Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Ilmu kedokteran psikosomatik adalah salah satu cabang dari ilmu kedokteran
yang mempelajari pengetahuan dan perawatan gangguan fisik dengan latar
belakang psikogenik. Tegangan-tegangan emosional yang muncul dari konflikkonflik yang tidak terpecahkan dan frustasi-frustasi yang berlebihan menyebabkan
reaksi-reaksi tubuh (penyakit-penyakit fisik), misalnya hipertensi, ulkus peptik,
migrain, asma, dan gangguan pada kulit tertentu. Gangguan-gangguan
psikosomatik ini disebut juga neurosis karena gangguan-gangguan dan kerusakan
pada beberapa bagian tubuh disebabkan oleh kesulitan mental atau emosional.1
Gangguan-gangguan psikosomatik harus dibedakan dari gangguan-gangguan
somatoform. Pada kedua macam gangguan ini, penyebabnya adalah psikologis
dan simptomnya adalah fisik. Perbedaannya adalah pada gangguan-gangguan
psikosomatik, ada kerusakan fisik (misalnya ulkus peptik adalah luka-luka dalam
lapisan perut), sedangkan pada gangguan-gangguan somatofom tidak ada
kerusakan fisik (misalnya individu mengalami sakit perut tetapi perutnya tetap
dalam kondisi baik. Istilah somatoform digunakan karena tidak ada kerusakan
fisik, simtomnya hanya mengambil wujud gangguan somatik.2
Keluhan psikosomatik sering ditemukan pada praktik klinis sehari-hari.
Dokter umum juga seringkali mendapati pasien dengan keluhan psikosomatik.
Kepustakaan melaporkan lebih dari 50% pasien dengan keluhan fisik yang tidak
mempunyai penyebab objektif dari keluhannya itu. Keluhannya bisa dari
kelelahan, nyeri dada, batuk, nyeri punggung, napas pendek, hingga berbagai
keluhan yang melibatkan organ tubuh. Keluhan psikosomatik sebaiknya dikaji
dengan pendekatan biopsikososial. Dalam praktik sehari-hari, keluhan tersebut
dapat diatasi dengan kemampuan komunikasi yang baik dari dokter yang
merawat.
Rasa tertarik dokter terhadap keluhan pasien, empati, dan apresiasi terhadap
pasien, serta memberikan kepastian pengobatan sering membuat pasien dengan
keluhan psikosomatik menjadi lebih baik. Sayangnya hal itu seringkali tidak

dilakukan dengan baik dan menyebabkan pasien berpindah-pindah dokter untuk


mencari jawaban akan keluhannya. Pasien seperti itu sering dikenal dengan
sebutan pasien sulit yang sering menimbulkan rasa frustasi pada pasien dan juga
dokter.3-6
Hipertensi merupakan keadaan yang sering ditemui dalam kehidupan seharihari. Beberapa orang mengeluhkan sakit atau rasa berat di kepala bagian belakang,
dan ketika diperiksa, ternyata tekanan darahnya tinggi. Hipertensi diperkirakan
menjadi penyebab kematian sekitar 7,1 juta orang di seluruh dunia atau sekitar
13% dari total kematian penduduk dunia.7
Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah
meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih
keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika
dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama
organ-organ vital seperti jantung dan ginjal.8
Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada
kriteria diagnosis JNC VII 2003 (Joint National Committee), yaitu hasil
pengukuran tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90
mmHg. Kriteria JNC VII 2003 (Joint National Committee) hanya berlaku untuk
umur 18 tahun, maka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan
darah dihitung hanya pada penduduk umur 18 tahun.
Prevalensi Hipertensi atau tekanan darah di Indonesia cukup tinggi. Selain
itu, akibat yang ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Hipertensi, merupakan salah satu faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap
kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sering tidak
menunjukkan gejala, sehingga baru disadari bila telah menyebabkan gangguan
organ seperti gangguan fungsi jantung atau stroke. Tidak jarang hipertensi
ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau
datang dengan keluhan lain.9,10
Hipertensi telah berdampak terhadap satu miliar penduduk di dunia, yang
berujung terhadap serangan jantung dan stroke. Peneliti telah memperkirakan
bahwa saat ini peningkatan tekanan darah membunuh sembilan juta penduduk
setiap tahunnya.11

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Tahun 2013, mengemukakan


prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 25,8% berdasarkan umur 18 Tahun
dan prevalensi hipertensi di Sulawesi Selatan menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar Depkes RI Tahun 2013, mencapai 28,1%.
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang sering pada jaman ini. Ada
yang menyebut jaman ini sebagai jaman ansietas. Sehingga merupakan suatu
kemungkinan bahwa meningkatnya frekuensi hipertensi berhubungan dengan
adanya gangguan psikosomatik selain bertambahnya usia serta faktor resiko lain.
Penelitian tentang faktor psikososial dan faktor sosiokultural hinggasaat ini
mendapatkan hubungan yang lebih nyata bahwa perubahan hemodinamik,
peningkatan tekanan darah berhubungan dengan faktor psikologis, emosional,
ansietas, depresi dan faktor psikososial lainnya, seperti white coat hypertyension.12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan Psikosomatis
1. Definisi gangguan psikosomatis
Gangguan psikosomatik ialah gangguan atau penyakit
dengan gejala-gejala yang menyerupai penyakit fisis dan
diyakini

adanya

hubungan

yang

erat

atara

suatu

peristiwa psikososisal tertentu dengan timbulnya gejalagejala tersebut.


Ada juga yang memberikan batasan bahwa gangguan
psikosomatik merupakan suatu kelainan fungsional suatu
alat atrau system organ yang dapat dinyatakan secara
obyektif, mislanya danya spasme, hipo atau hipersekresi,
perubahan kondisi saraf dan lainnya. keadaan ini dapat
disertai adanya kelainan organik/struktural sebagai akibat
gangguan fungsional yang sudah berlangsung lama.
Pada kenyataannya gangguan fisis dapat disebabkan
oelh gangguan psikis dan sebaliknya gangguan-gangguan
psikis dapat disebabkan oleh kondisi somatik medis
seseorang. Ada yang menyatakan setiap penyakit dapat
disebut psikosomatik sebab tidak ada penyakit somatic
yang sepenuhnya bebas dari gejala psikis dan sebaliknya
gangguan-gangguan psikis sering bermanifestasi berupa
gangguan-gangguan somatik.
Menurut JC Heinroth yang dimaksud dengan gangguan
psikosomatik ialah adanya gangguan psikis dan somatik
yang

menonjol

dan

tumpang

tindih.

berdasarkan

pengertian dan kenyataan di atas dapat disimpulkan


bahwa yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik
adalah gangguan atau penyakit yang ditandai oleh
keluhan-keluhan

psikis

dan

somatik

yang

dapat

merupakan kelainan fungsional suatu organ dengan


ataupun tanpa gejala obyektif dan dapat pula bersamaan

dengan kelainan organik/struktural yang berkaitan erat


dengan stressor atau peristiwa psikososial tertentu.12
Gangguan fungsional yang ditemukan bersamaan
dengan gangguan structural organis dapat berhubungan
sebagai berikut:
Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan
atau mempengaruhi timbulnya gangguan structural
seperti asma bronchial, hipertensi, penyakit jantung

koroner, arthritis rheumatoid, dll


Gangguan
atau
kelainan

structural

dapat

menyebabkan gangguan psikis dan menimbulkan


gejala-gejala

gangguan

fungsional

seperti

pada

pasien penyakit kanker, penyakit jantung, gagal

ginjal,dll
Gangguan fungsional dan structural organic berada
bersamaan oleh sebab yang berbeda (suatu ko-

insidensi)
2. Stres. Stresor dan Gangguan Psikosomatik
Pengertian Stres
Secara umum stres sebenarnya

memberikan

pengertian,

gangguan psikosomatik, sehingga tidak jarang dalam praktek


kedokteran istilah stres cenderung digunakan bagai suatu diagnosis.
Oleh karena itu perlu dipahami etui pengertian tentang stres dalam
kaitannya dengan gangguan psikosomatik.
Sebenarnya istilah stres bisa diartikan sebagai stres fisis maupun
stres fisik atau lingkungan pikis. Tetapi secara umum dan populer
yang dimaksud stres diartikan sebagai stres psikis. Selanjutnya yang
dimaksud dengan stres ialah stres psikis.
Dari sudut pandang ilmu kedokteran, menurut Hans Selye
seorang ahli fisiologi dan pakar stres yang dimaksud dengan stres
ialah suatu respons tubuh yang tidak spesifik terhadap aksi atau
tuntutan atasnya. Jadi merupakan respons automatik tubuh yang
bersifat adaptif pada setiap perlakuan yang menimbulkan perubahan
fisis atau emosi yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi fisis
yang optimal suatu organisme. Dari sudut pandang psikologis stres

didefinisikan sebagai suatu keadaan internal yang disebabkan oleh


kebutuhan psikologis tubuh, atau disebabkan oleh situasi lingkungan
atau sosial yang potensial berbahaya, memberikan tantangan,
menimbulkan perubahan-perubahan atau memerlukan mekanisme
pertahanan seseorang. Baik dari sudut pandang kedokteran maupun
psikologis, dalam keadaan stres terjadi perubahan-perubahan psikis,
fisiologis, biokemis dan Iain-Iain reaksi tubuh di samping adanya
proses adaptasi. Pada saat perubahan itu sudah mengganggu fungsi
psikis dan somatik, timbul keadaan yang disebut distres, yang secara
klinis merupakan gangguan psikosomatik. Untuk istilah stres yang
digunakan kalangan medis untuk diagnosis akan lebih tepat bila
dipakai istilah

distres

atau

dengan menyebutkan

gangguan

psikosomatik tertentu.
Pengertian Stresor
Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang. Karena adanya
Stresor

terpaksa

seseorang

harus

menyesuaikan

diri

untuk

menanggulangi stresor yang timbul. Dengan perkataan lain jelaslah


bahwa stresor ialah suatu keadaan yang dapat menimbulkan stres.
Jenis-jenis stresor dapat dikelompokkan sebagai berikut: masalah
perkawinan, masalah keluarga, masalah hubungan interpersonal,
masalah pekerjaan, lingkungan hidup, masalah hukum, keuangan,
perkembangan, penyakit fisik, dan Iain-Iain. Adapula yang membagi
stresor menjadi;
stresor fisis seperti panas, dingin, suara bising dan sebagainya
stresor social seperti

keadaan sosial, ekonomi,

politik,

pekerjaan, karir, masalah keluarga, hubuntgan interpersonal,


dan Iain-Iain
stresor psikis misalnya frustrasi, rendah diri, perasaan berdosa,
masa depan yang tidak jelas dan sebagainya
Psikofisiologi dan Psikopatologi
Walaupun

patofisiologi

timbulnya

kelainan

fisis

yang

berhubungan dengan gangguan psikis/emosi belum seluruhnya dapat

diterangkan namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian


para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Gangguan psikis/konflik
emosi yang menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti
oleh perubahan-perubahan fisiologis dan biokemis pada tubuh
seseorang. Perubahan fisiologi ini berkaitan erat dengan adanya gangguan
pada sistem saraf autonom vegetatif, sistem endokrin dan sistem imun.
Oleh karena itu, belakangan ini perubahan-perubahan fisiologi
tersebut dapat diterangkan dengan bidang ilmu baru yaitu psikoneuro-endokrinologi atau psikoneuro-imunologi atau ada yang
memakai istilah psiko-neuro-imuno-endokrinologi. Perubahan pada
ketiga sistem tersebut terjadi bersamaan dan saling tumpang tindih.
B. Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi berasal dari dua kata, hiper yang artinya tinggi dan tensi yang
artinya tekanan darah. Menurut American Society of Hypertension
(ASH), hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala yang
berasal dari jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) yang
progresif, sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling
berhubungan.7 Hipertensi adalah suatu kondisi medis yang kronis dimana
tekanan darah meningkat diatas tekanan darah normal.13
Klasifikasi Hipertensi
Kategori
Optimal
Normal
Normal Tinggi
Grade I Hypertension
Sub Group: Borderline
Grade 2 Hypertension
Grade 3
Isolated
Systolic

Tekanan Sistolik Tekanan


(mmHg)
<120
<130
130-139
140-159
140-149
160-179
180

Diastolik

(mmHg)
<80
<85
85-89
90-99
90-94
100-109
110

140
<90
Hypertension
Sub Group: Borderline
140-149
<90
Tabel : Klasifikasi hipertensi menurut WHO_ISH tahun 1999.14
Klasifikasi hipertensi menurut WHO berdasarkan tekanan diastolik,
yaitu:

Hipertensi derajat I, jika tekanan diastoliknya 95-109 mmHg.


Hipertensi derajat II, Jika tekanan diastoliknya 110-119 mmHg.

Hipertensi derajat III, jika tekanan diastoliknya 120 mmHg.7


2. Etiologi hipertensi
Hipertensi menurut etiologinya dibagi menjadi 2:
1) Hipertensi Primer
Juga disebut hipertensi esensial atau idiopatik dan merupakan

95% dari kasus-kasus hipertensi. Penyebabnya merupakan interaksi


yang kompleks antara faktor genetik dan berbagai faktor
lingkungan.13
2) Hipertensi Sekunder
Sekitar 5% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya, dan dapat
dikelompokkan, seperti Gangguan ginjal yang dapat menimbulkan
hipertensi yaitu, glomerulonefritis akut, penyakit ginjal kronis,
penyakit polikistik, stenosis arteri renalis, vaskulitis ginjal, dan
tumor penghasil renin. Gangguan pada sistem endokrin juga dapat
menyebabkan

hipertensi,

dintaranya

seperti

hiperfungsi

adrenokorteks (sindrom Cushing, aldosteronisme primer, hiperplasia


adrenal

kongenital,

ingesti

licorice),

hormon

eksogen

(glukokortikoid, estrogen, makanan yang mengandung tiramin dan


simpatomimetik, inhibitor monoamin oksidase), feokromositoma,
akromegali, hipotiroidisme, dan akibat kehamilan. Gangguan pada
sistem kardiovaskular seperti koarkasio aorta, poliarteritis nodosa,
peningkatan volume intravaskular, peningkatan curah jantung, dan
rigiditas aorta juga dapat menyebabkan hipertensi, begitu pula
dengan gangguan neurologik seperti psikogenik, peningkatan
intrakranium, apnea tidur, dan stres akut.13
3. Manifestasi Klinik
Gejala Hipertensi biasanya tidak spesifik. Pada hipertensi primer yang
belum mengalami komplikasi, pasien biasanya tidak

bergejala atau

hanya mengeluhkan sakit kepala dan tegang di belakang leher. Apabila


sudah terjadi kerusakan organ barulah bergejala sesuai organ yang
terganggu.
Hipertensi

sekunder

penyebabnya.13
4. Komplikasi Hipertensi

biasanya

keluhan

mengarah

ke

penyakit

Komplikasi penting lain tekanan darah tinggi ialah perkembangan


lambat laun penyakit dinding pembuluh arteri. Pada umumnya, ini
terjadi karena stress, yang khusus adalah arteri-arteri otot jantung, aorta,
pembuluh darah otak, pembuluh darah retina, organ yang paling peka
dibalik mata. Atheroma (suatu endapan lemak pada dinding lapisan
arteri) dan kemudian artherosclerosis berkembang. Dinding-dinding
pembuluh darah itu mengalami pengapuran dan tidak elastis. Setelah hal
ini terjadi, maka akan terjadi pembekuan (thrombus), dan inipun akan
menimbulkan komplikasi. Musibah di daerah otak dapat mengakibatkan
kematian yang tiba-tiba.
Pembuluh darah ginjal sangat mudah terganggu karena tekanan darah
yang terus-menerus berubah. Patologi ginjal dan penyakit ginjal boleh
jadi akan timbul dan mgekibatkan kematian. Sering pembuluh darah
retina juga terpengaruh. Pemeriksaan retina akan dapat menunjukkan
beratnya dan perkembangannya tekanan darah tinggi. Yang biasa
ditemukan ialah garis-garis berwarna perak. Apabila nadi menindih
pembuluh darah halus maka akan terjadi penyempitan yang disebut
nipping. Eksudat (bahan yang merembes melalui dinding pembuluh
darah ke dalam jaringan sekitarnya) adalah komplikasi yang lebih
parah.14
5. Patofisiologi Hipertensi
Pada kebanyakan orang tekanan arteri adalah normal dan dipertahankan
dalam suatu batas relatif sempit. Ini berarti bahwa sistim pengawasan
diintegrasikan sedemikian rupa sehingga apabila tekanan meningkat
harus segera diturunkan. (Buku Ajar Kardiologi, 2004)
Tingkat tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan
oleh interaksi berbagai faktor genetik, lingkungan dan demografik yang
mempengaruhi dua variabel hemodinamik: curah jantung dan resistansi
perifer. Total curah jantung dipengaruhi oleh volume darah, sementara
volume darah sangat bergantung pada homeostasis natrium. Resistansi
perifer total terutama ditentukan di tingkat arteriol dan bergantung pada
efek pengaruh saraf dan hormon. Tonus vaskular normal mencerminkan
keseimbangan antara pengaruh vasokontriksi humoral (termasuk
angiotensin II dan katekolamin) dan vasodilator (termasuk kinin,

prostaglandin,
memperlihatkan

dan

oksida

nitrat).

autoregulasi;

Resistensi

peningkatan

pembuluh

aliran

darah

juga

memicu

vasokonstriksi agar tidak terjadi hiperperfusi jaringan. Faktor lokal lain


seperti pH dan hipoksia, serta interaksi saraf (sistem adrenergik a- dan
-), mungkin penting. Ginjal berperan penting dalam pengendalian
tekanan darah, melalui sistem renin-angiotensin, ginjal mempengaruhi
resistensi

perifer

dan

homeostasis

natrium.

Angiontensin

II

meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan resitensi perifer


(efek langsung pada sel otot polos vaskular) dan volume darah (stimulasi
sekresi aldosteron, peningkatan reabsorbsi natrium dalam tubulus distal).
Ginjal juga mengasilkan berbagai zat vasodepresor atau antihipertensi
yang mungkin melawan efek vasopresor angiotensin. Bila volume darah
berkurang, laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate) turun
sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus proksimal
sehingga natrium ditahan dan volume darah meningkat.
Sembilan puluh persen sampai 95% hipertensi bersifat idiopatik
(hipertensi esensial). Beberapa faktor diduga berperan dalam defek
primer pada hipertensi esensial, dan mencakup, baik pengaruh genetik
maupun lingkungan. Penurunan ekskresi natrium pada tekanan arteri
normal mungkin merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial.
Penurunan

ekskresi

natrium

kemudian

dapat

menyebabkan

meningkatnya volume cairan, curah jantung, dan vasokonstriksi perifer


sehingga tekanan darah meningkat. Pada keadaan tekanan darah yang
lebih banyak natrium untuk mengimbangi asupan dan mencegah retensi
cairan. Oleh karena itu, ekskresi natrium akan berubah, tetapi tetap
steady state (penyetelan ulang natriuresis tekanan). Namun, hal ini
menyebabkan peningkatan stabil tekanan darah. Hipotesis alternatif
menyarankan bahwa pengaruh vasokonstriktif (faktor yang memicu
perubahan struktural langsung di dinding pembuluh sehingga resistensi
perifer meningkat) merupakan penyebab primer hipertensi. Selain itu,
pengaruh vasikonstriktif yang kronis atau berulang dapat menyebabkan
penebalan struktural pembuluh resistensi. Faktor lingkungan mungkin
memodifikasi ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stres, kegemukan,

merokok, aktifitas fisik berkurang, dan konsumsi garam dalam jumlah


besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi.
6. Diagnosis Hipertensi
Tekanan darah sering diukur dengan alat yang disebut sebagai
sphygmomanometer, yang terdiri dari stetoskop, cuff lengan, pompa dan
katup.
Tekanan darah diukur melalui dua arah : sistol dan diastol
Tekanan darah sistol adalah tekanan maksimum saat jantung

berkontraksi
Tekanan darah diastol adalah tekanan minimum diantara jantung
berkontraksi

Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter air raksa (mmHg) dan
ditulis dengan sistol diatas diastol ( sebagai contoh 120/80 mm Hg ).
Menurut guideline yang terbaru, tekanan darah yang normal adalah
kurang dari 120/80 mm Hg. Hipertensi adalah tekanan darah yang
melebihi 140/90 mmHg. Untuk orang-orang yang berusia lebih dari 60
tahun, dikatakan tekanan darah apabila melebihi 150/90 mmHg.
Tekanan darah dapat meningkat juga berkurang, tergantung dari usia,
kondisi jantung, emosi, aktivitas dan obat-obatan yang di konsumsi. Satu
kali pemeriksaan tekanan darah lalu didapatkan hasil yang tinggi, belum
menjadi indikasi seseorang menderita tekanan darah darah tinggi atau
hipertensi. Sangat dibutuhkan untuk memeriksa tekanan darah pada
waktu yang berbeda, saat istirahat nyama seitdaknya lima menit. Untuk
mendiagnosa hipertensi, dibutuhkan setidaknya tiga kali pemeriksaan dan
ketiga-tiganya mengindikasikan adanya peningkatan tekanan darah.
7. Penanganan Hipertensi
1) Pengobatan Farmakologis
Lima golongan obat yang diterima secara universal sebagai obat
antihipertensi adalah: Diuretik, Anti-adrenergik, Vasodilator,
Calsium Channel Blockers, Obat-obat yang bekerja pada system
RAA (Renin Angiotensin Aldosteron).13
2) Pengobatan Non-Farmakologis
Memperhatikan pola hidup sehat, diantaranya: melakukan diet
hipertensi,

menghentikan

kebiasaan

merokok,

menurunkan

kelebihan berat badan, melakukan latihan fisik seperti olahraga,


meningkatkan asupan buah dan sayur, menurunkan asupan lemak.7
C. Aspek psikosomatik pada pasien hipertensi
Keluhan inisial yang tidak khas seperti sakit kepala, pusing, jantung
berdebar-debar, insomnia, tergantung dari sensibilitas pribadi. Keadaan ini
dapat menjadikan hipertensi suatu penyakit yang lama tersembunyi
(Silent). Seringkali penyakit baru ditemukan pada saat pemeriksaan rutin.
Keluhan psikis yang mencolok ialah ketegangan, nervus, kegelisahan dan
dorongan bergerak yang tidak jelas tanpa tujuan. Gejala awal yang
sebenarnya seperti ketegangan, kegelisahan dan sebagainya sebagai
gangguan psikosomatik bila diketahui lebih dini maka adanya hipertensi
dapat diketahui lebih awal, sehingga komplikasi organic dapat dicegah.
Namun, pengamatan berkesinambungan tentang situasi psikososial
pekerjaan dan keluarga dapat menentukan ada tidaknya koinsidensi
gangguan tersebut serta mempunyai dasar penilaian yang lebih dapat
dipercaya daripada penilaian sesaat saja.
PSIKOFISIOLOGI DAN PSIKOPATOLOGI
Psikofisiologi. Hipertensi oleh banyak peneliti dianggap sebagai
suatu penyakit yang multifaktorial. Tak diragukan adanya komponen
herediter. Selain faktor psikis yang menstimulasi efek simpatikotonik,
sebenarnya pengaruh lingkungan sekitarnya dan sosio-kultural ikut
berperan. Faktor-faktor psikis situasional yang menyebabkan kenaikan
tekanan darah, merupakan model outlet yang aman sebagai reaksi normal
fisiologis. Hal ini berhubungan dengan suatu tahap kesiapsiagaan pada
manusia,

yang

dengan

mengerahkan

mekanisme

ergotrop,

mempertaruhkan kekuatan (energi) untuk berjuang atau melarikan diri.


Jadi sebenarnya merupakan suatu reaksi psikosomatik, yang mereda
kembali dengan behavior motorik atau agresifitas atau bentuk penyaluran
lain. Tetapi bila ini tidak terjadi karena sebab internal maupun eksternal
yang tidak dapat diatasi oleh individu tersebut, maka efek fisiologis
tersebut akan berubah menjadi reaksi patologis. Dalam waktu lama akan

menyebabkan peningkatan tekanan darah yang menetap sehingga pada


akhirnya menjadi hipertensi.
Menurut Greon mekanisme utama perkembangan menjadi hipertensi
yaitu perubahan suatu reaksi fisiologis, yang dihubungkan dengan
behavior readiness, oleh suatu reaksi neuroviseral sebagai ganti aktivitas
neuromuscular yang kuat dan volume semenit jantung yang meningkat,
serta resistensi pembuluh darah yang meningkat pula. Selain itu telah
banyak dibuktikan pula bahwa stress atau faktor psikis mempunyai peran
terhadap kejadian aterosklerosis yang merupakan salah satu penyebab
hipertensi.
Psikodinamik. Ketegangan menanti (anticipation), karena rasa takut
yang berlangsung lama, digambarkan sebagai pembangkit penyakit dapat
dijelaskan dengan model psikosomatik: ketegangan terdiri atas agresi
hebat terutama terthadap orang-orang yang diduga, atau memang
sebenarnya berwibawa, dan berwewenang, yang memperberat lagi
definisinya. Biasanya terjadi peruncingan konflik yang menimbulkan
stress, yang tidak dapat dipecahkan dan berlangsung kronik. Juga
membangkitkan penyakit ialah situasi hidup, dimana harapan untuk
pengakuan atas prestasinya tidak ada, atau dikecewakan. Tidak selalu
diperlukan situasi beban yang objektif. Yang menentukan ialah realotas
subjektif dengan angan-angan dan bahaya imaginer sebagai akibat konflik
masa kanak-kanak yang tidak terpecahkan, yang biasanya tidak disadari,
tetapi mempuyai efek psikodinamika yang nyata.
Kepribadian. Menurut hipotesis Greon pasien hipertensi, sebagian
secara genetis, sebagian secara didapat, mempunyai predisposes untuk
hipertensi, yang menjadi kenyataan dalam situasi konflik yang berjangka
lama. mereka memiliki kepribadian obsesif kompulsif dengan predisposisi
emosional yang tinggi, kebutuhan cinta, kebutuhan berkuasa yang
dikecewakan dengan impuls agresif yang kuat sebagai reaksinya, tetapi
juga penekanan agresi yang kuat.
Anamnesis pasien hipertensi biasanya menunjukkan dasar riwayat
hidup untuk pembentukan struktur penolakan obsesif-kompulsif pada
agresivitas membara yang tidak disadari, yang bermanifestasi sebagai
hipertensi. Bila anak agresif, menjadi takut karena kehilangan cinta, maka

kebencian dan rasa takut berangsur-angsur menjadi represi dan


reaction-formation. Menurut Alexander dalam masa pubertas atau
sebagai akibat kejadian traumatic mengancam, terjadi suatu perubahan
tempramen sebagai hasil dari effort ke self-control: dan seorang anak yang
dinamik berubah menjadi anak yang menguasai diri san salah. Orang yang
berada dibawah tekanan, yang dapat dilihat dari pola impian dan
ketegangan otot-otot; tekanan, yang harus dikuasai dengan kekerasan.
Agresivitas laten yang tak tertahan lagi dapat diproyeksikan ke lingkungan
sekitarnya; pasien menanti-nanti serangan paranoid sensitive dari luar,
yang meninggikan ketegangan rasa takut, agresi, sehingga juga disini
harus dilakukan teknik-teknik penyangkalan. Sebagai hasil reaction
formation, yang digambarkan sebagai penundukan dengan protes, dimana
kebutuhan sendiri untuk kekuasaan dan pantangn mundur disisihkan,
namun kebutuhan penghargaan dengan pengakuan atas prestasi harus
dipuaskan.
PENDEKATAN TERAPI. Karena sifat etiologi yang multifaktorial,
kebanyakan pasien mebutuhkan terapi kombinasi, yaitu tergantung dari
penitikberatan pribadi, diberikan terapi kombinasi dengan obat, diet, dan
psikoterapi superfisial terpusat pada konflik. Bila perlu dapat dilakukan
psikoterapi perilaku atau psikoterapi analisis. Latihan autogen (autogenic
training), sebagai latihan rileks pada hakikatnya sangat baik, namun
seringkali menambah rasa takut dan kegelisahan, karena aktivitas defense
yang menutup-nutupi rasa takut dihilangkan, sehingga konflik internal
malah dialami lebih jelas. Perubahan cara hidup, dengan membicarakan
bersama pasien rintangan yang menghalangi pembagian waktu kerja dan
istirahat (libur dan cuti) yang bijaksana.
Terapi dengan obat, seringkali perlu diberikan, namun efek samping
harus diperhatikan. Reserpin misalnya, juga mempunyai efek depresi.
Kecenderungan hipokondria jangan difiksasi, karena bagaimanapun juga
pasien masih sedikit banyak mampu menurunkan tekanan darahnya
dengan menyelami konfliknya. Pada pengukuran tekanan darah harus
diambil jalan tengah antara kerahasiaan yang menakutkan, dan overestimate angka-angka tekanan darah. pada pengukuran tekanan darah pada

pasien hipertensi labil, janganlah dengan wajah yang angker, tetapi juga
jangan dengan wajah keprihatinan yang berlebihan. Lebih bermanfaat
ialah bicara dengan pasien dan menanyakan tentang dasar-dasar problem
actual, yang meniggikan ketegangan. Diikhtiarkan, agar pasien dapat
mengungkapkan problem tersebut dengan kata-kata yang akhirnya dapat
melegakkan keadaan (katharsis).
Biofeedback dapat berhasil pada mereka yang tidak tersedia atau
tidak mampu psikoterapi. Dasar cara biofeedbacki ialah anggapan, bahwa
pasien hipertensi telah belajar reaksi fisiologis secara salah, yang secara
terarah dapat dipelajari kembali dengan laporan baik (feedback) optis atau
akuistik aktivitas simpatik (diukur dengan resistance kulit, ketegangan
otot-otot melalui EMG-feedback), atau tingginya tekanan darah.
Kurang tepat mengobati pasien hipertensi dengan obat-obat, tanpa
memperhatikan psikodinamik penyakit. hanya dengan penguranagn
sebagian dari defense terhadap emosi, atau pengurangan obsesi-kompulsi
yang

menyiksa

dan

melampaui

kemampuannya,

tidak

hanya

mempengaruhi baik hipertensintya, melainkan juga memperbaiki fungsi


psikis dan kualitas hidupnya.12

BAB III
KESIMPULAN
Gangguan psikosomatik merupakan faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi medis. Konflik psikologis yang secara bermakna
mengubah

fungsi

somatik

merupakan

tanda

gangguan

psikosomatik.
Hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala yang berasal dari jantung
dan pembuluh darah (kardiovaskuler) yang progresif, sebagai akibat dari kondisi
lain yang kompleks dan saling berhubungan. Hipertensi adalah suatu kondisi
medis yang kronis dimana tekanan darah meningkat diatas tekanan darah normal..
Aspek psikosomatis pada pasien hipertensi dipengaruhi oleh
berbagai faktor yakni; faktor psikis, pengaruh lingkungan sekitar
dan sosio-kultural.

DAFTAR PUSTAKA
1. Semiun, yustinus. Kesehatan Mental 1.Pandangan umum mengenai
penyesuaian

diri

dan

kesehatan

mental

serta

teori-teori

yang

terkait.yogyakarta:KANISIUS.
2. Semiun,Yustinus. Kesehatan Mental 2. Gangguan-gangguan kepribadian,
reaksi-reaksi simtom khusus, gangguan penyesuaian diri anak-anak luar
biasa, dan gangguan mental yang berat.yogyakarta:kanisius 2006.
3. Simon GE, Gureje O. Stability of somatization disorder and somatization
symptoms among primary care patients. Arch Gen Psychiatry. 1999;56:905.
4. Khan AA, Khan A, Harezlak J, Tu W, Kroenke K. Somatic symptoms in
primary care: Etiology and outcome. Psychosomatics. 2003;44:4718.
5. Interian A, Allen LA, Gara MA, Escobar JI, Diaz-Martinez AL. Somatic
complaints in primary care: Further examining the validity of the patient
health questionnaire (PHQ-15). Psychosomatics. 2006;47:392-8.
6. Bronheim HE, Fulop G, Kunkel EJ, Muskin PR, Schindler BA, Yates WR,
et al. The academy of psychosomatic medicine practice guidelines for
psychiatric consultation in the general medical setting. Psychosomatics.
1998;39:S8-30.
7. Umar Wadda A. Bekam untuk 7 Penyakit Kronis. Solo: Thibbia. 2012
8. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Sumber: www.Riskesdas.co.id (diakses tanggal 13 Oktober 2014).

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Masalah Hipertensi di


Indonesia Jakarta Mei 2012. sumber: www.Kemenkes.co.id (Diakses
tanggal 13-Oktober-2014)
10. Akbar Noor. Thesis: Pengaruh Bekam Basah Terhadap Kolestrol dan
Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi di Semarang. Semarang: FKUndip. 2013
11. WHO 2013. 2014 Evidence-Based Guidline for the Management of High
Blood Pressure in Adults Report From the Members Appointed to the
Eight Joint National Committee (JNC 8). Sumber: www.jsc130010.pdf
(Diakses: tanggal 7-Oktober-2014)
12. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. BUKU
AJAR ILMU PENYAKIT DALAM. Jilid III Edisi V. Jakarta: Internal
Publishing. 2009
13.
Kabo, Peter. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular
Secara Rasional. Jakarta: FK-UI. 2011.
14. Hendraswati Desyara Endarti. 2008. Beberapa Faktor Resiko Hipertensi.
Universitas Indonesia. Sumber: www.digital_123490-s-5350-beberapafaktor-Literatur. (diakses: 7-Oktober-2014)

Anda mungkin juga menyukai