OLEH:
Kelompok 3 :
Nelci Kayame (4517111036)
Astuti Yunus (4517111039)
Andi dian Ameliana (4517111040)
Destri Neli Aris (4517111041)
Anisa Lumalin (4517111043)
Jelita Arung Palobo (4517111044)
Zakiah Rahma Tahrim (4517111047)
Muh. Riza Arif Vitaria (4517111048)
Calvin Wijaya (4517111049)
A. Skenario
Seorang pasien laki-laki, 56 tahun, datang ke poliklinik mata dengan keluhan penurunan
ketajaman penglihatan. Dialami sejak ± 3 bulan yang lalu secara perlahan, Tidak ada riwayat
kaca mata untuk melihat jauh, tidak ada riwayat mata merah dan trauma pada mata
sebelumnya.
B. Kata Kunci
Laki-laki 56 tahun
Penurunan ketajaman penglihatan
Dialami sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu
Tidak ada riwayat kacamat
Tidak ada trauma pada mata
Tidak ada riwayar mata merah
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimna anatomi ,histologi mata?
2. Bagaimna fisiologi penglihatan?
3. bagaimna patofisiologi penurunan ketajaman penglihatan?
4. Bagaimna langkah-langkah menegakkan diagnosis?
5. Apa saja Differensial diagnosis yang berhubungan dengan kasus diatas?
D. Analisis Masalah
1. Bagaimna anatomi , histologi mata?
1. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
berbatasan dengan kulit pada tepi palpebral dan dengan epitel kornea di
limbus.
2. Sklera
Sklera merupakan jaringan ikat yang lentur dan memberikan bentuk
pada mata. Jaringan ini merupakan bagian terluar yang melindungi bola
mata. Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang
memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.15
3. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya dam merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah
depan.15 Kornea ini disisipkan ke dalam sklera pada limbus, lekukan
melingkar pada sambungan ini disebut sulcus scleralis.
Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 µm di pusatnya
(terdapat variasi menurut ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm
dan vertikalnya 10,6 mm.19
2) Fototransduksi
Retina memiliki dua tipe sel fotoreseptor, yaitu sel kerucut dan sel batang.
Fotoreseptor sel batang dan sel kerucut memiliki perbedaan morfologi, pigmen, dan
distribusi pada retina. Masing-masing sel fotoreseptor tersusun atas segmen luar,
segmen dalam, dan badan sel. Bentuk segmen luar fotoreseptor kerucut meruncing,
sedangkan fotoreseptor sel batang tidak meruncing. Segmen luar tersusun atas 600-
1000 diskus yang mengandung fotopigmen, enzim, dan protein yang terlibat dalam
fototransduksi, yaitu opsin, rodopsin, transdusin, phosphodiesterase (PDE), dan
kromofor 11-cis-retinal.
Fototransduksi merupakan proses penangkapan cahaya oleh fotoreseptor retina
untuk diubah menjadi impuls saraf. Foton yang diterima menyebabkan perubahan
mengubah energi elektromagnetik menjadi stimulus elektrik. Fotoreseptor sel
kerucut sensitif terhadap cahaya terang, terutama pada siang hari (fotopik).
Fotoreseptor sel batang sensitif terhadap cahaya redup (skotopik). Proses
fototransduksi terjadi di membran diskus segmen luar sel fotoreseptor.
3) Jaras Penglihatan
Jaras penglihatan merupakan rangkaian proses pengiriman informasi visual
yang terdapat pada impuls saraf menuju korteks visual. Retina meneruskan impuls
saraf ke saraf optik, kiasma optik, traktus optik, badan genikulatum lateralis, radiasi
optik hingga korteks visual. Korteks visual terdiri dari area korteks visual primer
dan sekunder. Area lain yang berhubungan dengan penglihatan adalah area korteks
frontal.
Sel ganglion retina menerima impuls saraf dari sel bipolar, kemudian sebanyak
1-1,2 juta serabut saraf sel ganglion bersatu menuju diskus optik dan melewati
lamina kribosa memasuki rongga orbita. Serabut saraf bagian nasal retina tersusun
dalam pola radial sederhana. Serabut saraf bagian temporal membentuk berkas
papilomakular yang menuju langsung ke diskus. Serabut paling medial merupakan
serabut retina bagian nasal, sedangkan area lateral mewakili serabut temporal.
Serabut makula yang menyusun sepertiga dari serabut saraf optik, terletak pada
bagian lateral. Serabut retina nasal berdekusasi pada kiasma optik dan memasuki
traktus optik kontralateral. Serabut saraf akan sedikit melengkung pada area knee
of Wilbrand sebelum berdekusasi ke kontralateral. Serabut saraf retina temporal
memasuki traktus optik secara ipsilateral.
4) Persepsi Visual
Persepsi visual adalah hasil akhir proses interpretasi dari respons sensorik yang
dibuat oleh retina ke rangsangan visual oleh korteks. Persepsi visual terdiri dari
persepsi warna, persepsi ruang, persepsi gerak, dan persepsi kedalaman. Jalur
ventral membawa informasi bentuk dan identitas objek. Jalur dorsal membawa
informasi lokasi objek dan hubungan spasial.
3. bagaimna patofisiologi penurunan ketajaman penglihatan?
Patofisiologi penurunanan tajam penglihatan atau gangguan refraksi terbagi
menjadi 4 hal, yaitu keadaan kornea, lensa, aqueous humor, dan vitreous. Cahaya
yang masuk akan ditransmisikan sebagai impuls sepanjang nervus optikus ke korteks
serebri. Gangguan refraksi terjadi apabila terjadi proses ini tidak mampu di
laksanakan secara akurat.
Terdapat kondisi patologis yang dapat mengakibatkan turunnya ketajaman
penglihatan seseorang, yaitu:
Kelainan media refrakta
Bila media refrakta seperti kornea, aqueous humor, lensa, dan vitreous humor keruh
maka sinar tidak dapat diteruskan ke makula lutea yang mengakibatkan penurunan
ketajaman penglihatan.
Kelainan refraksi
- Miopia adalah kondisi dimana cahaya jatuh didepan retina oleh karena bola mata
lebih panjang dari ukuran bola mata normal dan kekuatan pembiasan refraksi terlalu
kuat sehingga ketajaman penglihatan seseorang menjadi berkurang saat melihat objek
yg cukup jauh.
- Hypermetropia adalah kondisi dimana cahaya jatuh dibelakang retina oleh karena
bola mata mengecil dan sinar sejajar tdk cukup kuat untuk dibiaskan sehingga
ketajaman penglihatan seseorang menjadi berkurang saat melihat objek yg cukup
dekat.
C. Pemeriksaan penunjang
1. Ct Scan
2. Pemeriksaan darah lengkap
3. MRI
1) KATARAK
DEFINISI
Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya
terjadi akibat proses penuaan, tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak
kongenital). Dapat juga berhubungan dengan trauma mata tajam maupun tumpul,
penggunaan kortikosteroid jangka panjang, penyakit sistemis, pemajanan radiasi,
pemajanan sinar matahari yang lama, atau kelainan mata yang lain (seperti uveitis
anterior) .
EPIDEMIOLOGI
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di lndonesia, 77,7%
kebutaan disebabkan oleh katarak. Sedangkan prevalensi kebutaan akibat katarak
pada penduduk umur 50 tahun ke atas di Indonesia sebesar 1,9%.
FAKTOR RISIKO
Penyebab utama katarak adalah proses penuaan. Anak bisa mengalami
katarak yang biasanya merupakan penyakit yang diturunkan, peradangan di dalam
kehamilan, keadaan ini disebut sebagai katarak kongenital. Lensa mata
mempunyai bagian yang disebut pembungkus lensa atau kapsul lensa, korteks
lensa yang terletak antara nukleus lensa atau inti lensa dengan kapsul lensa. Pada
anak dan remaja nukleus bersifat lembek sedang pada orang tua nukleus ini
menjadi keras. Katarak dapat mulai dari nukleus, korteks, dan subkapsularis lensa.
Dengan menjadi tuanya seseorang maka lensa mata akan kekurangan air
dan menjadi lebih padat. Lensa akan menjadi keras pada bagian tengahnya,
sehingga kemampuannya memfokuskan benda dekat berkurang. Hal ini mulai
terlihat pada usia 45 tahun dimana mulai timbul kesukaran melihat dekat
(presbiopia). Pada usia 60 tahun hampir 60% mulai mengalami katarak atau lensa
keruh.
Katarak biasanya berkembang pada kedua mata akan tetapi
progresivitasnya berbeda. Kadang-kadang penglihatan pada satu mata nyata
berbeda dengan mata yang sebelahnya. Perkembangan katarak untuk menjadi
berat memakan waktu dalam bulan hingga tahun.
Berbagai faktor dapat mengakibatkan tumbuhnya katarak lebih cepat.
Faktor lain dapat mempengaruhi kecepatan berkembangnya kekeruhan lensa
sepertidiabetes melitus, obat tertentu, sinar ultra violet B dari cahay matahari, efek
racun dari merokok, dan alkohol, gizi kurang vitamin E, dan radang menahun di
dalam bola mata. Obat tertentu dapat mempercepat timbulnya katarak seperti
betametason, klorokuin, klorpromazin, kortison, ergotamin, indometasin,
medrison, neostigmin, pilokarpin dan beberapa obat lainnya. Penyakit infeksi
tertentu dan penyakit seperti diabetes melitus dapat mengakibatkan timbulnya
kekeruhan lensa yang akan menimbulkan katarak komplikata Katarak biasanya
terjadi bilateral, namun memiliki kecepatan yang berbeda. Dapat disebabkan oleh
kejadian trauma maupun sistemik, seperti diabetes.
Namun kebanyakan merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang
normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik ketika seseorang
memasuki dekade ketujuh. Katarak dapat bersifat kongenital dan harus
diidentifikasi awal, karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan ambliopia
dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering berperan dalam
terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obat- obatan, alkohol,
merokok, diabetes, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka
waktu lama.
GEJALA KLINIS
Katarak didiagnosis terutama dengan gejala subjektif. Biasanya, pasien
melaporkan penurunan ketajaman fungsi penglihatan, silau, dan gangguan
fungsional sampai derajat tertentu yang diakibatkan karena kehilangan
penglihatan tadi, temuan objektif biasanya meliputi pengembunan seperti mutiara
keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika
lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan
dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan
kabur atau redup, menyilaukan yang menjengkelkan dengan distorsi bayangan
dan susah melihat di malam hari. Pupil yang normalnya hitam, akan tampak
kekuningan, abu-abu atau putih. Katarak biasanya terjadi bertahap selama
bertahun-tahun , dan ketika katarak sudah sangat memburuk, lensa koreksi yang
lebih kuat pun tak akan mampu memperbaiki penglihatan.
Orang dengan katarak secara khas selalu mengembangkan strategi untuk
menghindari silau yang menjengkel yang disebabkan oleh cahaya yang salah arah.
Misalnya, ada yang mengatur ulang perabotan rumahnya sehingga sinar tidak
akan langsung menyinari mata mereka. Ada yang mengenakan topi berkelepak
lebar atau kaca mata hitam dan menurunkan pelindung cahaya saat mengendarai
mobil pada siang hari
KLASIFIKASI
Katarak senilis adalah jenis katarak yang paling sering dijumpai. Satu- satunya
gejala adalah distorsi penglihatan dan penglihatan yang semakin kabur
b. Katarak didapat, yang timbul belakangan dan biasanya terkait dengan sebab-
sebab spesifik. Katarak didapat terutama disebabkan oleh trauma, baik tumpul
maupun tembus. Penyyebab lain adalah uveitis, infeksi mata didapat, diabetes
dan obat.
3. Katarak Traumatik
Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh cedera benda asing di lensa
atau trauma tumpul terhadap bola mata. Lensa menjadi putih segera setelah
masuknya benda asing karena lubang pada kapsul lensa menyebabkan humor
aqueus dan kadang- kadang korpus vitreum masuk kedalam struktur lensa.
4. Katarak Komplikata
6. Katarak toxik
Katarak toksik jarang terjadi. Banyak kasus pada tahun 1930-an sebagai akibat
penelanan dinitrofenol (suatu obat yang digunakan untuk menekan nafsu
makan). Kortokosteroid yang diberikan dalam waktu lama, baik secara sistemik
maupun dalam bentuk tetes yang dapat menyebabkan kekeruhan lensa.
7.Katarak ikutan
PATOFISIOLOGI
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan,
berbentuk seperti kancing baju dan mempunyai kekuatan refraksi yang besar.
Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus,
di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan
posterior. Dengan bertambahnya usia, nukleus mengalami perubahan warna
menjadi coklat kekuningan. Disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di
anterior dan posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk
katarak yang paling bermakna, nampak seperti kristal salju pada jendela.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya
transparansi. Perubahan pada serabut halus multipel (zunula) yang memanjang
dari badan silier ke sekitar daerah diluar lensa, misalnya dapat menyebabkan
penglihatan mengalamui distorsi. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat
menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat
jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa
normal terjadi disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut
lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa
suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah
enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan
pasien yang menderita katarak.
TATALAKSANA :
EKIK adalah jenis operasi katarak dengan membuang lensa dan kapsul secara
keseluruhan. EKIK menggunakan peralatan sederhana dan hampir dapat
dikerjakan pada berbagai kondisi. Terdapat beberapa kekurangan EKIK, seperti
besarnya ukuran irisan yang mengakibatkan penyembuhan luka yang lama,
menginduksi astigmatisma pasca operasi, cystoid macular edema (CME), dan
ablasio retina.1,9 Meskipun sudah banyak ditinggalkan, EKIK masih dipilih untuk
kasus- kasus subluksasi lensa, lensa sangat padat, dan eksfoliasi lensa. 1,2
Kontraindikasi absolut EKIK adalah katarak pada anak-anak, katarak pada
dewasa muda, dan ruptur kapsul traumatik, sedangkan kontraindikasi relatif
meliputi miopia tinggi, sindrom Marfan, katarak Morgagni, dan adanya vitreus di
kamera okuli anterior.
Fakoemulsifikasi
2) GLAUCOMA
Definisi
Glaukoma berasal dari kata Yunani ”Glaukos” yang berarti hijau kebiruan yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma
merupakan penyebab kebutaan pertama yang irreversibel (Ilyas, 2004). Glaukoma
adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai dengan kenaikan tekanan
intraokuli, penurunan visus, penyempitan lapang pandang, dan atropi nervus
optikus. 5.6
Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda utamatekanan
intraokuler yang tinggi dengan segala akibatnya yaitu, penggaungan danatrofi
papil saraf optik serta defek lapang pandang yang khas. Di dalam bola
mata(intraokular) terdapat cairan bola mata atau humor akuos yang setiap saat
mengalir dari tempat pembuatannya sampai berakhir disaluran keluar. Bila dalam
pengalirannya mengalami hambatan, maka akan terjadi peningkatan tekanan bola
mata sehingga menganggu saraf penglihatan dan terjadi kerusakan lapang
pandang mulai ringan sampai berat sesuai tinggi dan lamanya tekanan tersebut
mengenai saraf mata. 7
Epidemiologi
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia setelah
katarak. Penyakit mata ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Etnis
Afrika dibandingkan etnis kaukasus pada glaukoma sudut terbuka primer adalah
4:1.Glaukoma berpigmen terutama pada etnis Kaukasus. Pada orang Asia lebih
sering dijumpai glaukoma sudut tertutup. 8
Faktor Risiko
Faktor risiko glaukoma meliputi :
- Hipermetropi (glaukoma sudut tertutup)
- Miopi (glaukoma sudut terbuka)
- Usia > 45 tahun
- Keturunan (riwayat glaukoma dalam keluarga)
- Ras (Asia lebih berisiko).
Faktor risiko lainnya adalah migrain, hipertensi, hipotensi, diabetes melitus,
peredaran darah dan regulasinya(darah yang kurang akan menambah kerusakan),
fenomena autoimun, degenerasi primer sel ganglion dan pasca bedah dengan
hifema/infeksi. 9
Hal yang memperberat resiko glaukoma: 5
•Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat.
•Makin tua makin berat, makin bertambah risiko.
•Resiko kulit hitam 7 kali dibanding kulit putih.
•Hipertensi, risiko 6 kali lebih sering.
•Kerja las, risiko 4 kali lebih sering.
•Miopia, risiko 2 kali lebih sering.
•Diabetes melitus, risiko 2 kali lebih sering.
Etiopatogenesis
Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena
trauma/benturan, atau karena penyakit mata lain seperti katarak yang sudah
pecah(katarak hipermatur), uveitis dan pengaruh obat-obatan.Tiga faktor sehingga
terjadinya peningkatan tekanan intraokuler yang akhirnya menyebabkan
terjadinya glaukoma adalah :
1. Produksi berlebih humor akuous pada corpus siliaris.
2. Adanya resistensi dan aliran akuous pada sistem trabekular maupun
kanal Schlemm.
3. Peningkatan tekanan vena episklera.
Bilik anterior dan bilik posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut
humor aqueus. Dalam keadaan normal, cairan ini dihasilkan di dalam bilik
posterior, melewati pupil masuk ke dalam bilik anterior lalu mengalir dari mata
melalui suatu saluran. Jika aliran cairan ini terganggu (biasanya karena
penyumbatan yang menghalangi keluarnya cairan dari bilik anterior), maka akan
terjadi peningkatan tekanan sehingga merusak serabut saraf mata. Perlu
diketahui,saraf mata berfungsi meneruskan bayangan yang dilihat ke otak. Di
otak, bayangan tersebut akan bergabung di pusat penglihatan dan membentuk
suatu benda (vision). Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong
perbatasan antara saraf optikusdan retina di bagian belakang mata. Akibatnya
pasokan darah ke saraf optikus berkurang sehingga sel-sel sarafnya mati. Karena
saraf optikus mengalami kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta pada
lapang pandang mata atau menimbulkan skotoma (kehilangan lapangan pandang).
Bila seluruh serabut saraf rusak dan tidak diobati, glaukoma pada akhirnya akan
menimbulkan kebutaan total.Yang pertama terkena adalah lapang pandang tepi,
lalu diikuti oleh lapang pandang sentral. Pada penderita glaukoma, yang terjadi
adalah kerusakan serabut saraf mata sehingga menyebabkan blind spot. 6
Faktor-faktor penyebab penggaungan dan degenerasi papil saraf optik:
1. Gangguan pendarahan pada papil yang disebabkan oleh peninggian tekanan
intraokuler.
2. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik
yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata.
3. Penggaungan papil yang tidak simetris antara mata kanan dan mata kiri.
Klasifikasi
Klasifikasi Vaughan untuk glaukoma adalah sebagai berikut: 6
1. Glaukoma primer.
Glaukoma sudut terbuka (simpleks)Penyebab glaukoma ini belum pasti ,
mula timbulnya gejala simpleks iniagak lambat yang kadang tidak disadari
oleh penderita sampai akhirnyaberlanjut dengan kebutaan. Umumnya
ditemukan pada pasien usia lebih dari40 tahun. Gambaran patologik utama
pada glaukoma sudut terbuka adalahproses degeneratif di jalinan trabekular,
termasuk pengendapan bahanekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan
endotel kanalis Schelmm.Hal ini berbeda dari proses penuaan normal.
Akibatnya adalah penurunandrainase cairan aquos yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraokular.
3. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat
penyakitmata yang lain atau penyakit sistemik yang menyertainya, seperti :
a. Akibat perubahan lensa (dislokasi lensa, intumesensi lensa, glaukoma
fakolitik dan fakotoksik pada katarak, glaukoma kapsularis / sindrom
eksfoliasi).
b. Akibat perubahan uvea (uveitis anterior, tumor, rubeosis iridis).
c. Akibat trauma (hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea atau limbus
yangdisertai prolaps iris).
d. Akibat post operasi (pertumbuhan epitel konjungtiva, gagalnya
pembentukanbilik mata depan post-operasi katarak, blok pupil post operasi
katarak).
e. Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam jangka
waktu yang lama.
4. Glaukoma absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma
(sempit/terbuka)dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola
mata memberikangangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma absolute terlihat
kornea keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan ekskavasi
glaukomatosa, mata keras seperti batu dengan rasa sakit.
Gejala klinis
1)Glaukoma primer
a)Glaukoma sudut terbuka
Kerusakan visus yang serius
Lapang pandang mengecil dengan maca-macam skottoma yang khas
Perjalanan penyakit progresif lambat
b)Glaukoma sudut tertutup
Nyeri hebat didalam dan sekitar mata
Timbulnya halo/pelangi disekitar cahaya
Pandangan kabur
Sakit kepala
Mual, muntah
Kedinginan
Demam baahkan perasaan takut mati mirip serangan angina, yang sangat
sedemikian kuatnya keluhan mata ( gangguan penglihatan, fotofobia dan
lakrimasi) tidak begitu dirasakan oleh klien.
2)Glaukoma sekunder
Pembesaran bola mata
Gangguan lapang pandang
Nyeri didalam mata
3)Glaukoma kongential
Gangguan penglihatan
• Pemeriksaan penunjang
Yang rutin dilakukan untuk penegakan diagnosis dan penentuan dari
derajat dari glaukoma adalah pemeriksaan tonometri, funduskopi, kedalaman
COA, gonioskopi (untuk melihat sudut iridokorneal dan kontak
iridotrabekular), dan perimetri (untuk melihat progresivitas penurunan lapang
pandang).
Penatalaksanaan
1)Terapi Medikamentosa
Prognosis
Diagnosis yang lebih awal dan penanganan dini pada glaukoma dapatmemberikan
hasil yang memuaskan.
Komplikasi
Jika pengobatan terlambat akan cepat berlanjut pada tahap akhir glukomayaitu
gloukoma absolut
3) RETINA DIABETIK
Defenisi
Retinopati diabetika adalah kelainan mata pada pasien diabetes yang
disebabkan kerusakan kapiler retina dalam berbagai tingkatan sehingga
menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari yang ringan sampai berat bahkan
sampai menjadi kebutaan permanen.3 Risiko mengalami retinopati meningkat
sejalan dengan lamanya menderita diabetes sehingga hiperglikemia yang
berlangsung lama diduga sebagai faktor risiko utama.
Epidemiologi
Retinopati diabetika adalah salah satu penyebab utama kebutaan di
negaranegara Barat, terutama diantara usia produktif.4 Berdarkan penelitian yang
dilakukan Amerika oleh Wiconsin Epidemiologic study of Diabetic
Retinopathy(WSDR), membagi prevalensi penderita retinopati menjadi dua
kelompok yaitu onset muda dan onset tua.14 Onset muda adalah pasien yang
didiagnosis diabetes sebelum 30 tahun dengan terapi insulin dan onset tua adalah
pasien yang didiagnosis diabetes setelah 30 tahun.14 Pada onset muda, 71%
terdiagnosis dengan retinopati, 23% terkena retinopati diabetika proliferatif dan
6% terdiagnosis clinicially significant macular edema(CMSE).14 Pada onset tua,
pasien retinopati dengan pengobatan insulin 8 sebesar 70% dan tanpa pengobatan
39%. Pada pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 3% proliferatif dan 14%
CMSE, sedangkan dengan yang pengobatan insulin 14% mencapai proliferatif
dan 11% CMSE.14 Di Eropa, berdasarkan penelitian survey populasi di Melton
Mowray, England prevalensi retinopati pada pasien dengan pengobatan insulin
sebesar 41% dan pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 52%.14 Data dari
western Scotland prevalensi retinopati diabetika sebesar 26,7% dan retinopati
serius (RDNP,RDP,Makula) sekitar 10%.14 Bedasarkan penelitian 3 populasi
besar di Australia, prevalensi retinopati sebesar 29,1% pada pasien DM pada 40
tahun atau lebih pada penelitian The Melbourne Visual Impairment Project, 32,4
% pada pasien di atas 49 tahun oleh The Blue Mountains Eye Study dengan tanda
proliferatif sebesar 1,6% dan makula sebesar 5,5%.14 Di negara-negara Asia,
prevalensi diabetes mengalami peningkatan selama beberapa dekade, tetapi
informasi retinopati di Asia masih sangat terbatas.14 The Aravind Eye Disease
Survey di India Selatan , prevalensi retinopati pada pasien DM diatas 50 tahun
adalah 27%.
Faktor Risiko
Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi retinopati diabetika antara
1.Jenis Kelamin
Berdasarkan WSDR, pada penderita dibawah 30 tahun kejadian
proliferatif lebih sering terjadi pada pria dibandingakan dengan wanita, walaupun
tidak ada perbedaan yang bermakna untuk progesivitas dari retinopatinya.
Sedangkan pada penderita diatas 30 tahun tidak ada perbedaan yang bermakna
untuk kejadian maupun progesivitas antara pria maupun wanita
2) Ras
Perbedaan prevalensi retinopati diabetika pada ras dapat terjadi akibat
kombinasi beberapa hal antara lain akses ke fasilitas kesehatan, faktor genetik dan
faktor resiko retinopati lainnya
3. Umur
Pada diabetes tipe 1, prevalensi dan keparahan berhubungan dengan umur.
Retinopati jarang terjadi pada pasien dibawah 13 tahun, kemudian meningkat
sampai umur 15-19 tahun, lalu mengalami penurunan setelahnya. 14 Pada pasien
diabetes tipe 2, kejadian retinopati meningkat dengan bertambahnya umur.
4. Durasi Diabetes
Lamanya mengalami diabetes merupakan faktor terkuat kejadian retinopati.
Pervalensi retinopati pada pasien diabetes tipe 1 setelah 10-15 tahun sejak
diagnosis ditegakkan antara 20-50%, setelah 15 tahun menjadi 75-95% dan
mencapai 100% setelah 30 tahun.3 pada diabetes tipe 2 prevalensi retinopati
sekita 20% sejak diagnosis ditegakkan dan meningkat menjadi 60-85% setelah 15
tahun.
5. Hiperglikemi
Berdasarkan penelitian WSDR ditemukan bahwa pada pasien diabetes dengan
retinopati memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
tidak terdiagnosis retinopati.14 Sehingga kadar gula darah yang tinggi
berpengaruh terhadap kejadian retinopati diabetika.
6. Hipertensi
Hipertensi merupakan komorbid tersering pasien retinopati dengan diabetes,
17% pasien retinopati diabetika tipe 1 memiliki hipertensi dan 25% pasien
menjadi memiliki hipertensi setelah 10 tahun terdiagnosis retinopati diabetika. 14
Hipertensi berperan dalam kegagalan autoregulasi vaskularisasi retina yang akan
memperparah patofisiologi terjadinya retinopati diabetika .
7. Hiperlipidemia
Dislipedemia mempunyai peranan penting pada retinopati proliferatif dan
makula.14 Dislipidemia berhubungan dengan tebentuknya hard exudate pada
penderita retinopati. Berdasarkan penelitian WESDR, hard exudate lebih banyak
terdapat pada pasien diabetes tanpa pengobatan oral hypolipidemic
8. Insulin endogen
Kadar plasma C-Peptide merupakan penanda rendahnya kadar insulin endogen.
Pada penelitiam WESDR pasien dengan retinopati memiliki kadar C-peptide
plasma yang rendah, tetapi kadar C-peptide sendiri tidak berpengaruh terhadap
progesivitas retinopati.
9. Indeks Massa Tubuh(IMT)
Indeks massa tubuh berhubungan dengan diagnosis dan keparahan retinopati
pada penderita diatas 30 tahun tanpa pengobatan insulin.14 Mereka yang
underweight (BMI)
10. Kehamilan
Retinopati diabetika mengalami progesivitas yang cepat pada saat kehamilan.
Progresivitas retinopati lebih meningkat lagi pada kehamilan dengan
preeklampsia dibandingkan dengan yang tidak. 14
11.Inflamasi
Keadaan inflamasi menyebab disfungsi vaskular yang menjadi faktor
patogenesis pada diabetes tipe 2.
Patomekanisme
Hiperglikemia kronik merupakan faktor utama terjadinya retinopati
diabetika.3,5 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diabetes Control and
Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pasien yang mendapat terapi
insulin dengan kadar HbA1c dibawah 7% lebih jarang terjadi retinopati yang
progresif dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi insulin. 5 Beberapa
proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia dan menimbulkan terjadinya
retinopati diabetika antara lain
1) Aktivasi jalur poliol
Pada hiperglikemik terjadi peningkatan enzim aldose reduktase yang
meningkatan produksi sorbitol.3,5 Sorbitol adalah senyawa gula dan alkohol
yang tidak dapat melewati membran basalis sehingga tertimbun di sel dan
menumpuk di jaringan lensa, pembuluh darah dan optikPenumpukan ini
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik yang menimbulkan gangguan
morfologi dan fungsional sel.3 Konsumsi NADPH selama peningkatan
produksi sorbitol menyebabkan penigkatan stress oksidatif yang akan
mengubah aktivitas Na/K-ATPase, gangguan metabolisme
phopathydilinositol, peningkatan produksi prostaglandin dan perubahan
aktivitas protein kinase C isoform.
2) Glikasi Nonenzimatik
Kadar glukosa yang berlebihan dalam darah akan berikatan dengan asam
amino bebas, serum atau protein menghasilkan Advanced gycosilation end
product (AGE).5 Interaksi antara AGE dan reseptornya menimbulkan
inflamasi vaskular dan reactive oxygen species(ROS) yang berhubungan
dengan kejadian retinopati diabetika proliferatif
3) Dialsilgliserol dan aktivasi protein C
Protein kinase C diaktifkan oleh diasilglierol dan mengaktifkan VEGF yang
berfungsi dalam proliferasi pembuluh darah baru. Pada hiperglikemik terjadi
peningkatan sintesis diasilgliserol yang merupakan regulator protein kinase
C dari glukosa
Klasifikasi
Retinopati diabetika secara umum dapat dibagi menjadi dua berdasarkan ada
tidaknya pembuluh darah baru pada retina yaitu nonproliferatif dan proliferatif.17
Menurut Early Treatment Retinopati Research Study Group (ETDRS) retinopati
dibagi atas dua stadium yaitu
1. Retinopati Diabetika Nonproliferatif (RDNP)
Retinopati diabetika adalah bentuk retinopati yang paling ringan dan sering
tidak memperlihatkan gejala. Cara pemeriksaannya dengan menggunakan
foto warna fundus atau fundal fluoroscein angiography(FFA).
Mikroaneurisma merupakan tanda awal terjadinya RDNP, yang terlihat
dalam foto warna fundus berupa bintik merah yang sering di bagian
posterior. Kelainan morfologi lain antara lain penebalan membran basalis,
perdarahan ringan, hard exudate yang tampak sebagai bercak warna kuning
dan soft exudate yang tampak sebagai bercak halus (Cotton Wool Spot).
Eksudat terjadi akibat deposisi dan kebocoran lipoprotein plasma. Edema
terjadi akibat kebocoran plasma. Cotton wool spot terjadi akibat kapiler
yang mengalami sumbatan.3 RDNP selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga
stadium
a) Retinopati nonproliferatif minimal
Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras
b) Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang
Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena derajat ringan,
perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA
c) Retinopati nonproliferatif berat
Terdapat satu atau lebih tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada
4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, IRMA ekstensif minimal
pada 1 kuadran
d) Retinopati nonproliferatif sangat berat
Ditemukan dua atau lebih tanda pada retinopati nonproliferatif berat.
Penatalaksanaan
injeksi Intravitreal
Pemberian medikamentosa berupa injeksi anti-VEGF (vascular
endothelial growth factor) dapat membantu mencegah terbentuknya
neovaskularisasi yang dapat meningkatkan risiko perdarahan dan mengurangi
edema pada makula, yang pada beberapa kasus dapat memperbaiki visus.[29]
Injeksi anti-VEGF dapat memperbaiki visus hingga 8-12 huruf
Laser Fotokoagulasi
Terapi laser fotokoagulasi pada retinopati diabetik bertujuan untuk
mengatasi neovaskularisasi retina atau CSME (clinically significant macular
edema). Terapi laser menargetkan daerah retina iskemik
midperifer, down regulasi pembentukan VEGF, sehingga memicu regresi
neovaskularisasi.
Vitrektomi
Pada keadaan retinopati diabetik proliferatif perdarahan yang banyak pada
vitreus atau retina membutuhkan tindakan pembedahan vitrektomi. Vitrektomi
dapat dikombinasi dengan endo-ocular laser selama pembedahan. Indikasi lain
vitrektomi pada retinopati diabetik adalah adanya ablasio retina traksional.
Vitrektomi juga dapat memperbaiki keadaan edema makula yang tidak membaik
dengan terapi lainnya.
Komplikasi
Komplikasi dapat muncul secara akut dan kronik (yang timbul beberapa bulan
atau beberapa tahun sesudah mengidap DM
Komplikasi Akut
Komplikasi akut meliputi koma hipoglikemia, ketoasidosis diabetika
(DKA) dan koma hiperosmolar non ketotik.
Proknosis
Prognosis retinopati tergantung dari penyebab yang mendasari, kelainan retina
yang ditemukan pada pemeriksaan, serta pada fase mana retinopati terdeteksi dan
diberikan terapi.
4) NEURITIS OPTIK
Definisi
Neuritis optik merupakan inflamasi dari nervus optikus berupa
demyelinasi n.optikus disertai penurunan penglihatan. Penyakit ini dapat
mengenai pada satu atau kedua mata . Penurunan penglihatan pada penyakit ini
dapat menyebabkan penurunan penglihatan sementara, bahkan sampai permanen
jika tidak di mananage dengan baik. Salah satu komplikasi yang dapat timbul yaitu
keru-sakan saraf optik, Kasus neuritis optik sering dikaitkan dengan multiple sclerosis
atau neuromyelitis optica tetapi bisa juga terjadi secara terpisah.
Dalam kasus yang terkait dengan multiple sclerasis, neuritis optik biasanya merupakan
manifestasi dini atau permulaan penyakit. Studi tindak lanjut jangka panjang
menunjukkan bahwa 75% dari perempuan yang mengalami neuritis optik pada akhirnya
mengalami multiple sclerosis.
Etiologi
Etiologi neuritis optic termasuk
a. Demielinatif
Idopatik
Sclerosis multiple
Neuromielitis optika
b. Diperantarai imun
Neuritis optic pasca infeksi virus (morbili, cacar)
Neuritis optic pasca imunisasi
Sindrom guillain Barre
Lupus Eritmatosus sistemik
c. Infeksi langsung
Herpes Zooster, Sifiis, TBC
d. Neuropati optic granulomatosa
Sarkoidosis
Idiopati
e. Penyakit peradangan sekitar
peradangan intraocular
penyakit orbita, sinus, dll
Epidemologi
Biasanya mengenai usia 16-55 tahun degan rasio perempuan dan pria 2:1.
Pada anak cendrung sering terkena bilateral sedangkan dewasa cenderung
unilateral. Insidennya 1 dan 5 per 100.000. clinical Definite Multiple Sclerosis
tampak pada onset neuritis optik 15-20%.
Faktor resiko
Faktor resiko neuritis optikus termasuk :
a. Usia
Neuritis optikus sering mengenai dewasa muda sampai 40 tahun, usia rerata
terkena sekitar 30 tahun. Usia lebih tua atau anak-anak dapat terkena juga
tetapi frekuensinya lebih sedikit.
b. Jenis kelamin
Wanita lebih muda terkena neuritis opticus dua kali daripada laki-laki.
c. Ras
Neuritis opticus lebing sering terjadi pada orang kulit putih daripada ras yang
lain.
d. Mutasi genetic
Terjadinya mutasi genetic pada seseorang meningkatkan risiko untuk
mengalami kelainan neuritis optikus
Patomekanisme
Klasifikasi
a. Anamnesis
1) Pasien mengeluh adanya pandangan berkabut atau visus yang kabur, kesulitan
membaca, adanya bintik buta, perbedaan sunjektif pada terangnya cahaya,
presepsi warna yang terganggu, hilangya presepsi dalam atau kaburnya visus
untuk sementara. Pada anak, biasanya gejala penurunan ketajaman
penglihatan mendadak mengenai kedua mata. Sedangkan pada orang dewasa,
neuritis optic sering unilateral.
2) Terdapat riwayat demam atau imunisasi sebelumnya pada anak akan
mendukung diagnosis. Pada orang dewasa, terdapat factor risiko sclerosis
multiple yang lebih besar.
3) Rasa sakit yang lebih besar ketika mata digerakkan
b. Pemeriksaan Fisi
1) Pemeriksaan visus. Hilangya visus dapat ringan (> 20/30 / 60) maupun berat
(<20/70)
2) Pemeriksaan lapang pandang. Tipe-tipe gangguan lapang pandang dapat
berupa: skotoma sentrosecal, kerusakan gelendong saraf parasentral,
kerusakan gelendong saraf yang meluas ke perifer, kerusakan gelendong saraf
yang melibatan fiksasi dan perifer saja.
3) Reflex pupil. Defek aferen pupil terlihat dengan reflex cahaya langsung yang
menurun atau hilang.
4) Penglihatan warna.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Funduskopi
Terdapat beberapa stadium perubahan pada neuritis optikus disertai kelainan
pada bilik mata belakang yaitu
a) Perubahan awal
Papilitis dapat ditemuka dalam 38% kasus. Diskus optikus normal
dalam 44% kasus. Pucatnya bagian temporal menunjukan adanya lesi
optic neuritis yang berat pada mata yang sama. Hal ini dijumpai pada
18% dari pasien yang menjalani pemeriksaan. Papilitis tahap awsal di
karakteristik dengan adanya batas diskus yang mengabur dan sedikit
hiperemis.
b) Papilitis yang mencapai perkembangan yang lengkap
Adanya papildema pada opthalmoskopi tidak memungkinkan untuk
menyatakan hal ini, ditandai dengan adanya pembengkakan, hilangnya
fisiologis cup, hiperemis dan perdarahan yang terpisah. Pembungkus
vena biasanya jarang terlihat. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk
melihat adaya sel pada viterus adalah hal yang sangat penting.
c) Perubahan Lanjut
Pada neuritis optikus retrobulbar, diskus yang normal dapat
dijumpai selama 4-6 minggu, saat dimana pucat dijumpai, papilitis yang
berlanjut kadang-kadang didapati gambaran optic atropi seknder, pada
keadaan ini batas diskus dapat mengabur, mungkin terdapat jaringan glial
pada diskus dan pucatnya bagian stadium akhir optic neuritis. Pada
stadium ini, serabut saraf atrofi dapat diamati pada retina dengan
perangkat lampu hijau merah.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI penting untuk memutuskan apakah daerah di otak telah terjadi
kerusakan myelin, yang mengindikasikan resiko tinggi berkembangya
sclerosis multiple. MRI juga dapat membantu menyingkirkan kemungkinan
tumor atau kondisi lain. Pada pasien yang dicurigai menderita neuritis
optikus, pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat suppression dan
gadolinium sebaiknya dilakukan dengan tujuan untuk konfirmasi diagnosis
dan menilai lesi white matter. MRI dilakukan dalam dua minggu setelah
gejala timbul. Pada pasien yang dicurigai menderita neuritis optikus,
pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat suppression dan gad golinium
menunjukan peningkatan dan pelebaran palpebral nervus optikus. Lebih
penting lagi, MRI dipakai dengan tujuan untuk memutuskan apakah terdapat
lesi kea rah sclerosis multiple. Ciri-ciri resiko tinggi mengarah ke sclerosis
multiple adalah terdapat lesi white matter dengan diameter 3 atau lebih bulat,
lokasinya diarea periventricular dan menyebar ke ruangan ventrikuler.
3) Pemeriksaan cairan serebspinal
Protein ologinal banding pada cairan serebspinal merupakan penentu
sclerosis multiple. Terutama dilakukan terhadap pasien-pasien dengan
pemeriksaan MRI normal.
4) Test Visually Evoked Potentials
Test Visually Evoked Potentials adalah suatu test yang merekan sistem
visual, auditorius dan sensoris yang dapat mengidentifikasi lesi subklinis.
Test Visually Evoked Potentials menstimulasi retina dengan pola papan catur,
dapat mendeteksi konduksi sinyal elektrik yang lambat sebagai hasil dari
kerusakan daerah nervus.
5) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan tes darah NMO-IgG memeriksa antibody neuromlyitis
optica. Pasien dengan neuritis optikus berat sebaiknya menjalani pemeriksaan
ini untuk mendeteksi apakah berkembang menjadi neuromlytis optica.
Pemeriksaan tingkat sedimen eritrosit (ESR) dipakai untuk mendeteksi
inflamasi pada tubuh, tes ini dapat menentukan apakah neuritis optikus
disebabkan inflamasi arteri kranials.
Penatalaksanaan
a. Terapi steroid:
Methylprednison 1 g/hr iv selama 3 hari, bias ditambah prednisolone oral
Methylprednison 500 g/hr oral selama 3-5 hari dengan atau tanpa diikuti
prednisolone
Prednisolone 1 mg/hr oral, diturunkan perlahan dalam 10-21 hari
Komplikasi
Prognosis
Pencegahan
Adapun pencegahanya yaitu tidak merokok, cukupi kebutuhan vitamin D,
melakukan vaksinasi Influenza, mengonsumsi obat-obat golongan beta interferon
untuk mencegah terjadinya sclerosis multiple.
5) ABLASIO RETINA
Definisi
Menurut Ilyas (2015) ablasi retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel
kerucut dan batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel
epitel pigmen masih melekat erat dengan membrane Bruch. Sesungguhnya
anatara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktur
dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang
potensial untuk lepas secara embriologis.
Klasifikasi
1. Rhegmatogenous Retina Detachment (RRD): Diawali dengan adanya
robekan (break) pada retina yang menyebabkan masuknya cairan yang
berasal dari vitreus yang mencair (liquefaction) di antara lapisan sensoris
retina & RPE. (Budiono, 2013)
2. Non Rhegmatogenous Retinal Detachment
1. Traction Retinal Detachment: terlepasnya lapisan sensoris dari RPE
akibat dari tarikan oleh membran vitreoretina. Membran tersebut terbentuk
pada kasuskasus: Proliliverative Diabetic Retinopathy; Retinopathy of
Prematurity; Sickle Cell Retinopathy & penetrating posterior segment
trauma.
2. Exudative Retinal Detachment: masuknya cairan yang berasal dari
choriocapillary ke rongga subretina dengan cara menembus/melewati
lapisan RPE yang rusak. Pada umumnya terjadi pada kasus-kasus : severe
hypertension; choloridal tumor; neovaskulerisasi subretina; retinoblastoma
dan lainlain.
Etiologi
Ablasio retina dapat terjadi secara spontan atau sekunder setelah trauma,
akibat adanya robekan pada retina, cairan masuk kebelakang dan
mendorong retina (rhematogen) atau tejadi penimbunan eksekudat dibawah
retina sehinggan retina terangkat (non rhematogen), atau tarikan jaringan
parut pada badan kaca (traksi). Penimbunan eksekudat terjadi akibat
penyakit koroid, misalnya skleritis, koroditis, tumor retrobulbar, uveitis dan
toksemia gravidarum. Jaringan parut pada badan kaca dapat disebabkan
DM, proliferatife, trauma, infeksi atau pasca bedah. (John, 2015)
Patofisiologi
Menurut Budiono (2013) Longgarnya perlekatan antara epitel pigmen dan
retina menyebabkan keduanya bisa terlepas satu terhadap yang lain,
sehingga cairan bisa terkumpul diantaranya.
Cairan tersebut biasanya berasal dari bagian badan kaca yang cair yang
dengan bebas melewati lubang di retina menuju kedalam rongga yang
terbentuk karena terlepasnya epitel pigmen dari retina tersebut. Penyebab
ablasio retina pada orang muda yang matanya tampak sehat dan refraksi
lensanya normal adalah karena adanya kelemahan perlekatan bagi retina
untuk melekat dengan lapisan dibawahnya. Kelemahan yang biasanya tidak
terdiagnosis letaknya dipinggir bawah retina. Kadang-kadang ditempat yang
sama terdapat kista retina kecil. Jika pinggiran retina terlepas dari
perlekatannya maka akan terbentuk suatu lubang seperti yang disebutkan
diatas. Pada ablasio retina, bagian luar retina yang sebelumnya mendapat
nutrisi yang baik dari koroid. Akibatnya akan terjadi degenerasi dan atropi
sel reseptor retina. Pada saat degenerasi retina terjadi kompenasasi sel epitel
pigmen yang melakukan serbukan sel ke daerah degenerasi. Akibat reaksi
kompensasi akan terlihat sel epitel pigmen di depan retina. Selain itu juga
akan terjadi penghancuran sel kerucut dan sel batang retina. Bila degenerasi
berlangsung lama, maka sel pigmen akan bermigrasi ke dalam cairan sub
retina dank e dalam sel reseptor kerucut dan batang.
Manifestasi Klinis
Menurut Tamsuri (2011) tanda dan gejala dari Ablasio retina adalah :
1 Gejala dini : floaters dan fotopsia (kilatan halilintar kecil pada lapangan
pandang)
2 Gangguan lapang pandang
3 Pandangan seperti tertutup tirai
4 Visus menurun tanpa disertai rasa sakit
5 Visus menurun 2.1.6.6 Gangguan lapang pandang
7 Pada pemeriksaan fundus okuli, tampak retina yang terlepas berwarna
pucat dengan pembuluh darah retina yang berkelok-kelok disertai atau
tanpa robekan retina
Komplikasi
Menurut Tamsuri (2011) komplikasi ablasio retina dibagi menjadi 2 :
1. Komplikasi awal setelah pembedahan : Peningkatan TIO,
Glaukoma, Infeksi, Ablasio koroid, Kegagalan pelekatan retina,
Ablasio retina berulang
2. Komplikasi lanjut : Infeksi, lepasnya bahan buckling melalui
konjungtiva atau erosi melalui bola mata, Vitreo retinapati
proliveratif (jaringan parut yang mengenai retina), Diplopia,
Kesalahan refraksi, astigmatisme.
Penatalaksanaan
Menurut Tamsuri (2011) penatalaksanaan dari ablasio retina yaitu :
1. Penderita tirah baring
2. Mata yang sakit ditutup dengan bebat mata
3. Pada penderita dengan ablasio retina nonregmatogen, bila penyakit
primernya sudah diobati, tetapi masih terdapat ablasio retina, dapat
dilakukan operasi cerclage.
4. Pada ablasio retina rematogen:
a. Fotokoagulasi retina: bila terdapat robekan retina dan belum terjadi
separasi retina.
b. Plombage local: dengan spons silicon dijahatikan pada episklera
didaerah robekan retina (dikontrol dengan oftalmoskop indirek
binuclear)
c. Membuat radang steril pada koroid dan epitel pigmen pada daerah
robekan retina dengan jalan:
- Diatermi
- Pendinginan
- Operasi cerclage
- Operasi ini dikerjakan untuk mengurangi tarikan badan kaca pada
keadaan cairan subretina dapat dilakukan fungsi lewat sclera
DAFTARPUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi ketiga. Jakarta: Fakultas kedokteran UniversitasIndonesia;
2006
2. http://perpustakaanrsmcicendo.com/2019/05/06/fisiologi-penglihatan/ Di Akses tanggal 12 juli
2021
3. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakulas Kedokteran
Universitas Indonesia;2014.
4. Ilyas, Sidarta., Yulianti, Sri. _Buku Ilmu Penyakit Mata_ . Edisi Kelima. Jakarta : FKUI
5. Ilyas, S.Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007.6.
6. Ilyas, S.Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.2008.7.
7. Kanski, JJ.Clinical Ophthalmology : A Systematic Approach. 5th Edition. USA.McGraw-Hill.
2003.8.
8. Anonyma.Drug Treatment for Glaucoma. Last update July 2005. Available from:http://
www.agingeye.com/glaukoma/drug.html4.
9. Friedman, NJ.Review of Ophthalmology : Pharmacology. 1st Edition. Philadelphia. Elsevier
Saunder. 2003.
10. Ilyas, Sidarta, ddk. Buku Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima Cetakan 7. Jakarta: FKUI
11. Hidayat M. Clinical profile of bilateral optic neuritis. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7:29-33.
12. Ergene E. Adult optic neuritis. 2019 Jul 01 [ cited 2019 Aug 23 ]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article /1217083-overview
13. http://eprints.umbjm.ac.id/696/4/BAB%202%20.pdf di akses pada tanggal 13 juli 2021