Anda di halaman 1dari 15

TUGAS LOGBOOK

BLOK GANGGUAN SISTEM INDERA KHUSUS

Dwi Costarica Sawitri (61115045)

Misna Misi (61115064)

Sauqi Syahrur Batubara (61115062)

Serli Ulfa Novia Dewi (61115052)

Dosen Pembimbing : dr. Yani Christina, Sp.KFR

Fakultas Kedokteran

Universitas Batam

2018-2019
Skenario

Tn. R, usia 30 tahun, bekerja di tempat pengelasan, datang dengan keluhan mata perih
akibat kemasukan serbuk besi sejak dua hari yang lalu. R juga mengeluhkan mata merah
dan selalu benar.

A. Rumusan Masalah

1. Mengapa mata Tn. R merah dan berair ?


2. Apakah mata yang terkena serbuk besi bisa disembuhkan ?
3. Pemeriksaan apa yang harus di lakukan Tn. R ?
4. Apakah yang dialami Tn. R dapat menurunkan visus ?
5. Apakah ada faktor resiko dari gejala yang dialami Tn. R ?

B. Hipotesis

1. Ya, karena serbuk besi yang mengenai mata menyebabkan pembesaran pembuluh
darah, sehingga mata menjadi merah dan berair
2. Bisa, saat terkena serbuk besi penderita tidak boleh mengusap dan menggosok-gosok
matanya. Jika matanya merah perih dan berair, maka bisa menggunakan obat tetes
mata yang dijual di apotik. Tapi jika onset nya bertambah lama mak harus di rujuk ke
dokter supaya tidak terjadi komplikasi yang bisa menyebabkan kebutaan.
3. Pemeriksaan visus mata, pemeriksaan sekret, pemeriksaan kornea dan pemeriksaan
konjungtiva
4. Ya, apabila kasus Tn.R mengenai salah satu struktur bervaskuler (media refraksi)
5. Ada, salah satunya adalah lingkungan pekerjaan seperti yang dialami oleh Tn.R.
6. Skema

KU: mata perih


Tn. R
Onset, 2 hari yang
Usia 30 th lalu
Karyawan salah satu KP: mata merah dan
tempat pengelasan berair

DD:

- Corpus alienum okuli


skleritis

-Konjungtivitis

-Keratitis

-Uveitis

7. Learning Objective
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang :
1. Anatomi dan Fisiologi Mata
2. Definisi Keratitis
3. Epidemiologi Keratitis
4. Etiologi Keratitis
5. Patofisiologi Keratitis
6. Manifestasi Klinis Keratitis
7. Penegakan Diagnosis Keratitis
8. Penatalaksanaan Keratitis
9. Komplikasi Keratitis
10. Prognosis Keratitis
8. Pembahasan
1. Anatomi dan Fisiologi Mata

Mata merupakan organ visual yang terdiri dari bola mata (Bulbus oculi) dan struktur
tambahan (Structurae oculi accessorae) (Paulsen & Waschke, 2012). Bola mata terletak
di suatu cavitas yang menyerupai pyramid segi empat berongga dengan dasar yang
mengarah ke anteromedial dan apeks ke posteromedial. Bola mata terdiri atas kornea dan
nervus opticus (Moore & Agur, 2013).

Bola mata orang dewasa normal memiliki diameter anteroposterior sekitar 24,2 mm
(Riordan & Witcher, 2009). Bola mata terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan luar
(fibrosa), lapisan tengah (vaskular), dan lapisan dalam. Lapisan fibrosa terdiri dari sklera
dan kornea. Lapisan vaskular yang kaya pembuluh darah terdiri dari koroid, korpus
siliaris, dan iris. Lapisan dalam terdiri atas retina yang memiliki bagian optik dan non-
visual (Paulsen & Waschke, 2012) Bola mata memiliki media refraksi yaitu media yang
dapat membiaskan cahaya yang masuk ke mata, yaitu lensa, kornea, aqueous humor, dan
vitreous humor (Moore & Agur, 2013)

Gambar 2.1 Anatomi Mata (Lucile Packard Children’s Hospital, 2013)

a. Sklera
Sklera merupakan lapisan luar berwarna opak yang menutupi lima perenam
posterior bola mata. Sklera memiliki ketebalan 0,5 mm, terdiri atas jaringan ikat
padat, dan relatif avaskular. Di bagian posterior sklera akan menebal dan bergabung
dengan epineurium yang melapisi nervus opticus (Mescher, 2011).
b. Kornea
Menurut Ilyas (2014) kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput
bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas lapis:
a. Epitel
Epitel pada kornea memiliki ketebalan 50 µm dan terdiri atas lima lapis epitel tidak
bertanduk; sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
b. Membran Bowman
Membran bowman terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur.
c. Stroma
Stroma menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma tersusun atas jalinan
lamella serat serat kolagen yang memiliki tinggi 1-2 µm dan lebar sekitar 10-250
µm.
d. Membran Descement
Membran descement merupakan membran aselular yang sangat elastis. Saat lahir
tebalnya sekitar 3 µm dan terus menebal hingga 10-12 µm.
e. Endotel
Endotel berasal dari mesotelium, berbentuk heksagonal, dan hanya memiliki satu
lapis sel.

c. Koroid
Koroid merupakan lapisan yang sangat vaskular pada dua pertiga posterior mata
yang tersusun atas jaringan ikat longgar bervaskular yang banyak mengandung
fibroblast, melanosit, serat kolagen dan elastin, limfosit, makrofag, sel mast, dan sel
plasma. Koroid memiliki banyak pembuluh darah yang berfungsi untuk memberi
nutrisi pada retina bagian terluar yang terletak di bawahnya (Mescher, 2011).

d. Korpus Siliaris
Korpus siliaris membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris.
Korpus siliaris terdiri atas pars plicata dan pars plana. Processus siliaris berasal dari
pars plicata yang merupakan pembentuk aqueous humor. (Mescher, 2011)
e. Iris
Iris merupakan perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Di dalam stroma iris
terdapat sfingter dan otot otot dilator. Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang
masuk ke dalam mata dengan mengecilkan (miosis) atau melebarkan (midriasis)
pupil. (Mescher, 2011)

f. Retina
Riordan & Witcher (2009) retina merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya dan terdiri atas sembilan lapisan, yaitu :
a. Membran limitans interna Merupakan membran hialin antara retina dan corpus
vitreum.
b. Lapisan serat saraf Mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju
nervus opticus.
c. Lapisan sel ganglion.
d. Lapisan pleksiform dalam Merupakan tempat sinaps sel ganglion dengan sel
bipolar dan sel amakrin.
e. Lapisan inti dalam (nukleus dalam) Merupakan tubuh sel muller, sel horizontal,
dan sel bipolar.
f. Lapisan pleksiform luar Merupakan tempat sinaps sel fotoreseptor dengan sel
horizontal dan sel bipolar.
g. Lapisan inti luar (nukleus luar).
h. Membran limitans eksterna.
i. Lapisan fotoreseptor terdiri atas sel batang dan sel kerucut.
j. Epitel pigmen retina.

g. Lensa
Lensa merupakan struktur bikonkaf yang transparan dan avaskular dengan tebal
sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Terletak di posterior iris dan anterior vitreous
humor. Lensa ditahan ditempatnya oleh ligamentum suspensorium atau zonula zinni
yang tersusun atas banyak fibril. Enam puluh lima persen lensa terdiri atas air dan
sekitar tiga puluh lima persennya terdiri atas protein (Riordan & Witcher, 2009).
h. Aqueous Humor
Aqueous humor diproduksi oleh korpus siliaris. Aqueous humor memberi nutrisi
untuk kornea dan lensa yang tidak memiliki pembuluh darah. Aqueous humor akan
masuk ke camera oculi posterior, berjalan melalui pupil ke dalam camera oculi
anterior, dan bermuara ke dalam sinus venosus sklera atau canalis sclem (Moore et
al., 2013).

i. Vitreous Humor
Vitreous humor merupakan cairan yang berada di dalam corpus viterum. Vitreous
humor penting untuk mempertahankan bentuk bola mata agar tetap bulat. Berfungsi
untuk mentransmisi cahaya, menahan retina, dan menopang lensa (Moore et al.,
2013).

2. Definisi Keratitis

Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang
akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada media kornea
ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi
pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar.
Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial dan
profunda atau interstisial (Ilyas, 2004).

Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal.


1). Berdasarkan lapisan yang terkena, Keratitis dibagi menjadi:
a. Keratitis Pungtata
(Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel)
Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang
dapat terletak superfisial dan subepitel (Ilyas, 2004).
 Etiologi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada
Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes simpleks, Herpes zoster, Blefaritis
neuroparalitik, infeksi virus, vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry eye, keratitis
lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahaya pengawet
lainnya.
Gambar. Keratitis Pungtata

Sumber: Thygeson (1950)


 Gejala klinis: dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa kelilipan.
 Pemeriksaan laboratorium
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk lonjong dan jelas
yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan fluoresein, terutama di
daerah pupil. Uji fluoresein merupakan sebuah tes untuk mengetahui terdapatnya
kerusakan epitel kornea. Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna fluoresein akan
berubah berwarna hijau pada media alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada
epitel kornea maka bagian yang terdapat defek akan memberikan warna hijau karena
jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa. Kekeruhan subepitelial dibawah lesi
epitel sering terlihat semasa penyembuhan epitel ini, uji sensibilitas kornea juga
diperiksa untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial. Pada umumnya
sensibilitas kornea juga akan menurun (Ilyas, 2003).
 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ketratitis pungtata superfisial pada prinsipnya adalah diberikan
sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridin, trifluridin atau
asiklovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G
atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau
polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat sekret
mukopurulen yang menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk
jamur pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain terapi
berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata superfisial ini sebaiknya juga diberikan
terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman seperti air mata buatan,
sikloplegik dan kortikosteroid (Ilyas, 2003).
b. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi
lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis
marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya
blefarokonjungtivitis (Ilyas, 2004).
 Etiologi
Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan Esrichia.
 Gejala klinis
Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertaifotofobia berat.
Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksikonjungtiva, infiltrat
atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggalataupun multipel, sering
disertai neovaskularisasi dari arah limbus.
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram maupun Giemsa
dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri (Biswell,2010).
 Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan penyebab infeksi
lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat diberikan vitamin B dan C dosis
tinggi (Ilyas, 2004).

c. Keratitis Interstisial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh darah ke dalam kornea
dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut
menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial (Hollwich,
1993).
 Etiologi
Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam stroma
kornea dan akibat tuberkulosis (Ilyas, 2004).
 Gejala klinis
Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan menurunnya visus.
Menurut Hollwich (1993) keratitis yang disebabkan oleh sifilis kongenital biasanya
ditemukan trias Hutchinson (mata: keratitis interstisial, telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri
berbentuk obeng), sadlenose, dan pemeriksaan serologis yang positif terhadap sifilis. Pada
keratitis yang disebabkan oleh tuberkulosis terdapat gejala tuberkulosis lainnya (Ilyas, 2004)
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan gram maupun Giemsa
dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri (Biswell, 2010).
Penatalaksanaan Penatalaksanaannya dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka
lama secara intensif setiap jam dikombinasi dengan tetes mata atropin dua kali sehari
dan salep mata pada malam hari (Hollwich, 1993).

2). Berdasarkan penyebabnya


Keratitis diklasifikasikan menjadi:
a. Keratitis Bakteri
 Etiologi
Menurut American Academy of Ophthalmology (2009).
Tabel 2.1. Penyebab Keratitis Bakterial

 Gejala klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang
terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur (Kanski,
2005). Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea,
blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea.
 Pemeriksaan laboratorium
Menurut Kanski (2005) pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores
ulkus kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian
ditanam di media cokelat (untuk Neisseria, Haemophillus dan Moraxella sp), agar
darah (untuk kebanyakan jamur, dan bakteri kecuali Neisseria) dan agar Sabouraud
(untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu kamar). Kemudian dilakukan
pewarnaan Gram (Biswell, 2010).
 Penatalaksanaan
Diberikan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur bakteri.
Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan (American Academy
of Ophthalmology, 2009):
Tabel 2.2.Penatalaksanaan Awal untuk Keratitis Bakterial

b. Keratitis Jamur
Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis (Dorland, 2000).
 Etiologi
Menurut Susetio (1993), secara ringkas dapat dibedakan :
1) Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan cabang-cabang
hifa.
2) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp,
Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
3) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
4) Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas : Candida
albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan
membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp,
Sporothrix sp.
 Gejala klinis
Menurut Susetio (1993) untuk menegakkan diagnosis klinik dapat
dipakai pedoman berikut :
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan
seperti hifa di bawah endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen.
 Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis laboratorik sangat membantu diagnosis pasti, walaupun negatif belum
dapat menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Hal yang utama adalah melakukan
pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan
tepi ulkus dengan biomikroskop. Kemudian dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram,
Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-
30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Sebaiknya melakukan biopsi jaringan kornea dan
diwarnai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tetapi memerlukan
biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference
contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode
Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan
agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa ( Susetio, 1993).
 Penatalaksanaan
Menurut Susetio (1993) terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh
terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukankreativitas dalam
improvisasi pengadaan obat. Hal yang utama dalam terapi keratomikosis adalah
mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi, dapat dibagi:
1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya. Topikal amphotericin B 1,02,5
mg/ml, thiomerosal (10 mg/ml), natamycin > 10 mg/ml, golongan imidazole.
2) Jamur berfilamen.
Untuk golongan II : Topikal amphotericin B, thiomerosal, natamycin (obat terpilih),
imidazole (obat terpilih).
3) Ragi (yeast).
Amphoterisin B, natamycin, imidazole
4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati. Golongan sulfa,
berbagai jenis antibiotik.

c. Keratitis Virus
 Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering pada
kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan parasit
intraselular obligat yang dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut,
vagina dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan
mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus (Ilyas, 2004).
 Gejala klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri pada mata, fotofobia, penglihatan kabur,
mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang
terkena (Ilyas, 2004). Infeksi primer Herpes simpleks pada mata biasanya berupa
konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta
pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai keratitis
epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini
dapatsembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu dimana daya tahan tubuh
sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.
 Pemeriksaan laboratorium
Menurut Biswell (2010) dilakukan kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV dan
cairan dari lesi kulit mengandung sel-sel raksasa. Virus ini dapat dibiakkan pada
membran korio-allantois embrio telur ayam dan pada banyak jenis lapisan sel
jaringan (misal sel HeLa, tempat terbentuknya plak-plak khas).
 Terapi
1) Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial, karena
virus berlokasi didalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik
virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel
yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropin 1% atau homatropin 5%
diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien
harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya
sembuh umumnya dalam 72 jam (Biswell, 2010).
2) Terapi Obat menurut Ilyas, 2004:
IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan diberikan
setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam).
Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep.
Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam.
Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada orang
atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.
3) Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya dilakukan
beberapa bulan setelah penyakit herpes nonaktif (Biswell, 2010).

d. Keratitis Acanthamoeba
 Etiologi
Keratitis yang berhubungan dengan infeksi Acanthamoeba yang biasanya disertai
dengan penggunaan lensa kontak (Dorland, 2002).
 Gejala klinis
Rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya yaitu kemerahan, dan
fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat
perineural. Bentuk-bentuk awal pada penyakit ini, dengan perubahan-perubahan
hanya terbatas pada epitel kornea semakin banyak ditemukan. Keratitis
Acanthamoeba sering disalah diagnosiskan sebagai keratitis herpes (Biswell, 2010).
 Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di atas media khusus.
Biopsi kornea mungkin diperlukan. Sediaan histopatologik menampakkan bentuk-
bentuk amuba (kista atau trofozoit). Larutan dan kontak lensa harus dibiak. Sering
kali bentuk amuba dapat ditemukan pada larutan kotak penyimpan lensa kontak
(Biswell, 2010).
 Penatalaksanaan
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionat, propamidin topikal (larutan
1%) secara intensif dan tetes mata neomisin. Bikuanidpoliheksametilen (larutan 0,01-
0,02%) dikombinasi dengan obat lain atau sendiri, kini makin populer. Agen lain yang
mungkin berguna adalah paromomisin dan berbagai imidazol topikal dan oral seperti
ketokonazol, mikonazol, itrakonazol. Terapi juga dihambat oleh kemampuan
organisme membentuk kista didalam stroma kornea, sehingga memerlukan waktu
yang lama.
Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengendalikan reaksi radang dalam
kornea. Keratoplasti mungkin diperlukan pada penyakit yang telah lanjut untuk
menghentikan berlanjutnya infeksi atau setelah resolusi dan terbentuknya parut untuk
memulihkan penglihatan. Jika organisme ini sampai ke sklera, terapi obat dan bedah
tidak berguna (Biswell, 2010).

3. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi karena keratitis adalah:
 Peradangan kronis pada kornea
 Infeksi viral kronis atau kambuhan pada kornea.
 luka terbuka pada kornea (sariawan pada kornea)
 Pembengkakan atau parut pada kornea.
 Gangguan permanen maupun sementara pada penglihatan.
 Kebutaan.

4. Prognosis Keratitis
bonam, apabila langsung diobati dengan cepat.

Anda mungkin juga menyukai