeksi mata juga dapat tampak, ekimosis periorbital berat,
perdarahan subkonjungtiva akibat robekan pembuluh darah kantus mata, hifema pada COA
juga dapat terjadi dan hal ini merupakan tanda adanya cidera yang serius terhadap bola mata
sehingga merupakan kondisi kegawat daruratan pada mata. Enophthalmus dapat terjadi bila
terjadi herniasi lemak – lemak sekitar bola mata. Pada perabaan teraba ketidaksimetrisan
lengkung zygomatik dan tulang – tulang sekitar malar (walau pada cidera yang tidak serius),
teraba krepitasi dan pembengkakan, fraktur yang terjadi juga dapat teraba.[6]

13
Fraktur sutura zygomatik maxila dan dasar orbita tanpa fraktur zygomatik frontal atau
frontal temporal merupakan fraktur blow out yang tidak murni, sedangkan fraktur blow out
murni tidak mengikutsertakan fraktur rima orbita.[6]
Dapat dilihat melalui pemeriksaan radiologi foto Waters (tanda teardrop pada herniasi
isi orbita, untuk melihat rima orbita, garis sutura frontozygomatik dan badan zygoma) dan
foto posisi submentovertex (berguna untuk melihat lengkung zygomatik).[6]
Teknik klasik menempatkan plat (plat mini rigid) atau kabel (kabel Kirschner) ke
dalam fraktur garis frontal zygomatik dan garis sutura zygomaticomaxilaris pada rima
infraorbital, sehingga menghasilkan stabilisasi yang adekuat terhadap fraktur mayor yang
besar. Pembedahan terbuka yang dapat dilakukan dengan menggunakan teknik Gillies (insisi
temporal hairline), insisi blepharoplasty, insisi transkonjungtiva yang dapat di perbesar
dengan kantotomi lateral, dan insisi stair-step (insisi infra silier).[6]

14
15
[6]

Fraktur Maxila (Le Fort fracture)


Fraktur maxila sering disebabkan oleh trauma tumpul akibat kecelakaan lalu lintas.
Benturan tersebut (biasanya akibat benturan horizontal, yaitu dari lateral, oblique atau
anterior) perlu mematahkan tulang maxila dan tulang pterygoid dari sphenoid, yang mana
memang merupakan dua tulang yang seringkali patah pada fraktur Le Fort.[6]

16
Klasifikasi Le Fort mengarah pada tiga garis yang paling sering fraktur pada fraktur
midfasial. Fraktur Le Fort 1 adalah fraktur palatal bagian bawah & sering disebut fraktur
Guerin. Fraktur Le Fort II mengarah pada fraktur piramidal. Fraktur Le Fort III juga disebut
pemisahan kraniofasial (craniofacial dysjunctions).[6]

Diagnosis radiologi Fraktur Le Fort sangat penting untuk tindakan


penatalaksanaannya. Fraktur midfasial dapat dinilai melalui gambar sinus radiografi. CT scan
sangat berguna dalam melihat seberapa luas dan tingkat keparahan fraktur midfasial. MRI
hanya memiliki sedikit peran yaitu hanya untuk melihat apakah ada trauma serebral atau
gangguan nervus optik.[6]
Penatalaksanaan yang utama adalah menjaga jalan nafas, karena komplikasi dari
bengkak yang masif pada lidah dan orofaring. Insisi fraktur Le Fort I terisolasi dapat
dilakukan melalui insisi sublabial.[6]

Insisi ini dapat memperlihatkan topangan zygomatikomaxilari dan aparatur bilateral


piriformis, fiksasi yang biasa digunakan berupa miniplates “L” atau ‘X’. Jika fraktur ini
mengenai rima infraorbital (Le Fort II), biasanya dilakukan insisi transkonjungtiva disertai

17
kantotomi lateral atau insisi subsiliar. Pada Le Fort III biasanya diikuti oleh trauma serebral,
oleh karena itu pembedahan harus dilakukan setelah keadaan neurologis pasien tersebut
stabil. Fiksasi yang dilakukan berada di tiga posisi.[6]

Fraktur Naso Orbito Ethmoid (NOE)


Fraktur NOE melibatkan bagian hidung, orbita dan ethmoid. Rekonstruksi yang
terlambat menambah kesulitan dalam perbaikan. Klasifikasi yang paling berguna dipaparkan
oleh Markowirz et al, yang membagi mereka melalui merlekatan mereka ke ligamen kantus
medial.[5]

[5]

Tanda dan gejala yang sering muncul adalah hilangnya proyeksi nasal dan
terangkatnya ujung hidung ke atas, hal tersebut merupakan hal wajar yang sering terjadi pada
cidera ini. Perenggangan akar nasal dan telekantus mengindikasikan banyaknya pecahan
fraktur. Biasanya nampak tumpulnya angulus kantus dan perubahan kantus media dapat
diperoleh pergeseran ligamen palpebra lateral.[5]

18
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada tipe I yaitu dengan menggunakan
miniplates (plat mini), dan pembedahan dilakukan melalui penutup koronal intraoral dan
insisi subsiliar mungkin diperlukan. Pada tipe II dan III, fraktur juga diperbaiki dengan
miniplates namun diperlukan canthopexy transnasal untuk mengurangi telekantus serta guna
menahan posisi ligamen kantus medial. Perlukaan terhadap duktus lakrimal dapat diperbaiki
dengan baik, kecuali laserasi sudah merusak sistemnya.[5]

E. TANDA DAN GEJALA


Tanda cardinal dari fraktur dasar orbita adalah enophthalmus dan hipoglobus.
Enophthalmus lebih mudah terlihat bila mata kontralateralnya normal, dan terkadang tidak
nampak pada tanda awal karena tertutupi oleh jaringan mata yang membengkak. Tanda lain
adalah penurunan ketajaman mata, blepharoptosis, diplopia vertikal atau oblique (terutama ke
atas), hipestesia ipsilateral atau bahkan hiperalgesia pada distribusi persyarafan infraorbital,
pasien mungkin mengeluh epistaxis, dan pembengkakan kelopak mata. Patahan kecil dasar
orbita dapat menimbulkan fenomena pintu jebakan. Lemak di sekitar orbital atau muskulus
obliqus inferior terperangkap pada fraktur tersebut, maka dapat mengganggu kerja otot – otot
orbita yang ditandai oleh diplopia dengan arah bola mata ke atas (bila mengenai m. Rekti
inferior) atau ke bawah (bila mengenai m. Oblique inferior).[2,3,5]

19
[6]

F. PEMERIKSAAN
i. Gambaran Radiologis

Dulu, untuk mendapatkan hasil apakah terdapat fraktur dasar orbita hanya
bergantung dari foto polos radiografi oksipitomental. Dalam penggunaan foto
polos, posisi yang sering digunakan adalah proyeksi Caldwell dan Waters.
Poyeksi Caldwell dapat memperlihatkan dasar orbita, prosesus orbital dan
zygomatik diatas piramida petrosa. Sedangkan gambaran yang lebih luas pada
orbita dapat terlihat melalu proyeksi Waters (biasanya nampak gambaran klasik
tanda “teardrop” yang merupakan gambaran herniasi isi orbita ke dalam sinus
maxila pada fraktur dasar orbita yang disertai fraktur maxila). Sudut datang
sinar x-ray dapat digunakan untuk mengevaluasi dasar orbita, isi orbita yang
terjebak dan air-fluid level pada sinus maxila.[2,6]

CT scan juga dapat digunakan dan lebih baik dari foto polos saja. Belakangan
ini, ultasound (USG) juga mulai digunakan untuk mendiagnosa fraktur dasar
orbita.[5]

20
[2]

ii. Pemeriksaan fisik mata

 Lakukan pemeriksaan tulang – tulang fasial untuk melihat deformitas


 Pemeriksaan kelopak mata dan soft tissue (periorbita edema, kerusakan
saraf sensori infraorbita hingga ke bibir atas dan muka, adanya defek
kontinuitas rima orbita)
 Inspeksi perforasi dari bola mata, perdarahan subkonjungtiva,
hipoglobus, enophthalmus
 Lihat visus melalui Snellen Chart
 Diplopia test 9 arah (atas kiri kanan, tengah kiri kanan, bawah kiri
kanan), diplopia pada pandangan ke atas (patognomonik fraktur blow
out), keterbatasan melihat ke atas, nyeri pada saat melihat ke atas.
 Periksa respon pupil, ukuran dan bentuk, pemeriksaan buta warna,
pemeriksaan ligamen kantus medial (pemeriksaan jarak interkantus,
biasanya melebar = telekantus; Normal rata – rata 32 mm)[7]

Lipatan supratarsal dalam, perdarahan sekitar bola mata yang cidera (periorbital
hemorage), fisura palpebra menyempit akibat enophthalmus atau kontraksi jaringan fibrosa,
tendo kantus terputus, visus menurun, disfungsi pupil (bila disertai penurunan visus, perlu
dicurigai adanya neuropati optik traumatik atau kompresif).[2]

21
G. PENATALAKSANAAN

[6]

Fraktur dasar orbita yang bermakna membutuhkan eksplorasi dan perbaikan yang
lebih serius. Hal ini ditentukan oleh ukuran dan posisi dari fraktur blow out yang terjadi.
Komponen soft tissue harus dipindahkan dan diganti dengan transplantasi. Berbagai macam
bahan yang biasa digunakan sebagai transplant adalah silastic dan polydimethylsiloxane
(PSD) yang banyak tersedia dan biasa digunakan dan paling cocok pada defek yang kecil.
Silastic memiliki kecenderungan untuk ditolak dan infeksi. Untuk fraktur blow out yang lebih
besar, dibutuhkan tulang – tulang dari krista iliaka, costae, dan tulang tengkorak. Titanium
alloplast sangat berguna terutama pada fraktur dasar orbita yang diikuti fraktur zygomatikum
yang kompleks. Perbaikan menggunakan endoscopic transantral, sangat berguna untuk
diagnosa.[5]

Indikasi dilakukannya pembedahan untuk perbaikan fraktur blow out adalah:

 Terjadi diplopia yang terus menerus / menetap dengan pergeseran


posisi bola mata > 30 derajat dari posisi seharusnya
 Nampak bukti adanya soft tissue yang terjebak
 Fraktur yang besar (setengah dari tulang dasar orbita)[3]

Kontra indikasi pembedahan adalah kondisi pasien yang belum stabil dan apabila
pasien tidak dapat menoleransi anasthesi.[3]

22
[6]

Menunda pembedahan 1 – 2 minggu akan membantu ahli bedah untuk melihat apakah
diplopia dapat sembuh sendiri tanpa intervensi. Namun bila menunggu lebih lama dari itu,
akan menurunkan angka keberhasilan enophthalmus karena proses perlukaan yang progresif,
namun hasil operasi terhadap strabismus cukup baik. Pembedahan untuk perbaikan yang
segera diperlukan bila terjadi reflex okulokardiak yang persisten, tipe fraktur “trapdoor” pada
anak – anak, dan enophthalmus atau hypoglosus yang terjadi segera.[3]

Pembedahan untuk perbaikan biasanya dicapai dengan rute infrasiliaris atau rute
traskonjungtiva, meskipun dapat juga dilakukan melalui transantral dan infraorbital.
Periorbita diinsisi dan di angkat untuk melihat lokasi fraktur pada dasar dan dinding medial.
Jaringan yang mengalami herniasi ditarik kembali ke rongga orbita, dan defeknya ditutup
menggunakan implan alloplastik, dengan harapan tidak merusak berkas – berkas
neurovaskular infraorbital.[3]

H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi antaralain kebutaan, diplopia, implan yang extrusion,
atau pergeseran implan yang dapat menekan sakus lakrimal, yang dapat menyebabkan
obstruksi dan dakriosistitis. Komplikasi lainnya dapat berupa perdarahan, infeksi, rekraksi
kelopak bawah dan rasa baal pada infraorbital.[3]

23
I. PROGNOSIS
Perbaikan melalui pembedahan fraktur dasar orbita yang berhasil tetap mungkin
memiliki masalah yang persisten. Neuralgia sesuai distribusi saraf infraorbital dapat lebih
hebat setelah pembedahan, perbaikan dapat mencapai 6 bulan atau lebih.[2]

Yang lebih bermasalah adalah diplopia yang persisten, bila terisolasi dalam posis yang
ekstrim dan mengganggu fungsi penglihatan, lebih baik dilakukan koreksi melalui
pembedahan yaitu mereposisi otot ekstraokular sehingga mendapatkan fiksasi gambar
orthophoric.[2]

Enophthalmus dapat memburuk sewaktu – waktu, meskipun telah dilakukan


perbaikan fraktur, atrofi lemak orbita dapat muncul menghasilkan enophthalmus.[2]

24
III. KESIMPULAN

 Blow out fracture atau fraktur dasar orbita adalah fraktur yang terjadi pada daerah
basis orbita, yang dapat disertai kombinasi dari fraktur lengkungan zygomatikum,
fraktur Le Fort (maxilaris), dan tulang – tulang orbital lain.
 Pemeriksaan anamnesa, fisik dan radiologis harus dilakukan secara spesifik untuk
mendapatkan diagnosis yang pasti.
 Pembedahan harus hati - hati dilakukan walau memenuhi indikasi dan tetap
menunggu kondisi pasien stabil, untuk mencegah perburukan:
 Terjadi diplopia yang terus menerus / menetap dengan pergeseran
posisi bola mata > 30 derajat dari posisi seharusnya
 Nampak bukti adanya soft tissue yang terjebak
 Fraktur yang besar (setengah dari tulang dasar orbita)
 Prognosis seringkali kurang baik dan mudah terjadi komplikasi walau
pembedahan berjalan dengan baik.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit mata. Edisi keempat. Jakarta: FKUI, 2007

2. http://emedicine.medscape.com/article/1284026-overview#aw2aab6b2b1aa Diakses

tanggal 22 september 2014 21.37

3. Paul Riordan-Eva, John PW. Vaughan & Asbury general ophtalmology. 17th ed. USA:

McGraw-Hill, 2008

4. www.Cartercenter.org. Diakses tanggal 22 September 2014 22:44

5. Browning, George G. Scott brown’s otorhinolaryngology, 7th edition. 2008

6. Snow Jr, james B MD, Ballanger’s Otorhinolaringology Head and Neck Surgery, 16 th

edition. 2003

7. http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/1172/diagnosis/step-by-step.html

Diakses tanggal 8 Oktober 21:57

26

Anda mungkin juga menyukai