Anda di halaman 1dari 10

TUGAS ESSAY

BLOK PSIKIATRI

“GANGGUAN NEUROTIK, SOMATOFORM, & PTSD”

Disusun Oleh :

Nama : Galbi Widad


NIM : 018.06.0044
Kelas :B
Dosen : dr. Danang Nur Adiwibawa, Sp.KJ

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
TAHUN 2021
1. Obsessive Compulsive Disorder

Gangguan obsesif kompulsif digambarkan sebagai pikiran dan tindakan yang


berulang yang menghabiskan waktu atau menyebabkan distress dan hendaya yang bermakna.
Obsesif adalah aktivitas mental seperti pikiran, perasaan, ide, impuls yang berulang dan
intrusif. Kompulsif adalah pola perilaku tertentu yang berulang dan disadari seperti
menghitung, memeriksa dan menghindar. Penyebab gangguan obsesif kompulsif bersifat
multifaktorial, yaitu interaksi antara faktor biologi, genetik, faktor psikososial

Gejala gangguan ini menurut PPDGJ-III, mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.

b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan.

c. Bukan merupakan hal yang memberi kesenangan melainkan sebagai pelepasan atau
perasaan lega dari kecemasan jika tidak melakukan tindakan tersebut.

d. Ada pengulangan-pengulangan baik itu pikiran maupun tindakan.

Kriteria Gangguan Obesesif Kompulsif Berikut adalah kriteris gangguan obsesif kompulsif
dalam DSM IV-TR: a). Salah satu obsesi atau kompulsi Obsesi seperti yang didefinisikan
oleh (1), (2), (3) dan (4):

1. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan yang rekuren dan persisten yang dialami, pada
suatu saat selama gangguan, sebagai intrusive dan tidak sesuai, dan menyebabkan kecemasan
dan penderitaan yang jelas.

2. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangantidak semata-mata kekhawatiran yang berlebihan


tentang masalah kehidupan yang nyata.

3. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau bayangan-
bayangan tersebut untuk menetralkannya dengan pikiran atau tindakan lain.

4. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan obsessional adalah


keluar dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan pikiran)

Kompulsi seperti yang disebabkan oleh (1) dan (2):


1. Perilaku (misalnya: mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa) atau tindakan mental
(misalkan: berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata dalam hati) yang berulang yang
dirasakannya mendorong untuk melakukannya sebagai respon terhadap suatu obsesi atau
menurut dengan aturan yang harus dipenuhi secara kaku.

2. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau menurunkan penderitaan
atau mencegah suatu kejadian atau situasi yang menakutkan; tetapi perilaku atau tindakan
mental tersebut tidak dihubungkan dengan cara yang realistik dengan apa mereka anggap
untuk mentralkan atau mencegah, atau jelas berlebihan.

b) Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari bahwa obsesi atau
kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan (tidak berlaku pada anak-anak)

c) Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaan yang jelas; menghabiskan waktu


(menghabiskan lebih dari satu jam sehari); atau secara bermakna mengganggu rutinitas
normal orang, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas atau hubungan social yang
biasanya.

d) Jika terdapat gangguan aksis I dan lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas padanya
(misalnya, preokupasi dengan makanan jika terdapat gangguan makan; menarik rambut jika
terdapat trikotilomania; permasalahan penampilan jika terdapat dismorfik tubuh; preokupasi
dengan obat jika terdapat suatu gangguan penggunaan zat; preokupasi dengan menderita
suatu penyakit serius jika terdapat hipokondriasis; preokupasi dengan dorongan atau fantasi
seksual jika terdapat parafilia; atau perenungan bersalah jika terdapat gangguan depresif
berat)

e) Tidak disesbabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan,
medikasi) atau kondisi medis umum.

Pengobatan untuk OCD termasuk terapi obat-obatan dan psikoterapi. Sebagian besar
penderita menerima kedua metode pengobatan secara bersamaan untuk mencapai hasil yang
lebih baik.

1) Terapi obat-obatan

Pada sebagian besar kasus, diresepkan Penghambat Ambilan Kembali Serotonin


secara Selektif (SSRI) atau antidepresan trisiklik (TCA). Jika diperlukan, tranquilizers juga
bisa diresepkan.
2) Psikoterapi

Terapi perilaku kognitif adalah pengobatan yang efektif untuk OCD. Terapi ini
dirancang untuk membantu individu mengubah pemikiran mereka yang tidak rasional yang
memicu kecemasan, dan menghadapi objek atau situasi yang ditakuti secara bertahap
(misalnya objek yang dianggap sangat tercemar). Melalui perubahan pemikiran dan
pengalaman, kecemasan dan kompulsi seseorang bisa dikurangi. Pada awalnya, individu akan
merasa tidak nyaman ketika menghadapi objek atau situasi yang ditakuti dalam terapi, tapi
dengan pemaparan berulang-ulang kecemasan akan berkurang secara bertahap.

2. Reaksi Stres Akut

Kriteria Diagnosis :

A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic dimana kedua dari berikut ini
ditemukan:

1. Orang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau


peristiwa yang berupa ancaman kematian atau cedera yang serius atau
ancaman fisik kepada diri sendiri atau orang lain.

2. Respons orang tersebut berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya.

B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, individu
memiliki gejala disosiatif :

1. Perasaan subyektif kaku, terlepas atau tidak ada responsivitas emosi.

2. Penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya

3. Derealisasi

4. Depersonalisasi

5. Amnesia disosiatif

C. Kejadian traumatic secara menetap dialami Kembali dalam sekurangnya satu cara berikut :
bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan
hidupnya Kembali pengalaman, atau penderitaan saat terpapar dengan pengingat kejadian
traumatic.
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (pikiran,
perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).

E. Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran (sulit tidur, iritabilitas,
konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut berlebihan dan kegelisahan
motorik).

F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain, mengganggu kemampuan individu untuk
mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau
menggerakkan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang
pengalaman traumatik.

G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu setelah kejadian
traumatik.

H. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (obat yang disalahgunakan, medikasi)
atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat, dan
tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II yang telah ada
sebelumnya.

3. Gangguan Stres Pasca Trauma/PTSD

PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami atau
menyaksikan suatu peristiwa traumatik. Peristiwa yang menimbulkan trauma termasuk fisik
atau pelecehan seksual atau penganiayaan, cedera, kekerasan di jalanan, kecelakaan
lalulintas, trauma perang, luka bakar yang parah, dan bencana alam lainnya.

Gejala PTSD muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang membuatnya


trauma. Waktu kemunculannya bisa beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kejadian
traumatis tersebut. Tingkat keparahan dan lamanya gejala juga berbeda-beda pada tiap
penderita. Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD adalah:

1. Ingatan pada peristiwa traumatis

Penderita PTSD sering kali teringat pada peristiwa yang membuatnya trauma.
Bahkan, penderita merasa seakan mengulang kembali kejadian tersebut. Ingatan terhadap
peristiwa traumatis tersebut juga sering kali hadir dalam mimpi buruk, sehingga penderita
tertekan secara emosional.

2. Kecenderungan untuk mengelak

Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan peristiwa yang membuatnya


trauma. Hal ini ditunjukkan dengan menghindari tempat, aktivitas, dan seseorang yang terkait
dengan kejadian traumatis tersebut.

3. Pemikiran dan perasaan negatif

Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang lain. Selain itu, penderita
juga kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukainya dan merasa putus asa. Penderita
juga lebih menyendiri dan sulit menjalin hubungan dengan orang lain.

4. Perubahan perilaku dan emosi

Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meski tidak dipicu oleh ingatan
pada peristiwa traumatis. Perubahan perilaku ini juga sering membahayakan dirinya atau
orang lain. Penderita juga sulit tidur dan berkonsentrasi. PTSD dapat terjadi pada anak-anak
dan orang dewasa. Namun, pada anak-anak, terdapat gejala khusus, yaitu sering melakukan
reka ulang peristiwa traumatis melalui permainan. Anak dengan PTSD juga sering
mengalami mimpi buruk yang bisa terkait secara langsung maupun tidak dengan kejadian
traumatis yang dialaminya.

Pedoman diganosis berdasarkan DSM IV diantaranya sebagai berikut:

1. Individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatik.

2. Pengalaman traumatik tersebut selalu timbul berulang.

3. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang berkaitan


dengan peristiwa traumatik tersebut.

4. Adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan.

5. Durasi dari gejala PTSD berlangsung lebih dari satu bulan

6. Gejala tersebut menyebabkan penderitaan dalam fungsi sosial, pekerjaan, dll.

Pedoman diganosis berdasarjan PPPDGJ-III


1. Diagnosis baru ditegakkan bila gangguan ini timbul dalam 6 bulan setelah kejadian
traumatik

2. Didapatkan bayang-bayang atau mimpi dari kejadian traumatik tersebut (re-


experience).

3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku.

4. Sequele yang menahun terjadi lambat setelah stres yang berat.

Pengobatan PTSD bertujuan untuk meredakan respons emosi pasien dan mengajarkan
pasien cara mengendalikan diri dengan baik ketika teringat pada kejadian traumatis. Metode
pengobatan yang dilakukan meliputi:

1. Psikoterapi

Psikoterapi merupakan pilihan pertama dalam mengatasi PTSD. Jika gejala yang dialami
pasien tergolong parah, dokter akan menggabungkan psikoterapi dan obat-obatan. Psikoterapi
dapat dilakukan secara individual atau berkelompok dengan pasien PTSD lain. Ada beberapa
jenis psikoterapi yang biasanya digunakan untuk mengatasi PTSD, yaitu:

 Terapi perilaku kognitif, untuk mengenali dan mengubah pola pikir pasien yang
negatif menjadi positif.
 Terapi eksposur, untuk membantu pasien menghadapi keadaan dan ingatan yang
memicu trauma secara efektif.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), yaitu kombinasi terapi
eksposur dan teknik gerakan mata untuk mengubah respons pasien saat teringat
kejadian traumatis.

2. Obat-obatan

Dokter akan memberikan obat-obatan untuk mengatasi gejala PTSD. Obat yang diberikan
tergantung pada gejala yang dialami pasien, antara lain:

 Antidepresan, untuk mengatasi depresi, seperti sertraline dan paroxetine.


 Anticemas, untuk mengatasi kecemasan.
 Prazosin, untuk mencegah mimpi buruk.
Dokter akan meningkatkan dosis obat bila tidak efektif dalam mengatasi gejala. Namun, jika
terbukti efektif, obat-obatan akan terus diberikan setidaknya sampai 1 tahun. Kemudian,
pengobatan akan dihentikan secara bertahap.

4. Gangguan Somatoform

Somatoform (terutama gangguan konversi atau disebut juga reaksi-reaksi konversi)


adalah gangguan-gangguan neurotik yang khas bercirikan emosionalitas yang ekstrem, dan
berubah menjadi simtom-simtom fisik, simtom-simtom fisik itu mungkin berupa
kelumpuhan-kelumpuhan anggota tubuh, rasa sakit dan nyeri luar biasa, buta tuli, tidak bisa
bicara, muntah terus-menerus, sakit kepala atau gementar.

Macam-macam gangguan somatoform yakni, gangguan somatisasi, gangguan


konversi, hipokondriasis, body dysmorphic disorder, dan gangguan nyeri. Gangguan konversi
menurut DSM IV (Kaplan, sadock, & Grebb) adalah gangguan dengan karakteristik
munculnya satu atau beberapa simtom neurologis yang ada. Gejala konversi biasanya
berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah
adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Conversion disorder biasanya
berkaitan dengan diagnosis Aksis 1 lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat
terlarang, dan dengan gangguan kepribadian.

Hipokondriasis adalah hasil interpretasi pasien yang tidak realistis dan tidak akurat
terhadap simtom atau sensasi. Sehingga mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa
mereka memiliki gangguan yang parah, bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang
ditemukan. Ciri utama dari gangguan ini adalah adanya preokupasi yang menetap akan
kemungkinan menderita satu atau lebih gangguan fisik yang serius dan progresif. Pasien
menunjukkan keluhan-keluhan somatik yang menetap atau preokupasi yang menetap dengan
penampilan fisiknya.

Body Dysmorphic Disorder adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak
nyata (misalnya hidung yang dirasakannya kurang mancung), atau keluhan yang berlebihan
tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil. Perempuan lebih cenderung untuk
memfokuskan pada bagian kulit, dada, paha, dan kaki. Sedangkan pria lebih terfokus pada
tinggi badan, ukuran alat vital, atau rambut tubuh.

Gangguan Nyeri akan mengalami gejala sakit atau nyeri pada satu tempat atau lebih,
yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis (non psikiatri) maupun neurologis.
Simtom ini menimbulkan strees emosional ataupun gangguan fungsional, dan gangguan ini
dianggap memiliki hubungan sebab akibat dengan faktor psikologis. Keluhan yang dirasakan
pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif,
atensi, dan situasi. Dengan kata lain, faktor psikologis mempengaruhi kemunculan,
bertahannya, dan tingkat keparahan gangguan.

Tatalaksana somatoform secara umu dapat menggunakan teknik kognitif-behavioral.


Teknik kognitif-behavioral paling sering pemaparan terhadap pencegahan respon
restrukturisasi kognitif. Secara sengaja memunculkan kerusakan yang dipersepsikan di depan
umum, dan bukan menutupinya melalui penggunaan rias wajah dan pakaian. Dalam
restrukturisasi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai
penampilan fisiknya dan cara menyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka
dengan bukti yang jelas.

Referensi

Benjamin J. Sadock, Virginia A. Sadock. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis, Ed. 2.
Lippincott Williams & Wilkins Inc., USA. 2004

Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta.
1998

PPT dr. Danang Nur Adiwibawa tentang Gangguan Neurotik, Somatoform, & PTSD yang
dikuliahkan pada tanggal 04 Januari 2021 di FK UNIZAR

Anda mungkin juga menyukai