ABSES PERITONSILAR
Disusun oleh:
Edo Aditya D. Susanto (1305002158)
Pembimbing:
dr. Michael Lekatompessy, SpTHT-KL
TANGERANG
DAFTAR ISI
2.9. Tatalaksana.......................................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 12
i
BAB 1:
PENDAHULUAN
Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam yang paling sering
ditemui. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka
mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan adanya abses leher dalam. Abses peritonsil
merupakan salah satu kegawatdaruratan di bagian otorinolaringologi dan mudah untuk terjadi
kekambuhan.
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasi-
komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial,
mediastinitis dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Oleh karena itu, pengenalan
penyakit harus dapat dilakukan oleh dokter umum, sehingga diagnosis dapat ditegakkan sedini
mungkin. Hal ini menjadi tantangan bagi para dokter untuk memahami gambaran klinis
penyakit ini yang dapat memicu terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa. Pengetahuan
anatomi fasia dan ruang ruang potensial leher secara baik, serta penyebab abses leher mutlak
diperlukan untuk dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan
yang adekuat.
1
BAB 2:
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Abses peritonsil adalah pengumpulan pus pada rongga peritonsil yang berada di antara
kapsul dari tonsil dan otot konstriktor faring superior. Umumnya, abses tersebut terbentuk
akibat infeksi tonsil yang supuratif. Abses peritonsil ini termasuk dalam infeksi lokal leher
bagian dalam. Kondisi yang darurat dapat terjadi pada abses peritonsil, yang disebabkan oleh
komplikasi dan potensi abses untuk mengobstruksi jalan napas.1,2
2.2. Anatomi
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut lateral orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing
tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas
ke dalam jaringan tonsil. Kripta pada tonsil
berisi kompleks saluran dan dikelilingi oleh
pembuluh darah, pembuluh limfatik dan
jaringan-jaringan limfonoduli. Kedua tonsil
diselubungi oleh kapsul yang memisahkan
tonsil dengan otot konstriktor medial dan Gambar 2: Anatomi orofaring
superior.3
2
jaringan ikat longgar, suatu infeksi yang berat dapat mengakibatkan pembentukan pus. Proses
inflamasi yang progresif dan proses supurasi dapat menyebar secara langsung yang melibatkan
palatum, dinding lateral dari faring, dan basis lidah.4
2.3. Epidemiologi
Abses peritonsil sebelumnya dianggap titik akhir dari perjalanan penyakit yang bermula
dari tonsilitis akut supuratif yang berkembang menjadi selulitis peritonsil, hingga akhirnya
membentuk abses. Penelitian yang baru menemukan bahwa kelenjar Weber juga berperan
dalam terjadinya abses peritonsilar.7 Kelenjar tersebut terdiri dari kelenjar saliva yang terletak
di bagian atas dari tonsil pada palatum mole dan terhubung dengan tonsil melalui duktus. 8
Fungsi dari kelenjar tersebut adalah membersihkan tonsil dari sisa-sisa makanan dan kotoran
pada kripta. Jika kelenjar tersebut terinfeksi, maka akan terjadi selulitis dan ketika infeksi
berkembang akan terbentuk jaringan nekrosis dan pembentukan pus sehingga terbentuk abses
peritonsil.9
Bakteri penyebab abses peritonsil biasanya adalah polimikrobial , baik bakteri aerob
maupun anaerob, tetapi bakteri aerob yang paling sering ditemukan, yaitu Streptococcus sp.,
Staphylococcus sp. dan Haemophilus influenza; dan untuk bakteri anaerob yaitu
Fusobacterium, Peptostreptococcus, dan Prevotella.7 Abses peritonsil dapat menjadi gambaran
klinis dari infeksi mononukleosis (akibat virus Epstein-Barr Virus (EBV)) yang ditransmisikan
dari cairan tubuh, terutama eksudat orofaring, pada penderita infeksi EBV. Infeksi
mononukleosis juga disebut sebagai kissing disease.18
Gejala pada pasien abses peritonsil dapat dibagi menjadi gejala sistemik dan gejala
lokal. Gejala sistemik muncul akibat proses infeksi sistemik yang berlangsung. Gejala tersebut
adalah demam, menggigil, malais, nyeri di seluruh tubuh, sakit kepala, dan mual. Sedangkan
3
gejala lokal yang dapat ditemukan adalah sakit pada leher, odinofagia, hot potato voice, bau
mulut (halitosis), otalgia, dan trismus. Odinofagia menyebabkan pasien tidak mau menelan air
liurnya sehingga tampak hipersalivasi. Hal ini juga menyebabkan pasien tidak mendapat
asupan oral termasuk cairan yang cukup sehingga mungkin tampak tanda-tanda dehidrasi. Bau
mulut biasanya disebabkan oleh kebersihan mulut yang tidak baik. Otalgia disebabkan oleh
nyeri referal dari persyarafan kranial IX. Trismus terjadi akibat iritasi muskulus pterygoid yang
terletak dekat dengan rongga peritonsil.7,10
Pada pemeriksaan fisik kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus.
Palatum molle tampak membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula
bengkak dan terdorong kesisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak
detritus dan terdorong ke arah kontralateral dari abses. Limfadenopati servikal biasanya dapat
ditemukan. 7,10
Pada infeksi mononukleosis, keluhan utama yang paling sering berupa rasa tidak enak
badan atau malaise, dan lemas; diikuti dengan gejala sistemik virus lainnya seperti demam,
mual, dan nyeri otot mata. Pada pemeriksaan fisik kepala dan leher dapat ditemukan faringitis,
pembesaran tonsil, limfadenopati, petekie palatum, dan ruam (terutama ketika diberi
amoksisilin). Pada abdomen dapat ditemukan pembesaran hepar dan limpa. Jaundis dapat
ditemukan pada stadium lanjut infeksi mononukleosis.18
2.6. Diagnosis
4
Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte
level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
Pada pasien yang curiga terinfeksi EBV dapat dilakukan monospot test dan serologi
EBV (IgG dan IgM).18
Xray: Foto lateral dapat dilakukan untuk menyingkirkan abses retrofaring.
CT scan kontras: biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang
terinfeksi, dengan peripheral rim enhancement. Pencitraan ini juga dapat digunakan
untuk merencanakan tindakan operasi dan melihat luas penyebaran infeksi.4,12
Intraoral ultrasound (IUS) merupakan modalitas utama untuk pencitraan karena murah,
mudah dan non-invasif. IUS sering dipakai untuk menguatkan diagnosis dan
mengarahkan tindakan drainase. Sensitivitas IUS berkisar 89-95% dan spesifitasnya
berkisar 79-100%.4,12
Gambar 4: Gambaran tonsil (T) dan abses peritonsil (panah putih) pada IUS.10
5
2.7. Diagnosis Banding
2.8. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi dapat
terjadi apabila diagnosis abses peritonsilar
terlewatkan atau tertunda. Keberatan dari
komplikasi tergantung dari kecepatannya
progresi dari penyakit, dan karakteristik
dari ruang fascia yang terpengaruh.
Tatalaksana dan intervensi dini sangat
penting. Gambar 5: Komplikasi abses peritonsil.7
2.9. Tatalaksana
Drainase abses, antibiotik, terapi suportif untuk menjaga status hidrasi dan terapi
simtomatik adalah modalitas utama dari pengobatan abses peritonsil.7 Analgesik adalah terapi
penting pada manajemen abses peritonsil untuk menurunkan rasa sakit sehingga membantu
6
pasien untuk mengonsumsi diet oral.10,12 Resusitasi cairan intravena juga diperlukan pada
pasien yang tidak mendapatkan asupan oral yang adekuat atau dengan tanda dan gejala
dehidrasi.10,12
2.8.2. Tatalaksana Medikamentosa
streptococci seperti penisilin, klindamisin, atau golongan sefalosporin dengan atau tanpa
metronidazol.4,12,13 Amoksisilin biasanya dihindari kecuali jika kemungkinan infeksi
mononukleosis sudah disingkirkan, karena dapat terjadi makulopapular.12
Beberapa penelitian mengatakan aspirasi jarum adalah tatalaksana umum yang sering
dilakukan.14 Aspirasi dapat dilakukan pada pasien mulai dari usia 7 tahun, terutama bila
digunakan sedasi. Aspirasi dapat digunakan sebagai tindakan diagnostik dan terapeutik karena
dapat menunjukkan adanya abses (akumulasi pus) secara langsung sekaligus drainase abses.
Aspirasi pus dapat dikultur untuk mendapatkan etiologi patogen dan menentukan terapi
antibiotik yang tepat.4 Aspirasi dilakukan terutama bila masih diragukan adanya abses yang
terbentuk. Aspirasi abses dilakukan menggunakan jarum suntik dengan menusukkan dan
mengaspirasi pus sampai habis dari lokasi yang diduga terdapat abses.15 Setelah aspirasi abses,
dilanjutkan dengan pemberian antibiotik parenteral untuk mengatasi infeksi yang masih
berlangsung. Pada beberapa kasus, rekoleksi pus tidak terjadi sehingga tidak perlu diikuti
7
dengan tindakan insisi dan drainase.4 Namun 10% dari pasien mengalami rekoleksi pus dalam
1-2 hari.12
Insisi dan drainase (I&D) adalah teknik yang umumnya dilakukan untuk tatalaksana
akut dari abses peritonsil yang besar. Tindakan ini dapat mengurangi rasa sakit yang efektif
dan cepat 7,12 Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal dengan menyemprotkan
anestesi topikal. Insisi drainase intraoral dilakukan degan melakukan insisi mukosa diatas
abses, biasanya di lipatan supratonsilar (kutub atas). Forsep sinus dimasukkan melalui insisi
untuk merentangkan insisi. Pengisapan tonsil sebaiknya segera disediakan untuk
mengumpulkan pus yang dikeluarkan.10,15
Tonsilektomi quinsy atau hot tonsilectomy, bisa disebut juga dengan tonsilektomi
segera adalah tindakan pengangkatan jaringan tonsil dengan pembersihan abses yang sesegera
mungkin dilakukan.4 Indikasi untuk tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah adanya
8
obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis, abses leher bagian dalam, riwayat
abses peritonsil yang berulang.15 Beberapa penelitian mengatakan tindakan ini cukup sering
dilakukan karena dianggap prosedur yang aman dan dapat melakukan drainase sempurna dari
abses.7,4,12 Tonsilektomi juga dapat dilakukan setelah beberapa waktu pasca drainase yang
disebut tonsilektomi interval. Namun pada prosedur tersebut sering terjadi fibrosis sehingga
menyulitkan tonsilektomi.15
2.8.3.4. Tonsilektomi Interval
9
Gambar 10: Algoritma tatalaksana abses peritonsil12
10
BAB 3:
KESIMPULAN
Abses peritonsil adalah akumulasi pus yang terlokalisasi pada ruang peritonsil yang
merupakan perkembangan dari tonsillitis supuratif. Biasanya bakteri penyebab yang dapat
ditemukan adalah bakteri aerob, anaerob atau campuran. Bakteri aerob yang paling dominan
adalah Streptococcus sp. dan Haemophilus influenzae sedangkan bakteri anaerob paling
banyak adalah Provetella dan Fusobacterium. Selain itu klinisi juga harus menyengkirkan
diagnosis banding infeksi mononukleosis karena memiliki managemen medikamentosa yang
berbeda.
Diagnosis abses peritonsil dapat ditegakkan secara klinis melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pasien mengeluhkan gejala tonsillitis seperti sakit tenggorokan hingga
disfagia, terdapat demam tinggi dan nafas berbau. Gejala lainnya yang juga dapat muncul
adalah regurgitasi, hipersalivasi, suara gumam dan trismus. Pada pemeriksaan fisik faring dapat
terlihat permukaan mukosa faring hiperemis, arkus faring dan uvula terdorong ke arah
kontralateral, pembesaran tonsil dengan eksudat fluktuatif.
Abses peritonsil dapat mengakibatkan keadaan darurat seperti obstruksi jalan napas dan
aspirasi pneumonia; sehingga diagnosis perlu ditegakkan sedini mungkin untuk memberikan
terapi awal yang tepat. Modalitas tatalaksana awal adalah drainase abses dan pemberian
antibiotik yang tepat.
11
DAFTAR PUSTAKA
13