Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN NEUROLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

PENYAKIT DEKOMPRESI

Oleh :

Novitasari, S.Ked
K1A1 13 041

Pembimbing :

dr. Happy Handaruwati, M.Kes, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
PENYAKIT DEKOMPRESI
Novitasari, Happy Handaruwati

A. PENDAHULUAN

Penyakit dekompresi (Decompression sickness, disebut juga bends atau

caisson disease) merupakan masalah fisiologis yang dihasilkan dari

perubahan ketinggian dan efek tekanan lingkungan pada gas didalam tubuh

selama seseorang berada dibawah air dan selama melakukan pendakian,

terutama ketika seseorang yang mengikuti perjalanan udara atau berjalan kaki

ditempat yang tinggi.1

Penyakit dekompresi pertama kali penyakit ini ditemukan oleh Triger

pada tahun 1841, yang melihat adanya gejala-gejala nyeri pada tungkai dan

kejang otot yang diderita pekerja tambang batubara. Pada tahun 1878, Paul

Bert menemukan bahwa gelembung-gelembung gas yang ada di jaringan

adalah nitrogen. Bertahun-tahun lamanya orang beranggapan bahwa

terbentuknya gelembung gas adalah penyebab semua gejala caisson disease

sampai akhirnya pada tahun 1937, Swindle dan End menemukan bahwa ada

juga perubahan-perubahan biokimia karena trauma akibat pengembangan

gelembung-gelembung gas yang menyebabkan aglutinasi eritrosit dan

agregasi trombosit. Hukum fisika yang berhubungan dengan penyakit ini

adalah Hukum Henry yang berbunyi “banyaknya gas yang terlarut didalam

cairan adalah sebanding dengan tekanan gas di atas cairan tersebut”.2,3


B. DEFINISI

Caisson disease (CD) atau decompression sickness adalah suatu penyakit

atau kelainan-kelainan yang diakibatkan oleh penurunan tekanan dengan

cepat disekitarnya sehingga memicu pelepasan dan pengembangan

gelembung-gelembung gas dari fase larut dalam darah atau jaringan. Ekspansi

gas dari paru-paru dapat mengakibatkan ruptur alveolus yang biasa disebut

dengan “Pulmonary Overinflation Syndrome”. Penurunan tekanan yang tiba-

tiba tadi dapat mengakibatkan adanya emboli udara di arteri. Caisson disease

diklasifikasikan menjadi dua tipe. Tipe I yang lebih ringan, tidak mengancam

nyawa, dan ditandai dengan rasa nyeri pada persendian dan otot-otot serta

pembengkakan pada limfonodus. Caisson disease tipe II merupakan masalah

serius dan dapat menyebabkan kematian. Manifestasinya bisa berupa

gangguan respirasi, sirkulasi, dan biasanya gangguan nervus perifer dan / atau

gangguan susunan saraf pusat.4

C. EPIDEMIOLOGI

Caisson disease (CD) atau penyakit dekompresi tidak hanya menyerang

penyelam namun dapat pula terjadi pada pilot angkatan udara selama

melakukan pendakian cepat pada sebuah ruangan yang tidak bertekanan.

Sekitar 900 kasus Caisson disease dilaporkan setiap tahun di Amerika

Serikat. Kebanyakan kecelakaan terjadi pada penyelam yang kurang

berpengalaman.4,5
Data dari berbagai sumber melaporkan kematian akibat penyelaman

pada wisata penyelam sebanyak 1 kematian per 6.250 penyelam tiap tahun,

olah raga menyelam 1 kematian per 5.000 penyelam tiap tahun. Sedangkan

yang mengalami penyakit dekompresi di Amerika untuk penyelam militer 1

kasus per 3.770 penyelam, wisata menyelam 1 kasus per 2.900 penyelam dan

penyelam komersial 1 kasus per 280 penyelam tiap tahunnya.3,4

The Divers Alert Network (DAN) melaporkan sejak tahun 1980 rata-rata

setiap tahun terjadi kematian 90 penyelam dan antara 900 sampai 1.000

penyelam melakukan terapi rekompresi. Sedangkan menurut Perhimpunan

Kesehatan Hiperbarik Indonesia (PKHI, 2000) didunia 5-6 orang dari tiap

100.000 orang mati akibat tenggelam setiap tahunnya.3,4

Faktor risiko yang menyebabkan penyakit dekompresi termasuk durasi

panjang menyelam, kedalaman tempat menyelam, penyelaman yang

berulang, tenaga berat yang digunakan pada saat menyelam, kondisi air dan

kecepatan naik ke permukaan.4

Insiden gejala penyakit dekompresi (DCS) sama besarnya antara

penyelam usia muda (18-24 tahun) dengan penyelam usia dewasa diatas 25

tahun. Selain itu, untuk insiden perbandingan jenis kelamin yakni didapatkan

dari 1.000 penyelam 1,52% pria dan 1,27% wanita serta insiden tinggi

penyakit dekompresi terjadi pada dive master dibandingkan instruktur

selam.4,5

Di Amerika Serikat kasus kecelakaan akibat penyelaman diperkirakan 3

sampai 4 kasus setiap 10.000 penyelam, rata-rata setiap tahunnya adalah


1.000 kasus. Sedangkan di regional Asia-Pacific berkisar antara 500-600

kasus tidak termasuk Jepang. Depkes (2004) dalam penelitiannya di 10

propinsi terhadap gangguan kesehatan akibat penyelaman, memberikan

gambaran tentang penyakit yang dialami penyelam. Dari 204 responden, yang

menderita penyakit tuli sebesar 39,7%, kelumpuhan kaki 13,2%, kehilangan

kesadaran 3,9% dan berkurangnya penglihatan 14,7%.3

Penelitian yang dilakukan oleh Hagberg & Ornhagen (2003) tentang

insiden dan faktor risiko gejala penyakit dekompresi pada penyelam dan

instruktur pria dan wanita menunjukkan bahwa: penyelam dan instruktur laki-

laki mempunyai faktor risiko terkena penyakit dekompresi 1,48 kali

dibanding dengan penyelam dan instruktur perempuan, penyelam dan

instruktur berusia 18-24 tahun mempunyai faktor risiko terkena penyakit

dekompresi sebesar 1,34 kali dibanding penyelam dan instruktur yang berusia

lebih dari 24 tahun, penyelam dan istruktur yang mengkonsumsi alkohol

mempunyai faktor risiko terkena penyakit dekompresi sebesar 1,56 kali

dibanding dengan penyelam dan instruktur yang tidak mengkonsumsi

alkohol, penyelam dan instruktur yang kelebihan berat badan (BMI ≥ 25)

mempunyai faktor risiko terkena penyakit dekompresi sebesar 0,74 kali

dibanding dengan penyelam dan instruktur dengan berat badan normal (BMI

< 25).3

Untuk mengolah informasi statistik, Alert Divers Network (DAN), yang

berbasis di North Carolina di Amerika Serikat, bertindak sebagai pusat

informasi medis dan layanan rujukan untuk cedera dalam penyelaman.


Menurut DAN, sedikitnya kurang dari 1% penyelam pernah mengalami

caisson disease. Pada tahun 1995, 590 kasus Caisson disease dianalisis (dari

1132 total) oleh DAN. Dari jumlah tersebut, 27,3% adalah tipe I dari caisson

disease dan 64,9% merupakan tipe II dari caisson disease dan 7,8% sisanya

merupakan kasus arterial gas embolism (AGE).3

D. ETIOLOGI

Penyakit dekompresi disebabkan oleh meningkatnya atau menurunnya

volume gas dalam rongga tubuh yang berisi udara atau terjadinya pelepasan

gelembung gas didalam darah atau jaringan. Gelembung ini akan

menghambat aliran darah dan akan berakibat fatal jika tidak ditangani dengan

cepat.9 Suatu gelembung gas yang terbentuk di punggung atau persendian

dapat menyebabkan nyeri terlokalisir (the bends). Gelembung gas pada

jaringan medulla spinalis atau pada nervus perifer dapat menyebabkan

paraestesia, neuropraxia, atau paralisis. Sementara gelembung gas yang

terbentuk pada system sirkulasi dapat mengakibatkan emboli gas pada

pulmonal atau serebrum. Beberapa macam gas bersifat lebih mudah larut

dalam lemak. Nitrogen misalnya, 5 kali lebih larut dalam lemak daripada

dalam air.3

Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit dekompresi ini

antara lain obesitas, cedera, hipoksia, penyakit jantung atau paru-paru,

dehidrasi, alkohol dan efek obat, serangan panik. Selain itu risiko lain adalah

seseorang yang mandi air panas setelah menyelam pada air yang dingin.1
E. ANATOMI
Medula spinalis berperan untuk menghubungkan sistim saraf pusat dan

tepi. Medula spinalis tersusun dari substansia alba (putih) dan substansia

grisea (kelabu). Substansia alba terdiri dari akson saraf yang bermielin

(mielin warna putih) yang berjalan menuju ke otak atau saraf tepi. Substansia

grisea banyak mengandung badan sel, dendrit dengan sinap serta pembuluh

darah.6

Gambar 1. Traktus ascendens dan traktus descends pada medula spinalis

Medula spinalis memiliki serabut saraf yang jelas yang disebut dengan

traktus. Traktus ascendens membawa informasi sensorik ke SSP dan dapat

berjalan kebagian medula spinalis dan otak. Salah satu traktus ascendens yang

penting adalah traktus spinotalamikus lateralis yang membawa serabut saraf

nyeri dan suhu. Traktus descendens merupakan traktus yang membawa

impuls dari berbagai bagian otak menuju neuron motorik batang otak dan

medula spinalis. Traktus kortikospinalis lateralis dan ventralis merupakan

jaras motorik volunteer dalam medula spinalis. Selain itu lintasan motorik
descendens melibatkan dua neuron utama yakni neuron motorik atas (upper

motor neuron) dan neuron motorik bawah (lower motor neuron).5

Setiap bagian tertentu permukaan tubuh yang disarafi oleh suatu nervus

spinalis disebut dermatom. Nervus spinalis yang sama ini juga membawa

serat yang bercabang-cabang untuk menyarafi organ internal, dan kadang-

kadang nyeri yang berasal dari salah satu organ ini “dirujuk” ke dermatom

yang disarafi oleh saraf yang sama.7

Gambar 2. Dermatom segmental kulit

F. PATOFISIOLOGI 5,8

Otopsi pada manusia dan binatang dalam kasus caisson disease yang

berat menunjukkan adanya gelembung-gelembung gas dalam pembuluh darah


dan jaringan ekstravaskuler. Timbulnya gelembung-gelembung gas tadi

berhubungan dengan timbulnya peristiwa supersaturasi gas dalam darah

ataupun jaringan tubuh pada waktu proses penurunan tekanan di sekitar tubuh

(dekompresi).

Kondisi supersaturasi gas dalam darah dan jaringan sampai suatu batas

tertentu masih dapat ditoleransi, dalam arti masih memberi kesempatan gas

untuk berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah, kemudian ke

alveoli paru dan diekhshalasi keluar tubuh. Setelah melewati suatu batas kritis

tertentu (supersaturation critique), kondisi supersaturasi akan menyebabkan

gas lepas lebih cepat dari jaringan atau darah dalam bentuk tidak larut, yaitu

berupa gelombang gas. Gelembung-gelembung gas ada yang terbentuk dalam

darah (intravaskuler), jaringan (ekstravaskuler), dan dalam sel (intraseluler).

Dengan adanya fenomena seperti di atas, maka ada korelasi antara

jumlah gelembung gas yang terbentuk dengan kemungkinan timbulnya atau

berat ringannya penyakit dekompresi. Gelembung gas ekstravaskuler

menimbulkan distorsi jaringan dan kemungkinan kerusakan sel-sel di

sekitarnya. Ini bisa mengakibatkan gejala-gejala neurologis maupun gejala

nyeri periartikuler. Terbentuknya gelembung gas ekstravaskuler secara

teoritis karena aliran darah vena di jaringan tersebut yang relative lambat

sehingga menghambat kecepatan eliminasi gas dari jaringan.

Gelembung-gelembung gas intravaskuler akan menimbulkan 2 akibat,

yaitu :
1. Akibat langsung atau akibat mekanis sumbatan menimbulkan iskemia atau

kerusakan jaringan sampai infark jaringan,

2. Akibat tidak langsung atau akibat sekunder dari adanya gelembung gas

dalam darah (dikenal dengan secondary blood bubble interface reactions)

bertanggung jawab atas terjadinya fenomena hipoksia seluler pada

penyakit dekompresi.

Ada dua macam gelembung gas intravaskuler, yaitu :

1. Gelembung yang stationer,

2. Gelembung yang ikut sirkulasi.

Gelembung gas intravaskuler yang stationer selain menimbulkan efek

sumbatan juga menimbulkan gangguan lewat proses biokimia dan bisa

menimbulkan gejala nyeri periartikuler maupun gejala-gejala neurologis

perifer. Gelembung gas intravaskuler yang yang ikut sirkulasi bila tidak

banyak jumlahnya akan difiltrasi lewat paru (silent bubbles). Bila jumlahnya

banyak akan menimbulkan sumbatan pada sirkulasi pulmoner dan akhirnya

masuk ke dalam system arterial lewat shunt di paru.

Gelembung gas yang masuk ke sistem arterial akan menimbulkan

gangguan perfusi mikrovaskuler organ-organ, yang selanjutnya

mengakibatkan terjadinya iskemia local, kerusakan jaringan dan infark.

Kelainan ini bisa memberi gejala neurologis, kardiovaskuler dan nyeri.

Gelembung gas intravaskuler menimbulkan agregasi trombosit pada

permukaan antara gelembung gas dan plasma, yang diikuti serangkaian

proses reaksi biokimia yang kompleks berupa pelepasan zat-zat seperti


katekolamin, SMAF (Smooth Muscle Activating Factor), ACTH dan faktor-

faktor humoral lain.

Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh rangkaian proses biokimia

yang terjadi pada penyakit dekompresi adalah :

1. Terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler dengan akibat :

a. Hemokonsentrasi dan hipovolemia

b. Udema paru

2. Statis pada kapiler-kapiler karena adanya hemokonsentrasi

3. Hiperkoagulasi dalam darah

4. Gangguan difusi gas-gas dalam alveoli

Semua perubahan diatas pada dasarnya akan menjurus pada timbulnya

hipoksia seluler pada penyakit dekompresi. Jaringan tubuh manusia sangat

heterogen dihubungkan dengan masalah kemampuan menyerap atau

melepaskan gas nitrogen, ada jaringan yang cepat dan ada yang lambat dalam

mencapai saturasi (kejenuhan) nitrogen tergantung pada factor kecepatan

aliran darah ke jaringan dan daya larutan nitrogen dalam jaringan.

Darah adalah cairan tubuh yang tercepat menerima dan melepaskan

nitrogen. Darah menerima nitrogen dari paru dan mencapai kejenuhan

nitrogen dalam waktu beberapa menit. Otak termasuk dalam jaringan yang

cepat karena mempunyai banyak suplai darah. Tulang rawan pada permukaan

sendi mempunyai suplai darah yang kurang, sehingga memerlukan waktu

lebih lama (sampai beberapa jam) untuk mencapai kejenuhan nitrogen.

Nitrogen mempunyai daya larut yang baik dalam jaringan lemak, sehingga
jaringan lemak bisa melarutkan nitrogen lebih banyak daripada jaringan-

jaringan lainnya.

Konsep jaringan cepat dan lambat penting untuk memahami bentuk-

bentuk klinis penyakit dekompresi yang mungkin timbul. Penyelaman singkat

dan dalam akan menghasilkan pembebanan nitrogen yang tinggi pada

jaringan-jaringan cepat, tetapi tidak cukup waktu untuk pembebanan tinggi

pada jaringan-jaringan lambat. Dekompresi yang inadekuat memungkinkan

pembentukan gelembung nitrogen didalam darah yang bisa mengakibatkan

gangguan pernapasan (chokes) atau gejala neurologis.

Penyelaman yang relatif dangkal tapi lama akan memberikan

pembebanan nitrogen yang kurang lebih sama antara jaringan cepat dan

jaringan yang lebih lambat. Perbedaan tekanan yang tidak terlampau besar

antara kedalaman dan permukaan menyebabkan darah lebih mampu

mentolerir kelebihan nitrogen tersebut, karena darah sebagai jaringan cepat

bisa mengeliminasi nitrogen lebih cepat lewat alveoli paru sedangkan

jaringan lambat tidak bisa. Penyelaman seperti ini cenderung menimbulkan

nyeri pada persendian (bends), karena sendi adalah jaringan lambat dan tidak

dapat melepas nitrogen dengan cepat lewat darah.

Bila seseorang menggunakan udara bertekanan tinggi sebagai media

pernapasan untuk menyelam, maka semakin dalam dan semakin lama ia

menyelam akan semakin banyak gas yang larut dan ditimbun dalam jaringan

tubuh. Sesuai hukum Henry, volume gas yang larut dalam suatu cairan

sebanding dengan tekanan gas di atas cairan itu. Karena oksigen (O 2)


dikonsumsi dalam jaringan tubuh, maka yang tinggal adalah Nitrogen (N2)

yang merupakan gas inert (tidak aktif). Seperti kita ketahui tekanan udara di

permukaan laut adalah 1 Atmosfer Absolut (ATA) dan setiap kedalaman 10

meter maka tekanan akan bertambah 1 ATA. Jadi bila 1 liter N 2 terlarut

didalam tubuh seseorang penyelam pada permukaan, maka pada kedalaman

20 meter (3 ATA) ia akan menyerap 3 liter N 2. N2 yang berlebihan ini akan

didistribusikan oleh darah ke dalam jaringan-jaringan sesuai dengan

kecepatan aliran darah ke jaringan tersebut serta daya gabung jaringan

terhadap N2. Jaringan lemak mempunyai daya gabung N2 yang tinggi dan

melarutkan banyak N2 daripada jaringan yang lainnya. Ketika penyelam naik

ke permukaan dan tekanan gas turun, terjadi kebalikan dari proses yang

memenuhi tubuh dengan N2. Tekanan parsial N2 yang rendah dalam paru-paru

selama naik menyebabkan darah melepaskan N2 ke dalam paru-paru. Proses

ini berlangsung beberapa jam karena jaringan lambat melepaskan N2 dengan

perlahan-lahan, dan tubuh memerlukan 24 jam atau lebih untuk

menghilangkan semua N2 yang berlebihan. Jika dekompresi berlangsung

terlalu cepat, maka N2 tidak dapat meninggalkan jaringan dengan cepat dan

teratur seperti yang dilukiskan diatas. Tekanan yang tiba-tiba menurun tidak

cukup untuk mempertahankan kelarutan gas sehingga timbul gelembung,

seperti fenomena yang kita lihat bila tutup botol bir dibuka dengan tiba-tiba.
Gambar 3. Mekanisme timbulnya gejala pada decompression syndrome

G. KLASIFIKASI DAN GEJALA KLINIS

Paling banyak ditemukan manifestasi klinis dari penyakit dekompresi

adalah nyeri sendi dan kelelahan atau timbul tremor. Manifestasi berikutnya

muscular weakness dan ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung

kemih.9
Klasifikasi gejala klinis yang muncul setelah melakukan penyelaman,

dapat berupa:

1. Tipe I (Pain only bends, Joint bends, Decompression arthralgia)

a. Nyeri terutama di daerah persendian anggota gerak atas dan atau

bawah.

b. Rasa nyeri ringan yang menetap setelah 10 menit onset (niggles).

c. Pruritus, atau “skin bends” yang menyebabkan rasa gatal atau terbakar

pada kulit.

d. Ruam pada kulit yang biasanya beraneka warna atau menyerupai

marmer atau papular, atau ruam yang menyerupai plak. Pada kasus

tertentu yang jarang menyerupai kulit jeruk (Peau d’orange).

e. Nyeri dan pembengkakan jaringan lunak setempat (obstruksi aliran

limfe) : parotis, mamma

2. Tipe II (Serious decompression sickness)

a. Gejala Neurologis:

1) Lesi Serebrum : afasia, gangguan penglihatan/lapangan pandang,

gangguan saraf kranialis, hemiparese/hemiplegi, sensorik, sakit

kepala, kejang, gangguan kesadaran.

2) Lesi Serebelum : ataksia, gangguan koordinasi, hipotoni, dismetri,

asinergia, tremor, disdiadokokinesia, dan nistagmus.

3) Lesi Medulla Spinalis : paraestesi/ hipestesi/ anestesia kedua

tungkai, paraparesis/ paraplegia-tetraparesis/ tetraplegia, retensi

urine.
b. Gejala jantung dan paru (chokes) :

Rasa kurang enak dan nyeri substernal saat inspirasi maupun

ekspirasi, kemudian sesak napas disertai batuk kering.

c. Gejala gastro – intestinal :

Anoreksia, nausea, muntah, atau perut rasa kram dan diare,

hematemesis, melena.

d. Gejata telinga dalam :

Tinitus, tub sensorineural (kerusakan kokhlea), vertigo, mual, muntah

(gangguan vestibular)

e. Syok setelah dekompresi (bends shock)

Gelembung gas masuk ke seluruh pembuluh darah (AGE : arterial gas

embolism) dan dapat berakhir dengan kematian.3

H. DIAGNOSIS

Diagnosis caisson disease dapat ditegakkan melalui pertanyaan

anamnesa mengenai riwayat menyelam penderita sebelumnya (dalam waktu

24 jam terakhir), menentukan adanya faktor risisko yang berhubungan dengan

penyakit dekompresi (dehidrasi, tidak berpengalaman menyelam, menyelam

berkali-kali dalam sehari, merokok, lanjut usia, obesitas), dan memiliki

ambang yang rendah untuk dicurigai penyakit dekompresi ketika muncul

gejala dan dari pemeriksaan fisis, didapatkan gejala-gejala caisson disease.5,10

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk menentukan

diagnosis caisson disease adalah :5


1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Darah rutin

Pada pasien yang datang gejala neurologik yang persisten dalam

beberapa minggu setelah cedera bisa didapatkan hematokrit (Hct)

sebanyak 48% atau lebih.

b. Analisis gas darah

Menentukan alveolar-arterial gradient pada pasien dengan suspek

emboli.

c. Creatinine Phosphokinase (CPK)

Peningkatan CPK menunjukkan kerusakan jaringan yang disebabkan

oleh mikroemboli.

2. Pemeriksaan radiologi

a. Rontgen Thorax

Rontgen thorax dilakukan untuk melihat apakah ada pneumotoraks,

pneumomediastinum, emfisema subkutan, pneumoperikardium,

perdarahan alveolar, dan penurunan aliran darah paru yang

disebabkan oleh nitrogen paru emboli.

b. CT scan kepala

Untuk melihat repressurization hiperbarik, pertimbangkan etiologi

lainnya.

c. MRI

MRI telah ditemukan berguna dalam pengelolaan penyakit

dekompresi yang berhubungan dengan neurologi, dari MRI dapat


dilihat lesi spinal fokus yang berkorelasi dengan gejala dan hasil

pemeriksaan pasien. MRI mudah mendeteksi kerusakan otak, tetapi

menghasilkan sensitivitas rendah pada penyakit dekompresi. MRI

berguna pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan awal untuk

terapi HBO. MRI dapat melokalisasi daerah cedera DCS atau

mengecualikan etiologi lainnya untuk gejala pasien. Spinal MRI

ditemukan lesi lebih umum di penyelam dengan DCS tulang belakang

yang parah dan tidak ada sama sekali pada mereka yang pada

akhirnya memiliki hasil yang menguntungkan. MRI juga berguna

untuk memantau penyelam terluka melalui perawatan HBO berturut-

turut. Cerebral MRI bahkan telah mengidentifikasi kelainan pada otak

yang berkorelasi dengan jam diving di kisaran bernapas bahkan ketika

tidak ada tanda-tanda klinis.

3. Elektrokardiogram (EKG)

I. PENATALAKSANAAN

Untuk penatalaksanaan pada pasien Caisson Disease, pertama-tama yang

harus dilakukan adalah mempertahankan jalan napas dengan menjamin

ventilasi dan mencapai sirkulasi. Pasien harus ditempatkan dalam posisi

terlentang. Langkah-langkah penatalaksanaan lainnya meliputi :4,8

1. Tindakan Dini

a. Pemberian oksigen 100% 15 liter / menit dengan menggunakan

masker reservoir. Namun perlu diperhatikan pemberian oksigen 100%


hanya dapat ditoleransi hingga 12 jam karena dapat menyebabkan

toksisitas oksigen paru.

b. Baringkan penderita dan biarkan tetap dalam posisi horizontal. Hal ini

untuk mencegah berpindahnya gelembung-gelembung udara ke otak

dan menyebabkan perburukan kondisi pasien. Jika penyelam tidak

sadarkan diri, buat penyelam dalam posisi pemulihan

c. Pemberian cairan untuk mempertahankan output urin yang baik.

Cairan yang diberikan lebih dari 0.5ml/kg/hari. Hemokonsentrasi

yang terkait dengan Caisson Disease adalah hasil dari peningkatan

permeabilitas pembuluh darah yang dimediasi oleh kerusakan endotel.

Cairan dapat diberikan secara oral atau diberikan secara intravena

berupa NaCl 0.9% atau kristaloid / koloid untuk mengatasi dehidrasi

yang mungkin timbul setelah penyelaman (diuresis perendaman

menyebabkan penyelam kehilangan 250-500 cc cairan per jam) atau

pergeseran cairan yang dihasilkan dari DCS. Berikan cairan intravena

untuk rehidrasi sampai jumlah urin yang keluar 1-2 mL/jam.

Rehidrasi akan meningkatkan sirkulasi dan perfusi.

d. Lindungi pasien dari hipotermia. Tutup dengan selimut atau thermal

shields.

e. Pemberian steroid deksametason 10 sampai 20 mg secara intravena,

kemudian dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam.


f. Diazepam ( 5-10 mg ) jika pasien mengalami pusing, ketidakstabilan

dan gangguan visual terkait dengan kerusakan labirin (vestibular)

pada telinga bagian dalam.

g. Dilantin (Fenitoin) diberikan IV 50 mg / menit selama 10 menit untuk

500 mg pertama dan kemudian 100 mg setiap 30 menit setelahnya

untuk memantau konsentrasi darah yang dipertahankan 10 sampai 20

mcg / mL. Jika lebih dari 25 mcg / mL beracun. Beberapa orang

memberikan aspirin 600 mg sebagai anti-platelet.

h. DCS dapat meningkatkan kemungkinan perdarahan dalam jaringan

sehingga antikoagulan tidak boleh digunakan secara rutin dalam

pengobatan DCS. Satu pengecualian untuk aturan ini adalah kasus

kelemahan ekstremitas bawah. Heparin molekul berat rendah

(LMWH) harus digunakan untuk semua pasien dengan

ketidakmampuan berjalan pada setiap tingkat kelumpuhan ekstremitas

bawah yang disebabkan oleh DCS neurologis. Enoxaparin 30 mg atau

setara diberikan secara subkutan setiap 12 jam, dimana harus dimulai

sesegera mungkin setelah cedera untuk mengurangi risiko trombosis

vena dalam (DVT) dan emboli paru pada pasien lumpuh.

i. Terapi in-air recompression dalam ruang hiperbarik.

2. Rekompresi

Tujujan rekompresi : memperkecil gelembung-gelembung gas,

gejala menghilang saat dekompresi sampai ke permukaan dan


gelembung-gelembung gas larut dengan rekompresi yang diikuti

dekompresi secara perlahan-lahan

Tujuan oksigenasi : memperbaiki hipoksia jaringan dan

mengurangi tekanan nitrogen yang terlarut dalam darah dan jaringan.

3. Pengobatan

Obat digunakan apabila terdapat kerusakan lanjutan akibat

gelembung nitrogen dalam pembuluh darah dan jaringan

f. Antiplatelet (Aspirin (Anacin, Ascriptin, Bayer aspirin)

Blok aksi sintesis prostaglandin, menghambat sintesis prostaglandin

dan mencegah pembentukan platelet

g. Kortikosteroid (Metilprednisolon)

Reaksi inflamasi dan alergi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan

menekan aktivitas PMN, dapat menurunkan peradangan.

h. Anestesi (Lidokain)

Mengurangi permeabilitas ion natrium di membran neuron,

menghambat depolarisasi dan memblokir transmisi impuls saraf.

Setelah diagnosis ditegakkan pengobatan harus dilaksanakan secepatnya,

paling lambat 6 jam pertama. Kizer 1982, menganjurkan pengobatan

rekompresi paling lama 12 jam setelah gejala-gejala timbul. Menurut “ The

Diver Network” di USA memberi batas waktu 24 jam untuk penanganan

kecelakaan-kecelakaan penyelam. Namun dari beberapa penelitian

menyimpulkan bahwa lebih cepat diobati, hasilnya akan lebih baik. Untuk
menghindari keterlambatan dalam penanganan penderita maka pengobatan

dapat dimulai dari tempat kejadian (untuk sementara), transportasi ke fasilitas

RUBT.

Rekompresi di tempat kejadian, menurunkan kembali penderita melalui

tali ke air dan memakai oksigen sampai kedalaman 9 meter. Bersama

pendamping memakai “full face mask” dan bernafas dengan oksigen 100%

selama 30 menit untuk kasus ringan dan 60 menit untuk kasus berat. Bila ada

perbaikan, naik kepermukaan dengan kecepatan 1 meter dalam 12 menit. Bila

belum, dapat diperpanjang menjadi 60 menit. Jika dalam perjalanan

kepermukaan timbul gejala maka berhenti selama 30 menit. Setelah tiba

dipermukaan penderita harus menghirup 02 l00% dan udara selama 90 menit,

jika gagal maka penderita harus diangkut ke fasilitas RUBT.

Pengangkutan penderita ke fasilitas RUBT dapat dilakukan dengan kapal

laut, kendaraan darat, pesawat terbang dengan kabin bertekanan 1 atm, bila

tidak ada maka ketinggian maksimum 1000 feet (300 meter). Selama

perjalanan penderita mengisap oksigen 100% 30 menit, udara 5 menit secara

berganti.

J. PENCEGAHAN

Edukasi merupakan metode paling efektif untuk mencegah penyakit

dekompresi. Sebelum berpartisipasi dalam kegiatan menyelam atau kegiatan

terkait, semua individu harus menjalani program pelatihan yang menyeluruh

dan intensif. Instruksi dan teknik pemerataan tekanan yang tepat sangat

penting dalam mencegah penyakit dekompresi. Orang dengan asma yang


ingin menyelam harus dinilai oleh dokter tidak boleh ada mengi pada

pemeriksaan fisik, dan memiliki spirometri normal sebelum dan setelah

latihan. Orang dengan penyakit paru-paru struktural (misalnya kista paru-paru

atau bula) dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan dalam risiko untuk

pneumotoraks dan merupakan kontraindikasi untuk menyelam. Orang-orang

dengan kelainan pada jantung bukan kontraindikasi mutlak untuk menyelam,

meskipun konservatif menyelam dianjurkan, dan pasien harus diperingatkan

bahwa mereka akan meningkatkan risiko untuk penyakit dekompresi.5

K. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat timbul akibat Caisson Disease adalah

kelumpuhan, nekrosis miokard, dan cedera iskemik lainnya mungkin terjadi

apabila tidak segera dilakukan recompression.11

L. PROGNOSIS

Prognosis yang baik jika para petugas kesehatan bisa mengenali gejala

yang timbul sejak awal, diagnosis yang tepat, dan pengobatan yang adekuat.

Tingkat keberhasilan dari terapi dan pengobatan lebih dari 75-85% dapat

dicapai.5

Pengobatan langsung dengan oksigen 100%, diikuti oleh recompressi

dalam ruang hiperbarik, dalam kebanyakan kasus menunjukan tidak ada efek

jangka panjang. Namun, cedera permanen dari DCS atau efek jangka panjang

masih mungkin terjadi. Tiga bulan follow-up pada kecelakaan menyelam

dilaporkan (Dan, tahun 1987) yang menunjukkan hasil, sebesar 14,3% dari
268 penyelam masih memiliki tanda-tanda dan gejala sisa dari DCS Tipe II

dan 7% dari DCS Tipe I. Follow-up yang lebih lama menunjukkan hasil yang

sama, sebesar 16% memiliki gejala sisa neurologis yang bersifat permanen.5
DAFTAR PUSTAKA

1. Papadakis, M. A and Stephen J. McPhee. 2016. Current Medical Diagnosis


and Treatment Fifty-Fifth Edition. San Fransisco: Mc Graw Hill LANGE.
2. Scott D. Fell. 2012. Decompression syndromes : The Bends. (Available from:
http://www.emedicinehealth.com/decompression_syndromes_the_bends/artic
le_em.htm, diakses tanggal : 18 April 2019).
3. Noltkamper, Daniel. 2012. Decompression Sickness. (Available from :
http://www.emedicinehealth.com/barotraumadecompression_sickness/article_
em.htm, diakses tanggal : 18 April 2019).
4. Vann, D.R., Butler, F.K., Mitchell, S.J., and Moon, R.E. 2011.
Decompression Illness. Vol. 37
5. Pulley, A. S. 2012. Decompression Sickness. (Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/769717-overview#showall, diakses
tanggal : 19 April 2019).
6. Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta:
EGC.
7. Price, Sylvia A et al. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
8. Tetzlaff, K., Shank, E. S., and Muth, C. M. 2013. Evaluation and
management of decompression illness – an intensivist’s perspective. Intensive
Care Med Vol. 29.
9. Wilmshurs, P., Bryson, P. 2009. Decompression Sickness and
Decompression Illness. (Available from :
http://www.thescubasite.com/Learn-To-Scuba-Dive/decompression-sickness-
decompression-illness, diakses tanggal : 19 April 2019).
10. Hagberg, M., and Ornhagen, H. 2013. Incidence and risk factors for
symptoms of decompressionn sickness among male and female dive master
and instructurs – a retrospective cohort study. Sweden: Undersea and
Hyperbaric Medical Society Inc. 2013.
11. Anonymous. 2015. Diagnosis and treatment of decompression sickness and
arterial gas embolism. Hal 31-32.

Anda mungkin juga menyukai