Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata merupakan suatu organ refraksi yang berfungsi untuk membiaskan cahaya
masuk ke retina agar dapat diproses oleh otak untuk membentuk sebuah gambar. Struktur
mata yang berkontribusi dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous dan
vitreous humor. Cahaya yang masuk akan direfraksikan ke retina, yang akan dilanjutkan
ke otak berupa impuls melalui saraf optik agar dapat diproses oleh otak. Kelainan refraksi
ini terjadi apabila fungsi refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan sempurna.
Kelainan refraksi merupakan suatu kelainan pada mata yang paling umum terjadi.
Keadaan ini terjadi ketika cahaya tidak dibiaskan tepat pada retina sehingga
menyebabkan penglihatan kabur.
Kelainan refraksi secara umum dapat dibagi menjadi 4 bentuk yaitu miopia,
hipermetropia, astigmatisma, dan presbiopia. Miopia terjadi apabila cahaya dibiaskan di
depan retina; hiperopia terjadi apabila cahaya dibiaskan di belakang retina; astigmatisma
terjadi apabila sinar yang dibiaskan tidak terletak pada satu titik fokus; sedangkan
presbiopia adalah hilangnya daya akomodasi yang terjadi bersamaan dengan proses
penuaan. Penyebab kelainan refraksi dapat diakibatkan karena kelainan kurvatur atau
kelengkungan kornea dan lensa, indeks bias atau refraktif, dan kelainan aksial atau sumbu
mata. Kelainan refraksi dapat terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
umur, jenis kelamin, ras, lingkungan dan genetik.
Kelainan refraksi ini merupakan salah satu kelainan mata yang jarang mendapat
perhatian oleh masyarakat. Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi ini juga dapat
menyebabkan kecacatan penglihatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan
sekitar 285 juta orang di dunia akan mengalami kecacatan penglihatan, 39 juta
diantaranya mengalami kebutaan dan 246 juta mengalami low vision. Kelainan refraksi
yang tidak terkoreksi menduduki urutan pertama sebagai penyebab cacat penglihatan
dengan presentase sebesar 42%, di atas katarak yang tidak dioperasi 33% dan glaukoma

1
2%. Sekitar 90% orang yang menderita cacat penglihatan hidup di negara berkembang,
termasuk Indonesia.
Di Indonesia terdapat sekitar 1,5% atau 3,6 juta penduduknya mengalami
kebutaan. Angka kejadian kebutaan yang disebabkan oleh kelainan refraksi menduduki
urutan pertama sebagai penyebab kebutaan di Indonesia.7 Menurut Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa proporsi pengguna kaca mata
atau lensa kontak pada penduduk umur di atas 6 tahun di Indonesia adalah sebesar 4,6%;
proporsi penurunan tajam penglihatan sebesar 0,9%; proporsi kebutaan sebesar 0,4%.
Sedangkan proporsi pengguna kaca mata atau lensa kontak pada penduduk dengan umur
di atas 6 tahun di provinsi Jawa Timur adalah sebesar 4,8%; proporsi penurunan tajam
penglihatan sebesar 1,0%; proporsi kebutaan sebesar 0,4%.8

1.2 Tujuan
1) Mengetahui anatomi fisiologi dan histologi mata
2) Mengetahui mekanisme penglihatan/visus
3) Memahami proses refraksi mata
4) Mengetahui faktor resiko penyebab gangguan refraksi
5) Mengetahui jenis kelainan refraksi mata
6) Mengetahui pemeriksaan pada gangguan refraksi

1.3 Rumusan Masalah


1) Bagaimana anatomi fisiologi dan histologi mata?
2) Bagaimana mekanisme penglihatan/visus?
3) Bagaimana proses refraksi mata?
4) Apa faktor resiko penyebab gangguan refraksi?
5) Apa saja jenis kelainan refraksi mata?
6) Apa pemeriksaan yang dilakukan pada gangguan refraksi?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Mata


Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bagian anterior bola
mata mempunyai kelengkungan yang lebih cembung sehingga terdapat bentuk dengan
dua kelengkungan berbeda. Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu lapisan
sklera yang bagian terdepannya disebut kornea, lapisan uvea, dan lapisan retina. Di dalam
bola mata terdapat cairan. (Ilyas S, 2015)

Gambar 1. Anatomi Bola Mata

Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva berbatasan dengan kulit
pada tepi palpebral dan dengan epitel kornea di limbus (Ilyas S, 2015)

3
Sklera

Sklera merupakan jaringan ikat yang lentur dan memberikan bentuk pada mata.
Jaringan ini merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera
disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola
mata. (Ilyas S, 2015)

Kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya dam
merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Kornea ini disisipkan
ke dalam sklera pada limbus, lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulcus
scleralis.

Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 m di pusatnya (terdapat variasi


menurut ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm. (Ilyas S,
2015)

Dari anterior ke posterior kornea mempunyai lima lapisan, yaitu:

1. Epitel
Tebal dari epitel ini adalah 50 m. Epitel kornea mempunyai lima lapis sel epitel tak
bertanduk yang terdiri dari sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersususn tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
3. Stroma
Menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma terdiri atas lamel yang merupakan
susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang.
4. Membran Descemet
Membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea.
5. Endotel

4
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, dan tebalnya 20-40 m.
Lapisan ini berperan dalam mempertahankan deturgesensi stroma kornea

Gambar 2. Histologi Lapisan Penyusun Kornea

Uvea

Uvea adalah lapisan vaskular di dalam bola mata dan dilindungi oleh kornea dan
sklera yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1. Iris
Iris merupakan perpanjangan badan siliar ke anterior mempunyai permukaan yang
relatif datar dengan celah yang berbentuk bulat di tengahnya, yang disebut pupil. Iris
mempunyai kemampuan untuk mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam bola
mata secara otomatis dengan mengecilkan (miosis) atau melebarkan (midriasis) pupil.
2. Badan siliar
Badan siliar merupakan susunan otot melingkar yang berfungsi mengubah tegangan
kapsul lensa sehingga lensa dapat fokus untuk objek dekat maupun jauh dalam lapang
pandang. Badan siliar terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2
mm) yang merupakan pembentuk aqueous humor, dan zona posterior yang datar, pars
plana (4 mm).
3. Koroid

5
Koroid merupakan segmen posterior uvea terletak di antara retina dan sklerayang berisi
pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah besar, berfungsi untuk memberi nutrisi pada
retina bagian terluar yang terletak di bawahnya. (Ilyas S, 2015)

Lensa

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Di sebelah anterior
lensa terdapat aqueous humor, di posteriornya terdapat vitreous humor.

Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang akan memperbolehkan


air dan elektrolit masuk. Di sebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus
lensa lebih keras daripada korteksnya. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamela
konsentris yang panjang.

Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang dikenal sebagai


zonula Zinii, yang tersusun dari banyak fibril yang berasal dari permukaan badan siliar
dan menyisip ke dalam ekuator lensa. (Ilyas S, 2015)

Aqueous Humor

Aqueous humor diproduksi oleh badan siliar. Setelah memasuki bilik mata
belakang, aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan, kemudian ke
perifer menuju sudut bilik mata depan. (Ilyas S, 2015)

Vitreous Humor

Vitreous humor adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Permukaan luar vitreous humor
normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: kapsul lensa posterior, serat-serat
zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi optici. Basis vitreous
mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup ke lapisan epitel pars plana dan
retina tepat di belakang ora serrata. (Ilyas S, 2015)

6
Vitreous humor mengandung air sekitar 99%. Sisa 1% meliputi dua komponen,
kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel karena
kemampuannya mengikat banyak air. (Ilyas S, 2015)

Retina

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang
menerima rangsangan cahaya. Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar yang berbatas
dengan koroid adalah sebagai berikut:

1. Epitel pigmen retina (Membran Bruch)


2. Fotoreseptor
Lapisan fotoreseptor terdiri dari sel batang dan sel kerucut.
3. Membran limitan eksterna
4. Lapisan nukleus luar
Lapisan nukleus luar merupakan susunan nukleus sel kerucut dan sel batang.
5. Lapisan pleksiform luar
Lapisan ini merupakan lapisan aselular tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel
bipolar dan sel horizontal
6. Lapisan nukleus dalam
Lapisan ini terdiri dari tubuh sel bipolar, sel horizontal, dan sel Muller serta
didarahi oleh arteri retina sentral.
7. Lapisan pleksiform dalam
Lapisan ini merupakan lapisan aselular tempat sinaps sel bipolar dan sel amakrin
dengan sel ganglion.
8. Lapisan sel ganglion
Lapisan ini merupakan lapisan badan sel dari neuron kedua.
9. Serabut saraf
Lapisan serabut saraf berupa akson sel ganglion yang menuju ke arah saraf optik.
Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
10. Membran limitan interna
Membran limitan interna berupa membran hialin antara retina dan vitreous
humor.

7
2.2 Fisiologi Mata
2.2.1. Mekanisme Penglihatan/Visus
Cahaya yang melewati kornea akan diteruskan melalui pupil, kemudian
difokuskan oleh lensa ke bagian belakang mata, yaitu retina. Fotoreseptor pada
retina mengumpulkan informasi yang ditangkap mata, kemudian mengirimkan
sinyal informasi tersebut ke otak melalui saraf optik. Semua bagian tersebut harus
bekerja simultan untuk dapat melihat suatu objek. (Ilyas S, 2015)
Berkas cahaya akan berbelok/ berbias (mengalami refraksi) apabila
berjalan dari satu medium ke medium lain yang memiliki kepadatan berbeda
kecuali apabila berkas cahaya tersebut jatuh tegak lurus di permukaan. (Ilyas S,
2015)
Bola mata memiliki empat media refrakta, yaitu media yang dapat
membiaskan cahaya yang masuk ke mata. Media refrakta mata terdiri dari kornea,
aqueous humor, lensa, dan vitreous humor. Agar bayangan dapat jatuh tepat di
retina, cahaya yang masuk harus mengalamai refraksi melalui media-media
tersebut. Jika terdapat kelainan pada media refrakta, cahaya mungkin tidak jatuh
tepat pada retina. (Ilyas S, 2015)
Selain faktor media refrakta, faktor panjangnya sumbu optik bola mata
juga berpengaruh terhadap jatuh tepat atau tidaknya cahaya pada retina. Misalnya,
pada miopia aksial fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih
panjang. (Ilyas S, 2015)
Lensa memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya biasnya untuk
memfokuskan bayangan dari objek yang dekat. Kemampuan ini disebut dengan
daya akomodasi. Akomodasi dipengaruhi oleh persarafan simpatis, di mana
persarafan ini akan menyebabkan otot polos pada badan siliar yang merupakan
perlekatan ligamen penggantung lensa (zonula Zinii) berkontraksi. Kontraksi dari
badan siliar yang berbentuk melingkar seperti sfingter menyebabkan jarak antara
pangkal kedua ligamen tersebut mendekat. Hal ini akan menyebabkan ketegangan
dari ligamen tersebut berkurang sehingga regangan ligamen terhadap lensa pun

8
juga berkurang. Bentuk lensa kemudian akan menjadi lebih cembung/ konveks.
(Ilyas S, 2015)

Gambar 3. Proses jatuhnya bayangan benda saat dilihat oleh mata

2.2.2. Proses Refraksi Mata


Media refraksi merupakan bangunan transparan yang harus dilalui berkas
cahaya untuk mencapai retina. Komponen media refraksiadalah

a. Kornea
b. kamera okuli anterior
c. kamera okuli posterior
d. lensa
e. badan vitreus

Mata dapat dianggap sebagai kamera dimana sistem refraksinya


menghasilkan bayangan kecil dan terbalik di retina. Rangsangan ini diterima oleh
sel batang dan kerucut di retina, yang diteruskan melalui N.II ke korteks serebri
pusat penglihatan, yang kemudian tampak sebagai bayangan yang tegak. Supaya
bayangan tak kabur, kelebihan cahaya diserap oleh lapisan epitel pigmen di retina.
Bila intensitas cahaya terlalu tinggi, pupil akan mengecil untuk menguranginya.
Alat-alat refraksi mata terdiri dari permukaan kornea, humor aqueus, lensa, dan

9
korpus vitreus. Daya refraksi kornea hampir sama dengan humor aqueus,
sedangkan daya refraksi lensa hampir sama dengan korpus vitreus. Keseluruhan
sistem refraksi mata ini membentuk lensa yang cembung dengan vokus 23 mm.
dengan demikian pada mata yang emetrop, dalam keadaan istirahat, sinar yang
sejajar yang datang di mata akan dibiaskan tepat di fovea sentralis di retina. Fovea
sentralis merupakan posterior principal focus dari sistem refraksi mata ini dimana
cahaya yang datangnya sejajar, setelah melalui sistem refraksi ini bertemu. Fovea
sentralis letaknya 23 mm di belakang kornea, tepat dibagian dalam macula lutea.
Pembiasan yang terbesar terdapat pada permukaan anterior dari kornea, ditambah
dengan permukaan anterior dan posterior dari lensa. ( Sidarta ilyas, 2006 ; 72 )

Gambar 4. Refraksi pada mata emetrop 4

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa dan panjangnya bola mata. Pada orang
normal, susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata
demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melallui media penglihatan
dibiaskan tepat pada daerah makula lutea. Mata yang normal dikenal dengan
emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat diretinanya pada keadaan
mata tidak melakukan akomodasi / melihat jauh. (Vaughan & Riordan, 2000)
Dikenal beberapa titik didalam bidang refraksi, seperti Pungtum
Proksimum merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat
dengan jelas. Pungtum Remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih
dapat melihat dengan jelas. Titik ini merupakan titik dalam ruang yang
berhubungan dengan retina bila mata beristirahat. Pada emetropia pungtum

10
remotum terletak di depan mata sedang pada mata hipermetropia titik semu di
belakang mata. (Vaughan & Riordan, 2000)

2.3 Faktor Resiko Penyebab Gangguan Refraksi


Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan gangguan refraksi, yaitu:
1) Membaca Buku
Survei epidemiologis menunjukkan bahwa miopia sering terjadi pada
orang yang menghabiskan lebih banyak waktu membaca atau melakukan
pekerjaan dengan jarak dekat daripada mereka yang menghabiskan lebih banyak
waktu tanpa menggunakan mata dalam jarak pandang dekat. Miopia berdampak
terhadap tugas sekolah dan hasil penilaian. Proses ini terus berlanjut hingga
dekade ketiga kehidupan, dimana mahasiswa pascasarjana, microscopists, dan
militer mendapat miopia akibat pekerjaan dengan jarak pandangan dekat yang
terlalu sering (Douglas R. Fredrick, 2001)
Faktor lingkungan berperan besar terhadap prevalensi kelainan refraksi
pada anak. Survei membuktikan bahwa anak-anak yang bersekolah di perkotaan
lebih banyak menderita mata rabun (32,68%) dibandingkan dengan anak yang
bersekolah di pedesaan (9,78%). Sejumlah penelitian dilakukan untuk
membuktikan hal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang
bersekolah di perkotaan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca dan
menulis daripada yang bersekolah di pedesaan. Pada anak kelas 1-3 SD,
perbedaan waktu belajarnya bisa mencapai 107 menit per hari, dan di kelas 4-6
SD serta kelas 7-9 SMP, perbedaan waktu belajarnya bisa sampai 160 dan 224
menit per hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat
antara intensitas belajar siswa dengan miopia. Hal ini membuktikan bahwa
aktivitas pekerjaan yang menggunakan jarak pandang dekat berpengaruh besar
terhadap kejadian myopia. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian di
Singapura, Israel, daerah pedesaan di Cina Utara, HongKong dan Orinda.
Perbandingan prevalensi miopia pada anak sekolah di perkotaan dan di pedesaan
menunjukkan bagaimana faktor lingkungan dapat mengubah distribusi refraksi
(Lian Hong Pi, 2010).

11
2) Pemakaian alat elektronik
Permainan anak yang dulu hanya dapat dilakukan secara tradisional dan
sederhana, seperti menyusun puzzle di atas papan sederhana, kini dapat dilakukan
dengan menggunakan komputer dengan pilihan permainan yang lebih variatif.
Pilihan pemainan yang lebih banyak inilah yang menyebabkan sebagian besar
anak-anak beralih dari permainan tradisional ke permainan dengan menggunakan
komputer, atau yang lebih dikenal dengan sebutan video game.
Kirriemuir and McFarlane (2006) mendefinisikan video game/digital
game sebagai suatu media yang menyediakan informasi digital dalam bentuk
visual kepada penggunanya; menerima masukan data dari penggunanya;
memproses data yang masuk sesuai peraturan yang telah diprogram; dan
mengubah informasi digital yang disesuaikan untuk penggunanya. Berkaitan
dengan hal di atas, Rini (2014) menyebutkan beberapa pengaruh buruk game bagi
anak, antara lain pengaruh terhadap kesehatan sendiri, kepribadian,
pendidikan/prestasi, serta terhadap keluarga dan masyarakat. Seorang anak yang
memiliki kebiasaan main game berisiko mengalami stres, kerusakan mata, maag,
dan epilepsi. Pada perkembangan kepribadiannya, anak bisa menjadi agresif
hingga melakukan tindakan kekerasan kepada keluarga atau masyarakat.
Sedangkan dalam pendidikan, anak yang suka main game berlama-lama memiliki
masalah untuk berkonsentrasi saat menerima pelajaran.
Walaupun kebiasaan main video game dapat memberi pengaruh positif,
namun tanpa pengawasan dapat memberi pengaruh negatif yang lebih banyak.
Broto (2006) mengemukakan bahwa anak-anak pada usia sekitar tujuh tahun
mulai tertarik pada video game dan sepertiga anak usia awal belasan tahun
bermain video game setiap hari, serta 7% dari mereka bermain video game paling
sedikit 30 jam per minggu. Artinya, mereka dapat duduk bermain game di depan
alat elektronik dengan mata terbuka lebih dari empat jam setiap hari. Akibat main
game dalam waktu yang lama dapat menyebabkan anak tersebut lebih berisiko
tinggi untuk mengalami kelainan refraksi pada mata, terutama rabun jauh
(miopia) akibat aktivitas dalam jarak pandang dekat tersebut.

12
3) Menonton Televisi
Dari hasil penelitian Anatasia Vanny, menunjukkan prevalensi kelainan
refraksi terbesar didapatkan pada kelompok usia 5-6 tahun. Hal ini disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti aktivitas dan kebiasaan anak, misalnya kebiasaan
menonton televisi yang terlalu dekat.

4) Penggunaan komputer
Menghabiskan waktu yang lama menggunakan komputer atau menonton
televisi dapat menyebabkan mata menjadi lelah dan penglihatan kabur.
Menggunakan komputer tidak menyebabkan kerusakan permanen pada mata.
Namun, bekerja pada komputer adalah pekerjaan yang dapat mengakibtkan
kelelahan pada mata. Seorang yang memiliki masalah terhadap penglihatan tanpa
dikoreksi dapat menyebabkan ketidaknyamanan dalam penggunaan komputer dan
dapat menyebabkan penglihatan kabur serta ketegangan mata. Setiap kali
menggunakan komputer atau menonton televisi, mata cenderung kurang berkedip.
Hal ini dapat menyebabkan mata menjadi kering dan menyebabkan efek yang
lebih buruk jika berada di lingkungan yang ber-AC (Better Health Channel,
2014).
Peningkatan penggunaan komputer di tempat kerja telah menyebabkan
peningkatan masalah kesehatan. Banyak keluhan dari orang yang bekerja dengan
menggunakan komputer seperti ketidaknyamanan okular, ketegangan otot, dan
stres. Tingkat ketidaknyamanan tampaknya meningkat dengan jumlah
penggunaan komputer. Ketidaknyamanan visual dan gejala terkait yang terjadi
pada pekerja komputer harus diakui sebagai masalah kesehatan yang berkembang.
Masalah penglihatan yang berkaitan dengan pekerjaan yang dialami selama
penggunaan komputer dalam jarak dekat disebut Computer Vision Syndrome.
Masalah penglihatan yang dialami oleh operator komputer umumnya hanya
bersifat sementara dan akan menurun setelah berhenti bekerja menggunakan
komputer. Namun, beberapa pekerja mungkin mengalami gangguan kemampuan
visual, penglihatan yang kabur, bahkan setelah bekerja. Jika tidak ada upaya

13
untuk mengoreksi penyebab masalah ini, kejadian ini akan terus kambuh dan
mungkin memburuk. Pekerjaan secara visual dan fisik yang melelahkan dapat
mengakibatkan menurunnya produktivitas, peningkatan kesalahan, dan kepuasan
kerja berkurang, oleh karena itu, langkah-langkah harus diambil untuk
mengurangi potensi pengembangan stres dan ketidaknyamanan fisik dan okular
yang terkait di tempat kerja (American Optometric Association, 1997)

2.4 Jenis Kelainan Refraksi Mata


2.5.1 Miopia
Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan di
depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Ini juga dapat
dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar dari suatu objek
yang masuk pada mata akan jatuh di depan retina, tanpa akomodasi. Miopia
berasal dari bahasa Yunani muopia yang memiliki arti menutup mata. Miopia
merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah populernya adalah
nearsightedness (American Optometric Association, 2006).

Epidemiologi

Miopia memiliki insiden 2,1% di Amerika Serikat dan peringkat ke tujuh


yang menyebabkan kebutaan, serta tampak memiliki predileksi tinggi pada
keturunan Cina, Yahudi, dan Jepang. Angka kejadiannya lebih sering 2 kali lipat
pada perempuan dibanding laki-laki. Keturunan kulit hitam biasanya bebas dari
kelainan ini.(American Optometric Association, 2008)

Menurut National Eye Institute Study, miopia merupakan penyebab


kelima tersering yang mengganggu penglihatan dan merupakan penyebab kutujuh
yang tersering kebutaan di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris merupakan
penyebab kebutaan tersering. (American Optometric Association, 2008)

Klasifikasi
Secara klinis dan berdasarkan kelainan patologi yang terjadi pada mata,
miopia dapat dibagi kepada dua yaitu :

14
1. Miopia Simpleks :Terjadinya kelainan fundus ringan. Kelainan fundus yang
ringan ini berupa kresen miopia yang ringan dan berkembang sangat lambat.
Biasanya tidak terjadi kelainan organik dan dengan koreksi yang sesuai bisa
mencapai tajam penglihatan yang normal. Berat kelainan refraksi yang terjadi
biasanya kurang dari -6D. Keadaan ini disebut juga dengan miopia fisiologi.
2. Miopia Patologis : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia maligna
atau miopia progresif. Keadaan ini dapat ditemukan pada semua umur dan
terjadi sejak lahir. Tanda-tanda miopia maligna adalah adanya progresifitas
kelainan fundus yang khas pada pemeriksaan oftalmoskopik. Pada anak-anak
diagnosis ini sudah dapat dibuat jika terdapat peningkatan tingkat keparahan
miopia dengan waktu yang relatif pendek. Kelainan refrasi yang terdapat pada
miopia patologik biasanya melebihi -6 D (Sidarta, 2007).

Menurut American Optometric Association (2006), miopia secara klinis


dapat terbagi lima yaitu:
1. Miopia Simpleks : Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang
terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa kristalina yang terlalu
tinggi.
2. Miopia Nokturnal : Miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di sekeliling
kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh mata seseorang bervariasi
terhadap tahap pencahayaan yang ada. Miopia ini dipercaya penyebabnya
adalah pupil yang membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak
cahaya, sehingga menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia.
3. Pseudomiopia : Diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap
mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot otot siliar yang
memegang lensa kristalina. Di Indonesia, disebut dengan miopia palsu, karena
memang sifat miopia ini hanya sementara sampai kekejangan akomodasinya
dapat direlaksasikan. Untuk kasus ini, tidak boleh buru buru memberikan
lensa koreksi. Universitas Sumatera Utara 6
4. Miopia Degeneretif : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia maligna
atau miopia progresif. Biasanya merupakan miopia derajat tinggi dan tajam

15
penglihatannya juga di bawah normal meskipun telah mendapat koreksi.
Miopia jenis ini bertambah buruk dari waktu ke waktu.
5. Miopia Induksi : Miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obat obatan, naik
turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa dan
sebagainya.

Klasifikasi miopia berdasarkan ukuran dioptri lensa yang dibutuhkan


untuk mengkoreksikannya (Sidarta, 2007):
1. Ringan : lensa koreksinya 0,25 s/d 3,00 Dioptri
2. Sedang : lensa koreksinya 3,25 s/d 6,00 Dioptri.
3. Berat :lensa koreksinya > 6,00 Dioptri.

Klasifikasi miopia berdasarkan umur adalah (Sidarta, 2007):


1. Kongenital : sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak.
2. Miopia onset anak-anak : di bawah umur 20 tahun.
3. Miopia onset awal dewasa : di antara umur 20 sampai 40 tahun.
4. Miopia onset dewasa : di atas umur 40 tahun (> 40 tahun).

Patogenesis
Miopia dapat terjadi karena ukuran sumbu bola mata yang relatif panjang
dan disebut sebagai miopia aksial. Dapat juga karena indeks bias media refraktif
yang tinggi atau akibat indeks refraksi kornea dan lensa yang terlalu kuat. Dalam
hal ini disebut sebagai miopia refraktif (Curtin, 2002).
Miopia degeneratif atau miopia maligna biasanya apabila miopia lebih
dari - 6 dioptri(D) disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola
mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal
papil disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi retina terjadi kemudian setelah
terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch yang
dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada
miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan,

16
atropi lapis sensoris retina luar dan dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf
optik (Sidarta, 2007).
Terjadinya perpanjangan sumbu yang berlebihan pada miopia patologi
masih belum diketahui. Sama halnya terhadap hubungan antara elongasia dan
komplikasi penyakit ini, seperti degenerasi chorioretina, ablasio retina dan
glaukoma. Columbre melakukan penelitian tentang penilaian perkembangan mata
anak ayam yang di dalam pertumbuhan normalnya, tekanan intraokular meluas ke
rongga mata dimana sklera berfungsi sebagai penahannya. Jika kekuatan yang
berlawanan ini merupakan penentu pertumbuhan okular postnatal pada mata
manusia, dan tidak ada bukti yang menentangnya maka dapat pula disimpulkan
dua mekanisme patogenesis terhadap elongasi berlebihan pada miopia.
Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat
mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan
hal ini, dimana pembuangan sebagian masenkim sklera dari perkembangan ayam
menyebabkan ektasia daerah ini, karena perubahan tekanan dinding okular.
Dalam keadaan normal sklera posterior merupakan jaringan terakhir yang
berkembang. Keterlambatan pertumbuhan strategis ini menyebabkan kongenital
ektasia pada area ini.
Sklera normal terdiri dari pita luas padat dari kumpulan serat kolagen, hal
ini terintegrasi baik, terjalin bebas, ukuran bervariasi tergantung pada lokasinya.
Kumpulan serat terkecil terlihat menuju sklera bagian dalam dan pada zona ora
ekuatorial. Bidang sklera anterior merupakan area potong lintang yang kurang
dapat diperluas perunitnya dari pada bidang lain. Pada test bidang ini ditekan
sampai 7,5 g/mm2.
Tekanan intraokular equivalen 100 mmHg, pada batas terendah dari stress
ekstensi pada sklera posterior ditemukan empat kali daripada bidang anterior dan
equator. Pada batas lebih tinggi sklera posterior kira-kira dua kali lebih
diperluas.Perbedaan tekanan diantara bidang sklera normal tampak berhubungan
dengan hilangnya luasnya serat sudut jala yang terlihat pada sklera posterior.
Struktur serat kolagen abnormal terlihat pada kulit pasien dengan Ehlers-Danlos
yang merupakan penyakit kalogen sistematik yang berhubungan dengan miopia.

17
Vogt awalnya memperluas konsep bahwa miopia adalah hasil
ketidakharmonian pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang
berlebihan dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid maupun
sklera menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada
umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti ulang dalam hubungannya dengan
miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera dibawah pengaruh
epitel pigmen retina. Pandangan baru ini menyatakan bahwa epitel pigmen
abnormal menginduksi pembentukan koroid dan sklera subnormal. Hal ini yang
mungkin menimbulkan defek ektodermalmesodermal umum pada segmen
posterior terutama zona oraekuatorial atau satu yang terlokalisir pada daerah
tertentu dari posterior mata, dimana dapat dilihat pada miopia patologis (tipe
stafiloma posterior).
Meningkatnya suatu kekuatan yang luas terhadap tekanan intraokular
basal. Contoh klasik miopia skunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat
pada glaukoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada
peningkatan pemanjangan sumbu bola mata (Sativa, 2003).
Secara anatomidan fisiologi, sklera memberikan berbagai respons terhadap
induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada stres.
Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular
10 mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Pada
valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular 60 mmHg. Juga pada
penutupan paksa kelopak mata meningkat sampai 70-110 mmHg. Gosokan paksa
pada mata merupakan kebiasaan jelek yang sangat sering diantara mata miopia,
sehingga dapat meningkatkan tekanan intraokular (Sativa, 2003).
Untuk melihat sesuatu objek dengan jelas, mata perlu berakomodasi.
Akomodasi berlaku apabila kita melihat objek dalam jarak jauh atau terlalu dekat.
Menurut Dr. Hemlholtz, otot siliari mata melakukan akomodasi mata. Teori
Helmholtz mengatakan akomodasi adalah akibat daripada ekspansi dan kontraksi
lensa, hasil daripada kontraksi otot siliari. Teori Helmholtz merupakan teori yang
sekarang sering digunakan oleh dokter. Menurut Dr. Bates, dua otot oblik mata
yang melakukan akomodasi mata dengan mengkompresi bola mata di tengah

18
hingga memanjangkan mata secara melintang. Dr. Bates telah melakukan
eksperimen pada kelinci, Dr. Bates memotong dua otot oblik dan mendapati mata
kelinci tersebut tidak bisa berakomodasi. Dr. Bates juga menginjeksi obat
paralisis pada otot oblik kelinci, mata tidak dapat berakomodasi. Apabila obat
disingkirkan daripada otot oblik, mata kelinci dapat berakomodasi kembali.
Akibat daripada kelelahan mata menyebabkan kelelahan pada otot
mata.Otot mata berhubungan dengan bola mata hingga menyebabkan bentuk mata
menjadi tidak normal.Kejadian ini adalah akibat akomodasi yang tidak efektif
hasil dari otot mata yang lemah dan tidak stabil. Pada mata miopia, bola mata
terfiksasi pada posisi memanjang menyulitkan untuk melihat objek jauh (Dave,
2005).

Manifestasi Klinis
Gejala klinis miopia adalah sebagai berikut:
1. Gejala utamanya kabur melihat jauh
2. Sakit kepala (jarang)
3. Cenderung memicingkan mata bila melihat jauh (untuk mendapatkan efek
pinhole), dan selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda pada mata
4. Suka membaca, apakah hal ini disebabkan kemudahan membaca dekat
masih belum diketahui dengan pasti (Dwi Ahmad Yani, 2008).

2.5.2 Hipermetropia
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hyperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi memfokuskan
bayangan di belakang retina.
Pasien dengan hipermetropia mendapat kesukaran untuk melihat dekat
akibat sukarnya berakomodasi. Keluhan akan bertambah dengan bertambahnya
umur yang diakibatkan melemahnya otot siliar untuk akomodasi dan
berkurangnya kekenyalan lensa
Pada perubahan usia lensa berangsur-angsur tidak dapat memfokuskan
bayangan pada selaput jala (retina) sehingga akan lebih terletak di belakangnya.

19
Sehingga diperlukan penambahan lensa positif atau konveks dengan
bertambahnya usia

Etiologi
Kekuatan optik mata terlalu rendah (biasanya karena mata terlalu pendek)
dan sinar cahaya paralel mengalami konvergensi pada titik di belakang retina.
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih pendek.
Akibat bola mata yang lebih pendek bayangan benda akan difokuskan di belakang
retina atau selaput jala
Sebab atau jenis hipermetropia:
1. Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan kelainan refraksi
akibat bola mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
2. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
3. Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada
system optik mata, misalnya pada usia lanjut lensa mempunyai indeks refraksi
lensa yang berkurang.

Patofisiologi
Diameter anterior posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura kornea
dan lensa yang lebih lemah, dan perubahan indeks refraktif menyebabkan sinar
sejajar yang datang dari objek terletak jauh di biaskan di belakang retina.

20
Gambar 5. Proses jatuhnya bayangan benda pada mata dengan hipermetropi

Bentuk Hipermetropia
Hipermetropia dikenal dalam bentuk:
1. Hipermetropia manifes, ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kaca
mata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan
hipermetropia fakultatif.
2. Hipermetropia absolute, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan
akomodasi dan memerlukan kaca mata positif untuk melihat jauh.
3. Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi dengan
akomodasi ataupun dengan kaca mata positif. Pasien yang hanya mempunyai
hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kaca mata. Bila diberikan kaca
mata positif yang memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan
mendapatkan istirahat. Hipermetropia manifest yang masih memakai tenaga
akomodasi disebut sebagai hipermetropia fakultatif.
4. Biasanya hipermetropia laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini.
Hipermetropia manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali
disebut sebagai hipermetropia absolut, sehingga jumlah hipermetropia fakultatif
dengan hipermetropia absolut adalah hipermetropia manifest.
5. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia (atau
dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan
21
akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia.
Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua
seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten
menjadi hipermetropia fakultatif dan kemudian menjadi hipermetropia absolut.
Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus,
terutama bila pasien masih muda dan daya akomodasinya masih kuat.
6. Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan
siklopegia.

Gejala Hipermetropia
Biasanya seseorang dengan hipermetropia tidak menyukai keramaian dan lebih
senang sendiri. Hipermetropia sukar melihat dekat dan tidak sukar melihat jauh. Melihat
dekat akan lebih kabur dibandingkan dengan melihat sedikit lebih dijauhkan. Biasanya
pada usia muda tidak banyak menimbulkan masalah karena dapat diimbangi dengan
melakukan akomodasi.
Bila hipermetropia lebih dari + 3.00 dioptri maka tajam penglihatan jauh akan
terganggu. Sesungguhnya sewaktu kecil atau baru lahir mata lebih kecil dan
hipermetropia. Dengan bertambahnya usia maka kemampuan berakomodasi untuk
mengatasi hipermetropia ringa berkurang. Pasien hipermetropia hingga + 2.00 dengan
usia muda atau 20 tahun masih dapat melihat jauh dan dekat tanpa kaca mata dengan
tidak mendapatkan kesukaran. Pada usia lanjut dengan hipermetropia, terjadi
pengurangan kemampuan untuk berakomodasi pada saat melihat dekat ataupun jauh.
Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah
dan sakit karena terus-menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan
bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea. Keadaan
ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus-menerus berakomodasi, maka bola mata
bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai
kedudukan esotropia atau juling ke dalam.
Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena
matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas.
Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia

22
yang telah lanjut, akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan
tersebut berupasakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan
Keluhan mata yang harus berakomodasi terus untuk dapat melihat jelas adalah:
- Mata lelah
- Sakit kepala
- Penglihatan kabur melihat dekat
Pada usia lanjut seluruh titik fokus akan berada di belakang retina karena
berkurangnya daya akomodasi mata dan penglihatan akan berkurang.

2.5.3 Astigmatisma
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan
garis pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi
lebih dari satu titik.

Epidemiologi

Prevalesi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai 2,3
milyar. Di Indonesia prevalesi kelianan refraksi menempati ururtan pertama pada
penyakit mata. Kasus kelianan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di Indonesia hamper
25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.

Insiden myopia dalam suatu populasi sangat bervariasidalam hal umur,


Negara, jenis kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan factor lainnya.
Prevalensi myopia bervariasi berdasarkan Negara dan kelompok etnis, hingga
mencapai 70-90% di beberapa Negara. Sedangkan menurut Maths Abrahamsson
dan Johan Sjostrand tahun 2003, angka kejadian astigmat bervariasi antara 30-
70%.

Etiologi

Etiologi kelainan astigmatisma adalah sebagai berikut:

1. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur. Media
refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besaradalah kornea,

23
yaitu mecapai 80% s/d 90% dari astigmatismus, sedangkan media lainnya
adalah lensa kristalin. Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karena
perubahan lengkung kornea dengan tanpa pemendekat atau pemanjangan
diameter anterior posterior bola mata. Perubahan lengkung permukaan kornea
ini terjadi karena kelainan congenital, kecelakaan, luka atau parut di kornea,
peradangan kornea serta akibat pembedahan kornea.
2. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin
bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga
semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami
kekeruhan yg dapat menyebabkan astigmatisma.
3. Intoleransi lensa atau lensa kontak pada postkeratoplasty
4. Trauma pada kornea
5. Tumor

Patofisiologi

Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan


memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar tidak
difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak sama pada
semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus pembiasan.
Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar lain
difokuskan di belakang retina.

Gambar 6.Pembentukan bayangan astigmatisma

Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5, yaitu :

24
1. Astigmaticus miopicus compositus, dimana 2 titik jatuh di depan retina
2. Astigmaticus hipermetropicus compositus, dimana 2 titik jatuh di belakang
retina
3. Astigmaticus miopicus simpex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan
retina dan satunya tepat pada retina
4. Astigmaticus hipermetropicus simpex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di
belakang retina dan satunya tepat pada retina
5. Astigmaticus mixtus, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan retina dan
belakang retina

Mata dengan astigmatisma dapat dibandingkan dengan melihat melalui


gelas dengan air yang bening. Bayangan yang terlihat dapat menjadi terlalu besar,
kurus, atau terlalu lebar dan kabur (Ilyas et al, 2003).

Tanda dan Gejala Astigmatisma

Pada nilai koreksi astigmatisma kecil, hanya terasa pandangan kabur. Tapi
terkadang pada astigmatisma yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala atau
kelelahan mata, dan mengaburkan pandangan ke segala arah.

Pada anak-anak, keadaan ini sebagian besar tidak diketahui, oleh karena
mereka tidak menyadari dan tidak mau mengeluh tentang kaburnya pandangan
mereka (Williams, 1997).

2.5 Pemeriksaan Pada Gangguan Refraksi

1. Pemeriksaan Tajam Penglihatan


a) Pemeriksaan Visus
Penglihatan dapat dibagi menjadi penglihatan sentral dan perifer.
Ketajaman penglihatan sentral diukur dengan memperlihatkan objek dalam
berbagai ukuran yang diletakkan pada jarak standar dari mata. Misalnya, kartu
Snellen yang sudah dikenal, yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun

25
mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Setiap baris diberi angka yang sesuai
dengan suatu jarak (dalam kaki atau meter), yaitu jarak yang memungkinkan
semua huruf dalam baris itu terbaca oleh mata normal. Misalnya, huruf-huruf
pada baris 40 cukup besar untuk dapat dibaca mata normal dari jarak 40 kaki
(Ilyas 2008).
Sesuai konvensi, ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak jauh yaitu
20 kaki (6 meter), atau dekat yaitu 14 inci. Untuk keperluan diagnostik, ketajaman
penglihatan yang diukur pada jarak jauh merupakan standar pembanding dan
selalu diuji terpisah pada masing-masing mata. Ketajaman penglihatan diberi skor
dengan dua angka (misalnya 20/40). Angka pertama adalah jarak uji (dalam
kaki) antara kartu dan pasien, dan angka kedua adalah jarak barisan huruf
terkecil yang dapat dibaca oleh mata pasien. Penglihatan 20/20 adalah normal;
penglihatan 20/60 berarti huruf yang cukup besar untuk dibaca dari jarak 60 kaki
oleh mata-normal baru bisa dibaca oleh mata pasien dari jarak 20 kaki (Ilyas
2008)
Kartu yang berisi angka-angka dapat digunakan pada pasien yang tidak
terbiasa dengan abjad Inggris. Kartu E- buta huruf dipakai untuk menguji anak-
anak kecil atau pasien dengan hambatan bahasa. Gambar E secara acak dirotasi
dengan empat orientasi yang berbeda. Untuk setiap sasaran, pasien diminta
menunjuk arah yang sesuai dengan arah ketiga batang gambar E. Kebanyakan
anak dapat diuji dengan cara ini sejak usia 3,5 tahun (Ilyas 2008)
Ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi diukur tanpa kacamata atau
lensa kontak. Ketajaman terkoreksi berarti menggunakan alat-alat bantu tadi.
Mengingat buruknya ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi dapat
disebabkan oleh kelainan refraksi semata, untuk menilai kesehatan mata secara
lebih relevan, digunakan ketajaman penglihatan yang terkoreksi (Ilyas, 2008).

b) Pemeriksaan Tajam Penglihat Dengan Hitung Jari


Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan

26
pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai dampai 1/60, yang berarti
hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan
pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau
lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian
tangan pada jarak satu meter berarti tajam penglihatannya adalah 1/300 (Ilyas,
2009).

c) Pemeriksaan Dengan Sinar


Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak
dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan
1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga. Bila
penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan
penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol (Ilyas, 2009).

d) Uji Pinhole
Jika pasien memerlukan kacamata atau jika kacamatanya tidak tersedia,
ketajaman penglihatan terkoreksi dapat diperkirakan dengan uji penglihatan
melalui pinhole. Penglihatan kabur akibat refraksi (misalnya: miopia, hiperopia,
astigmatisme) disebabkan oleh banyaknya berkas sinar tak terfokus yang masuk
ke pupil dan mencapai retina. Ini mengakibatkan terbentuknya bayangan yang
tidak terfokus tajam (Ilyas, 2009)
Melihat kartu Snellen melalui sebuah plakat dengan banyak lubang kecil
mencegah sebagian besar berkas tak terfokus yang memasuki mata. Hanya
sejumlah kecil berkas sejajar-sentral yang bisa mencapai retina sehingga
dihasilkan bayangan yang lebih tajam. Dengan demikian, pasien dapat membaca
huruf pada satu atau dua baris dari barisan huruf yang bisa terbaca saat memakai
kacamata koreksi yang sesuai (Ilyas, 2009).

27
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gangguan refraksi merupakan suatu kelainan pada mata yang terjadi ketika
cahaya tidak dibiaskan tepat pada retina sehingga menyebabkan penglihatan kabur. Ada
beberapa bentuk dari kelainan refraksi yaitu, Miopia, Hipermetropia, dan Astigmatisma.
Faktor resiko penyebab gangguan refraksi adalah membaca buku, pemakaian alat
elektronik, menonton tv, penggunaan komputer dalam jangka waktu yang lama. Beberapa
pemerksaan dilakukan untuk kelainan refraksi ini adalah diawali dengan pemeriksaan
tajam penglihatan baik dengan pemeriksaan visus, pemeriksaan tajam penglihatan dengan
hitung jari, pemeriksaan dengan sinar. Lalu setelah itu pemeriksaan pinhole untuk
mengetahui gangguan karena kelainan refraksi atau media refraksi.

28
DAFTAR PUSTAKA

Fredrick, Douglas R., 2002. Myopia Clinical Review. In: BMJ 2002 volume 324,

1195-9.

Ilyas S. 2008. Trauma Mata. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit
FK-UI.:259-276.

Ilyas, Sidarta, 2005. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas
Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia

James, Bruce,Chris C., Anthony B..2005. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta : Erlangga.
Hal: 35.

Khurana A K. 2007. Chapter 3 Optics and Refraction,Comprehensive Ophtamology,


fourth edition. New Age international, New Delhi

Riordan, Paul, Whitcher, John P.2000. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta:
EGC.Hal: 401-402.

Vaughan A dan Riordan E 2000. Ofthalmologi Umum. (Ed 17).Jakarta: Widya Medika.

Williams W. Corneal and Refractive Anomali. Dalam: Wright K, Head MD, editor.
Textbook Of Ophthalomology. Waverly company. London, 1997: 767

29

Anda mungkin juga menyukai