Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 2


BLOK KESEHATAN PARIWISATA
“Wisatawan dengan Gangguan Mental”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5

Galbi Widad (018.06.0044)

Tutor : dr. Irsandi Rizki Farmananda, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
TAHUN
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD (Small
Group Discussion) LBM 2 yang berjudul “Wisatawan dengan Gangguan
Mental” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa


(LBM) 2 yang berjudul “Wisatawan dengan Gangguan Mental” meliputi seven
jumps step yang dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak
akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Irsandi Rizki Farmananda, S.Ked. Sebagai dosen fasilitator kelompok
SGD 5 yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam
pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 05 Agustus 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB 1 PENDAHULUAN 4

BAB 2 PEMBAHASAN 7

BAB 3 PENUTUP 16

DAFTAR PUSTAKA 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Skenario LBM 2

Seorang wisatawan pria asal Australia mendatangi Rumah Sakit. Ketika


dilakukan wawancara oleh dokter yang sedang bertugas, wisatawan tersebut
mengeluh bahwa dirinya selalu gelisah dan dihantui rasa takut. Kemudian
wisatawan tersebut menangis tersedu-sedu. Setelah tangisannya reda beberapa
saat, ia melanjutkan ceritanya dan mengatakan bahwa dirinya merasa sangat
ketakutan jika tidak juga dapat kembali ke negara asalnya di masa pandemi ini. Ia
juga menyatakan ketakutan yang sangat jika keluarganya di Australia tidak dapat
menerimanya kembali.

Dua hari yang lalu ia baru dinyatakan sehat kembali oleh dokter yang merawat
setelah terkonfirmasi positif Covid-19 sebelumnya. Ijin tinggal wisatawan
tersebut di Indonesia juga sudah berakhir 7 hari yang lalu. Rasa ketakutan tersebut
sudah ia rasakan sejak awal masa pandemi covid-19 dan memberat sejak ia
terkena covid-19, disertai perasaan sedih, tidak semangat, sulit tidur dan tidak
fokus sejak 2 minggu terakhir.

Menurut pengakuan wisatawan tersebut, dirinya juga beberapa kali


mendatangi psikiater di negaranya untuk berobat karena mudah merasa gelisah,
takut dan panik jika menghadapi sebuah masalah.

1.2. Pembahasan Skenario

1.2.1. Hubungan Pandemi COVID-19 yang Menyebabkan Munculnya


Ketakutan

Coronavirus disease 2019 atau disebut juga COVID-19 saat ini


menjadi pandemi hampir di seluruh negara di dunia. Wabah pandemi ini
memiliki dampak negatif pada kesehatan fisik dan psikologis individu dan
masyarakat (Banerjee, 2020; Brooke dkk., 2020; Zhang dkk., 2020).
Menurut Brooks dkk. (2020), dampak psikologis selama pandemi
diantaranya gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder),

4
kebingungan, kegelisahan, frustrasi, ketakutan akan infeksi, insomnia dan
merasa tidak berdaya. Bahkan beberapa psikiatris dan psikolog mencatat
hampir semua jenis gangguan mental ringan hingga berat dapat terjadi
dalam kondisi pandemik ini. Bahkan kasus xenofobia1 dan kasus bunuh
diri karena ketakutan terinfeksi virus sudah mulai bermunculan.

Seseorang melakukan evaluative situation yaitu menilai ancaman


virus Covid-19 berdasarkan sikap, pengetahuan, kemampuan, dan
pengalaman masa lalu yang dimiliki Jika stressor dinilai berbahaya maka
reaksi kecemasan akan timbul. Reaksi kecemasan ini ada yang bersifat
sesaat (state anxiety) dan ada yang bersifat permanen (trait anxiety)
(Lazarus, 1991).

Reaksi kecemasan akan berbeda pada setiap individu. Untuk sebagian


orang reaksi kecemasan tidak selalu diiringi oleh reaksi fisiologis. Namun
pada orang-orang tertentu, kompleksitas respons dalam kecemasan dapat
melibatkan reaksi fisiologis sesaat seperti detak jantung menjadi lebih
cepat, berkeringat, sakit perut, sakit kepala, gatal-gatal dan gejala lainnya.
Setelah seseorang mulai merasakan kecemasan maka sistem petahanan diri
selanjutnya akan menilai kembali ancaman diiringi dengan usaha untuk
mengatasi, mengurangi atau menghilangkan perasaan terancam tersebut.
Sesesorang dapat menggunakan pertahanan diri (defence mechanism)
dengan meningkatkan aktifitas kognisi atau motorik (Lazarus, 1991).

1.2.2. Dampak Serangan Panik Ketika di Pesawat

 Peningkatan emosi berlebihan, berupa rasa takut, sedih, marah, dan


sebagainya.
 Gangguan konsentrasi.
 Pada beberapa orang mungkin terjadi gangguan pembentukan memori
sesaat.
 Gejala fisik seperti hipertensi, peningkatan denyut jantung, peningkatan
laju pernapasan, keringat dingin, pusing, mual muntah, sesak napas, nyeri
dada, atau rasa ingin pingsan.

5
1.2.3. Edukasi Kepada Wisatawan dalam Menghadapi Pandemi

Edukasi gerakan 5M dan 3T protokol kesehatan adalah sebagai


pelengkap aksi 3M. yaitu (Kementerian Kesehatan, 2020):

1. Memakai masker,
2. Mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir,
3. Menjaga jarak,
4. Menjauhi kerumunan, serta
5. Membatasi mobilisasi dan interaksi.

3T adalah upaya untuk semakin menekan penyebaran virus Covid-19,


pemerintah juga memiliki gerakan 3T, yaitu (Kementerian Kesehatan,
2020):

1. Testing

2. Tracing

3. Treatment.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Program Indonesia dalam Menjaga Kesehatan Wisatawan

Kementerian Kesehatan telah membentuk Tim Gugus Tugas Pelaksanaan


Pengembangan Wisata Kesehatan yang beranggotakan lintas program, lintas
Kementerian/Lembaga, Pelaku Bisnis, Akademisi, Media, Masyarakat,
dan stakeholders non pemerintah lainnya termasuk pelayanan kesehatan
swasta, produsen jamu dan pengobatan tradisional yang telah memiliki
kesiapan untuk melaksanakan wisata kesehatan.

2.2. Gangguan Mental yang Bisa Dialami oleh Wisatawan

Gangguan jiwa adalah bentuk dari manifestasi penyimpangan perilaku


akibat distorsi emosi sehingga ditemukan tingkah laku dalam ketidak
wajaran. Hal tersebut dapat terjadi karena semua fungsi kejiwaan menurun.

Berikut ini ialah jenis gangguan jiwa yang sering ditemukan di masyarakat
menurut Nasir, (2011) adalah sebagai berikut:

a. Skizofrenia

Kelainan jiwa ini menunjukkan gangguan dalam fungsi kognitif atau


pikiran berupa disorganisasi, jadi gangguannya adalah mengenai
pembentukan isi serta arus pikiran. Suatu diskripsi sidrom dengan fariasi
penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, disertai sejumlah akibat yang
tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.
Biasanya ditandai: Penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, Afek tidak wajar atau tumpul,Kesadaran jernih,
Kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran
fungsi kognitif tertentu dapat berkembang.

b. Depresi

7
Salah satu gangguan jiwa pada alam perasaan afektif dan mood ditandai
dengan kemurungan, tidak bergairah, kelesuan, putus asa, perasaan tidak
berguna dan sebagainya. Depresi adalah salah satu gangguan jiwa yang
ditentukan banyak pada masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi. Hal
ini erat kaitannya dengan ketidak mampuan, kemiskinan atau ketidaktahuan
masyarakat.

c. Gangguan Cemas menyeluruh

Anxiety/kecemasan merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh rasa


khawatir disertai dengan gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan
berlebihan dari susunan saraf otonomik, dari beberapa referensi lain
mengatakan bahwa kecemasan suatu keadaan aprehensi atau keadaan
khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi
(Putri, 2019). Gangguan kecemasan (anxiety disorder) adalah gangguan
psikologis yang mencakup ketegangan motorik (bergetar, tidak dapat duduk
tenang, tidak dapat bersantai); hiperaktivitas (pusing, jantung yang berdetak
cepat dan juga berkeringat); dan harapan-harapan dan pikiran-pikiran yang
mendalam. Kecemasan terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Gangguan panik;

b) Gangguan kecemasan menyeluruh/Generalized anxiety disorders (GAD)

c) Gangguan obsesif-kompulsif

d) Gangguan fobia dan

e) Gangguan stress pasca trauma.

2.3. Faktor Pemicu Terjadinya Gangguan Mental pada Wisatawan

1) Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap terjadinya


gangguan jiwa. Seberapa berat stressor yang dialami seseorang sangat
mempengaruhi respon dan koping mereka. Seseorang mengalami stressor
yang berat seperti kehilangan suami tentunya berbeda dengan seseorang yang
hanya mengalami strssor ringan seperti terkena macet dijalan. Banyaknya

8
stressor dan seringnya mengalami sebuah stressor juga mempengaruhi respon
dan koping. Seseorang yang mengalami banyak masalah tentu berbeda
dengan seseorang yang tidak punya banyak masalah.
2) Faktor genetik. Hingga saat ini belum ditemukan adanya gen tertentu yang
menyebabkan terjadinya gangguan jiwa. Akan tetapi telah ditemukan adanya
variasi dari multiple gen yang telah berkontribusi pada terganggunya fungsi
otak.
3) Faktor neurotransmitter: terjadi gangguan pada neurotransmitter Serotonin,
norepinefrin dan GABA.

2.4. Pre Travel, On Travel, dan Post Travel

Pelayanan kedokteran wisata yang perlu dan dapat diberikan di travel


clinic adalah. konsultasi pra-perjalanan; imunisasi; bekal profilaksis, stand-by
treatment, dan medical kit; konsultasi dan penatalaksanaan penyakit
pascaperjalanan (levina S Pakasi, 2006).

1) Konsultasi Pra-travel

Konsultasi pra- travel merupakan bagian penting dari Kedokteran Wisata


yang bertujuan untuk mempersiapkan wisatawan sebelum keberangkatannya,
baik mengenai vaksinasi, pemberian proflaksis anti-malaria dan item medis
lain yang diperlukan. Dalam konsultasi pra wisata diberikan nasihat
perjalanan dalam bentuk konsultasi dan edukasi mengenai risiko terhadap
kesehatan, keamanan dan pencegahannya disamping menilai kondisi fsik
calon wisatawan. Informasi yang diberikan adalah informasi terbaru yang
akurat. Konsultasi sebaiknya dilakukan 4 – 8 minggu sebelum keberangkatan,
terutama untuk wisata jangka panjang. Namun demikian konsultasi 1- 2 hari
pra wisata dapat bermanfaat juga pada wisatawan yang mendadak harus
berangkat.

9
2) Risk Assessment Individual

Ada empat komponen penting yang dinilai dalam melakukan risk-assesment


ini yaitu destinasi, transportasi, akomodasi dan aktiftas wisatawan selama
berwisata (Merati et al., 2013)

• Destinasi : daerah ataunegara tujuan wisata,penyakitpenyakit apa yang


terdapat di negara tujuan, bagaimana risiko penyakit itu dan hal-hal lain yang
mungkin terdapat didaerah destinasi.Durasi tinggal disuatu daerah juga
mempengaruhi risiko

• Transportasi :Apakah ada risikopada wisatawan bila bepergian dengan


pesawat udara atau kapal laut.

• Akomodasi : Apakah penginapan bagi wisatawan dapat melindungi dari


kemungkinan paparan yang mungkin berbahaya bagi mereka.Apakah tersedia
upaya dan prosedur pencegahan terjadinya risiko atau apakah berisiko bagi
orang lanjut usia atau orang cacat.

• Aktiftas didaerah tujuan wisata: Wisatawan dengan aktiftas berbeda akan


menghadapi risiko berbeda, sebagai contoh, wisatawan yang mengikuti
kegiatan didalam ruangan mempunyai risiko berbeda dari wisatawan yang
beraktiftas di luar atau di alam terbuka. Kemungkinan terjadi kontak erat
dengan penduduk setempat, olah raga atau kendaraan yang berisiko terjadi
kecelakaan, minuman beralkohol yang mungkin menyebabkan kurang
mengendalikan perilaku. Ketersediaan air bersih, kebersihan makanan dan
minuman, dan ketersediaan fasilitas kesehatan termasuk vaksinasi didaerah
tujuan wisata.

3) Persiapan Travelling

Persiapan sebelum traveling meliputi pengaturan akomodasi, travel


documents, passport atau kartu identitas diri, pakaian dan perlengkapan
harian dan travel kit. Travel kit merupakan kumpulan barang barang, pernak
pernik esensial yang disiapkan untuk mengantisipasi kedaruratan. Apa yang
termasuk di dalam travel kit akan tergantung pada beberapa pertimbangan,

10
diantaranya tujuan perjalanan, tempat yang dituju, lama berkunjung, dan
kebutuhan (terkait usia dan kondisi kesehatan sebelum bepergian). Pada
pesiapannya, harus mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan, obat – obatan
dan toiletries, perlu diingat bahwa medical kit harus disertai catatan indikasi
dan cara penggunaan peralatan dan obat – obatan tersebut secara jelas. Isi
perangkat obat – obatan dasar meliputi peralatan untuk pertolongan pertama
(Merati et al., 2013).

4) Penangan Penyakit Pasca Travelling

Penanganan penyakit pasca wisata merupakan bagian dari kedokteran


wisata, karena kejadian sakit setelah kembali dari perjalanan cukup sering
didapatkan di praktik umum. Masalah penyakit pasca wisata dilaporkan
sekitar 22-64%. Walaupun sebagian besar bersifat ringat tapi terdapat sekitar
8% yang mendapat sakit berat. Karena itu identifkasi secara cepat sindrom
yang dapat bersifat mengancam jiwa ini sangat penting. Sehingga Wisatawan
diharapkan memberikan informasi riwayat medis mengenai
perjalananwisatanya, termasuk destinasi wisata, lama, tujuan dan aktiftas
selama di daerah wisata (Merati et al., 2013).

Wisatawan yang sering bepergian, harus memberi rincian dari semua


perjalanan wisata yang dilakukannya dalam beberapa minggu atau bulan
terakhir . Karena pada umumnya penyakit infeksi pasca wisata sebagian besar
bersifat ringan, maka penanganan dapat dilakukan secara berobat jalan.
Namun pasien dengan keluhan demam sistemik pasca wisata mungkin perlu
evaluasi dirumah sakituntuk menentukan penyebabnya, apakah demam tifoid,
infeksi dengue, malaria, ricketsia, leptospirosis, hepatitis virus.dsb. Untuk
penyakit yang mudah menular seperti Infuenza A H1N1, Avian infuenza
H7N9, Ebola atau MERS justru memerlukan isolasi dan tingkat perawatan
yang lebih tinggi untuk membatasi penularannya. Sementara dapat dilakukan
terapi suportif sambal menunggu diagnosis pasti. Lakukan dengan baik
sehingga dapat mencegah komplikasi. Perlu dipertimbangkan indikasi rawat
inap, bila pasien berasal dari tempat yang jauh sehingga diragukan
kedatangan berikutnya, atau pasien tinggal sendiri dirumah sehingga tidak

11
ada yang membantu saat terjadi perburukan klinis. Dokter yang menangani
infeksi pasca wisata yang berat atau sulit diagnosisnya hendaknya melakukan
konsultasi ke spesialis penyakit tropis dan infeksi. Bila diperlukan pasien
dirawat oleh tim yang melibatkan spesialisasi yang terkait.

2.5. Data yang Diperlukan Untuk Diagnosis Gangguan Mental


Pemeriksaan Psikiatri lengkap berbeda dari pemeriksaan medik umum,
dalam hal perhatian khusus yang diarahkan pada manifestasi fungsi mental,
emosional, dan perilaku. Pemeriksaan dilakukan untuk menyusun laporan
tentang keadaan psikologik dan psikopatologik pasien (status psikiatri).

Kerangka umum pemeriksaan lengkap terdiri atas:

1. Pemeriksaan tidak langsung (indirect examination)

a. Anamnesis, keluhan tentang gangguan sekarang dan laporan pasien


mengenai perkembangan keluhannya itu, serta riwayat situasi hidup pasien.

b. Keterangan mengenai pasien yang diperoleh dari pihak keluarga atau


orang-orang lain yang mengenalnya.

c. Autoanamnesa :keluhan saat ini yang dirasakan oleh pasien. d.Allo


anamnesa : keteranandari keluarga atau teman dekat .

2. Pemeriksaan Langsung (direct Examination)

- Pemeriksaan fisik terutama status internus dan neurologic

- Pemeriksan Khusus Psikis dilihat penampilan umum, bidang emosi , afek


(emotion/affect) , bidang pikiran / ideasi ,Bidang motoric/ perilaku.

3. Pemeriksaan Tambahan

Yang dilakukan apabila ada alsana khusus untuk melaksanakan pemeriksaan


itu seperti uji psikolog, elektroensefalografi CT Scan dan lain-lain .

4. Data khusus psikiatrik

12
Yang dihasilkan dari suatu pemeriksaan psikiatrik ialah data perihal fungsi
kejiwaan, yang diperoleh melalui observasi penampilan dan perilaku pasien,
pengamatan interaksi antara doker dan pasien, pengamatan interaksi antar
pasien dan lingkungannnya, dan pemahaman humanistik sang dokter
mengenai pasiennya.

2.6. Hierarki Gangguan Mental

a) F00 – F09 Gangguan Mental Organik dan Simtomatik

b) F10 - F19 Gangguan Mental dan Perilaku akibat zat psikoaktif

c) F20 – F29 Skizofrenia, Gangguan skizotipal dan gangguan waham

d) F30 – F39 Gangguan suasana perasaan (afektif/mood)

e) F40 – F49 Gangguan neurotik, gangguan somatoform dan gangguan terkait


stress

f) F50 – F59 Sindrom perilaku karena gangguan fisiologis/fisik

g) F62 – F68 Perubahan Kepribadian karena non organik, gangguan impuls,


gangguan seks

h) F80 – F89 Gangguan Perkembangan Psikologis

i) F90 – F98 Gangguan perilaku dan emosional onset kanak-remaja

j) F99 Gangguan Jiwa YTT

2.7. Diagnosis Kerja Skenario

• Aksis 1 : F41.1 Gangguan Cemas Menyeluruh

• Aksis 2 : tidak ada

• Aksis 3 : Penyakit sistem pernafasan

13
• Aksis 4 : Lingkungan dan primary support group (Keluarga)

• Aksis 5 : 80-71 gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan

2.8. Tatalaksana pada Skenario

Penanganan gangguan cemas menyeluruh dapat diberikan Terapi


farmakologi dan non farmakologi.

1. Terapi Farmakologi

 Golongan Benzodiazepine (BZ) sebagai antianxietas mempunyai ratio


therapuetic lebih tinggi dan lebih minimal menimbulkan adiksi dengan
toksisitas yang rendah, dibandingkan dengan meprobamate atau
fenobarbital.
 Golongan BZ tidak menginduksi enzim mikrosomal di hepar
sedangkan fenobarbital menginduksi.
 Gol. BZ adalah drug of choice anxietas, disebabkan : spesifitas,
potensi, dan keamanannya.
 Spektrum klinis BZ : anti-anxietas, anti-konvulsan, anti-insomnia,
premedikasi tindakan operatif.
Tabel 1. Sediaan dan dosis pengobatan Anxiety

No Generik Paten sediaan Dosis


Anjuran

1. Diazepam Diazepin 2mg, 5mg Oral 10-


30mg/h
Lovium
2-3xsehari
Mentalium 2-5-10mg

14
Paralium

Prozepam

Stesolid

Trankinon
Validex
Valisanbe
Valium
2. Chlordiazepo 5-10mg 5mg 15-30mg/h 2-
Cetabrium
xide 5mg 3xsehari
Arsitran
Tensinil
3. Lorazepam 0,5-1-2mg 2-3 x 1mg/h
Ativan Renaquil
Merlopam
4. Clobazam 10mg 2-3 x 10
Frisium
mg/h
5. Bromazepam 1,5-3-5mg 3 x 1,5 mg/h
Lexotan

6. Oxazolam 10mg 2-3 x 10


Serenal-10
mg/h
7. clorazepate 5-10 mg 2-3 x 5 mg/h
Traxene 2/10

8. Alprazolam 0,25-0,5-1 3 x 0,25-o,5


Xanax
mg/h mg/h

Lama Pemberian
 Anxietas yang disebabkan faktor situasi eksternal, tidak lebih dari 1-3
bln.
 Pemberian pada natisipasi cemas, seperlunya saja, atau sewaktu-waktu.
 Penghentian secara bertahap (stepwise), supaya tidak timbul
withdrawal symptoms.
Kontra indikasi
 Hipersensitif dengan bz
 Glaukoma myastenia gravis
 Chronic pulmonary insufficiency
 Chronic renal or hepatic disease.

15
2. Terapi non farmakologi
- Dapat dilakukan terapi relaksasi
- Psikoterapi

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan diskusi pada LBM 2 ini dapat disimpulkan bahwa


seorang wisatawan yang melakukan wisata sebelumnya harus melakukan
persiapan, persiapannya meliputi (pre-travelling, during travelling dan
post travelling), sehingga apabila dalam suatu perjalanan seseorang
mengeluhkan suatu gejala maka dapat dilakukan konsultasi kepada dokter
wisata tersebut.

Untuk orang yang mengalami gangguan kesehatan baik fisik


maupun mental diharapkan agar lebih aware akan kesehatannya. Kesehatan
mental yang terjadi pada wisatawan tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor dan penangannya bisa dilakukan melalui terapi farmakologi dan non
farmakologi, yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Handayani, D, Hadi, D, R, Isbaniah, F, Burhan, E, Agustin, H. (2020). Penyakit


Virus Corona 2019.Jurnal Respirologi Indonesia Volume.40, Nomor. 2.
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta.
Jayadi, E. K., Mahadewi, N. P. E., & Mananda, S. (2017). Karakteristik dan
Motivasi Wisatawan Berkunjung ke Pantai Green Bowl , Ungasan , Kuta
Selatan , Bali. Jurnal Analisis Pariwisata, 17(2), 69–77.
Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-
Unika Atmajaya.
Nurjanah, S., Kesehatan, F. I., Purwokerto, U. M., Kulon, S., Banyumas, K., &
Tengah, J. (2020). Gangguan mental emosional pada klien pandemi covid
19 di rumah karantina. 3(3), 329–334.
Satgas Covid-19. (2021). Pengendalian Covid-19. In Satuan Tugas Penanganan
Covid-19 (Vol. 53, Issue 9).
Suasti, N,M,A. (2019). Upaya Pengendalian Transmisi Penyakit Menular Pada
wisatawan di Indonesia.Universitas Arlangga Surabaya.
Susilo, A., Rumende, C. M., Pitoyo, C. W., Santoso, W. D., Yulianti, M.,
Herikurniawan, H., Sinto, R., Singh, G., Nainggolan, L., Nelwan, E. J., Chen,
L. K., Widhani, A., Wijaya, E., Wicaksana, B., Maksum, M., Annisa, F.,
Jasirwan, C. O. M., & Yunihastuti, E. (2020). Coronavirus Disease 2019:

17
Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(1), 45.
https://doi.org/10.7454/jpdi.v7i1.415
WHO. (2020). Transmisi SARS-CoV-2: implikasi terhadap kewaspadaan
pencegahan infeksi. 1–10.

18

Anda mungkin juga menyukai