Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

UVEITIS ANTERIOR

Penyusun :

Ganang Wirabhumi Nandiwardhana

030.12.114

Pembimbing :

Dr. Robby Hilman Maulana, Sp. M (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO
PERIODE 27 AGUSTUS – 29 SEPTEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

UVEITIS

Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Mata

Periode 27 Agustus – 29 September 2018

di Rumah Sakit Umum Angkatan Laut Mintohardjo

Disusun oleh:

Ganang Wirabhumi Nandiwardhana

030.12.114

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Pembimbing

Dr. Robby Hilman Maulana, Sp. M (K)


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………………
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………....
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………

2.1 Anatomi dan Fisiolgi Traktus Uvea………………………………………………………


2.2 Uveitis ……………………………………………………………………………………
2.2.1 Definisi………………………………………………………………………………..
2.2.2 Epidemiologi………………………………………………………………………….
2.2.3 Patofisiologi…………………………………………………………………………..
2.2.4 Klasifikasi…………………………………………………………………………….
2.2.5 Gambaran Klinis……………….……………………………………………………..
2.3 Uveitis Anterior……………………………………………………………………............

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Klasifikasi Uveitis berdasarkan anatomi dan lokasi inflamasi………………………


Tabel 2. Klasifikasi Uveitis Berdasarkan Waktu dan Perjalanan Penyakit………………….
Tabel 3. Klasifikasi Uveitis Berdasarkan Patologi…………………………………………..
Tabel 4. Etiologi Uveitis Anterior............................................................................................

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. (kiri) penampang iris dari depan (kanan) gambar mata bagian depan tanpa iris...
Gambar 2. Traktus uvea...........................................................................................................
Gambar 3. Potongan melintang koroid....................................................................................
Gambar 4. Perdarah traktus uvealis ........................................................................................
Gambar 5. Gambaran klinis uveites anterior...........................................................................
Gambar 6. Klasifikasi uveitis berdasarkan The International Uveitis Study Group…………
Gambar. 7 Uveitis anterior ; Injeksi Silier dan Akuos flare....................................................
Gambar. 8 Hipopion pada uveitis akut...................................................................................
Gambar 9. Uveitis anterior dengan Mutton fat KP dan sinekia segemental luas..................
Gambar 10. Iridosistitis dengan sinekia posterior, pupil festooned dan komplikasi katarak
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan penglihatan dan kebutaan masih merupakan salah satu masalah kesehatan di
Indonesia. Ganggguan terhadap penglihatan banyak terjadi, mulai dari gangguan ringan hingga
gangguan berat yang mengakibatkan kebutaan. World Health Organitation (WHO) telah
menetapkan klasifikasi gangguan penglihatan yang di gunakan berdasarkan tajam penglihatan,
dimana dikatakan buta jika tajam penglihatan kurang dari 3/60, berdasarkan data estimasi
global tahun 2010 diperkirakan angka kebutaan di dunia menembus 39 juta.11 Penyebab
kebutaan tertinggi di dunia merupakan katarak (51%), gloukoma (8%), age-related macular
degeneration (5%), dan kebutaan pada anak sebesar (4%). Sebesar 82% kasus kebutaan
memiliki umur di atas 50 tahun. Pada hari ini menurut Vision 2020 – The Global Initiative for
the Elimination of Avoidable Blindness memiliki estimasi sebesar 180 juta orang memiliki
gangguan penglihatan dan sekitar 40-45 juta orang di dunia mengalami kebutaan.12

Di indonesia sendiri telah dilakukan berberapa riset/survey berkala untuk mendeteksi


kebutaan. Pada tahun 1993-1996 berdasasarkan survey kesehatan indera penglihatan
didapatkan prevalensi kebutaan sebesar 1,5%. Pada tahun 2007 melaui Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) mendapatkan hasil sebesar 0,9%. Namun dengan berbagai kendala yang ada
kelayakan dari hasil RISKESDAS 2007 dikatakan tidak dapat dipercaya. Pada tahun 2013
Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) bersama dengan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melakukan uji validiasi dan didapatkan
prevalensi kebutaan nasional sebesar 0,4%, yang artinya jauh menurun dari angka kebutaan di
tahun 2007. Dikarenakan hasil pada tahun 2013 dinilai masih kurang baik, maka dilakukan
kembali riset pada tahun 2014 - 2016 dimana Kemenkes RI, PERDAMI dan Komite Mata
Nasional berkerjamasama melakukan survey menggunakan metode Rapid Assasment of
Avoidable Blindness ke 15 provinsi terpilih. Didapatkanlah sebuah hasil yaitu prevalensi
kebutaan pada penduduk usia di atas 50 tahun sebesar 3%, membuat kebutaan bukan hanya
sebagai masalah kesehatan namun juga masalah sosial yang penanggulangannya memerlukan
kerjasama lintas sektoral.5

Uveitis adalah salah satu penyakit yang dapat menimbulkan kebutaan. Di negara maju,
10% kebutaan pada populasi usia produktif adalah akibat uveitis. Uveitis dapat disebabkan
oleh kelainan di mata saja atau merupakan bagian dari kelainan sistemik, trauma, iatrogenik
dan infeksi, namun sebanyak 20-30% kasus uveitis adalah idiopatik. Khususnya pada uveitis
anterior ditemukan bahwa kasusnya lebih tinggi dibandingkan uveitis lain di negara maju oleh
karena ekspresi human leukocyte antigen yang merupakan faktor predisposisi uveitis anterior.
Sedangkan pada negara berkembang uveitis posterior menjadi penyebab kebutaan di kelima
negara berkembang seperti amerika selatan, india, dan afrika, dikarenakan tingginya penyakit
infeksi khususnya toksoplasmosis, tuberkolosis, HIV dan sifilisis.7

Gejala uveitis umumnya ringan namun dapat memberat dan menimbulkan komplikasi
kebutaan bila tidak di tatalakasana dengan baik. Selain itu uveitis dapat menyebabkan
komplikasi peradangan ke jaringan sekitarnya seperti sklera, retina dan nervus optikus yang
dimana akan semakin memperberat komplikasinya.5,7 Hal ini menjadi penting mengingat
komplikasi kebutaan yang dapat diterima oleh pasien, maka dokter harus mampu menegakan
diagnosis klinis, memberikan terapi awal, menentukan rujukan serta menindaklanjuti pasien
rujukan balik yang telah selesai di tatalaksana oleh dokter spesialis.
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Traktus Uvea

Uvea adalah Lapis vaskular di dalam bola mata yang terdiri atas iris, badan siliar dan
koroid. Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata dengan
otot rektus lateral, 1 cm didepan foramen optik, yang menerima 3 akar saraf di bagian posterior
yaitu:1

1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar mengandung serabut sensoris untuk
kornea, iris, dan badan siliar.
2. Saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis yang melingkari
arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil.
3. Akar saraf motor akan memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil

Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps. Iris terdiri atas
bagian pupil dan bagian tepi siliar, dan bagian siliar terletak antara iris dan koroid. Batas antara
korneosklera dengan badan siliar belakang adalah 8 mm temporal dan 7 mm nasal. Otot
longitudinal badan siliar yang berinsersi di daerah baji sklera bila berkontraksi akan membuka
anyaman trabekula dan mempercepat pengaliran cairan mata melalui sudut bilik mata.2

Iris

Memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi
aqueous humor. Didalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan
berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan
epitel pigmen retina ke arah anterior.2

iris mendapat suplai darah dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan
endotel yang tidak berlubang (nonfenestrated) sehingga normalnya tidak membocorkan
fluoresein yang disuntikkan secara intravena.

Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervus siliares. Pembuluh darahdi
sekeliling pupil disebut sirkulus minor dan yang berada dekat badan siliar disebut sirkulus
mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasoiliar cabang dari saraf cranial III yang bersifat
simpatik untuk midriasis dan parasimpatik untuk miosis.2

Peran iris untuk pengaturan cahaya yang masuk, ketajaman fokus pengelihatan, dan
meminimalisir penyimpangan optik. Reaksi pupil oleh iris merupakan indikator untuk fungsi
saraf simpatis (midriasis) dan saraf parasimpatis (miosis) pupil.3

Gambar 1. (kiri) penampang iris dari depan (kanan) gambar mata bagian depan
tanpa iris

Corpus siliaris

Corpus siliaris merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai sistem eksresidi
belakang limbus. Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai koroid terdiri atas
otot-otot siliar dan prosesus siliaris. Otot-otot siliar berfungsi untuk akomodasi. Otot ini
mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik
untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang. Serat-serat
longitudinal muskulus ciliaris menyisip ke dalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi
besar porinya.

Corpus siliaris membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris. Corpus
siliaris terdiri atas zona anterior, pars plicata, dan zona posterior yang datar, pars plana.
Processus ciliares berasal dari pars plicata, dan terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang
bermuara ke vena-vena vorticosa. 4

Ada dua lapisan epitel siliaris yaitu: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang
merupakan perluasan neuroretina ke anterior; dan satu lapisan berpigmen di sebelah luar, yang
merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Processus siliares dan epitel siliaris
pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous humor.2

Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkular, dan radial. Fungsi
serat-serat sirkular adalah untuk kontraksi dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di
lembah-lembah diantara prosessus siliaris. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa
sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang
berjarak jauh dalam lapangan pandang. Serat-serat longitudinal muskulus siliaris menyisip ke
dalam anyaman trabekulum untuk mempengaruhi ukuran porinya. Apabila otot longitudinal
badan siliaris berkontraksi akan membuka anyaman trabekula dan mempercepat pengaliran
aqueous humor melalui sudut bilik mata. Badan siliaris juga berkontribusi terhadap aliran
sekresi uveoskleral. 3

Gambar 2. Traktus Uvea.


Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid tersusun atas tiga
lapisan pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak
didalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal
sebagai korio kapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan memalui empat vena vortex, satu
di tiap kuadran posterior.2

Batas batas koroid adalah disebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan disebelah luar
oleh sklera. Ruang supra koroid terletak diantara koroid dan sklera. Koroid melekat erat ke
posterior pada tepi-tepi nervus optikus. Disebelah anterior, koroid bergabung dengan corpus
ciliare. Kumpulan pembuluh darah koroid mendarahi sebagian luas retina yang
menyokongnya.2

Koroid mendapat aliran darah okular sebanyak 85%. Koroid berfungsi sebagai suplai
oksigen atau nutrisi, pembuangan sisa produk metabolisme, dan pengaturan panas. Kumpulan
pembuluh darah koroid mendarahi bagian luar retina yang menyokongnya.

Gambar 3. Potongan melintang koroid

Perdarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh dua buah arteri

 arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan nasal dekat
tempat masuk saraf optik
 tujuh buah arteri siliar anterior, yang terdapat pada setiap otot superior, medial inferior,
satu pada otot rektus lateral.
Arteri siliar anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri sirkularis
mayor pada badan siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan dari 15-20 buah arteri siliar
posterior brevis yang menembus sklera disekitar tempat masuk saraf optik. Kemudian aliran
darah yang menuju ke iris, corpus siliaris dan koroid akan disalurkan ke vena vortex yang
akan menjadi vena oftalmika superior dan inferior yang kemudian di alirkan ke sinus
kavernosus. 3

Gambar 4. Perdarahan traktur uvealis


2.2 Uveitis

2.2.1 Definisi

Uveitis adalah inflamasi primer traktus uvea (peradangan pada iris, korpus siliaris dan
koroid) yang disebabkan oleh beragam penyebab. Uveitis dapat muncul secara akut, akut
rekuren, atau kronik. Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu
klasifikasi secara anatomis, klinis, etiologis, dan patologis. Penyakit peradangan traktus
uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada orang dewasa dan usia pertengahan.5, 6

2.2.2 Epidemiologi

Meskipun dapat terjadi pada semua usia, kebanyakan penderita berusia 20-50 tahun.
Secara umum uveitis jarang ditemukam pada usia anak dibawah 10 tahun dan dewasa di atas
70 tahun. Insidens Uveitis secara umum adalah 17/100.000, dengan prevalensi sebesar
34/100.000. sebanyak 35% dari jumlah pasien dengan uveitis mengalami kehilangan visual
secara nyata sampai buta sepenuhnya. 5, 6

Dalam negara berkembang uveitis tidak memiliki dominasi pada salah satu gender.
Namun dalam penitilian yang dilakukan oleh The Pacific Ocular Inflamation Study
melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna secara insidens rate antara kedua jenis
kelamin namun secara prevalensi jenis kelamin perempuan memiliki angka yang lebih tinggi.6

2.2.3 Patofisiologi

Adapun secara umum perjalanan patofisiologi dari uveitis akan dijabarkan seperti hal
nya dibawah berikut ini sampai terjadinya gambaran klinis. Namun perlu diketahui bahwa pada
praktiknya uveitis juga dapat disebabkan oleh hal sekunder akibat radang kornea (keratitis),
radang sklera (skleritis) atau keduanya (sklerokeratitis)
 Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus)
yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan
di iris dan badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah
melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan
glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah
dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan
mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat
mengakibatkan glaukoma.
 Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar
lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh
karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat
dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas.
 Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun
dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke
bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel
kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga
dengan endapan yang makin ke bawah semakin besar.
 Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam
kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar
masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada
batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut
kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma
sekunder.
 Elemen darah dapat berkumpul di kamera okuli anterior dan timbullah hifema
(bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul
banyak mengandung sel darah putihnya). Elemen-elemen radang yang
mengandung fibrin yang menempel pada pupil dapat juga mengalami
organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut
sinekia posterior.
 Bila seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga cairan
yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke
kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan
menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah
glaukoma sekunder.
 Perlekatan-perlekatan iris pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur.
Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi
jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula
menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan
karena debu.
 Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan
dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan
kaca pun dapat mengakibatkan organisasi jaringan yang tampak sebagai
membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina
yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat
mengakibatkan ablasi retina.

2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi yang paling sering digunakan pada uveitis adalah klasifikasi dari The
International Uveitis Study Group (IUSG) bersama The Standarization of Uveitis
Nomenclature (SUN) group membagi uveitis berdasarkan anatomi, etiologi, perjalanan
penyakit dan patologinya.7

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari inflamasi yaitu:

Tipe Wilayah Peradangan Termasuk


Primer
Uveitis Anterior Ruang Anterior Iritis
Iridosilitis
IUveitis Intermediate Vitreous Pars Planitis

Uveitis Posterior Koroid atau Retina Fokal, Multifokal atau


Koroiditis Difus,
Korioreitinitis,
Retionokoroiditis,
Neuroretinitis
Panuveitis Ruang anterior, Vitreous,
dan Koroid atau Retina
Tabel 1. Klasifikasi Uveitis berdasarkan anatomi dan lokasi inflamasi.

Berdasarkan table di atas dapat di pahami terdapat 4 klasifikasi uveitis berdasarkan


lokasi anatominya. Uveitis anterior memiliki perbatasan dari iris dan badan silar, dimana
Inflamasi di iris saja disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka
disebut iridosiklitis. Pada uveitis intermediet perbatasan terletak pada pars plana, dimana
peradangan pada daerah tersebut dapat dikatakan sebagai pars planitis. Uveitis posterior adalah
peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan jaringan sekitar seperti vitreus, retina dan
nervus optikus, secara berturut-turut peradangan pada lokasi tersebut dapat dikatakan sebagai
fokal, multifokal atau koroiditis difus, korioreitinitis, retionokoroiditis, neuroretinitis.
Sedangkan pembagian terakhir yang disebut sebagai panauveitis dapat terkena seluruh bagian
meliputi ruang anterior, vitreus, dan koroid ataupun retina. 7, 8

Berdasarkan perjalanan penyakit, uveitis dibagi menjadi onset akut (onset mendadak
dan durasi kurang dari empat minggu), rekuren episode uveitis berulang, kronik (uveitis
persisten atau kambuh sebelum tiga bulan setelah pengobatan dihentikan), dan remisi (tidak
ada gejala uveitis selama tiga bulan atau lebih). 7, 8

Kategori Sifat Penjelasan


Onset Mendadak
Perlahan
Durasi Terbatas Kurang dari 3 bulan
Persisten Lebih dari 3 bulan
Perjalanan Akut Onset mendadak dan durasi
terbatas
Rekuren Episode berulang; periode
inaktif ≥ 3 bulan tanpa
pengobatan
Kronik persisten; kambuh dalam <
3 bulan tanpa terapi
Remisi Tidak ada gejala uveitis
selama ≥ 3 bulan
Tabel 2. Klasifikasi Uveitis Berdasarkan Waktu dan Perjalanan Penyakit.
Sedangakan berdasarkan patologinya, terbagi menjadi dua yaitu non granulomatosa
dan granulomatosa, yang akan diperinci sebagai berikut : 2

- Non-granulomatosa : umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen dan karena


berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, diduga peradangan ini disebabkan oleh
fenomena hipersensitivitas
- Granulomatosa : umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh organisme
penyebab ( mis. Mycobacterium tuberculosis atau toxoplasma gondii).

Non- Granulomatosa Granulomatosa

Onset Akut Tersembunyi

Nyeri Nyata Tidak ada atau ringan

Fotofobia Nyata Ringan

Penglihatan Kabur Sedang Nyata

Injeksi Nyata Ringan

Sirkumkorneal

Keratik presipitat Putih halus Kelabu besar

Pupil Kecil dan tak teratur Bervariasi

Sinekia posterior Kadang-kadang Kadang-kadang

Noduli iris Tidak ada Kadang-kadang

Lokasi Uvea anterior Uvea anterior, posterior

Perjalanan penyakit Akut Kronik

Kekambuhan Sering Kadang-kadang

Tabel 3. Klasifikasi Uveitis Berdasarkan Patologi


2.2.5 Gambaran Klinis

 Uveitis Anterior

Gejala uveitis anterior umumnya ringan-sedang dan dapat sembuh sendiri, namun pada
uveitis berat, tajam penglihatan dapat menurun. Gejala klinis dapat berupa mata merah, nyeri,
fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan. Uveitis anterior menyebabkan spasme otot siliar
dan sfingter pupil yang menimbulkan nyeri tumpul/berdenyut serta fotofobia. Jika disertai
nyeri hebat, perlu dicurigai peningkatan tekanan bola mata. Spasme sfingter pupil
mengakibatkan miosis dan memicu sinekia posterior. Penurunan tajam penglihatan terutama
akibat kekeruhan cairan akuos dan edema kornea walaupun uveitis tidak selalu menyebabkan
edema kornea.2, 5

Tanda uveitis anterior akut adalah injeksi siliar akibat vasodilatasi arteri siliaris posterior
longus dan arteri siliaris anterior yang memperdarahi iris serta badan siliar. Di bilik mata depan
terdapat pelepasan sel radang, pengeluaran protein (cells and flare) dan endapan sel radang di
endotel kornea (presipitat keratik). Presipitat keratik halus umumnya akibat inflamasi
nongranulomatosa dan presipitat keratik kasar berhubungan dengan inflamasi granulomatosa.5

Gambar 5. Gambaran klinis uveitis anterior


 Uveitis intermediet

Uveitis intermediet adalah peradangan di pars plana yang sering diikuti vitritis dan uveitis
posterior. Penyakit tersebut biasanya terjadi pada usia dekade ketiga-keempat dan 20% terjadi
pada anak.7,9 Penyebabnya sebagian besar idiopatik (69,1%), sarkoidosis (22,2%), multiple
sclerosis (7,4%), dan lyme disease (0,6%). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis, Toxoplasma, Candida, dan sifilis. Tanda paling penting pada
uveitis intermediate yaitu adalah peradangan viterus, selain itu sifatnya cenderung bilateral dan
biasanya mengenai pasien masa remaja akhir atau dewasa muda. Keluhan utama pada
klasifikasi ini adalah penurunan tajam penglihatan tanpa rasa nyeri (pandangan kabur, floaters),
dan seringkali ditemukan secara tidak sengaja karena tidak ada tanda-tanda inflamasi. 2, 5

 Uveitis posterior

Dua gejala utama uveitis posterior adalah floater dan gangguan penglihatan. Keluhan floater
terjadi jika terdapat lesi inflamasi perifer. Sedangkan koroiditis aktif pada makula atau
papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan sentral. Tanda-tanda adanya
uveitis posterior adalah perubahan pada vitreus (seperti sel, flare, opasitas, dan seringkali
posterior vitreus detachment), koroditis, retinitis, dan vaskulitis.7, 10

Gambar 6. Klasifikasi uveitis berdasarkan The International Uveitis Study Group.


2.3 Uveitis anterior

2.3.1 Definisi
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar (pars plicata),
kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera.
Peradangan pada uvea dapat mengenai hanya pada iris yang di sebut iritis atau mengenai badan
siliar yang di sebut siklitis. Biasanya iritis akan disertai dengan siklitis yang disebut iridosiklitis
atau uveitis anterior. 5, 7

2.3.2 Etiologi
Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui. Adapun etiologi yang
menyebabkan uveitis anterior selanjutnya akan digambarkan pada table berikut ini :2
Autoimun Infeksi Keganasan Lain-lain
Artritis idiopatik Sifilis Sindrom Masquerade : Idiopatik
juvenilis Retinoblastoma
Leukemia
Limfoma
Melanoma maligna
Spondylitis ankilosa Tuberkolosis Uveitis traumatika
(trauma tembus)
Syndrome reiter Lepra (Morbus Ablatio retinae
Hansen)

Kolitis ulserativa Herpes zoster Iriodosiklitis


heterokromik fuchs
Uveitis terinduksi Herpes simpleks Krisis
lensa gloukomatoksiklitis
Sarkoidosis Onkosersiasis
Penyakit Chron Leptospirosis
Psoriasis
Tabel 4. Etiologi Uveitis Anterior
2.3.3 Patofisiologi
Uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi pembuluh darah yang akan
menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau pericorneal vascular
injection). Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan eksudasi ke dalam akuos humor,
sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam akuos humor. Pada pemeriksaan
biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel, yaitu partikel-partikel
kecil dengan gerak Brown (efek tyndal). Kedua gejala tersebut menunjukkan proses
keradangan akut.

Gambar. 7 Uveitis anterior ; Injeksi Silier dan Akuos flare.9

Pada proses keradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang di
dalam BMD yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan
hifema.

Gambar. 8 Hipopion pada uveitis akut.9


Apabila proses radang berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang
dapat melekat pada endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis
keratic precipitate, yaitu :

 mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen yang
difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
 punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat pada jenis non
granulomatosa.
Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses keradangan akan berjalan terus
dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat
menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia
posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior.

Gambar 9. Uveitis anterior dengan Mutton fat KP dan sinekia segemental luas.9

Gambar 10. Iridosistitis dengan sinekia posterior, pupil festooned dan


komplikasi katarak
Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau
seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut,
ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran aquos
humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga aquos humor tertumpuk di bilik
mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans.
Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma
sekunder.

Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa, yang menyebabkan
lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata. Apabila keradangan menyebar luas, dapat
timbul endoftalmitis (peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya
dengan abses di dalam badan kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata
termasuk sklera dan kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).

2.3.4 Penegakan Diagnosis

Diagnosis klinis mudah ditegakan tetapi diagnosis pasti berdasarkan etiologi merupakan
tantangan bagi dokter spesialis mata sehingga penatalaksanaan uveitis yang cepat dan tepat
mencegah kebutaan juga sulit. Dari serangkaian temuan dari tahap anamnesis, pemeriksaan
fisik dan mata sampai pemerikasaan penunjang, sandler dkk mengatakan bahwa 56% diagnosis
diperoleh dari anamnesis dan 73% setelah pemeriksaan fisik termasuk mata. Sedangkan pada
pemeriksaan laboratorium hanya meiongkatkan 5% diagnosis namun paling banyak
memerlukan biaya sehingga perlu di pilih sesuai kebutuhan pasien.2, 5, 7

1. Pada anamnesa penderita mengeluh:


 Mata terasa seperti ada pasir.
 Mata merah disertai air mata.
 Nyeri, baik saat ditekan ataupun digerakkan. Nyeri bertambah hebat bila telah timbul
glaukoma sekunder.
 Fotofobia, penderita menutup mata bila terkena sinar
 Blefarospasme.
 Penglihatan kabur atau menurun ringan, kecuali bila telah terjadi katarak komplikata,
penglihatan akan banyak menurun.
2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan:
 Kelopak mata edema disertai ptosis ringan.
 Konjungtiva merah, kadang-kadang disertai kemosis.
 Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar sekitar limbus, dan keratic
precipitate.
 Bilik mata depan keruh (flare), disertai adanya hipopion atau hifema bila proses sangat
akut.
 Sudut BMD menjadi dangkal bila didapatkan sinekia.
 Iris edema dan warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans.
 Dapat pula dijumpai sinekia posterior ataupun sinekia anterior.
 Pupil menyempit, bentuk tidak teratur, refleks lambat sampai negatif.
 Lensa keruh, terutama bila telah terjadi katarak komplikata.
 Tekanan intra okuler meningkat, bila telah terjadi glaukoma sekunder.

2.3.5 Diagnosis Banding


Diagnosis banding uvetis anterior antara lain:

 Konjungtivitis: Pada konjungtivitis, penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada
tahi mata dan umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris. Terdapat sekret
dan kemerahan pada konjungtiva palpebra dan bulbi pada konjungtivitis.2
 Keratitis atau keratokunjungtivitis: Pada keratitis, penglihatan dapat kabur dan ada rasa
sakit, fotofobia, pewarnaan epitel positif atau defek atau penebalan stroma atau adanya
infiltrat. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zooster dapat
menyertai uveitis anterior sebenarnya.2

Glaukoma akut sudut tertutup: Pada glaukoma, pupil melebar, tidak ada sinekia posterior,
peningkatan TIO yang menonjol, kornea edema, dan penyempitan sudut kamera okuli

2.3.6 Tatalaksana

Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk mengembalikan atau
memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak
dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah
memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan. 2, 5, 7

Adapun terapi uveitis anterior dapat dikelompokkan menjadi:

Terapi non spesifik


1. Penggunaan kacamata hitam. Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi,
terutama akibat pemberian midriatikum.
2. Kompres hangat. Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang,
sekaligus untuk meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel radang dapat lebih
cepat.
3. Midritikum/sikloplegik. Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan
badan silier relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat panyembuhan.
Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun
melepaskan sinekia yang telah ada. Midriatikum yang biasanya digunakan adalah:
 Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
 Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
 Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes
4. Anti inflamasi. Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid, dengan
dosis sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %. Bila radang sangat
hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler: dexamethasone phosphate 4 mg
(1ml). prednisolone succinate 25 mg (1 ml). triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml).
methylprednisolone acetate 20 mg. Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik
prednisone oral mulai 80 mg per hari sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5
mg tiap hari.

Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali. Pada pemberian kortikosteroid, perlu
diwaspadai komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu glaukoma sekunder pada
penggunaan lokal selama lebih dari dua minggu, dan komplikasi lain pada penggunaan
sistemik.

Terapi spesifik

Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis anterior telah
diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri, maka obat yang sering diberikan
berupa antibiotik.
 Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid. Subkonjungtiva
kadang juga dikombinasi dengan steroid. Per oral dengan Chloramphenicol 3 kali sehari 2
kapsul
 Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali. Walaupun diberikan terapi spesifik,
tetapi terapi non spesifik seperti disebutkan diatas harus tetap diberikan, sebab proses
radang yang terjadi adalah sama tanpa memandang penyebabnya.

2.3.7 Komplikasi

Uveitis dapat menyebabkan sinekia anterior dan posterior. Sinekia anterior dapat
mengganggu aliran aqueous humor pada sudut kamera okuli dan menyebabkan hipertensi okuli
atau glaukoma. Sinekia posterior, saat terjadi maksimal, dapat menyebabkan glaukoma sudut
tertutup sekunder oleh seklusio pupil dan iris bombe. Penggunaan kortikosteroid jangka
panjang dengan dosis besar dan sikloplegia/ agen midriatic dapat mengurangi komplikasi ini.5
Baik inflamasi kamera okuli anterior maupun posterior dapat menyebabkan penebalan
dan opasifikasi. awalnya, hal ini dapat menyebabkan gangguan pergeseran refraksi, biasanya
menjadi miopia. Seiring berjalannya waktu, dapat terbentuk katarak. Terapi dengan
pengambilan katarak hanya boleh dilakukan saat inflamasi intraokular terkontrol minimal 6
bulan, karena risiko intraoperasi dan postoperasi lebih besar pada pasien dengan uveitis
anterior. Penggunaan steroid secara lokal dan sistemik biasanya dibutuhkan sebelum, sleama,
dan setelah operasi katarak. 5
Cystoid makular edema merupakan penyebab hilangnya penglihatan pada pasien
dengan uveitis anterior dan dapat diperhatikan pada uveitis anterior dan intermediate yang
berat. Edema makula yang terus menerus atau rekuren dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan permanen oleh karena degenerasi cystoid. Baik angiography fluorescence dan
optical coherence tomography dapat digunakan untuk diagnosis cystoid makular edema dan
untuk memonitor respon terapi. 5
Ablasio retina, termasuk tractional, rhegmatogenous, dan eksudat jarang terjadi pada
pasien dengan uveitis intermediate, posterior, dan panuveitis. Exudative retinal detachment
menunjukkan inflamasi koroid yang signifikan dan banyak terjadi pada kasus yang
berhubungan dengan penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, ophtalmia sympathetic, dan skleritis
posterior atau kasus yang berhubungan dengan retinitis parah atau vaskulitis retina. 5
Ada empat komplikasi utama uveitis anterior yaitu katarak, glaukoma, band
keratopathy, dan cystoid makular edema. Katarak subkapsular posterior merupakan salah satu
komplikasi dari pengobatan uveitis anterior berupa penggunaan kortikosteroid topikal jangka
panjang. Glaukoma sekunder yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, antara
lain:7

 Gangguan sirkulasi humor aqueous karena tersumbat oleh sel radang


 Sinekia posterior memungkinkan humor aqueous terkumpul di belakang iris.
 Sinekia anterior peripheral progresif menutup sudut bilik mata
 Kortikosteroid topikal dapat meningkatkan tekanan intra okular
 Rubeosis iridis menyebabkan neovaskular glaukoma

Band keratopathy terjadi pada uveitis yang lama. Terjadi karena penumpukan kalsium
pada kornea anterior. Cystoid makular edema dapat terjadi pada uveitis anterior yang lama.
CME mungkin disebabkan karena penurunan kadar prostaglandin.2,5

2.3.8 Prognosis

Prognosis uveitis tergantung pada perluasan keparahan, lokasi, dan penyebab


inflamasinya. Secara umum, inflamasi yang parah memiliki terapi yang lebih lama dan lebih
sering menyebabkan kerusakan intraokular dan penurunan penglihatan dibandingkan inflamasi
yang ringan atau sedang. Selain itu, uveitis anterior cenderung memberi reaksi lebih cepat
dibandingkan intermediate, posterior, dan panuveitis. Keterlibatan retina, koroid, dan nervus
optikus cenderung berhubungan dengan prognosis buruk.2
Prognosis biasanya baik pada mayoritas kasus idiopatik dan HLA-B27-related uveitis
anterior akut dengan terapi yang adekuat. Hasil lebih bervariasi pada uveitis anterior kronis
dan kasus-kasus dimana terdapat penyakit sistemik atau penyakit mata lain yang mendasari.2
BAB III
PENUTUP

Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliar, uveitis
dapat menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera. Berdasarkan
etiologinya, uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius, uveitis non infeksius, dan
uveitis tanpa penyebab yang jelas. Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan
penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior
kronis. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe
granulomatosa dan non granulomatosa.

Gejala-gejala uveitis anterior meliputi mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa nyeri pada
mata, clan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya unilateral, disertai dengan adanya
flare dan sel di dalam bilik mata depan, hipopion, injeksi siliar, keratic precipitate, eksudat,
nodul iris, sinekia posterior, atrofi iris, dan rubeosis iridis. Gejala yang sering dijumpai
bervariasi, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab.

Tujuan terapi uveitis anterior antara lain untuk mengembalikan tajam penglihatan,
mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan, mencegah
terjadinya sinekia, dan pengendalikan tekanan intraokular.

Ancaman kebutaan merupakan risiko yang dihadapi pada penyakit uveitis. Dengan
adanya risiko kebutaan pada penyakit ini pemahaman mengenai khususnya penegakan
diagnosis, tatalaksana awal, sistem rujukan, dan pengelolaan rujuk balik bagi dokter umum
merupakan hal yang sangat membantu dalam penurunan risiko bagi individu dan angka
kebutaan dalam skala global maupun nasional.
Daftar Pustaka

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010.

2. Voughan Daniel G, Asburg Taylor, Eva-Riordan Paul. Sulvian John H,editors.


Optalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta. Widya Medika. 2013 : 266-78
3. American Academy of Opthalmology, Staff. 2011-2012. Intraocular Inflammation and
Uveitis. In: Basic and Clinical Science Course. Section 9. San Francisco: American
Academy of Opthalmology; p. 200-207; 226-234
4. Denniston AK. Murray PI. Oxford Handbook of Ophthalmology 3rd ed. UK: Oxford
University Press; 2014:407-72.
5. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, et all. Buku Ajar Oftamologi FKUI.
Badan Penerbit FKUI, Jakarta. 2017.
6. Tsiruko T, Dastiridou A, Symeonidis C, Tounakaki O, et all. A Foucus on the
Epidemiology of Uveitis. Taylor and Francis Group. 2016; 00 (00): 1-15.

7. Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah


Kebutaan. Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUI RSUP Nasional dr. Cipto
Mangunkusumo. 2016;4;60-70.
8. Zierhut M, Deuter C, Murray PI. Classification of Uveitis – Current Guidlines. Touch
Briefing. 2007 : 77-78
9. Khurana AK. Disease in uveal tract. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New
Delhi: New Age International (P) limited; 2007:133-166

10. Dayani PN. Posterior uveitis: an overview. Advanced Ocular Care. 2011 Feb: 37-41.
11. InfoDatin. Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. 2014
12. Blindness : Vision 2020 – The Global Initiative for the Elimination of Avoidable
Blindness. Available at : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs213/en/. Acces
on : 14 september 2018

Anda mungkin juga menyukai