Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

ABSES PERITONSIL

Disusun oleh :

Raditya Wirasuta

21710078

Pembimbing :

dr. Lidwina Ratna Dewi, Sp. THT-KL

dr. I Gusti Ketut Putra, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK

STASE ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KEDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat pada Stase Ilmu

Penyakit THT-KL tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini bertujuan untuk

memenuhi tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit THT-KL Rumah Sakit

Umum Daerah Kabupaten Kediri.

Penulis berharap referat ini kedepannya berguna bagi pembaca, khususnya

bagi dokter muda yang sedang menjalani kepaniteraan klinik. Pada kesempatan ini

penulis sampaikan terima kasih kepada dr. Lidwina Ratna Dewi, Sp. THT-KL dan

dr. I Gusti Ketut Putra, Sp. THT-KL yang telah membimbing penulis dalam

menyelesaikan laporan kasus ini.

Penulis penyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

dari semua pihak.

Kediri, 03 Juli 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2
2.1 Anatomi ............................................................................................... 2
2.2 Definisi ................................................................................................ 3
2.3 Epidemiologi ....................................................................................... 4
2.4 Etiologi ................................................................................................ 5
2.5 Patofisiologi ........................................................................................ 6
2.6 Manifestasi klinis ................................................................................ 7
2.7 Diagnosis ............................................................................................. 8
2.8 Tatalaksana .......................................................................................... 9
2.9 Komplikasi ........................................................................................ 13
BAB III KESIMPULAN ........................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 15

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Peritonsillar space ................................................................ 3


Gambar II.2 Bakteri penyebab abses peritonsil ........................................ 6
Gambar II.3 Tanda klinis abses peritonsil ................................................. 8
Gambar II.4 CT-Scan abses peritonsil ...................................................... 9
Gambar II.5 Algoritma abses peritonsil .................................................. 12
Gambar II.6 Needle aspiration pada abses peritonsil ............................. 12

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Abses peritonsil adalah salah satu dari abses leher dalam yang paling sering

ditemukan. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia

leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,

mulut, tenggorok dan sekitarnya. Abses leher dalam merupakan salah satu penyakit

infeksi yang mengancam jiwa, dibentuk oleh lapisan fasia serfikalis yang profunda,

morbiditas dan mortalitasnya berkisar antara 1,6-40%. Sekalipun penyakit tonsilitis

akut merupakan penyakit yang benigna, tetapi komplikasinya dapat terjadi abses

peritonsil yang merupakan penyakit yang dapat mengancam jiwa, apabila tidak

diobati dengan segera dan adekuat. Pada abses peritonsil ditemukan kumpulan pus

yang berlokasi antara kapsul fibrosa tonsil palatina (biasanya di pul atas) dan otot

konstriktor faringeal superior. Daerah ini terdiri atas jaringan ikat longgar, infeksi

dapat menjalar dengan cepat membentuk cairan yang purulen. Inflamasi yang

progresif dapat meluas secara langsung ke arah palatum mole, dinding lateral

faring, dan jarang ke arah basis lidah (Marbun, 2016).

Abses peritonsil biasanya ditemukan pada orang dewasa dan dewasa muda,

sekalipun dapat terjadi pada anak-anak. Abses peritonsil umumnya terjadi akibat

komplikasi tonsilitis akut, dikatakan bahwa abses peritonsil merupakan salah satu

komplikasi umum dari tonsilitis akut, pada penelitian di seluruh dunia dilaporkan

insidens abses peritonsil ditemukan 10-37 per 100.000 orang (Marbun, 2016).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Tonsil palatina merupakan sepasang organ limfoid yang terletak di antara

lipatan palatoglosal (pilar anterior) dan lipatan palatofaringeus (pilar posterior)

disebut fosa tonsilaris. Dikelilingi oleh kapsul tipis yang memisahkan tonsil dari

otot konstriktor faringeus superior dan otot konstriktor faringeus bagian tengah.

Pilar anterior dan posterior membentuk bagian depan dan belakang ruangan

peritonsil. Bagian atas ruangan ini berhubungan dengan torus tubarius, di

bagian bawah dibatasi oleh sinus piriforis (Marbun, 2016).

Tonsil terletak pada lekukan antara palatoglossal dan lipatan

palatofaringeal. Selama tahap embrionik, tonsil muncul dari kantong faring

kedua sebagai tunas sel endodermal. Tak lama setelah lahir, tonsil tumbuh tidak

teratur dan mencapai ukuran dan bentuk akhir, tergantung pada jumlah jaringan

limfoid yang ada. Setiap tonsil memiliki jumlah yang tidak teratur pertumbuhan

ke dalam epitel permukaan yang dikenal sebagai kriptus tonsil. Tonsil

dikelilingi oleh kapsul, bagian khusus dari aponeurosis intrafaringeal yang

menutupi bagian medial amandel dan menyediakan jalan bagi pembuluh darah

dan saraf melalui seratnya. Abses peritonsiler terbentuk di daerah antara tonsil

palatina dan kapsulnya. Jika abses berkembang, itu dapat melibatkan anatomi

sekitarnya, termasuk masseter otot dan otot pterigoid (Steyer, 2002).

2
Gambar II. 1 : Peritonsillar space

2.2 Definsi

Abses peritonsil ditemukan kumpulan pus yang berlokasi antara kapsul

fibrosa tonsil palatina (biasanya di pul atas) dan otot konstriktor faringeal

superior. Daerah ini terdiri atas jaringan ikat longgar, infeksi dapat menjalar

dengan cepat membentuk cairan yang purulen. Inflamasi yang progresif dapat

meluas secara langsung ke arah palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang

ke arah basis lidah (Marbun, 2016).

3
2.3 Epidemiologi

Abses peritonsil kira-kira 30% dari abses leher dalam, sekalipun sudah di

era antibiotika, abses peritonsil masih sering ditemukan dengan jumlah yang

menurun menjadi 18% di United Kingdom dalam sepuluh tahun terahir ini.

Tonsilitis banyak ditemukan pada anak-anak. Abses peritonsil biasanya

ditemukan pada orang dewasa dan dewasa muda, sekalipun dapat terjadi pada

anak-anak. Abses peritonsil umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut,

dikatakan bahwa abses peritonsil merupakan salah satu komplikasi umum dari

tonsilitis akut, pada penelitian di seluruh dunia dilaporkan insidens abses

peritonsil ditemukan 10-37 per 100.000 orang. Di Amerika dilaporkan 30 kasus

per 100 orang per tahun, 45.000 kasus baru per tahun. Data yang akurat secara

internasional belum dilaporkan. Abses peritonsil biasanya unilateral, kasus

bilateral jarang ditemukan. Usia bervariasi paling tinggi pada usia 15-35 tahun,

tidak ada perberdaan antara laki-laki dan perempuan. Marom, et al melakukan

studi pada 427 pasien dengan abses peritonsil, dikatakan bahwa karakteristik

abses peritonsil berubah, dikatakan penyakit ini lebih lama dan lebih buruk, dan

faktor merokok mungkin merupakan faktor predisposisi. Abses peritonsil

adalah kumpulan pus di dalam ruangan antara tonsil dan otot m. konstriktor

superior. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling

sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali

pada mereka yang menurun sistem immunnya, tetapi infeksi bisa menyebabkan

obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Bukti menunjukkan

bahwa tonsilitis kronik atau percobaan penggunaan antibiotik oral untuk

4
tonsilitis akut merupakan predisposisi untuk berkembangnya abses peritonsil

(Marbun, 2016).

2.4 Etiologi

Abses peritonsil dianggap sebagai tahap terakhir dari rangkaian yang

dimulai sebagai tonsilitis eksudatif akut, yang berkembang menjadi selulitis dan

akhirnya pembentukan abses. Namun, ini mengasumsikan hubungan erat antara

abses peritonsillar dan tonsilitis streptokokus. Karena kejadian abses peritonsil

tersebar merata sepanjang tahun dan tonsilitis streptokokus umumnya musiman.

Pembentukan abses mungkin tidak berasal dari tonsil itu sendiri. Beberapa teori

menyatakan bahwa kelenjar Weber berkontribusi pada pembentukan abses

peritonsillar. Kelompok kelenjar ludah mukosa minor ini terletak di ruang

superior tonsil di pallatum mole dan dihubungkan oleh saluran ke permukaan

tonsil. Kelenjar ini membersihkan area tonsil dari debris dan membantu

mencerna partikel makanan yang terperangkap di kripta tonsil. Jika kelenjar

Weber meradang, selulitis lokal dapat berkembang. Saat infeksi berkembang,

saluran ke permukaan tonsil menjadi terhalang dari peradangan di sekitarnya.

Nekrosis jaringan yang dihasilkan dan pembentukan nanah menghasilkan tanda

dan gejala klasik abses peritonsillar. Abses ini umumnya terbentuk di dalam

bagian yang lunak, tepat di atas kutub superior tonsil, yang bertepatan dengan

lokasi yang khas. dari abses peritonsillar. Kurangnya abses ini dalam pasien

yang telah menjalani tonsilektomi mendukung teori bahwa kelenjar Weber

dapat berkontribusi pada patogenesis dari abses peritonsillar (Galioto, 2017).

5
Organisme paling umum yang terkait dengan terjadinya abses peritonsil

tercantum pada Tabel II. 2. Streptococcus pyogenes (streptokokus beta-

hemolitik grup A) adalah yang paling umum organisme aerobik yang terkait

dengan abses peritonsil. Organisme anaerobik yang paling umum adalah

Fusobakteri. Untuk sebagian besar abses, profil campuran keduanya organisme

aerob dan anaerob menyebabkan infeksi (Steyer, 2002).

Gambar II. 2 : Bakteri penyebab abses peritonsil

2.5 Patofisiologi

Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut,

walaupun dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki

kapsul tonsil sehingga terjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan

nanah. Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat

longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering

menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses

peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium

permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan

yang hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah

6
tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan

peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak

terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan

di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga

timbul trismus (Soepardi et al, 2012). Kelenjar Weber adalah kelenjar mucus

yang terletak di atas kapsul tonsil, kelenjar ini mengeluarkan air liur ke

permukaan kripta tonsil. Kelenjar ini bisa tertinggal pada saat tonsilektomi,

sehingga dapat menjadi sumber infeksi setelah tonsilektomi. Dilaporkan bahwa

penyakit gigi dapat memegang peranan dalam etiologi abses peritonisl. Fried

dan Forest menemukan 27% adanya riwayat infeksi gigi. Abses peritonsil

mengalami peningkatan pada penyakit periodontal dibandingkan tonsilitis

rekuren (Marbun, 2016).

2.6 Manifestasi Klinis

Nyeri tenggorok (Odinofagi) dapat merupakan gejala menonjol, dan pasien

mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat

tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah

seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore),

muntah (regurgitasi), sampai nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul

bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid. Pemeriksaan fisik kadang-

kadang sukar dilakukan, karena adanya trismus. Palatum mole tampak

membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan

terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak

detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah (Soepardi et al, 2012).

7
Gambar II. 3 : Tanda klinis abses peritonsil

2.7 Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, dan

pemeriksaan fisik. Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan

diagnosis. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau

punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses

peritonsil. Yang merupakan gold standar untuk mendiagnosis abses peritonsil

adalah dengan mengumpulkan pus dari abses dengan menggunakan jarum

aspirasi. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat

dilakukan dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat

membantu selain untuk diagnosis, juga untuk perencanaan penatalaksanaan.

Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti

darah lengkap, pemeriksaan radiologi polos posisi antero-posterior hanya

menunjukkan “distorsi” dari jaringan tetapi tidak berguna untuk menentuan

pasti lokasi abses, pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang

hipodens, yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena, di samping

itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini

8
dapat membantu untuk rencana operasi. Ultrasonografi merupakan teknik yang

sederhana dan noninvasif dapat membantu dalam membedakan antara selulitis

dan awal abses (Marbun, 2016).

Gambar II. 4 : CT-Scan abses peritonsil

2.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat, untuk mencegah

obstruksi pernafasan dan mencegah meluasnya abses ke ruang parafaring dan

mediastinum serta basis kranii. Setelah dibuat diagnosa abses peritonsil, segera

dilakukan aspirasi kemudian insisi abses dan drainase. Masih ada kontroversi

antara insisi drainase dengan aspirasi jarum saja, atau dilanjutkan dengan insisi

dan drainase, Gold standard adalah insisi dan drainase abses. Pus yang diambil

dilakukan pemeriksaan kultur dan resistensi test. Penanganan meliputi,

9
menghilangkan nyeri, dan antibiotik yang efektif mengatasi bakteri aerob dan

bakteri anaerob. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan

obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat. Pemilihan

antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi

jarum. Penisilin merupakan drug of chioce pada abses peritonsil dan efektif

pada 98% kasus jika yang dikombinasikan dengan metronidazole.

Metronidazole merupakan antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob

(Galioto, 2017; Marbun, 2016).

Teknik insisi pada abses peri tonsil dapat dilakukan dengan posisi duduk

dengan menggunakan anestesi lokal. Pertama faring disemprot dengan anestesi

topikal. Kemudian 2 cc Xilocain dengan adrenalin 1/100,000 disuntikkan.

Dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memeastikan ada pus, kemudian pisau

tonsil no 12 atau no 11 dengan plester untuk mencegah penetrasi yang dalam

yang digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dakat

kutub atas fosa tonsilaris. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada : 1,

dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif dan paling menonol, pada titik yang

terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara dasar uvula dengan

molar terakhir pada sisi yang sakit, pada pertengahan garis horizontal antara

pertengahan basis uvula dan M3 atas. Hemostat tumpul dimasukkan melalui

insisi ini dan dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsil sebaiknya segera

disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan. Jika terdapat trismus,

maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesia (lokal), dengan

menyuntikkan xylocain atau novocain 1% di ganglion sfenopalatinum.

10
Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dari konka media. Ganglion

sfenopalatinum mempunyai cabang n. palatina anterior, media dan posterior

yang mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di atas tonsil.

Daerah yang paling tepat untuk insisi mendapat inervasi dari cabang palatine

m. trigeminus yang melewati ganglion sfenopalatinum. Kemudian pasien

dianjurkan untuk operasi tonsilektomi Bila tonsilektomi dilakukan bersama-

sama dengan tindakan drainase abses maka disebut tonsilektomi “a chaud”,

bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah darinase abses disebut

tonsilektomi “a tiede” dan bila tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu sesudah

drainase abses disebut tonsilektomi “a froid”. Pada umumnya tonsilektomi

dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses

peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.

Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat

ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil.

Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat

kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi

menganjurkan tonsilektomi segera (Marbun, 2016).

11
Gambar II. 5 : Algoritma abses peritonsil

Gambar II. 6 : Needle aspiration pada abses peritonsil

12
2.9 Komplikasi

Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan

makanan yang kurang. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi

perdarahan, aspirasi paru atau pyemia, penjalaran infeksi abses ke daerah

parafaring sehingga terjadi abses parafaring, penjalaran ke daerah intrakranial

dapat mengakibatkan trombus sinus kavenosus, meningitis dan abses otak. Pada

keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan menghasilkan gejala sisa

neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran

abses adalah sepsis, endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah

ditemukan. Pembengkakan yang timbul di daerah supraglotis dapat

menyebabkan obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi

(Gupta dan McDowel, 2021; Marbun, 2016).

13
BAB III

KESIMPULAN

Abses peritonsil ditemukan kumpulan pus yang berlokasi antara kapsul

fibrosa tonsil palatina (biasanya di pul atas) dan otot konstriktor faringeal superior.

Daerah ini terdiri atas jaringan ikat longgar, infeksi dapat menjalar dengan cepat

membentuk cairan yang purulen. Inflamasi yang progresif dapat meluas secara

langsung ke arah palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang ke arah basis

lidah. Manifestasi klinis dari abses peritonsil yaitu odinofagia, hot potato voice,

foetor ex ore, demam, nyeri telinga, trismus. Tanda klinis yang didapatkan

diantaranya seperti trismus, palatum mole tampak membengkak dan menonjol

kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral.

Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah,

depan, dan bawah. Gold standart diagnosa dari abses peritonsil yaitu dengan needle

aspiration. Untuk tatalaksana yang dapat dilakukan yaitu dengan insisi dan drainase

apabila sudah dipastikan terdapat abses.

14
DAFTAR PUSTAKA

Galioto, N.J. 2017. Peritonsillar Abscess. American Academy of Family

Physicians. Availabel at www.aafp.org/afp.

Gupta, G., McDowel, R.H. 2021. Peritonsillar Abscess. StatPearls Publishing.

Available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519520/.

Marbun, E.M. 2016. Diagnosis, Tatalaksana, dan Komplikasi Abses Peritonsil.

Jurnal Kedokteran Meditek Vol. 22; No. 60.

Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D. 2012. Abses Peritonsil

dalam Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi

Ketujuh. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Steyer, T.E. 2002. Peritonsillar Abscess : Diagnosis and Treatment. American

Family Physician Vol. 65; No. 1. Available at www.aafp.org/afp.

15

Anda mungkin juga menyukai