Anda di halaman 1dari 16

DISENTRI

I. Definisi
Disentri adalah diare yang disertai darah, terutama disebabkan oleh shigella
sp., dan memerlukan antibiotik untuk pengobatan. disentri lebih lama sembuh dari
diare akut cair dan menyebabkan komplikasi serius, seperti gangguan
pertumbuhan dan risiko kematian.

II. Epidemiologi
Menunjukan 600.000 dari 140 juta pasien shigellosis meninggal setiap tahun
diseluruh dunia. Tahun 2013 rata-rata kejadian tahunan shigellosis di Amerika
Serika adalah 4,82 kasus per 100.000 orang. Data di Indonesia memperlihatkan
29% kematian diare terjadi pada usia 1-4 tahun disebabkan oleh disentri basiler.
Tingginya insiden dan mortalitas dihubungkan dengan status social ekonomi yang
rendah, kepadatan penduduk dan kebersihan yang kurang.

III. Etiologi
Penyebab disentri adalah infeksi bakteri atau amuba. infeksi disebabkan
oleh bakteri dikenal sebagai disentri basiller dan merupakan penyebab tersering
disentri pada anak. Sedangkan infeksi yang disebabkan oleh amuba dikenal
sebagai disentri amuba. penyakit ini ditularkan melalui fekal-oral dengan masa
inkubasi 1-7 hari, unntuk terjadinya penularan tersebut diperlukan dosis minimal
penularan 100 bakteri Shigella s.
Berdasarkan aspek biokimia dan serologi, Shigella sp. dibagi menjadi 4
spesies, yaitu S.dysentrea (serogroup A), S.flexneri (serogroup B), S.boydii
(serogroup C) dan S.sonei (serogroup D). Di daerah tropi sering ditemukan ialah
S.dysenteriae dan S.flexneri, sedangkan S.sonnei lebih sering dijumpai di daerah
sub tropis atau daerah industri.
Di Indonesia, Shigella sp merupakan tersering ke-2 dari diare yang dirawat
di rumah sakit, yakni sebesar 27,3%. Dari keseluruhan Shigella sp tersebut, 82%
merupakan S.flexneri, 15% adalah S.sonnei, dan 2,2% merupakan S.Dysentriae.
Bakteri ini termasuk dalam suku Enterobacteriaceae dan merupakan bakteri
gram negative yang berbentuk batang/basil. Selain itu bakteri bersifat anerob
fakultatuf, yang berarti dapat hidup tanpa atau dengan adanya oksigen.
Penyabab lainnya, antaralain Yersinia enterocolica, Campylobacter jejuni
(terutama pada bayi), Salmonella sp., Eschericia coli enteroinvasif (jarang, tetapi
berat), Entamoeba histolytica (jarang pada balita), serta amuba.
Penyebab non-infeksi, antara lain invaginasi (gejala dominasi lender dan darah,
kesakitan dan gelisah, massa intra-abdominal dan muntah), alergi susu sapi,
gangguan hematologi seperti defisiensi vitamin K, dan kelainan imunoligis
(Penyakit Crohn, colitis ulseratif).

IV. Patofisiologi
a. Disentri Basiler
Semua strain kuman shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai
eksudat inflamasi yang menandung leukosit polymorfnuclear (PMN) dan darah.
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat
melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang
tercermar oleh eksreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini
menginvasi sel epitel mukosa dan berkembang biak didalamnya.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella, namun ileum
terminalis dapat juga terserang.. Kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang
pada ileum hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus
hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan
subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir transversum
didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk
ulkus bergaung.
S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain
ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitoksik,
dan neurotoksin. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen
sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel epitel mukosa kolon dan
menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang
khas dan menyebabkan eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus, sehingga
feses bercampur dengan darah. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk
selaput yang tebalnya sampai 1,5cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak
rata dan lumen usus mengecil dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.

b. Disentri Amoeba
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen
kolon dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus
mukosa usu dan menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang
menyebabkan perubahan ini sampai saat ini belum diketahui secara
pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien, virulensi amuba,
maupun lingkungannya mempunyai peran.
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan
lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding
usus. Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil,
tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar. Akibatnya terjadi ulkus
dipermukaan mukosa usus yang menojol dan hanya terjadi reaksi radang yang
minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi di
semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan
tempatnya adalah caeccum, colon ascendens, rektum sigmoid, apendiks dan
ileum terminalis.

V. Gejala Klinis
a. Disentri Basiler
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala
rerata 7 hari sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri
perut bawah, disertai demam yang mencapai 40 o C . Selanjutnya diare
berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan
nafsu makan menurun.
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang
sampai yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa
melilit diikuti pengeluaran tinja sehingga perut terlihat cekung.
Bentuk yang berat ( f u l m i n a t i n g c a s e s ) b i a s a n ya d i s e b a b k a n
o l e h S . d ys e n t r i a e . G e j a l a timbul mendadak dan berat, berjangkit
cepat, feses seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah, suhu
badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat
meninggal bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit
kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi
berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah
meningkat(hemokonsentrasi).
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer,
anuria dan koma uremik. Angka kematian bergantung keadaan dan
tindakan pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi
dan keadaan darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini
selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan t etapi memerlukan
waktu penyembuhan yang lama. Pada kasus yang sedang keluhan dan
gejalanya bervariasi, tinja biasanya
lebih berbentuk, dapat mengandung sedikit darah atau lendir.

b. Disentri Amoeba
1) Carrier (Cyst Passer)
Pasien ini tidak menunjukan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan
karena amoeba yang berada dalam lumen kolon tidak menginvasi ke dinding
usus.Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini
disebabkan karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak
mengadakan invasi kedinding usus.
2) Disentri Amoeba Ringan
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita
biasanya mengeluh perut kembung, nyeri perut ringan, dapat timbul diare
ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga fses
bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid,
jarang nyeri di epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi
ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit demam
dan terkadang dijumpai hepatomegali.

3) Disentri Amoeba Sedang

Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri


ringan, tetaapi paien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari.
Tinja biasanya disertai lendir dan darah. Pasien mengeluh perut
keram, demam dan lemah badan disertai hepatomegali yang nyeri
ringan.

4) Disentri Amoeba Berat


Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali
sehari. Demam tinggi ( 40 o
C – 40,5 o
C) disertai mual dan
anemia.

5) Disentri Amoeba Kronik


Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare
diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala, keadaan ini dapat berjalan
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

VI. Pemeriksaan Fisik


a. Dehidrasi
Ditandai adanya letargi, penurunan kesadaran, fontanela anterior cekung,
membran mukosa (mulut) kering, mata cekung, penurunan turgor
kulit, capilary refill time memanjang
b. Gagal tumbuh dan malnutrisi
Ditandai dengan penurunan massa otot dan lemak serta udem perifer
sebagai manifestasi adanya malabsorbsi karbohidrat, vitamin dan mineral.
c. Nyeri perut atau tenesmus
Sifat nyerinya tidak meningkat pada penekanan. Nyeri tersebut
berhubungan dengan organisme tertentu.
d. Borborygmi
Peningkatan aktivitas peristaltik yang bisa didengar ataupun diraba,
yang terjadi oleh karena peningkatan aktivitas usus.
e. Eritema pada daerah perianal:
BAB yang sering akan menyebabkan lecet pada daerah peri anal
terutama terjadi pada anak-anak. Bisa juga adanya malasorbsi karbohidrat
sekunder akan menghasilkan tinja yang bersifat asam yang akan mengiritasi
daerah perianal. Selain itu malasorbsi asam empedu sekunder juga dapat
menyebabkan dermatitis daerah perianal dengan gambaran seperti terbakar.
f. demam ringan
g. perut kembung
h. tinja bercampur darah dan mengandung cukup banyak lendir

VII. Pemeriksaan Penunjang

Evaluasi laboratorium pasien disentri dimulai dari pemeriksaan feses adanya


leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu dianggap
sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil
akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses
terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang
dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis
patogennya.
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,
keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Pada suatu studi,
laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji aglutinasi lateks yang tersedia
secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 % terhadap
pasien dengan Salmonella, Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi
dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare
inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin
positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan
kultur feses untuk EHEC O157 : H7.
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan
harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa
gas darah dan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan radiologis seperti
sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya tidak membantu untuk evaluasi
diare akut infeksi.

VIII. Penatalaksanaan
a. Terapi Medikamentosa
Bayi muda (umur < 2 bulan) yang menderita disenteri harus dirawat di
rumah sakit. Di tingkat pelayanan primer semua diare berdarah selama ini
dianjurkan untuk diobati sebagai shigellosis dan diberi antibiotik
kotrimoksazol. Jika dalam 2 hari tidak ada perbaikan, dianjurkan untuk
kunjungan ulang untuk kemungkinan mengganti antibiotiknya. Pemeriksaan
tinja rutin, apakah terdapat amuba vegetatif. Jika positif maka berikan
metronidazol dengan dosis 50 mg/kg/BB dibagi tiga dosis selama 5 hari. Jika
tidak ada amuba, maka dapat diberikan pengobatan untuk Shigella.

 Beri pengobatan antibiotik oral (selama 5 hari), yang sensitif terhadap


sebagian besar strain shigella. Contoh antibiotik yang sensitif terhadap
strain shigella di Indonesia adalah siprofloxasin, sefiksim dan asam
nalidiksat
 Beri tablet zinc sebagaimana pada anak dengan diare cair tanpa dehidrasi.
 Pada bayi muda (umur < 2 bulan), jika ada penyebab lain seperti
invaginasi, rujuk anak ke spesialis bedah.

Anak yang datang untuk kunjungan ulang setelah dua hari, perlu dilihat tanda
perbaikan seperti: tidak adanya demam, berkurangnya BAB, nafsu makan
meningkat.
 jika tidak terjadi perbaikan setelah dua hari,
o Ulangi periksa feses untuk melihat apakah ada amuba, giardia atau
peningkatan jumlah lekosit lebih dari 10 per lapangan pandang
untuk mendukung adanya diare bakteri invasif
o Jika memungkinkan, lakukan kultur feses dan tes sensitivitas
o Periksa apakah ada kondisi lain seperti alergi susu sapi, atau
infeksi mikroba lain, termasuk resistensi terhadap antibiotik yang
sudah dipakai.
o Hentikan pemberian antibiotik pertama, dan
o Beri antibiotik lini kedua yang diketahui efektif melawan shigella.
o Untuk anak dengan gizi buruk lihat tatalaksana pada bab 7
 jika kedua antibiotik, yang biasanya efektif melawan shigella, telah
diberikan masing-masing selama 2 hari namun tidak menunjukkan adanya
perbaikan klinis:
o Telusuri dengan lebih mendalam ke standar pelayanan medis
pediatri
o Rawat anak jika terdapat kondisi lain yang memerlukan
pengobatan di rumah sakit.

b. Terapi Non-medikamentosa
Lanjutakan Pemberian makan. Pada anak usia <6 bulan, pemberian ASI
diberikan lebih dari frekuensi biasanya, bila memungkinkan. Pada anak usia ≥6
bulan, berikan makanan yang biasa diberikan, atau biarkan anak memilih
makanan disukai.

IX. Komplikasi
1. Dehidrasi
2. Perforasi usus
3. Prolaps rekti
DEHIDRASI

I. Definisi
Dehidrasi adalah gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada
tubuh. Hal ini terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada pemasukan
(misalnya minum). Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan
gangguan keseimbangan zat elektrolit tubuh.

II. Epidemiologi
Dehidrasi pediatrik, terutama yang disebabkan oleh gastroenteritis,
meruapakan keluhan yang sering ditemukan pada unit gawat darurat. Setiap tahun,
sekitar 200.000 pasien masuk dan 300 kematian disebabkan oleh gastroenteritis.

Di seluruh dunia, menurut CDC, untuk anak yang berusia di bawah 5


tahun, insidensi penyakit diarenya mencapai 1,5 milyar, sedangkan yang mati
sekitar 1,5 hingga 2,5 juta jiwa. Meskipun angka ini mengejutkan, sesungguhnya
catatan ini lebih baik dibandingkan pada tahun 1980-an di mana jumlah kematian
mencapai 5 juta jiwa.

Bayi dan anak lebih ,udah mengalami deplesi volume jika dibandingkan
orang dewasa. Namun secara umum, pasien anak yang mengalami deplesi volume
memiliki prognosis yang baik bila diterapi secara adekuat. Manajemen terapi
cairan yang tidak tepat dapat meningkatkan morbiditas pada pasien dehidrasi.

III. Etiologi
Asupan cairan yang buruk, cairan keluar berlebihan, peningkatan
insensible water loss (IWL), atau kombinasi hal tersebut dapat menjadi penyebab
deplesi volume intravaskuler. Keberhasilan terapi membutuhkan identifi kasi
penyakit yang mendasari kondisi dehidrasi. Beberapa faktor patologis penyebab
dehidrasi yang sering:
a. Gastroenteritis
Diare adalah etiologi paling sering. Pada diare yang disertai muntah,
dehidrasi akan semakin progresif. Dehidrasi karena diare menjadi penyebab
utama kematian bayi dan anak di dunia.
b. Stomatitis dan faringitis
Rasa nyeri mulut dan tenggorokan dapat membatasi asupan makanan
dan minuman lewat mulut.
c. Demam
Demam dapat meningkatkan IWL dan menurunkan nafsu makan.

IV. Manifestasi Klinis


Berdasarkan persentase kehilangan air dari total berat badan, derajat/skala
dehidrasi dapat ringan, sedang, hingga derajat berat .

Derajat dehidrasi berbeda antara usia bayi dan anak jika dibandingkan usia
dewasa. Bayi dan anak lebih rentan mengalami dehidrasi karena komposisi air
tubuh lebih banyak, fungsi ginjal belum sempurna dan masih bergantung pada
orang lain untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuhnya. Pada anak yang lebih tua,
tanda dehidrasi lebih cepat terlihat dibandingkan bayi karena kadar cairan
ekstrasel lebih rendah. Menentukan derajat dehidrasi pada anak juga dapat
menggunakan skor WHO, dengan penilaian keadaan umum, kondisi mata, mulut
dan turgor.
Derajat dehidrasi berdampak pada tanda klinis. Makin berat dehidrasi,
gangguan hemodinamik makin nyata. Produksi urin dan kesadaran dapat menjadi
tolok ukur penilaian klinis dehidrasi.

V. Penatalaksanaan
Secara sederhana prinsip penatalaksanaan dehidrasi adalah mengganti cairan
yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit, sehingga keseimbangan
hemodinamik kembali tercapai. Disarankan memberikan makanan tergolong
karbohidrat kompleks, buah, sayur dan daging rendah lemak. Makanan berlemak
dan jenis karbohidrat simpel sebaiknya dihindari. WHO sejak tahun 2004 juga
telah menambahkan zinc dalam panduan terapi diare pada anak.
1. Dehidrasi Derajat Ringan-Sedang
Dehidrasi derajat ringan-sedang dapat diatasi dengan efektif melalui
pemberian cairan ORS (oral rehydration solution) untuk mengembalikan volume
intravaskuler dan mengoreksi asidosis. Kandungan natrium dan sodium dalam
proporsi tepat dapat secara pasif dihantarkan melalui cairan dari lumen usus ke
dalam sirkulasi. Jenis ORS yang diterima sebagai cairan rehidrasi adalah dengan
kandungan glukosa 2-3 g/dL, natrium 45-90 mEq/L, basa 30 mEq/L, kalium 20-
25 mEq/L
2. Dehidrasi Derajat Berat
Pada dehidrasi berat dibutuhkan evaluasi laboratorium dan terapi rehidrasi
intravena, Penyebab dehidrasi harus digali dan ditangani dengan baik. Penanganan
kondisi ini dibagi menjadi 2 tahap:
1) Tahap Pertama berfokus untuk mengatasi kedaruratan dehidrasi, yaitu syok
hipovolemia yang membutuhkan penanganan cepat. Pada tahap ini dapat
diberikan cairan kristaloid isotonik, seperti ringer lactate (RL) atau NaCl 0,9%
sebesar 20 mL/kgBB. Perbaikan cairan intravaskuler dapat dilihat dari
perbaikan takikardi, denyut nadi, produksi urin, dan status mental pasien.
Apabila perbaikan belum terjadi setelah cairan diberikan dengan kecepatan
hingga 60 mL/kgBB, maka etiologi lain syok harus dipikirkan (misalnya
anafilaksis, sepsis, syok kardiogenik). Pengawasan hemodinamik dan golongan
inotropik dapat diindikasikan.
2) Tahap Kedua berfokus pada mengatasi defisit, pemberian cairan pemeliharaan
dan penggantian kehilangan yang masih berlangsung. Kebutuhan cairan
pemeliharaan diukur dari jumlah kehilangan cairan (urin, tinja) ditambah IWL.
Jumlah IWL adalah antara 400-500 mL/m2 luas permukaan tubuh dan dapat
meningkat pada kondisi demam dan takipnea. Secara kasar kebutuhan cairan
berdasarkan berat badan adalah:
• Berat badan < 10 kg = 100 mL/kgBB
• Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/ kgBB untuk setiap kilogram berat
badan di atas 10 kg
• Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/ kgBB untuk setiap kilogram berat
badan di atas 20 kg
DAFTAR PUSTAKA

1. Kadun NI. Upaya Pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan


masyarakat dalam kumpulan makaslah Kongres nasional II BKAI Juli
2003 hal 292.
2. Barkin RM Fluid and Electrolyle Problems. Problem Oriented Pediatric
Diagnosis Little Brown and Company 1990; 20-22
3. Booth IW, Cutting WAM. Current Concept in The Management of acute
in Children Postgraad Doct Asia 1984 : Dec : 268-2744
4. Coken MB Evaluation of the child with acute diarrhea dalam ; Rudop AM,
Hofman JIE, Ed Rudolp pediatrics : edisi ke-20 USA 1994 ; prstice
international, inc hal 1034-365
5. Irwanto, Roim A, Sudarmo SM. Diare akut anak dalam ilmu penyakit anak
diagnosa dan penatalaksanaan, Ed Soegijanto S : edisi ke-1 2002 :
Salemba Medika hal 73-1036
6. Barnes GL, Uren E, stevens KB dan Bishop RS Etiologi of acute
Gastroenteritis in Hospitalized Children in Melbourne,
Australia,from April1980 to March 1993 Journal of clinical
microbiology, Jan 1998, p,133-1387 .
7. Depeartemen kesehatan RI profil kesehatan Indonesia 2001. Jakarta
20028. Lung E. Acute diarrhea diseases dalam current diagnosis abd
treatment in gastroenterology, Ed. Friendman S; edisi ke 2 New York
2003: Mc Graw Hill, hal 131- 499
8. Firmansyah A. Terapi probiotik dan prebiotik pada penyakit saluran cerna,
dalam sari pediatric vol 2, no 4 maret 200110.
9. Subianto MS, Ranuh R, Djupri Lm, Soeparto P. Managemen diare pada
bayi dan anak :http://www.pediatrik.com/
10. Dwipoerwantoro PG. Pengembangan rehidrasi perenteral pada tatalaksana
diare akut dalam kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Juli
200312
11. Ditjen PPm dan PLP, 2011, Tatalaksana Kasus Diare Departemen
Kesehatan RI hal 24-25
12. Sinuhaji AB, Peranan Obat Antidiare pada tatalaksana diare akut dalam
kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Juli 200314.
13. Rohim A, soebijanto MS. Probiotik dan flora normal usus dalam ilmu
penyakit anak diagnosa dan penatalaksanaan. Ed Soegijanto. Edisi ke 1
Jakarta 2012, Salemba Medika hal 93-103
14. Suhayono. Terapi nutrisi diare kronik, pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan ilmu Kesehatan anak ke 31, FKUI 2010
15. Ditjen PPM Depkes RI. Tatalaksana Kasus Diare Bermasalah. Depkes RI
2013.
16. Tanto chris, dkk. Kapita Selekta Kedokteran, 2013, Jakarta : BPFKUI

Anda mungkin juga menyukai