Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN PSIKIATRI 17 November 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFERAT:
GANGGUAN ANXIETAS MENYELURUH
LAPSUS:
SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK (F25.0)

Disusun Oleh:
Risal Mujahidin N.P
110 211 0139

Pembimbing:
dr. Yazzit Mahri

Supervisor:
DR. dr. H. M. Faisal Idrus, SpKJ(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Risal Mujahidin


NIM : 110 211 0139
Universitas : Universitas Muslim Indonesia
Judul Referat : Gangguan Cemas Menyeluruh (F40)
Judul Laporan Kasus : Skizoafektif tipe manik (F25.0)

Telah menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Makassar, 17 November 2015

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

DR. dr. H. M. Faisal Idrus, SpKJ(K) dr. Yazzit Mahri

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Taala karena atas berkat
dan rahmat-Nya lah sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan penyusunan tulisan ini
dapat terlaksana. Tak lupa pula penulis haturkan salawat dan salam tercurah pada junjungan
Nabi Muhammad Shallahu Alaihi Wasallam.

Tulisan ini berjudul “Gangguan Cemas Menyeluruh” yang dibuat dan disusun sebagai
tugas kepanitraan klinik bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Berbagai kesulitan dan hambatan penulis temui, namun atas bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, akhirnya tulisan ini dapat terselesaikan.

Makassar, 17 November 2015

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II GANGGUAN CEMAS MENYELURUH ................................................. 4

A. DEFINISI ............................................................................................. 4

B. EPIDEMIOLOGI ................................................................................. 5

C. ETIOLOGI ........................................................................................... 5

D. GAMBARAN KLINIS ....................................................................... 13

E. DIAGNOSIS ....................................................................................... 15

F. DIAGNOSIS BANDING1 ................................................................. 17

G. PENATALAKSANAAN .................................................................... 19

H. PROGNOSIS ....................................................................................... 21

BAB III PENUTUP ................................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Sensasi anxietas sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut

ditandai oleh ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala

otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, gelisah, dan sebagainya. Anxietas

merupakan gejala yang umum tetapi non-spesifik yang sering merupakan satu fungsi emosi.

Kumpulan gejala tertentu yang ditemui selama kecemasan cenderung bervariasi, pada setiap

orang tidak sama. Anxietas yang patologik biasanya merupakan kondisi yang melampaui

batas normal terhadap satu ancaman yang sungguh-sungguh dan maladaptif.1,2

Anxietas sendiri dapat sebagai gejala saja yang terdapat pada gangguan psikiatrik,

dapat sebagai sindroma pada neurosis cemas dan dapat juga sebagai kondisi normal. Anxietas

normal sebenarnya suatu hal yang sehat, karena merupakan tanda bahaya tentang keadaan

jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri dan anxietas juga dapat bersifat

konstruktif, misalnya seorang pelajar yang akan menghadapi ujian, merasa cemas, maka ia

akan belajar secara giat supaya kecemasannya dapat berkurang.2

Gangguan kecemasan adalah salah satu gangguan mental yang paling lazim terjadi di

masyarakat umum. Hampir 30 juta orang yang terkena gangguan ini di Amerika Serikat,

dengan angka kejadian pada wanita yang dapat terkena hampir dua kali lebih sering

dibanding pria. Gangguan kecemasan yang berhubungan dengan kejadian morbiditas yang

cukup signifikan, sering menjadi kronis dan cenderung resisten terhadap pengobatan.

Gangguan kecemasan dapat dilihat sebagai bagian dari gangguan mental terkait, yang dapat

diklasifikasikan dalam Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders edisi keempat

1
(DSM-IV-TR), yaitu : (1) gangguan panik dengan atau tanpa agoraphobia, (2) agoraphobia

dengan atau tanpa gangguan panik, (3) fobia spesifik, (4) fobia sosial, (5) obsesif-kompulsif

(OCD), (5) gangguan stres pasca trauma (PTSD), (6 ) gangguan stres akut; dan (7) gangguan

kecemasan umum.3

Sebuah aspek menarik dari gangguan kecemasan adalah interaksi indah antara faktor

genetik dan pengalaman. Ada sedikit keraguan bahwa gen yang abnormal dapat

menyebabkan seseorang rentan terhadap keadaan kecemasan patologis, namun bukti jelas

menunjukkan bahwa peristiwa kehidupan yang traumatis dan stres juga dapat menjadi

penyebab yang cukup penting.3

Semua orang dapat mengalami kecemasan. Hal ini sering ditandai sebagai rasa tidak

menyenangkan, ketakutan, dan sering disertai dengan gejala otonom seperti sakit kepala,

berkeringat, jantung berdebar, sesak di dada, ketidaknyamanan pada perut yang ringan, dan

rasa gelisah, yang ditunjukkan dengan ketidakmampuan untuk duduk atau berdiri diam dalam

waktu yang lama. 3

Pengalaman kecemasan memiliki dua komponen: kesadaran sensasi fisiologis

(misalnya, jantung berdebar dan berkeringat) dan kesadaran bahwa mereka gugup atau

ketakutan. Perasaan malu dapat meningkatkan kecemasannya dan akan mengakui bahwa

mereka sedang ketakutan.3

Selain efek motorik dan efek viseral, kecemasan dapat mempengaruhi pemikiran,

persepsi, dan belajar. Hal ini cenderung menghasilkan kebingungan dan distorsi persepsi,

tidak hanya waktu dan ruang tetapi juga dari orang dan makna dari suatu peristiwa. Distorsi

2
ini dapat mengganggu belajar dengan menurunkan konsentrasi, mengurangi ingat, dan

merusak kemampuan untuk berhubungan dengan bagian lain untuk membuat asosiasi.3

Dalam referat ini, akan dibahas lebih mendetail mengenai gangguan cemas

menyeluruh, yakni mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, gambaran klinis, diagnosis,

diagnosis banding, penatalaksanaan, serta prognosis.3

3
BAB II

GANGGUAN CEMAS MENYELURUH

A. DEFINISI

Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD) merupakan

kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan

tidak rasional bahkan terkadang tidak realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan sehari-

hari. Kondisi ini dialami hampir sepanjang hari, berlangsung sekurang-kurangnya selama 6

bulan. Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan gejala-

gejala somatik seperti ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan sehingga

menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial dan

pekerjaan.4,5

GAD ditandai dengan kecemasan yang berlebihan dan khawatir yang berlebihan

tentang peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-harinya tanpa alasan yang jelas untuk khawatir.

Kecemasan ini tidak dapat dikontrol sehingga dapat menyebabkan timbulnya stres dan

mengganggu aktivitas sehari-hari, pekerjaan dan kehidupan sosial.4,5

Pasien dengan GAD biasanya mempunyai rasa risau dan cemas yang berlanjut

dengan ketegangan motorik, kegiatan autonomik yang berlebihan, dan selalu dalam keadaan

siaga. Beberapa pasien mengalami serangan panik dan depresi.4

4
B. EPIDEMIOLOGI

Angka prevalensi untuk gangguan cemas menyeluruh 3-8% , dengan prevalensi pada

wanita > 40 tahun sekitar 10%. Rasio antara perempuan dan laki-laki sekitar 2:1. Onset

penyakit biasanya muncul pada usia pertengahan hingga dewasa akhir, dengan insidens yang

cukup tinggi pada usia 35-45 tahun. GAD merupakan gangguan kecemasan yang paling

sering ditemukan pada usia tua. 6,7,8

C. ETIOLOGI

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan faktor yang diduga menyebabkan

terjadinya gangguan cemas menyeluruh. Teori-teori tersebut antara lain :

Kontribusi Ilmu Psikologi

Tiga sekolah utama psikologis theory yaitu psikoanalitik, perilaku, dan eksistensial telah

memberikan kontribusi teori tentang penyebab kecemasan. Teori masing-masing memiliki

kegunaan baik konseptual dan praktis dalam mengobati gangguan kecemasan.3

1. Teori psikoanalitik

Meskipun Freud awalnya diyakini bahwa kecemasan berasal dari penumpukan

fisiologis libido, ia akhirnya merumuskan kembali kecemasan sebagai sinyal adanya

bahaya di bawah sadar. Menanggapi sinyal ini, ego digunakan sebagai mekanisme

pertahanan untuk mencegah pikiran dan perasaan yang tidak dapat diterima yang

muncul ke dalam kesadaran. Dari perspektif psikodinamik, tujuan terapi tidak

diperlukan untuk menghilangkan kecemasan semua tapi untuk meningkatkan

toleransi kecemasan, yaitu, kemampuan untuk mengalami kecemasan dan

5
menggunakannya sebagai sinyal untuk menyelidiki konflik yang mendasari yang

telah menciptakannya.Kecemasan muncul sebagai respon terhadap berbagai situasi

selama siklus hidup dan, meskipun agen psychopharmacological mungkin

memperbaiki gejala, mereka mungkin tidak melakukan apapun untuk mengatasi

situasi hidup atau berkorelasi internal yang telah mendorong keadaan kecemasan.3

Untuk memahami sepenuhnya kecemasan pasien dari pandangan

psikodinamik, seringkali berguna untuk berhubungan kecemasan atas masalah-

masalah perkembangan.Pada tingkat awal, kecemasan disintegrasi mungkin ada.

Kecemasan ini berasal dari ketakutan bahwa fragmen kehendak diri karena orang lain

tidak menanggapi dengan penegasan diperlukan sebagai validasi. Kecemasan

Persecutory dapat dihubungkan dengan persepsi bahwa diri sedang diserbu dan

dimusnahkan oleh suatu kekuatan jahat dari luar. Sumber lain dari kecemasan

melibatkan anak yang takut kehilangan cinta atau persetujuan orang tua atau kekasih.

Pada tingkat yang paling dewasa, superego kecemasan berhubungan dengan perasaan

bersalah tentang tidak memenuhi standar diinternalisasi perilaku moral yang berasal

dari orang tua.Seringkali, sebuah wawancara psikodinamik dapat menjelaskan tingkat

utama dari kecemasan yang menangani seorang pasien. Beberapa kecemasan jelas

berkaitan dengan konflik pada beberapa tingkat perkembangan yang bervariasi.3

2. Teori Perilaku

Teori-teori perilaku adalah respon terkondisi terhadap rangsangan lingkungan

tertentu. Dalam model pengkondisian klasik, seorang gadis dibesarkan oleh seorang

ayah yang kasar, misalnya, dapat menjadi cemas segera setelah ia melihat ayahnya

6
yang kasar. Melalui generalisasi, dia mungkin akan percaya semua orang. Dalam

model pembelajaran sosial, seorang anak dapat mengembangkan respon kecemasan

dengan meniru kecemasan di lingkungan, seperti orang tua cemas.3

3. Teori eksistensial

Teori kecemasan eksistensial menyediakan model untuk kecemasan umum, di mana

tidak ada stimulus khusus yang diidentifikasi untuk rasa cemas yang sifatnya

kronis.Konsep utama teori eksistensial adalah bahwa perasaan orang pengalaman

hidup di alam semesta tanpa tujuan. Kekhawatiran eksistensial tersebut dapat

meningkat sejak pengembangan senjata nuklir dan bioterorisme.3

Teori kognitif-perilaku

Penderita GAD berespon secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman, disebabkan

oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal yang negatif pada lingkungan, adanya distorsi

pada pemrosesan informasi dan pandangan yang sangat negative terhadap kemampuan diri

untuk menghadapi ancaman.4,8

Teori Genetik

Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien GAD dan

gangguan Depresi Mayor pada pasien wanita. Sekitar 25% dari keluarga tingkat pertama

penderita GAD juga menderita gangguan yang sama. Sedangkan penelitian pada pasangan

kembar didapatkan angka 50% pada kembar monozigotik dan 15% pada kembar dizigotik.4,8

Kontribusi Ilmu Biologi

1. Sistem saraf otonom

7
Stimulasi sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu contoh pada sistem

kardiovaskular (misalnya, takikardia), otot (misalnya, sakit kepala), pencernaan

(misalnya, diare), dan pernapasan (misalnya, takipnea). Sistem saraf otonom dari

beberapa pasien dengan gangguan kecemasan, terutama mereka yang memiliki

gangguan panik, menunjukkan nada simpatik yang meningkat, beradaptasi perlahan

terhadap rangsangan berulang-ulang, dan merespon berlebihan terhadap rangsangan

moderat.3

2. Neurotransmitter

Tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan kecemasan dengan dasar dari studi

hewan dan tanggapan terhadap terapi obat adalah norepinefrin (NE), serotonin, dan

gama-ainobutyric acid (GABA).Salah satu eksperimen tersebut untuk mempelajari

kecemasan adalah tes konflik, di mana hewan secara bersamaan disajikan dengan

rangsangan yang positif (misalnya makanan) dan negatif (misalnya, sengatan listrik).

Anxiolytic narkoba (misalnya benzodiazepin) cenderung memfasilitasi adaptasi

hewan untuk situasi ini, sedangkan obat lain (misalnya, amfetamin) lebih lanjut

mengganggu respon perilaku hewan.3

3. Norepinefrin

Gejala kronis yang dialami oleh pasien dengan gangguan kecemasan, seperti serangan

panik, insomnia, terkejut, dan hyperarousal otonom, merupakan karakteristik fungsi

noradrenergik yang meningkat. Itu teori umum tentang peranan norepinefrin pada

gangguan kecemasan dimana pasien yang terkena mungkin memiliki sistem

noradrenergik yang buruk. Badan sel dari sistem noradrenergik terutama terlokalisasi

pada lokus seruleus di pons rostral, dan mereka memproyeksikan akson mereka ke

8
korteks otak, sistem limbik, batang otak, dan sumsum tulang belakang. Percobaan

pada primata telah menunjukkan bahwa stimulasi dari lokus seruleus menghasilkan

respon ketakutan pada hewan dan bahwa ablasi dari daerah yang sama atau sama

sekali menghambat menghambat kemampuan hewan untuk membentuk respon

ketakutan.3

Studi pada manusia telah menemukan bahwa pada pasien dengan gangguan panik,

agonis reseptor adrenergik (misalnya, isoproterenol [Isuprel]) dan adrenergik

antagonis reseptor (misalnya, yohimbine [Yocon]) dapat memicu serangan panik

yang sering dan cukup parah. Sebaliknya, clonidine (Catapres), sebuah beta 2-

reseptor agonis, mengurangi gejala kecemasan dalam beberapa situasi eksperimental

dan terapeutik. Temuan yang kurang konsisten adalah bahwa pasien dengan

gangguan kecemasan, terutama gangguan panik, memiliki cairan serebrospinal tinggi

(CSF) atau tingkat urin metabolit noradrenergik 3-metoksi-4-hydroxyphenylglycol

(MHPG).3

4. Hipotalamus-hipofisis-adrenal Axis

Bukti yang konsisten menunjukkan bahwa banyak bentuk stres psikologis

meningkatkan sintesis dan pelepasan kortisol.Kortisol berfungsi untuk memobilisasi

dan untuk melengkapi penyimpanan energi dan kontribusi untuk gairah meningkat,

kewaspadaan, perhatian terfokus, dan pembentukan memori; penghambatan

pertumbuhan dan sistem reproduksi, dan penahanan dari respon kekebalan.Sekresi

kortisol yang berlebihan dan berkelanjutan dapat memiliki efek samping yang serius,

termasuk hipertensi, osteoporosis, imunosupresi, resistensi insulin, dislipidemia,

dyscoagulation, dan, akhirnya, aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular. Perubahan

9
dalam hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) fungsi sumbu telah dibuktikan dalam

PTSD. Pada pasien dengan gangguan panik, tumpul hormon adrenocorticoid (ACTH)

terhadap berbagai corticotropin-releasing factor (CRF) telah dilaporkan dalam

beberapa penelitian dan tidak pada orang lain.3

5. Corticotropin-releasing hormone (CRH)

Salah satu mediator yang paling penting dari respon stres, CRH mengkoordinasikan

perubahan perilaku dan fisiologis adaptif yang terjadi selama stres.Tingkat CRH di

hipotalamus meningkat pada orang dengan stres, mengakibatkan aktivasi dari sumbu

HPA dan meningkatkan pelepasan kortisol dan dehydroepiandrosterone (DHEA).

CRH juga menghambat berbagai fungsi neurovegetative, seperti asupan makanan,

aktivitas seksual, dan program endokrin untuk pertumbuhan dan reproduksi.3

6. Serotonin

Identifikasi jenis reseptor serotonin telah mendorong pencarian untuk peran serotonin

dalam patogenesis gangguan kecemasan. Berbagai jenis hasil stres akut pada omset

5-hidroksitriptamin (5-HT) meningkat pada korteks prefrontal, amigdala, dan

hipotalamus lateral. Kepentingan dalam hubungan ini pada awalnya didorong oleh

pengamatan bahwa antidepresan serotonergik memiliki efek terapi dalam beberapa

gangguan kecemasan misalnya, clomipramine (Anafranil) di OCD.Efektivitas

buspirone (BuSpar), suatu serotonin 5-HT1A agonis reseptor, dalam pengobatan

gangguan kecemasan juga menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara

serotonin dan kecemasan.Badan sel neuron serotonergik kebanyakan terletak di inti

raphe di batang otak dan sel – sel yang menuju ke korteks, sistem limbik (khususnya

amigdala dan hippocampus), dan hipotalamus. Beberapa laporan menunjukkan

10
bahwa meta-chlorophenylpiperazine (MCPP), obat serotonergik, dan fenfluramine

(Pondimin), yang menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan kecemasan

meningkat pada pasien dengan gangguan kecemasan, dan banyak laporan

menunjukkan bahwa serotonergik halusinogen dan stimulansia misalnya, asam

diethylamide lysergic (LSD) dan 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA)

terkait dengan perkembangan gangguan kecemasan akut dan kronis pada orang yang

menggunakan obat ini.3

7. GABA

Peran GABA pada gangguan kecemasan sebagai contoh penggunaan golongan

benzodiazepin, yang meningkatkan aktivitas GABA pada jenis reseptor GABA A

(GABAA), dalam pengobatan beberapa jenis gangguan kecemasan. Meskipun

potensinya rendah, benzodiazepin adalah obat yang paling efektif untuk mengatasi

gejala dari gangguan kecemasan umum, potensi tinggi obat – obat golongan

benzodiazepin, seperti alprazolam (Xanax), dan clonazepam efektif dalam

pengobatan gangguan panik. Sebuah antagonis benzodiazepin, flumazenil

(Romazicon), menyebabkan serangan panik sering berat pada pasien dengan

gangguan panik. Data ini telah membawa para peneliti berhipotesis bahwa beberapa

pasien dengan gangguan kecemasan memiliki fungsi abnormal dari reseptor GABAA

mereka, meskipun hubungan ini belum terbukti secara langsung.3

8. Aplysia

Sebuah model neurotransmitter untuk gangguan kecemasan didasarkan pada studi

Aplysia californica, oleh pemenang Hadiah Nobel Eric Kandel, MD Aplysia adalah

siput laut yang bereaksi terhadap bahaya dengan menghindar, menarik diri ke dalam

11
cangkangnya.Perilaku ini dapat dikondisikan secara klasik, sehingga siput merespon

stimulus netral seolah-olah itu stimulus berbahaya.Siput juga bisa menjadi peka

dengan guncangan acak, sehingga menunjukkan respon walaupun dengan tidak

adanya bahaya nyata.Aplysia klasik dikondisikan menunjukkan perubahan terukur

dalam fasilitasi presynaptic, sehingga terjadi peningkatan pelepasan jumlah

neurotransmitter. Meskipun siput laut adalah hewan sederhana, karya ini

menunjukkan pendekatan eksperimental untuk proses neurokimia kompleks yang

berpotensi terlibat dalam gangguan kecemasan pada manusia.3

9. Neuropeptida Y

Neuropeptide Y (NPY) adalah asam amino peptida, yang merupakan salah satu

peptida yang paling berlimpah ditemukan di otak mamalia. Bukti yang menunjukkan

keterlibatan amigdala dalam efek ansiolitik NPY yang kuat, dan mungkin terjadi

melalui reseptor NPY-Y1. NPY memiliki efek regulasi counter pada sistem CRH dan

LC-NE di lokasi otak yang penting dalam ekspresi kecemasan, ketakutan, dan

depresi. Studi awal dalam tentara operasi khusus di bawah tekanan yang ekstrim

pelatihan menunjukkan bahwa tingkat NPY tinggi berhubungan dengan kinerja yang

lebih baik.3

10. Galanin

Galanin adalah polipeptida yang pada manusia ditemukan mengandung 30 asam

amino. Galanin telah terbukti terlibat dalam sejumlah fungsi fisiologis dan perilaku,

termasuk belajar dan memori, mengontrol rasa sakit, asupan makanan, kontrol

neuroendokrin, regulasi kardiovaskular, dan terakhir kecemasan. Sebuah galanin

immunoreactive padat serat sistem yang berasal dari LC innervasi otak depan dan

12
struktur otak tengah, termasuk hippocampus, hipotalamus, amigdala, dan korteks

prefrontal. Studi pada tikus telah menunjukkan bahwa galanin dikelola terpusat

memodulasi kecemasan terkait perilaku. Galanin dan agonis reseptor NPY mungkin

menjadi target baru untuk pengembangan obat anti ansietas.3

D. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis dinilai dari 2 hal, yaitu gejala somatik dan gejala psikologik.

1. Gejala somatik4,8

• Gemetar

• Nyeri punggung dan nyeri kepala

• Ketegangan otot

• Napas pendek, hiperventilasi

• Mudah lelah, sering kaget

• Hiperaktivitas otonomik (wajah merah dan pucat, takikardia, palpitasi, tangan rasa

dingin, diare, mulut kering, sering kencing)

• Parestesia

• Sulit menelan

2. Gejala psikologik4,8

• Rasa takut yang berlebihan dan sulit untuk dikontrol

• Sulit konsentrasi

• Insomnia

• Libido menurun

• Rasa mual di perut

• Hipervigilance (siaga berlebih)

13
Gangguan cemas menyeluruh juga memiliki pengaruh terhadap tekanan darah. Ada dua

faktor yang paling berpengaruh pada tekanan darah, yaitu curah jantung (cardiac output) dan

tahanan perifer (peripheral resistance). Anxietas akan merangsang respon hormonal dari

hipotalamus yang akan mengsekresi CRF ( Cortisocoprin- Releasing Factor) yang

menyebabkan sekresi hormon-hormon hipofise. Salah satu dari hormon tersebut adalah

ACTH (Adreno- Corticotropin Hormon). Hormon tersebut akan merangsang korteks adrenal

untuk mengsekresi kortisol kedalam sirkulasi darah. Peningkatan kadar kortisol dalam darah

akan mengakibatkan peningkatan renin plasma, angiotensin II dan peningkatan kepekaan

pembuluh darah terhadap katekolamin, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan

sebagai pusat dari system saraf otonom. Sistem ini terbagi atas sistem simpatis dan sistem

parasimpatis. Pada anxietas terjadi sekresi adrenalin berlebihan yang menyebabkan

peningkatan tekanan darah, sedanngkan pada anxietas yang sangat berat dapat terjadi reaksi

yang dipengaruhi oleh komponen parasimpatis sehingga akan mengakibatkan penurunan

tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Pada kecemasan yang kronis, kadar

adrenalin terus meninggi, sehingga kepekaan terhadap rangsangan yang lain berkurang dan

akan terlihat tekanan darah meninggi. Pada gangguan cemas menyeluruh yang terutama

berperan adalah neurotransmiter serotonin. Pada saat ini telah diidentifikasi tiga reseptor

serotonin, yaitu : 5-HT1, 5-HT2 dan 5-HT3 . Menurut Kabo reseptor 5-HT1 bersifat sebagai

inhibitor, sedangkan reseptor 5-HT2 dan reseptor 5-HT3 bersifat sebagai eksitator. Menurut

Gothert, aktivasi reseptor 5-HT1 akan mengurangi kecemasan sedangkan aktivasi

reseptor 5-HT2 akan meningkatkan tekanan darah.8

E. DIAGNOSIS

14
Kriteria diagnostik gangguan cemas menyeluruh menurut DSM IV-TR :9

1) Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap hari,

sepanjanghari, terjadi selama sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah aktivitas atau

kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah)

2) Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya

3) Kecemasan atau kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala berikut ini

(dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak terjadi

selama enam bulan terakhir). Catatan : hanya satu nomor yang diperlukan pada anak

a) Kegelisahan

b) Merasa mudah lelah

c) Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong

d) Iritabilitas

e) Ketegangan otot

f) Gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur gelisah, dan

tidakmemuaskan)

4) Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis I, misalnya

kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita suatu serangan panik

(seperti pada gangguan panik), merasa malu pada situasi umum (seperti pada fobia

sosial), terkontaminasi (seperti pada gangguan obsesif kompulsif), merasa jauh dari

rumah atau sanak saudara dekat (seperti gangguan anxietas perpisahan), penambahan

berat badan (seperti pada anoreksia nervosa), menderita keluhan fisik berganda

(seperti pada gangguan somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada

15
hipokondriasis) serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-mata selama

gangguan stres pasca trauma.

5) Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang

bermakna secara klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi

penting lain.

6) Gangguan yang terjadi adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat

(misalnya penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum (misalnya

hipertiroidisme), dan tidak terjadi semata-mata selama suatu gangguan mood,

gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan pervasif.

Penegakan diagnosis gangguan cemas menyeluruh berdasarkan PPDGJ-III sebagai berikut:10

1) Pasien harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir

setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau

hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating”

atau “mengambang”)

2) Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :

a) Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit

konsentrasi, dan sebagainya);

b) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan

c) Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-

debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering dan

sebagainya).

16
3) Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan

(reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang yang menonjol.

4) Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya

depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan cemas Menyeluruh, selama

hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32.-), gangguan

anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0), atau gangguan obsesif-kompulsif

(F42.-).

F. DIAGNOSIS BANDING

Gangguan cemas menyeluruh perlu dibedakan dari kecemasan akibat kondisi medis

umum maupun gangguan yang berhubungan dengan penggunaan zat. Diperlukan

pemeriksaan medis termasuk tes kimia darah, elektrokardiografi, dan tes fungsi tiroid. Klinisi

harus menyingkirkan adanya intoksikasi kafein, penyalahgunaan stimulansia, kondisi putus

zat atau obat seperti alkohol, hipnotik-sedatif dan anxiolitik.4

Kelainan neurologis, endokrin, metabolik dan efek samping pengobatan pada

gangguan panik harus dapat dibedakan dengan kelainan yang terjadi pada gangguan anxietas

menyeluruh. Selain itu, gangguan cemas menyeluruh juga dapat didiagnosis banding dengan

fobia, gangguan obsesif-kompulsif, hipokondriasis, gangguan somatisasi, dan gangguan stres

post-trauma.4

1. Fobia

17
Pada fobia, kecemasan terjadi terhadap objek/hal tertentu sehingga pasien berusaha

untuk menghindarinya, sedangkan pada GAD, tidak terdapat objek tertentu yang

menimbulkan kecemasan.4

2. Gangguan obsesif kompulsif

Pada gangguan obsesif kompulsif, pasien melakukan tindakan berulang-ulang

(kompulsi) untuk menghilangkan kecemasannya, sedangkan pada GAD, pasien sulit

untuk menghilangkan kecemasannya, kecuali pada saat tidur.4

3. Hipokondriasis

Pada hipokondriasis maupun somatisasi, pasien merasa cemas terhadap penyakit

serius ataupun gejala-gejala fisik yang menurut pasien dirasakannya dan berusaha

datang ke dokter untuk mengobatinya, sedangkan pada GAD, pasien merasakan

gejala-gejala hiperaktivitas otonomik sebagai akibat dari kecemasan yang

dirasakannya.4

4. Gangguan stres pasca trauma

Pada gangguan stres pasca trauma, kecemasan berhubungan dengan sutau peristiwa

ataupun trauma yang sebelumnya dialami oleh pasien, sedangkan pada GAD

kecemasan berlebihan berhubungan dengan aktivitas sehari-hari.4

G. PENATALAKSANAAN

1. Farmakoterapi

18
a. Benzodiazepin

Merupakan pilihan obat pertama.Pemberian benzodiazepine dimulai dengan dosis

terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respons terapi. Pengguanaan sediaan

dengan waktu paruh menengah dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek

yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata 2-6 minggu, dilanjutkan dengan

masa tapering off selama 1-2 minggu. Spektrum klinis Benzodiazepin meliputi efek

anti-anxietas, antikonvulsan, anti-insomnia, dan premedikasi tindakan operatif.

Adapun obat-obat yang termasuk dalam golongan Benzodiazepin antara lain :11

• Diazepam, dosis anjuran oral = 2-3 x 2-5 mg/hari; injeksi = 2-10 mg 9im/iv),

broadspectrum

• Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3x 5-10 mg/hari, broadspectrum

• Lorazepam, dosis anjuran 2-3x 1 mg/hari, dosis anti-anxietas dan anti-insomnia

berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas, untuk pasien-pasien

dengan kelainan hati dan ginjal.

• Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti-insomnia

berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas, psychomotor

performance paling kurang terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang

masih ingin tetap aktif.

• Bromazepam, dosis anjuran 3x 1,5 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti-

insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.

• Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 – 0,5 mg/hari, efektif untuk anxietas tipe

antisipatorik, “onset of action” lebih cepat dan mempunyai komponen efek anti-

depresi.

19
b. Non-benzodoazepin (Buspiron)

Buspiron efektif pada 60-80% penderita GAD. Buspiron lebih efektif

dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding gejala somatik. Tidak menyebabkan

withdrawal. Dosis anjuran 2-3x 10 mg/hari. Kekurangannya adalah, efek klinisnya

baru terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita GAD yang sudah

menggunakan Benzodiazepin tidak akan memberikan respon yang baik dengan

Buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara Benzodiazepin dengan

Buspiron kemudian dilakukan tapering Benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat

efek terapi Buspiron sudah mencapai maksimal.11

2. Psikoterapi

a. Terapi kognitif perilaku

Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia

terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon, dimana proses kognisi

akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir,

merasa dan bertindak. Terapi kognitif perilaku diarahkan kepada modifikasi fungsi

berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan peran otak dalam menganalisa,

memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan kembali. Dengan mengubah arus

pikiran dan perasaan, klien diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari

negatif menjadi positif.Tujuan terapi kognitif perilaku ini adalah untuk mengajak

pasien menentang pikiran (dan emosi) yang salah dengan menampilkan bukti-bukti

yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang

dihadapi. Pendekatan kognitif mengajak pasien secara kangsung mengenali distorsi

20
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung.

Teknik utama yang digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan

biofeedback.6,11

b. Terapi suportif

Pasien diberikan re-assurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan

belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi

sosial dan pekerjaannya.6

c. Psikoterapi Berorientasi Tilikan

Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai penyingkapan konflik bawah sadar,

menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan self pasien. Dari pemahaman akan

komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh

mana pasien dapat diubah untuk menjadi lebih matur, bila tidak tercapai, minimal

kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan

pekerjaannya.6

H. PROGNOSIS

Gangguan cemas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin

berlangsung seumur hidup. Prognosis dipengaruhi oleh usia, onset, durasi gejala dan

perkembangan komorbiditas gangguan cemas dan depresi. Karena tingginya insidensi

gangguan mental komorbid pada pasien dengan gangguan kecemasan menyeluruh,

perjalanan klinis dan prognosis gangguan cemas menyeluruh sukar untuk ditentukan.Namun

demikian, beberapa data menyatakan bahwa peristiwa kehidupan berhubungan dengan onset

gangguan kecemasan umum. Terjadinya beberapa peristiwa kehidupan yang negatif secara

21
jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya gangguan cemas menyeluruh. Menurut

definisinya, gangguan kecemasan umum adalah suatu keadaan kronis yang mungkin seumur

hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami gangguan panik, juga dapat mengalami

gangguan depresi mayor.4

Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh, perlu diingat bahwa

banyak segi yang harus dipertimbangkan. Hal ini berhubung dengan dinamika terjadinya

gangguan cemas serta terapinya yang begitu kompleks.Keadaan penderita, lingkungan

penderita, dan dokter yang mengobatinya ikut mengambil peran dalam menentukan

prognosis gangguan cemas menyeluruh.

Ditinjau dari kepribadian premorbid, jika penderita sebelumnya telah menunjukkan

kepribadian yang baik di sekolah, di tempat kerja atau dalam interaksi sosialnya, maka

prognosisnya lebih baik daripada penderita yang sebelumnya banyak menemui kesulitan

dalam pergaulan, kurang percaya diri, dan mempunyai sifat tergantung pada orang lain.

Kematangan kepribadian juga dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam menanggapi

kenyataan-kenyataan, keseimbangan dalam memadukan keinginan-keinginan pribadi dengan

tuntutan-tuntutan masyarakat, integrasi perasaan dengan perbuatan, kemampuan

menyesuaikan diri dengan lingkungan dan lain sebagainya. Semakin matang kepribadian

premorbidnya, maka prognosis gangguan cemas menyeluruh juga semakin baik.

Mengenai hubungan dengan terapi, semakin cepat dilakukan terapi pada gangguan

kecemasan menyeluruh, maka prognosisnya menjadi lebih baik. Demikian pula dengan

situasi tempat pengobatan, semakin pasien merasa nyaman dan cocok dengan situasinya,

22
maka hasilnya akan lebih baik dan akan mempengaruhi prognosisnya. Pengobatan sebaiknya

dilakukan sebelum gejala-gejala menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan

sampingan misalnya untuk mendapatkan simpati, perhatian, uang, dan peringanan dari

tanggung jawabnya. Jika gejala-gejala sudah merupakan alat untuk mendapatkan

keuntungan-keuntungan tersebut, maka kemauan pasien untuk sembuh berkurang dan

prognosis akan menjadi lebih jelek.

Faktor stres juga ikut menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh. Jika

stres yang menjadi penyebab timbulnya gangguan cemas menyeluruh relatif ringan, maka

prognosis akan lebih baik karena penderita akan lebih mampu mengatasinya. Kalau dilihat

dari lingkungan hidup penderita, sikap orang-orang di sekitarnya juga berpengaruh terhadap

prognosis. Sikap yang mengejek akan memperberat penyakitnya, sedangkan sikap yang

membangun akan meringankan penderita. Demikian juga peristiwa atau masalah yang

menimpa penderita misalnya kehilangan orang yang dicintai, rumah tangga yang kacau,

kemunduran finansial yang besar akan memperjelek prognosisnya.

23
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD) merupakan

kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan

tidak rasional bahkan terkadang tidak realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan sehari-

hari.Kondisi ini dialami hampir sepanjang hari, berlangsung sekurang-kurangnya selama 6

bulan.Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan gejala-

gejala somatik seperti ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan sehingga

menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial dan

pekerjaan.

Penyebab terjadinya GAD dapat dijelaskan melalui beberapa teori, antara lain teori

biologi, teori genetik, teori psikoanalitik dan teori kognitif-perilaku.

Gambaran klinis yang dapat muncul antara lain anxietas berlebihan, ketegangan

motorik bermanifestasi sebagai bergetar, kelelahan, dan sakit kepala, hiperaktivitas otonom

timbul dalam bentuk napas pendek, berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala pencernaan.

Gangguan psikiatrik lain yang merupakan diagnosis banding GAD adalah gangguan

panik, fobia, gangguan obsesif-kompulsif, hipokondriasis, gangguan somatisasi, gangguan

penyesuaian dengan kecemasan, dan gangguan kepribadian.

Penatalaksanaan GAD meliputi farmakoterapi, golongan Benzodiazepin merupakan

drug of choice sebab mempunyai efek anti-anxietas, spesifitas, potensi dan keamanan yang

paling baik. Selain itu, pasien juga diberikan psikoterapi, berupa terapi kognitif-perilaku

(CBT), terapi suportif dan psikoterapi berorientasi tilikan.

24
Gangguan cemas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin

berlangsung seumur hidup.Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami gangguan panik,

juga dapat mengalami gangguan depresi mayor.

Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh, perlu diingat bahwa

banyak segi yang harus dipertimbangkan.Hal ini berhubung dengan dinamika terjadinya

gangguan cemas serta terapinya yang begitu kompleks.Keadaan penderita, lingkungan

penderita, dan dokter yang mengobatinya ikut mengambil peran dalam menentukan

prognosis gangguan cemas menyeluruh.

Hal lain yang juga memegang peranan penting dalam menentukan baik tidaknya

prognosis gangguan cemas menyeluruh antara lain kepribadian premorbid pasien, efektifitas

terapi, faktor stres, serta dukungan lingkungan dan orang-orang sekitar pasien.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI, Saddock BJ. Gangguan Kecemasan. In : Wiguna M, editor. Sinopsis Psikiatri.

Edisi ketujuh. Jilid Satu : Phyladelphia. Hal.1-8.

2. Hutagalung, Evalina Asnawi. Tatalaksana Diagnosis dan Terapi Gangguan Anxietas.

[Internet] 2007 [cited 2011 Juni 05]. Available from : http://gangguan_anxietas.htm

3. Saddock BJ, Saddock VA. Anxiety disorder. In : Kaplan Saddock’s Synopsis of Psychiatry :

Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Tenth Edition.. New York: Lippincott Williams &

Wilkins: 2007;Pg 580-8.

4. DSM IV-TR. (2000). Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders (DSM IV-TR).

Washington DC: American Psychiatric Association.American Psychological Association.

5. Generalized Anxiety Disorder.[Internet]. [cited 2011, May 18]. Available from :

http://www.Helpguide.org

6. Shear, Katherine M. Anxiety Disorders “Generalized Anxiety Disorder” in : Dale DC,

Federman DD, editors. ACP Medicine. 3rd Edition. Washington: WebMD Inc. : 2007.

7. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Generalized Anxiety Disorder in : Kaplan

& Sadock’s Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.

New York: Lippincott Williams & Wilkins: 2007. p. 623-7

8. Idrus, Faisal. Pola Tekanan Darah pada Gangguan Cemas Menyeluruh.[Internet]. [cited

2011, Juni 05]. Available from :http://www.artikelkedokteran.com/304/pola-tekanan-darah-

pada-gangguan-cemas-menyeluruh.html.

9. Stevens V. Anxiety Disorders. In : Goljan EF, editor. Behavioral Science. Elsevier Science.

10. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta:

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya: 2003. Hal. 74

26
11. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi Ketiga. Jakarta :

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya: 2007. Hal.36-41.

27

Anda mungkin juga menyukai