Anda di halaman 1dari 10

Abses Peritonsil

Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang


terbentuk sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok
kelenjar ludah di fosa supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar Weber. Sarang
akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan otot-otot konstriktor
faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan sinus piriformis
inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari jaringan ikat
longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi
purulen. Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum,
dinding faring lateral, dan, dasar lidah.(1)

Gambar 1. Gambaran inflamasi tonsil (gambar kiri) dan abses peritonsil


(gambarkanan)(2)

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun


paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi
kecuali pada mereka yang menurun system immunnya, tapi infeksi bisa

1
menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini
memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. (2) Angka kejadian
abses peritonsil juga tidak dipengaruhi oleh ras.(1)

Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.


Edema akibat inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi
sekunder sering terjadi akibat pasien menghindari menelan makanan dan cairan.
Perluasan abses dapat menyebabkan peradangan ke dalam kompartemen fasia
yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga berpotensi menyebabkan
obstruksi jalan napas.(1)

Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2. Normal anatomi tonsil palatine dan jaringan sekitarnya(2)

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.

2
Tonsil terletak di lateral orofaring(1,2,3). Dibatasi oleh:

Lateral : Muskulus konstriktor faring superior


Anterior : Muskulus palatoglosus
Posterior : Muskulus palatofaringeus
Superior : Palatum mole
Inferior Tonsil lingual

Pilar anterior dan posterior membentuk batas depan dan belakang ruang
peritonsillar. Pada bagian Superior, ruang potensial ini berhubungan dengan torus
tubarius, sementara bagian inferior dibatasi oleh sinus pyriform. Daerah ini hanya
terdiri dari jaringan ikat longgar, sehingga infeksi yang parah dengan cepat dapat
menyebabkan pembentukan nanah.(1)

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga


melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah
jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh
sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal.(2.3,4)

Tonsil mendapatkan suplai darah dari a.palatina minor, a.palatina asendens,


canbang a.maksila eksterna, a.faring asendens, dan a.lingualis dorsal. Vena-vena
dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran
balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faringeal(3)

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju

3
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.(3,4)

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX


(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.(2)
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit
B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada
tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B
berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD),
komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan
tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat
germinal pada folikel ilmfoid.(2)
Tonsil juga merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2
fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
serta sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.(2)

Etiologi

Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi tonsilitis akut


atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas
tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab
tonsillitis, yaitu ; grup A streptokokus hemolitikus, pneu,okokus, Streptokokus
viridian, dan Streptokokus piogenes.(5)

Mikroorganisme lain yang dapat menjadi penyebab abses peritonsil adalah


laktobasilus, actinomyces, spesies Neisseria, diphtheroid, dan spesies Bacteroides.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bakteri aerob dan anaerob sering
menyebabkan abses peritonsil.(2)

4
Patofisiologi

Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui secara pasti. Namun teori


yang paling banyak diterima adalah perkembangan dari episode tonsilitis
eksudatif ke peritonsillitis dan kemudian terjadi proses pembentukan abses.(1)

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikta


longgar, okeh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini. Pada stadium permulaan (tadium infiltrate), terjadi proses
pembengkakan dan tampak permukaan peritonsil hipere,is. Bila prosses berlanjut,
terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil
akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung
terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada
m.pterigoid interna sehingga timbul trismus.(5)

Teori lain menyatakan abses peritonsil di kelenjar Weber. Kelenjar ludah


minor ini ditemukan di ruang peritonsil dan diperkirakan berfungsi membantu
pembersihan debris dari amandel. Kemungkinan, obstruksi kelenjar Weber akibat
infeksi, nekrosis jaringan dan proses pembentukan abses, mengakibatkan
terjadinya abses peritonsil.(1)

Manifestasi Klinis

Pasien abses peritonsil biasanya datang ke klinik dengan keluhan utama


nyeri menelan (odinofagia). Selain itu pasien juga mengeluhkan demam, lemah,
lesu serta nyeri kepala.(1) Pada kasus yang agak berat, terdapat sulit menelan
(disfagia), nyeri alih ke telinga pada sisi terbentuknya abses peritonsil , salivasi
yang meningkat, serta trismus. Pembengkakan peritonsil mengganggu artikulasi
sehingga pasien sulit berbicara dan mengakibatkan suara gumam (hot potato
voice).(5,6)

Inspeksi terperinci pada daerah yang membengkak mungkin sulit karena


ketidakmampuan pasien membuka mulut. Pemeriksaan mulut dengan
menggunakan spatula lidah menyebabkan pasien merasa tidak nyamandan ada

5
rasa ingin muntah. Diagnosis sering hamper pasti dapat ditegakkan bila pemeriksa
melihat pembengkakan peritonsil yang luas, mendorong uvula melewati garis
tengah, dengan edema dari palatum mole. Tonsil sendiri dapat terlihat bengkak,
hiperemis, dan mungkin banyak detritus. Tonsil juga dapat terdorong ke arah
medial, depan, ataupun bawah,(6)

Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien yang dicurigai abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan


darah lengkap. Selain itu perlu dilakukan juga throat culture atau throat swab and
culture. Pemeriksaan ini diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius.
Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif,
sehingga dengan pemebrian antibiotic yang tepat dengan sendirinya akan
mencegah timbulnya resistensi antibiotik.(7)

Prosedur diagnosis juga dapat dilakukan dengan melakukan Aspirasi


jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan
lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa
menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah
(purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim ke bagian
mikrobiologi untuk dibiakkan.(7)

Foto rontgen jaringan lunak lateral nasofaring dan orofaring juga dapat
dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. Selain itu di
beberapa negara maju digunakan ultrasonografi oral sebagai pemeriksaan
penunjang pasien yang dicurigai mengalami abses peritonsil. Gambaran yang
diharapkan muncul adalah gambaran kompleks massa bercampur dengan
gambaran ecoic.(8)
Diagnosis Banding

Abses peritonsil dapat didiagnosis banding dengan penyakit-penyakit


abses leher dalam lainnya yaitu, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula,dan angina ludovici. Hal ini dikarenakan pada semua penyakit
abses leher dalam nyeri temggorok, demam serta terbatasnya gerakan membuka

6
mulut merupakan keluhan yang paling umum. Untuk mebedakan abses peritonsil
dengan penyakit abses leher dalam lainnya, diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat.(2)

Penatalaksanaan

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat


simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg.(2,5)

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan
dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera
gejala-gejala pasien.(5)

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia


lokal di ganglion sfenopalatum.(7) Pada pasien abses peritonsil juga perlu
dilakukan tonsilektomi.

Tonsilektomi Pada Abses Peritonsil

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil


palatina. Indikasi tonsilektomi dapat dibagi dua, yaitu indikasi absolute dan
indikasi relative. Adapun indikasi absolut tonsilektomi adalah sebagai barikut(9) :

7
a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi

Adapun indikasi relative tonsilektomi adalah sebagai berikut(9) :


a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten
d) Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan

Berdasarkan pembagian indikasi tonsilektomi di atas, tonsilektomi


merupakan indikasi absolute pada orang yang menderita abses peritonsil berulang
atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abeses peritonsil
mempunyai kecenderungan untuk kambuh.

Teori mengenai waktu untuk dilakukannya tonsilektomi pada abses


peritonsil berbeda -beda. Ada beberapa penggolangan waktu untuk dilakukannya
tonsilektomi pada abses peritonsil. Bila tonsilektomi dilakukan bersama-sama
tindakan drainase abses, disebut tonsilektomi a chaud. Bila tonsileektomi
dilakukan 3-4 hari sesudah draenase abses, disebut tonsilektomi a tiede, dan
bila tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut
tonsilektomi a froid. Namun pada mumnya tonsilektomi dilakukan sesudah
infeksi tenang.(5)

Prognosis

8
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian
kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan
aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan
nyawa pasien.(5) Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi., maka perlu dilakukan tonsilektomi pada pasien abses peritonsil.
Tonsilektomi sebaiknya dilakukan pada saat peradangan telah mereda, biasanya
terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.(1,2)

Daftar Pustaka

1. Gosselin BJ. Peritonsillar Abscess. February 4, 2010. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/194863-overview#aw2aab6b2b1aa.
Accessed on: May 3, 2017.

2. Steyer TE. Peritonsillar Abscess. January 1, 2001. Available at :


http://www.aafp.org/afp/2002/0101/p93.html. Acessed on : May 3, 2017.

3. Rusmarjono, Hermani B. Nyeri Tenggorok. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Editor : Soepardi EA,

9
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 6th edition. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2008;214.
4. Adam G, Boeis LR, Highler PA. Penyakit-pemyakit nasofaring dan
orofaring. In : Buku Ajar Penyakit THT. Editor : Effendi H, Santoso RAK.
6th edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000;322
5. Rusmarjono, Hermani B. Abses Leher Dalam. In : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Editor : Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 6th edition. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2008;226-7.
6. Adam G, Boeis LR, Highler PA. Selulitis Peritonsilaris dan Abses
(Quincy). In : Buku Ajar Penyakit THT. Editor : Effendi H, Santoso RAK.
6th edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000;333
7. Vorvick LJ. Peritonsillar Abscess. November, 23 2010. Available at :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000986.htm. Acessed
on : May 3, 2017.
8. Adhikari SR. ENT Ultrasoound. 2008. Available at :
http://www.sonoguide.com/smparts_ent.html. Acessed on : May 3, 2017.
9. Adam G, Boeis LR, Highler PA. Tonsilektomi. In : Buku Ajar Penyakit
THT. Editor : Effendi H, Santoso RAK. 6th edition. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2000; 339

10

Anda mungkin juga menyukai