“TETANUS”
Referat ini dibuat untuk melengkapi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di Bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Dr. R.M Djoelham Binjai
Disusun Oleh:
Dwi Costarica Sawitri
`102119021
Pembimbing:
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas izinnya penulis dapat menyelesaikan refarat ini yang berjudul “TETANUS”.
Djoelham Binjai.
pengarahan agar refarat ini lebih baik dan bermanfaat. Tentunya penulis
menyadari bahwa refarat ini banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar kedepannya
Besar harapan penulis agar refarat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
meningkatkan keilmuannya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat. Dan pada tahun 1890, ditemukan toksin yang dikenal dengan
tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri.
lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari
tetanus.1
Secara keseluruhan, tingkat kematian penderita tetanus sekitar 45%. Klinis
tetanus bergantung terhadap pernah atau tidaknya seseorang mendapatkan vaksin
tetanus toksoid pada waktu selama hidup mereka. Yang pernah mendapatkan
vaksin klinisnya tidak begitu berat berbeda dengan yang tidak cukup divaksinasi
atau tidak divaksinasi sama sekali. Angka kematian di Amerika Serikat 6% bagi
mereka yang telah menerima 1-2 dosis toksoid tetanus, dibandingkan dengan 15%
bagi mereka yang tidak divaksinasi. Angka kematian di Amerika Serikat adalah
18% 2001-2008 dan 11% tahun 1995-1997, tingkat kematian sebesar 91%
dilaporkan pada tahun 1947. Angka kematian yang tertinggi bagi orang-orang
berusia 60 (40%) dibandingkan dengan mereka yang berusia 20 sampai 59 tahun
(8%)2.
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama
disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi pada telinga, luka tusuk pada anak usia
sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Di negara maju
kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah
sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Penyakit ini dapat dicegah
dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka
kematian yang tinggi pula. Oleh karena itu, kasus tetanus akan dibahas lebih
lanjut pada referat ini baik dari klinis penyakit hingga penatalaksaannya.2
1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus yang
dilaporkan telah menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena
meluasnya penggunaan imunisasi terhadap tetanus (lihat grafik di bawah).
Selain itu sanitasi lingkungan yang bersih2.
2
Gambar 1. Penurunan kasus tetanus di Amerika Serikat karena ada program
imunisasi nasional13
Namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti
Indonesia, insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal
ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi
kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh
karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab
kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir- akhir ini
dengan adanaya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka
angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis4.
2.3. Klasifikasi
3
berupa risus sardonicus yakni spasme otot-otot muka. Kontraksi otot
meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot
punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang
tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi
ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran
penuh.
c. Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di
kepala, wajah atau otitis media, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung. Banyak kasus berkembang menjadi tipe umum.
Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII paling sering
terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang setelah
menembus luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf
kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV,
IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam
beberapa hari bahkan berbulan-bulan.
d. Tetanus neonatorum
Merupakan bentuk tetanus umum yang terjadi pada bayi baru lahir.
Tetanus neonatorum terjadi pada bayi yang tidak mendapatkan
perlindungan imunisasi pasif, karena ibu yang tidak diimunisasi. Infeksi
biasanya terjadi melalui umbilikus yang dipotong dengan perangkat yang
tidak steril. Tetunus neonatorum sering terjadi di negara-negara
berkembang (terhitung sekitar lebih dari 215.000 kematian di dunia pada
tahun 1998), namun sangat jarang terjadi di Amerika Serikat.
Patel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan
berdasarkan gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :
I. Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
II. Spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
III. Inkubasi antara 7 hari atau kurang
IV. Waktu onset adalah 48 jam atau kurang
4
V. Kenaikan suhu rektal sampai 1000 farenheit dan aksila sampai 990
Farenheit
2.4. Etiologi
5
Kuman ini juga menghasilkan 2 macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Fungsi tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun
diketahui dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat pada luka
terinfeksi, menurunkan potensial reduksi dan meningkatkan pertumbuhan
organisme anaerob. Tetanolisin ini diketahui dapat merusak membran sel
lebih dari satu mekanisme. Tetanospasmin (toksin spasmogenik) ini
merupakan neurotoksin potensial yang menyebabkan penyakit.
Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang dikenal berdasarkan
beratnya. Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal asam amino
polipeptida 151-kD 1315 yang dikodekan pada plsmid 75 kb. Tetanospasmin
ini mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran neurotransmiter glisin dan
GABA pada terminal inhibisi daerah presinaps sehingga pelepasan
neurotransmiter inhibisi dihambat dan menyebabkan relaksasi otot terhambat.
Batas dosis terkecil tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada
manusia adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram
untuk manusia dengan berat badan 75 kg.
6
manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin
(tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman
penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan
pemotongan tali pusat yang tidak steril5.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke
seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin
tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem
saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada
sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf autonom.
Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat
ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke
kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke Sistem Saraf
Pusat (SSP). Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap
susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari
neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol atau
eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk
melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan Gamma
Aminobutyric Acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama,
sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan
penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris.
Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter
(trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan
yang berat, pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul
kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah
7
menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau
neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari
sistem saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta
kekakuan dari otot leher5.
Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spasme laring, hipertensi,
gangguan irama janjung, hiperfleksi, hiperhidrosis merupakan penyulit akibat
gangguan saraf otonom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal
sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom
harus dikenali dan di kelola dengan teliti5.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada
beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara5 :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara
menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi
dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside.
8
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu6:
a. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
a. Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh
merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi
kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan.
Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih
berlangsung.
9
b. Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang
meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa
dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah,
sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus),
karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan
tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam
setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi
lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan.
Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena
berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari
langit-langit mulut menjadi terbatas.
c. Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah
kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya
kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari
luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya,
sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya
berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan
dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat
menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan
patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat.
Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga
beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas,
10
akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan
penderita tidak dapat menelan.
Gambar 3. Spasme otot akibat masuknya toksin dari kuman Clostridium tetani13
2.7. Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan anamnesa.
Tetanus tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah
diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan.
Biakan anaerob dari jaringan luka yang terkontaminasi didapat organisme
Clostridium tetani, dan elektromiogram mungkin menunjukkan impuls unit-
unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara
normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non-spesifik dapat
dijumpai pada elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin meningkat.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus.
Pada pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin meningkat, laju endap
darah sedikit meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal masih dalam batas
normal. Tingkat serum enzim otot mungkin meningkat. Diagnosis ditegakkan
secara klinis dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada
konfirmasi bakteriologis. C. Tetani hanya ditemukan pada 30% pada luka
pasien dengan kasus tetanus, dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak
memberikan gejala tetanus.
11
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, dapat dinilai dari
pemeriksaan fisik, tes laboratorium (dimana cairan serebrospinal normal dan
pemeriksaan darah rutin, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase dapat
meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang
lengkap atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan
kesadaran yang tetap normal6.
a. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana
adanya kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar
protein meningkat dan glukosa menurun.
b. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.
c. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.
d. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium
dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah
karpopedal spasme dan biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang
dijumpai trismus.
2.9. Penatalaksanaan
a. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan
pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai
berikut8:
12
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan
nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan
1-2 jam setelah penyuntikan ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat
diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya dan
tindakan terhadap penderita
4. Oksigen
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
13
c) Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5
mg/KgBB tiap 6 jam
3. Antitoksin lainnya
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi
yang serius.
4. Tetanus toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
14
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT
harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
5. Antikonvulsan
Tabel 1. Jenis Antikonvulsan9
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan Stupor, Koma
/ 4 jam (IM)
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depresi pernafasan
2.10. Komplikasi
1. Pada saluran pernapasan
15
Oleh karena spasme dapat terjadi pada otot-otot pernapasan dan
spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya
asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur
dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi,
atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal
emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
2. Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
miokardium.
3. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi
perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna
vertebralis akibat kejang yang terus menerus terutama pada anak dan
orang dewasa.
4. Komplikasi yang lain :
a. Laserasi lidah akibat kejang
b. Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
c. Demam yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
d. Kematian yang dapat terjadi akibat komplikasi, yaitu:
bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumothoraks.
2.11. Prognosis
16
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya
makin buruk.
3. Onset
Onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sampai terjadinya kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosanya
dapat buruk.
4. Demam
Pada tetanus tidak selalu ada febris. Adanya hiperpireksia prognosanya
jelek.
5. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosanya buruk.
6. Ada tidaknya komplikasi
7. Frekusensi kejang
Semakin sering prognosanya makin buruk.
2.12. Pencegahan
Pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan
satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan
pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan
cara pemberian imunisasi aktif (DPT atau DT). Mencegah tetanus melalui
vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak,
vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT (difteri, pertusis,
tetanus) Bagi yang sudah dewasa sebaiknya menerima booster. Selain itu
perawatan luka yang benar dan anti tetanus serum untuk profilaksis.12
17
BAB III
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19
20