Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

“TETANUS”

Referat ini dibuat untuk melengkapi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di Bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Dr. R.M Djoelham Binjai

Disusun Oleh:
Dwi Costarica Sawitri
`102119021

Pembimbing:

dr. Filemon Tarigan, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIS ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD DR RM DJOELHAM KOTA BINJAI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas izinnya penulis dapat menyelesaikan refarat ini yang berjudul “TETANUS”.

Refarat ini di buat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegiatan

kepanitraan klinik senior dibagian ilmu penyakit saraf di RSUD. DR. R. M.

Djoelham Binjai.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada

pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan

pengarahan agar refarat ini lebih baik dan bermanfaat. Tentunya penulis

menyadari bahwa refarat ini banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar kedepannya

penulis dapat memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan tersebut.

Besar harapan penulis agar refarat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk

meningkatkan keilmuannya.

Binjai, Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2

2.1 Definisi ...................................................................................... 2

2.2 Epidemiologi .............................................................................. 2

2.3 Klasifikasi ................................................................................... 3


2.4 Etiologi ...................................................................................... 5
2.5 Patofisiologi .............................................................................. 6
2.6 Manifestasi Klinis ..................................................................... 9
2.7 Diagnosis ................................................................................... 11
2.8 Diagnosis Banding .................................................................... 11
2.9 Penatalaksanaan ........................................................................ 12
2.10 Komplikasi ................................................................................ 15
2.11 Prognosis ................................................................................... 16
2.12 Pencegahan ................................................................................ 17

BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat. Dan pada tahun 1890, ditemukan toksin yang dikenal dengan
tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri.
lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari
tetanus.1
Secara keseluruhan, tingkat kematian penderita tetanus sekitar 45%. Klinis
tetanus bergantung terhadap pernah atau tidaknya seseorang mendapatkan vaksin
tetanus toksoid pada waktu selama hidup mereka. Yang pernah mendapatkan
vaksin klinisnya tidak begitu berat berbeda dengan yang tidak cukup divaksinasi
atau tidak divaksinasi sama sekali. Angka kematian di Amerika Serikat 6% bagi
mereka yang telah menerima 1-2 dosis toksoid tetanus, dibandingkan dengan 15%
bagi mereka yang tidak divaksinasi. Angka kematian di Amerika Serikat adalah
18% 2001-2008 dan 11% tahun 1995-1997, tingkat kematian sebesar 91%
dilaporkan pada tahun 1947. Angka kematian yang tertinggi bagi orang-orang
berusia 60 (40%) dibandingkan dengan mereka yang berusia 20 sampai 59 tahun
(8%)2.
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama
disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi pada telinga, luka tusuk pada anak usia
sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Di negara maju
kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah
sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Penyakit ini dapat dicegah
dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka
kematian yang tinggi pula. Oleh karena itu, kasus tetanus akan dibahas lebih
lanjut pada referat ini baik dari klinis penyakit hingga penatalaksaannya.2

1
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu
neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat
dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat
serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan
kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja
toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada
sistem saraf perifer atau otot.

2.2. Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus yang
dilaporkan telah menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena
meluasnya penggunaan imunisasi terhadap tetanus (lihat grafik di bawah).
Selain itu sanitasi lingkungan yang bersih2.

2
Gambar 1. Penurunan kasus tetanus di Amerika Serikat karena ada program
imunisasi nasional13
Namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti
Indonesia, insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal
ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi
kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh
karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab
kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir- akhir ini
dengan adanaya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka
angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis4.

2.3. Klasifikasi

Secara klinis, tetanus dibedakan atas6 :


a. Tetanus lokal
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi. Hal inilah merupakan tanda dari tetanus
lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam
beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi tetanus umum, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal
tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai
secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.
b. Tetanus umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul
mendadak, trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai.
Spasme otot maseter dapat terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher
dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas.
Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik

3
berupa risus sardonicus yakni spasme otot-otot muka. Kontraksi otot
meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot
punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang
tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi
ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran
penuh.
c. Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di
kepala, wajah atau otitis media, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung. Banyak kasus berkembang menjadi tipe umum.
Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII paling sering
terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang setelah
menembus luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf
kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV,
IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam
beberapa hari bahkan berbulan-bulan.
d. Tetanus neonatorum
Merupakan bentuk tetanus umum yang terjadi pada bayi baru lahir.
Tetanus neonatorum terjadi pada bayi yang tidak mendapatkan
perlindungan imunisasi pasif, karena ibu yang tidak diimunisasi. Infeksi
biasanya terjadi melalui umbilikus yang dipotong dengan perangkat yang
tidak steril. Tetunus neonatorum sering terjadi di negara-negara
berkembang (terhitung sekitar lebih dari 215.000 kematian di dunia pada
tahun 1998), namun sangat jarang terjadi di Amerika Serikat.
Patel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan
berdasarkan gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :
I. Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
II. Spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
III. Inkubasi antara 7 hari atau kurang
IV. Waktu onset adalah 48 jam atau kurang

4
V. Kenaikan suhu rektal sampai 1000 farenheit dan aksila sampai 990
Farenheit

Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas, maka dibuatlah tingkatan


penyakit tetanus sebagai berikut :

I. Ringan, minimal 1 kriteria ( K1 / K2 ) mortalitas 0 %


II. Sedang, minimal 2 kriteria ( K1& K2) dengan masa inkubasi lebih dari 7
Hari dan onset lebih dari 2 hari, moirtalitas 10 %
III. Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari dan
onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%
IV. Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%
V. Biasanya mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di dalamnya adalah
tetanus neonatorum maupun puerpurium

2.4. Etiologi

Penyakit tetanus ini disebabkan karena Clostridium tetani yang


merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak,
ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora
pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh
drum atau raket tenis. Kuman ini bisa masuk melalui luka di kulit. Spora yang
ada tersebar secara luas pada tanah dan karpet, serta dapat diisolasi pada
banyak feses binatang pada kuda, domba, sapi, anjing, kucing, marmot dan
ayam. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik.
Spora ini akan menjadi bentuk aktif kembali ketika masuk ke dalam luka dan
kemudian berproliferasi jika potensial reduksi jaringan rendah. Spora ini sulit
diwarnai dengan pewarnaan gram, dan dapat bertahan hidup bertahun – tahun
jika tidak terkena sinar matahari. Bentuk vegetatif ini akan mudah mati
dengan pemanasan 120oC selama 15 – 20 menit tapi dapat betahan hidup
terhadap antiseptik fenol, kresol.

5
Kuman ini juga menghasilkan 2 macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Fungsi tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun
diketahui dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat pada luka
terinfeksi, menurunkan potensial reduksi dan meningkatkan pertumbuhan
organisme anaerob. Tetanolisin ini diketahui dapat merusak membran sel
lebih dari satu mekanisme. Tetanospasmin (toksin spasmogenik) ini
merupakan neurotoksin potensial yang menyebabkan penyakit.
Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang dikenal berdasarkan
beratnya. Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal asam amino
polipeptida 151-kD 1315 yang dikodekan pada plsmid 75 kb. Tetanospasmin
ini mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran neurotransmiter glisin dan
GABA pada terminal inhibisi daerah presinaps sehingga pelepasan
neurotransmiter inhibisi dihambat dan menyebabkan relaksasi otot terhambat.
Batas dosis terkecil tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada
manusia adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram
untuk manusia dengan berat badan 75 kg.

Gambar 2. Mikroskopik Clostridium tetani.

2.5. Patogenesis dan patofisiologi


Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif
anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah
inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera atau luka
(masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang

6
manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin
(tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman
penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan
pemotongan tali pusat yang tidak steril5.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke
seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin
tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem
saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada
sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf autonom.
Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat
ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke
kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke Sistem Saraf
Pusat (SSP). Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap
susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari
neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol atau
eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk
melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan Gamma
Aminobutyric Acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama,
sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan
penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris.
Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter
(trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan
yang berat, pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul
kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah

7
menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau
neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari
sistem saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta
kekakuan dari otot leher5.
Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spasme laring, hipertensi,
gangguan irama janjung, hiperfleksi, hiperhidrosis merupakan penyulit akibat
gangguan saraf otonom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal
sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom
harus dikenali dan di kelola dengan teliti5.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada
beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara5 :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara
menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi
dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System


(ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urin5.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan


meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga
terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif
terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya
menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi
agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas4.

8
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu6:

a. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk


bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering
disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan
wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio
kematian sangatlah tinggi5.

2.6. Manifestasi Klinis


Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-
2 hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk
prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium
tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka
dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin
panjang5.
Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini
berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh.
Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit
tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu7 :

a. Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh
merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi
kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan.
Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih
berlangsung.

9
b. Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang
meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa
dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah,
sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus),
karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan
tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam
setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi
lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan.
Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena
berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari
langit-langit mulut menjadi terbatas.
c. Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah
kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya
kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari
luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya,
sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya
berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan
dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat
menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan
patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat.
Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga
beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas,

10
akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan
penderita tidak dapat menelan.

Gambar 3. Spasme otot akibat masuknya toksin dari kuman Clostridium tetani13

2.7. Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan anamnesa.
Tetanus tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah
diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan.
Biakan anaerob dari jaringan luka yang terkontaminasi didapat organisme
Clostridium tetani, dan elektromiogram mungkin menunjukkan impuls unit-
unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara
normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non-spesifik dapat
dijumpai pada elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin meningkat.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus.
Pada pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin meningkat, laju endap
darah sedikit meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal masih dalam batas
normal. Tingkat serum enzim otot mungkin meningkat. Diagnosis ditegakkan
secara klinis dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada
konfirmasi bakteriologis. C. Tetani hanya ditemukan pada 30% pada luka
pasien dengan kasus tetanus, dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak
memberikan gejala tetanus.

2.8. Diagnosis Banding

11
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, dapat dinilai dari
pemeriksaan fisik, tes laboratorium (dimana cairan serebrospinal normal dan
pemeriksaan darah rutin, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase dapat
meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang
lengkap atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan
kesadaran yang tetap normal6.
a. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana
adanya kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar
protein meningkat dan glukosa menurun.
b. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.
c. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.
d. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium
dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah
karpopedal spasme dan biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang
dijumpai trismus.

2.9. Penatalaksanaan
a. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan
pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai
berikut8:

12
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan
nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan
1-2 jam setelah penyuntikan ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat
diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya dan
tindakan terhadap penderita
4. Oksigen
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

b. Khusus (Obat- obatan)10


1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000
Unit/ kgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif
terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia
Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit
/kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari
C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya
komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
Tetrasiklin, eritromisin dan metronidazole dapat diberikan terutama bila
penderita alergi penisilin. Dosis yang diberikan :
a) Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis
b) Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.

13
c) Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5
mg/KgBB tiap 6 jam

2. Anti Tetanus Toksin


Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk :
a) Toksin bebas dalam darah
b) Toksin bergabung dengan jaringan saraf
Yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah.
Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat
dinetralisir oleh antioksidan. Sebelum pemberian antitoksin harus
dilakukan : anamnesa apakah ada riwayat alergi, tes kulit dan mata, dan
harus sedia adrenalin 1:1000. Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari
serum kuda, yang bersifat heterolog sehingga mungkin terjadi syok
anafilaktik.
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Berhrmann (1987)
dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000-100.000 u yang
diberikan setengah lewat i.v. dan setengahnya i.m. pemberian lewat
i.v.diberikan selama 1-2 jam.

3. Antitoksin lainnya
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi
yang serius.

4. Tetanus toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat

14
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT
harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.

5. Antikonvulsan
Tabel 1. Jenis Antikonvulsan9
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan Stupor, Koma
/ 4 jam (IM)
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depresi pernafasan

Obat yang lazim digunakan ialah9 :


a) Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka
diberikan dosis 0,5 mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis
optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti
pemberian diazepam peroral (sonde lambung) dengan dosis
0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.
b) Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus
yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi
mekanik, dosis diazepam dapat di tingkatkan sampai 480mg/hari
dengan bantuan ventilasi mekanik. Dapat pula dipertimbangkan
penggunaan magnesium sulfat, dila ada gangguan saraf otonom.
c) Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m.
Dilanjutkan dengan dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis.

2.10. Komplikasi
1. Pada saluran pernapasan

15
Oleh karena spasme dapat terjadi pada otot-otot pernapasan dan
spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya
asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur
dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi,
atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal
emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
2. Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
miokardium.
3. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi
perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna
vertebralis akibat kejang yang terus menerus terutama pada anak dan
orang dewasa.
4. Komplikasi yang lain :
a. Laserasi lidah akibat kejang
b. Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
c. Demam yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
d. Kematian yang dapat terjadi akibat komplikasi, yaitu:
bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumothoraks.

2.11. Prognosis

Dipengaruhi oleh beberapa faktor11 :


1. Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasinya makin ringan penyakitnya, sebaliknya
makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila
inkubasi < 7 hari tergolong berat.
2. Umur

16
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya
makin buruk.
3. Onset
Onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sampai terjadinya kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosanya
dapat buruk.
4. Demam
Pada tetanus tidak selalu ada febris. Adanya hiperpireksia prognosanya
jelek.
5. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosanya buruk.
6. Ada tidaknya komplikasi
7. Frekusensi kejang
Semakin sering prognosanya makin buruk.

2.12. Pencegahan
Pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan
satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan
pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan
cara pemberian imunisasi aktif (DPT atau DT). Mencegah tetanus melalui
vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak,
vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT (difteri, pertusis,
tetanus) Bagi yang sudah dewasa sebaiknya menerima booster. Selain itu
perawatan luka yang benar dan anti tetanus serum untuk profilaksis.12

17
BAB III

KESIMPULAN

Angka kejadian penyakit tetanus sudah mulai berkurang di negara maju,


namun berbeda dengan yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia,
insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan
karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,
perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Tetanus adalah penyakit yang gejalanya adalah kekakuan dari otot,
terutama otot wajah dan leher. Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari
kuman Clostridium tetani yang masuk melalui luka pada tubuh walaupun luka itu
kecil. Berat ringannya penyakit ini tergantung dari masa inkubasi, onset, kejang
lokal atau umum dan ada atau tidaknya gangguan autonomik karena hal ini yang
menyebabkan kematian pada tetanus.
Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama
penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir-
akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia,
maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FK UI, Jakarta:


2006, hal 474-476.
2. Widiyono. 2008. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan
pemberantasan. Edisi I. Jakarta : Erlangga
3. Mardjono, mahar. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta Dian Rakyat.hal
323-324.
4. Soedarmo, Garna, dkk. 2008. Tetanus. Buku Ajar Infeksi Tropik. Jakarta :
EGC
5. Farrar, Cook T. Tetanus. Journal of Neurology, Neurosurgery and
Psychiatry. hal 292-301.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus.
Health Technology Assesment Indonesian.
7. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta.
hal 1777-1784
8. Misbach, Jusuf, dkk. 2006. Standar Pelayanan Medis & Standar Prosedur
Operasional Neurologi. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Sarafn
Indonesia (PERDOSSI).
9. Philip, Jevon & Beverley. 2008. Pemantauan Pasien Kritis. Edisi II. Jakarta :
Erlangga.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus.
Jakarta.
11. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2006. Neurologi. Palembang : FK
UNSRI
12. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Editor : Harsono. 2007. Buku
Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada

19
20

Anda mungkin juga menyukai