Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA Referat & Laporan kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN Desember 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFARAT: GANGGUAN KONVERSI


LAPORAN KASUS: SKIZOFRENIA PARANOID

Disusun Oleh:
Luthfi Thufail Akhmad
C014182025

Residen Pembimbing :
dr. Sri Wati Astuti

Supervisor Pembimbing :
Dr. dr. Sonny T Lisal, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Luthfi Thufail Akhmad
NIM : C014182025
Judul Referat : Gangguan Konversi
Judul Laporan Kasus : Skizofrenia Paranoid

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Januari 2020

Mengetahui,

Pembimbing Supervisor Residen Pembimbing

Dr. dr. Sonny T Lisal, Sp.KJ dr. Sri Wati Astuti


BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan konversi juga disebut disosiatif karena dahulu di anggap terjadi

hilangnya asosiasi antara berbagai proses mental seperti identitas pribadi dan memori,

sensori dan fungsi motorik. Ciri utamanya adalah hilangnya fungsi yang tidak dapat

dijelaskan secara medis. Pada penderita didapatkan hilangnya fungsi seperti memori

(amnesia psikogenik), berjalan-jalan dalam keadaan trans (fugue), fungsi motorik

(paralisis dan pseudoseizure), atau fungi sensorik (anesthesia sarung tangan dan kaus

kaki, glove and stocking anaesthesia). Istilah konversi didasarkan pada teori kuno

bahwa perasaan dan anxietas dikonversikan menjadi gejala-gejala dengan akibat

terselesaikannya konflik mental (keuntungan primer) dan didapatkannya keuntungan

praktis seperti perhatian dari orang lain (keuntungan sekunder).1


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gangguan Konversi

Gangguan konversi juga disebut disosiatif karena dahulu di anggap terjadi

hilangnya asosiasi antara berbagai proses mental seperti identitas pribadi dan memori,

sensori dan fungsi motorik.1 Disosiasi didefinisikan sebagai mekanisme defense yang

tidak disadari yang melibatkan pemisahan dari beberapa kelompok proses mental atau

perilaku dari aktivitas psikik seseorang. Gangguan disosiatif melibatkan mekanisme

disosiasi, sehingga terjadi gangguan dalam 1 atau lebih fungsi mental seperti memori,

identitas, persepsi, kesadaran, atau perilaku motoric. Gangguan disosiasi

dipertimbangkan sebagai mekanisme pertahanan diri menghadapi trauma psikologik.2

Gangguan disosifatif dibedakan atas (menurut DSM V) :

a. Gangguan disosiatif identitas

b. Amnesia disosiatif

c. Gangguan depersonalisasi

d. Gangguan disosiatif spesifik

e. Gangguan disosiatif yang tidak spesifik

2.1.1 Gangguan Disosiatif Identitas

a. Gambaran Umum

Gangguan identitas disosiatif adalah suatu gangguan disosiatif kronis,

dan penyebabnya hampir selalu menyebabkan peristiwa traumatik,


biasanya penyiksaan fisik atau seksual. Konsep kepribadian

mengesankan suatu integgrasi cara seseorang tiap periode yang berpikir,

berperasaan, dan berkelakuan dan pengungkapan diri sendiri sebagai

suatu kesatuan. Orang dengan gangguan identitas disosiatif memiliki

dua atau lebih kepribadian yang terpisah, masing-masing menentukan

perilaku dan sikapnya selama tiap periode jika berada dalam kepribadian

yang dominan. Gangguan identitas disosiatif biasanya dianggap sebagai

gangguan disosiatif yang paling serius, walaupun beberapa klinisi yang

mendiagnosis berbagai pasien dengan gangguan ini telah menyatakan

bahwa mungkin terdapat keparahan yang lebih luas dibandingkan yang

diperkirakan sebelumnya.3

b. Epidemiologi

Laporan anecdotal dan riset tentang gangguan identitas disosiatif

adalah bervariasi dalam perkiraannya tentang prevalensi gangguan. Pada

satu sisi ekstrim, beberapa penelitian percaya bahwa gangguan identitas

disosiatif adalah sangat jarang; dan pada sisi ekstrim lain, beberapa

penelitipercaya bahwa gangguan identitas disosiatif adalah sebagian

besar kurang dikenali (underrecognize). Penelitian terkendali baik telah

melaporkan bahwa dari 0,5 sampai 2 persen pasien yang dirawat di

rumah sakit kemungkinan sebanyak 5 persen dari semua pasien

psikiatrik. Pasien yang mendapatkan diagnosis gangguan identitas

disosiatif kebanyakan adalah wanita-90 sampai 100 persen dan sebagian

besar sampel yang dilaporkan. Tetapi, banyak klinisi dan peneliti


percaya bahwa laki-laki adalah jarang dialporkan dalam sampel klinis,

karena, menurut anggapan mereka, sebagian besar laki-laki dengan

gangguan memasuki sistem pengadilan kriminal, bukannya sistem

kesehatan mental.3

Gangguan paling sering ditemukan pada masa remaja akhir dan

dewasa muda, dengan rata-rata usia saat diagnosis adalah 30 tahun,

walaupun pasien biasanya telah memiliki gejala selama 5-10 tahun

sebelum diagnosis. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa

gangguan ini adalah lebih sering ditemukan pada sanak saudara biologis

derajat pertama dari orang dengan gangguan dibandingkan dari populasi

umum.3

c. Etiologi

Penyebab gangguan identitas disosiatif tidak diketahui, walaupun

riwayat pasien hampir selalu (mendekati 100 persen) melibatkan suatu

peristiwa traumatik, paling sering pada masa anak-anak. Pada

umumnya, empat tipe faktor penyebab telah dikenali : (1) peristiwa

kehidupan traumatik, (2) kecendurungan bagi gangguan untuk

berkembang, (3) faktor lingkungan formulatif, dan (4) tidak adanya

dukungan eksternal.3

Peristiwa traumatik biasanya adalah penyiksaan fisik dan seksual

pada masa anak-anak, yang tersering adalah incest. Peristiwa traumatik

lainnya dapat berupa kematian sanak saudara dekat atau teman dekat

selama masa anak-anak dan menyaksikan suatu trauma atau kematian.3


Kecenderungan bagi gangguan untuk berkembang mungkin

didasarkan secara biologis atau psikologis. Berbagai kemampuan

seseorang untuk dihipnotis mungkin merupakan suatu contoh faktor

resiko untuk perkembangan gangguan identitas disosiatif. Epilepsy telah

dihipotesiskan terlibat di dalam penyebab gangguan identitas disosiatif,

dan sejumlah besar aktivitas yang abnormal telah dilaporkan pada

beberapa penelitian pasien yang terkena.3

Faktor lingkungan formulatif yang terlibat dalam patogenesis

gangguan identitas disosiatif adalah tidak spesifik dan kemungkinan

melibatkan faktor-faktor tertentu seperti model peran dan adanya

mekanisme lain yang digunakan untuk menghadapi stres.3

d. Gejala Klinis

1. Pasien dengan gangguan identitas disosiatif sering diperkirakan

memiliki gangguan kepribadian (umumnya gangguan

kepribadian ambang), skizofrenia, atau gangguan bipolar yang

rapid cycling.

2. Perubahan dari kepribadian yang satu ke kepribadian yang lain

terjadi tiba-tiba dan dramatic. Selama dalam status kepribadian

yang satu, umumnya pasien lupa dengan status kepribadian yang

lain.

Transisi dari satu kepribadian ke kepribadian lainnya seringkali

tiba-tiba dan dramatic. Pasien biasanya memiliki amnesia selama

masing-masing kepribadian untuk keberadaan kepribadian lainnya dan


untuk peristiwa yang terjadi saat kepribadian lain adalah dominan.

Tetapi, kadang-kadang, satu kepribadian tidak diikuti oleh amnesia

tersebut dan tetap menyadari sepenuhnya keberadaan, kualitas, dan

aktivitas kepribadian lain. Pada waktu lain, kepribadian disadari semua

atau beberapa diantaranya dengan derajat yang berbeda-beda dan dapat

mengalami yang lain itu sebagai teman, sahabat, atau musuh berat. Pada

kasus klasik, masing-masing kepribadian memiliki suatu kumpulan

ingatan yang berhubungan, sangat kompleks, dan terintegrasi

sepenuhnya dan sikap, hubungan personal, dan pola perilaku yang

karakteristik. Paling sering, kepribadian memiliki nama yang sesuai;

kadang-kadang, diberikan satu atau lebih nama menurut fungsinya-

sebagai contohnya, pelindung. Walaupun beberapa klinisi telah

menekankan bahwa satu atau lebih kepribadian cenderung merupakan

kepribadian yang dominan hak tersebut tidak selalu benar. Pada

kenyataanya, kadang-kadang satu kepribadian menyerupai yang lainnya.

Tetapi, biasanya kepribadian inang (host personality) adalah kepribadian

yang tampil untuk diobati dan membawa nama resmi pasien.

Kepribadian inang tersebut kemungkinan kemungkinan terdepresi atau

gelisah, mungkin memiliki sifat kepribadian masokistik, dan mungkin

tampaknya sangat moral.3

Penampakan pertama kepribadian atau kepribadian-kepribadian

sekunder mungkin spontan atau mungkin timbul berhubungan dengan

apa yang tampak sebagai pencetus (termasuk hypnosis atau wawancara


dengan bantuan obat). Kepribadian mungkin berupa kedua jenis

kelamin, berbagai ras dan usia, dari keluarga yang berbeda dengan asal

keluarga pasien. Kepribadian yang paling sering adalah kekanak-

kanakan. Seringkali, kepribadian adalah berbeda atau berlawanan. Pada

orang yang sama, satu kepribadian mungkin ekstrovert, bahkan

promiskuitas seksual, dan yang lain mungkin introvert, menarik diri, dan

terinhibisi secara seksual.3

Pada pemeriksaan, pasien seringkali tidak menunjukkan sesuatu

yang aneh selain status mentalnya, selain dari kemungkinan amnesia

untuk periode dengan lama yang bervariasi. Seringkali, hanya dengan

wawancara yang panjang atau banyak kontak dengan pasien gangguan

identitas disosiatif seorang klinisi mampu mendeteksi adanya

kepribadian ganda. Kadang-kadang, dengan meminta pasien menulis

catatan harian, klinisi menemukan kepribadian ganda yang terungkap

dalam kesatuan catatan harian. Diperkirakan 60 persen pasien beralih

menjadi kepribadian lain hanya secara kadang-kadang; 20 persen pasien

lainnya tidak hanya memilki episode yang jarang tetapi juga ahli dalam

peralihan tersebut.3

e. Kriteria Diagnosis

Menurut DSM-V kriteria diagnosis untuk gangguan disosiatif

identitas

1. Gangguan identitas yang ditandai oleh dua atau lebih

kepribadian yang berbeda, yang dapat digambarkan dalam


beberapa budaya sebagai pengalaman kepemilikan. Gangguan

pada identitas melibatkan diskontuinitas yang ditandai dalam arti

diri dan rasa hak pilihan, disertai oleh perubahan terkait dalam

pengaruh, perilaku, kesadaran, memori, persepsi, kognisi, dan /

atau fungsi motorik sensorik. Tanda dan gejala ini dapat diamati

oleh orang lain atau dilaporkan oleh individu.

2. Kesenjangan yang berulang dalam mengingat peristiwa sehari-

hari, informasi pribadi yang penting, dan/ atau peristiwa

traumatis yang tidak konsisten dengan lupa biasa.

3. Gejala-gejala tersebut menyebabkan distres atau gangguan klinis

yang signifikan secara social, pekerjaan, atau bidang fungsi

penting lainnya.

4. Gangguan itu bukan bagian normal dari praktik budaya atau

agama yang diterima secara luas. Catatan: Pada anak-anak,

gejalanya tidak lebih baik dijelaskan oleh teman bermain

imajiner atau permainan fantasi lainnya.

5. Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (mis,

pemadaman atau perilaku kacau selama mabuk alkohol) atau

kondisi medis lainnya (mis, kejang parsial kompleks)

f. Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Gangguan identitas disosiatif dapat mulai timbul pada masa kanak,

gejala mirip dengan trance dan disertai dengan gangguan depresi,

periode amnenstik, halusinasi suara, perilaku, perubahan dari tingkat


kemampuan, perilaku bunuh diri atau menyakiti diri sendiri. Makin awal

timbulnya gejala awal prognosisnya makin buruk. Gangguan identitas

disosiatif merupakan gangguan disosiasi yang paling berat dan kronik,

umumnya penyembuhan juga tudak komplit.2

Gangguan identitas disosiatif dapat berkembang pada anak-anak

semuda usia 3 tahun. Pada anak-anak gejala mungkin tampak seperti tak

sadar (trance) dan disertai oleh perubahan kemampuan, gejala gangguan

depresif, periode amnestik, suara-suara halusinasi, penyangkalan

perilaku, dan perilaku bunuh diri atau melukai diri sendiri. Walaupun

adanya predominansi wanita pada gangguan ini, anak yang terkena lebih

mungkin adalah laki-laki dibandingkan perempuan. Pada remaja terjadi

predominansi perempuan. Dua pola gejala pada remaja perempuan yang

terkena telah diamati. Satu pola gejala adalah gaya hidup yang kacau

dengan premiskuitas, pemakaian obat, gejala somatic, dan usaha bunuh

diri. Pasien tersebut dapat diklasifikasikan menderita gangguan

pengendalian impuls, skizofrenia, gangguan bipolar I dengan perputaran

cepat, atau gangguan kepribadian ambang atau histrionik. Pola kedua

ditandai oleh perilaku menarik diri atau kekanak-kanakan. Kadang-

kadang pasien tersebut keliru diklasifikasikan sebagai menderita suatu

gangguan mood, suatu gangguan somatoform, atau gangguan

kecemasan umum. Pada remaja laki-laki dengan gangguan disosiatif,

gejala dapat menyebabkan mereka mendapatkan masalah dengan hukum

atau petugas sekolah, dan mereka akhirnya masuk penjara.3


Semakin awal onset gangguan identitas disosiatif, semakin buruk

prognosisnya. Satu atau lebih kepribadian dapat berfungsi dengan

relative baik, sedangkan yang lainnya berfungsi marginal. Tingkat

gangguan tertentang dari sedang sampai parah, variable penentu adalah

jumlah, tipe, dan kronisitas dari berbagai kepribadian. Gangguan ini

dianggap gangguan disosiatif yang paling parah dan kronis, dan

pemulihan biasanya tidak lengkap. Di samping itu, kepribadian

individual mungkin memiliki gangguan mentalnya masing-masing

secara terpisah; gangguan mood, gangguan kepribadian, dan gangguan

disosiatif lainnya adalah yang paling sering.3

g. Terapi

Pendekatan yang paling manjur untuk identitas disosiatif adalah

psikoterapi tilikan, seringkali disertai dengan hipnoterapi atau teknik

wawancara dengan bantuan obat. Hipnoterapi atau wawancara dengan

bantuan obat dapat berguana dalam mendapatkan riwayat penyakit

tambahan, mengidentifikasi kepribadian yang sebelumnya tidak

dikenali, dan mempercepat abreaksi. Rencana pengobatan psikoterapi

harus dimulai dengan menegakkan diagnosis dan dengan

mengidentifikasi dan mengkarakteristikan berbagai keprbadian. Jika

adanya kepribadian adalah diarahkan kepada perilaku merusak diri

sendiri atau perilaku kekerasan lainnya, ahli terapi harus melibatkan

pasien dan kepribadian yang sesuai dalam kontrak pengobatan


tergantung pada perilaku berbahaya tersebut. Perawatan di rumah sakit

mungkin diperlukan pada beberapa kasus.3

Beberapa klinisi dan peneliti telah menulis tentang psikoterapi pada

pasien gangguan identitas disosiatif. Ringkasan prinsip dasar dan

penuna dalam menjelasan stadium terapi adalah berguna dalam

menuntun terapi yang sukar bagi pasien tersebut. Biasanya, stadium

terapi awal memperkuat komunikasi antara kepribadian untuk memulai

reintegrasi. Manfaat relative reintegrasi lawan resolusi terus

diperdebatkan, dan manfaat relatif pendekatan lain adalah tidak

diketahui. Komunikasi antara kepribadian juga membantu pasien

mengendalikan keseluruhan perilaku mereka. Klinisi harus berusaha

untuk mengenali kepribadian yang mengingat peristiwa traumatik masa

kanak-kanan yang hampir selalu berhubungan dengan gangguan.3

Pemakaian medikasi antipsikotik pada pasien hampir tidak pernah

diindikasikan. Beberapa data menyatakan bahwa medikasi antidepresan

dan antiansietas mungkin berguna sebagai pelengkap dari psikoterapi.

Beberapa penelitian yang terkendali baik melaporkan bahwa medikasi

antikonvulsan- sebagai contohnya, carbamazepin-membantu pasien

tertentu.3

2.1.2 Amnesia Disosiatif

a. Gambaran Umum

Bentuk umum dari amnesia disosiatif melibatkan amnesia untuk

identitas pribadi seseorang tetapi daya ingat informasi umum utuh.


Gambaran klinis adalah tepat kebalikan gambaran klinis yang

ditemukan pada demensia, di mana pasien dapat mengingat namanya

tetapi melupakan informasi umum, seperti apa yang mereka makan saat

makan siang. Kecuali untuk amnesia, pasien dengan amnesia disosiatif

tampaknya sama sekali utuh dan berfungsi secara masuk akal.

Sebaliknya, pada kebanyakan amnesia karena suatu kondisi medis

umum (seperti pasca kejang dan amnesia toksik), pasien mungkin

mengalami konfusi dan memiliki perilaku yang terdisorganisasi. Tipe

amnesia lain (sebagai contohnya, amnesia global transien dan amnesia

pascagegar) disertai dengan amnesia anterograd, yang tidak terjadi pada

pasien dengan amnesia disosiatif.3

b. Epidemiologi

Amnesia adalah gejala disosiatif yang paling sering, karena terjadi

hampir semua gangguan disosiatif.3,5 Amnesia disosiatif diperkirakan

merupakan gangguan disosiatif yang paling sering, walaupun data

epidemiologis tentang semua gangguan disosiatif adalah terbatas dan

tidak pasti. Namun demikian, amnesia disosiatif diperkirakan terjadi

lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki dan lebih sering pada

dewasa muda dibandingkan dewasa yang lebih tua. Karena gangguan

biasanya berhubungan dengan peristiwa yang menakutkan dan

traumatik, insidensinya kemungkinan meningkat selama masa perang

dan bencana alam. Kasus amnesia disosiatif yang berhubungan dengan


lingkungan rumah tangga-sebagai contohnya, penyiksaan pasangan dan

penyiksaan anak-kemungkinan jumlahnya tetap.3

c. Etiologi

Proses neuroanatomis, neurofisiologis dan neurokimiawi dalam

penyimpanan dan pengumpulan ingatan jauh lebih dimengerti sekarang

ini dibandingkan pada satu dekade yang lalu. Perbedaan antara daya

ingat jangka pendek dan daya ingat jangka panjang, peranan sentral

hipokampus dan keterlibatan sistem neurotransmiter telah diperjelas.

Kompleksitas pembentukan dan pengumpulan ingatan yang baru

dipahami menyebabkan amnesia disosiatif secara intuitif dapat

dimengerti karena banyaknya daerah kemungkinan yang mengalami

disosiatif. Tetapi, sebagian besar pasien dengan amnesia disosiatif tidak

mampu untuk mengumpulkan ingatan tentang peristiwa yang

menengangkan dan traumatik. Jadi, isi emosional ingatan jelas

berhubungan dengan patofisiologi dan penyebab gangguan.3

Dari pendekatan psikoanalitik, gangguan amnesia disosisatif

terutama dipertimbangkan sebagai mekanisme pertahanan diri,

kesadaran individu berubah sebagai cara untuk menyelesaikan konflik

emosional atau stressor dari luar.2

Pertahanan sekunder yang terlibat dalam amnesia disosiatif adalah

represi (impuls yang mengganggu di halangi supaya tidak masuk ke

kesadaran) dan penyangkalan (beberapa aspek kenyataan eksternal

diabaikan oleh pikiran sadar).3


d. Gambaran Klinis

Episode amnesia disosiatif jarang terjadi secara spontan. Riwayat

penyakit biasanya terungkap adanya suatu trauma emosional pencetus

yang berisi emosi menyakitkan dan konflik psikologis-sebagai

contohnya, suatu bencana alam dimana pasien menyaksikan cidera

parah atau ketakutan besar akan kehidupannya. Suatu ekspresi impuls

(seksual atau agresif) yang dikhayalkan atau aktual yang tidak mampu

diatasi oleh pasien juga dapat berperan sebagai pencetus. Amnesia

mungkin mengikuti suatu hubungan gelap diluar pernikahan yang

dirasakan pasien sebagai tidak dapat diterima secara moral.3

Walaupun tidak diperlukan untuk diagnosis, onset seringkali tiba-

tiba, dan pasien biasanya menyadari bahwa mereka telah kehilangan

daya ingatnya. Beberapa pasien menjadi marah karena kehilangan daya

ingat tersebut, tetapi yang lainnya tambah acuh atau tidak berbeda. Pada

pasien yang tidak menyadari kehilangan daya ingatnya tetapi yang

dicurigai oleh dokter menderita amnesia disosiatif, sering kali

bermanfaat untuk menanyakan pertanyaan tertentu yang mungkin

menngungkapkan gejala. Pasien amnestik biasanya sadar sebelum dan

setelah amnesia terjadi. Tetapi beberapa pasien, melaporkan sedikit

pengaburan kesadaran selama periode segera disekitar periode amnestik.

Deperesi dan kecemasan adalah faktor predisposisi yang sering dan

seringkali ditemukan pada pemeriksaan status mental pasien.3


Amnesia dari amnesia disosiatif dapat mengambil satu dari

beberapa bentuk : (1) amnesia terlokalisasi (localized amnesia), tipe

yang paling sering, adalah kehilangan daya ingat terhadap peristiwa-

peristiwa dalam periode yang singkat (beberapa jam sampai beberapa

hari); (2) amnesia umum (generalized amnesia), adalah kehilangan daya

ingat akan pengalaman selama hidupnya; (3) amnesia selektif (juga

dikenal sebagai tersistematisasi) adalah kegagalan untuk mengingat

beberapa peristiwa tetapi tidak semuanya selama suatu periode waktu

yang singkat.3

Amnesia mungkin memiliki tujuan primer atau tujuan sekunder.

Wanita yang amnesia akan kelahiran bayi yang meninggal mencapai

tujuan primer dengan melindungi dirinya sendiri dari emosi yang

menyakitkan. Suatu contoh dari tujuan sekunder adalah seorang serdadu

yang mengalami amnesia tiba-tiba dan selanjutnya dipindahkan dari

peperangan.3

e. Kriteria Diagnosa

Kriteria diagnostik menurut DSM-V :

1. Ketidakmampuan untuk mengingat informasi autobiografi yang

penting, biasanya karena traumatis atau sifat stres, yang tidak

konsisten dengan lupa biasa.

Catatan: Amnesia disosiatif paling sering terdiri dari amnesia

lokal atau selektif untuk peristiwa atau peristiwa tertentu; atau

amnesia umum untuk identitas dan sejarah hidup.


2. Gejala-gejala tersebut menyebabkan distres atau gangguan sosial

yang signifikan secara klinis, pekerjaan, atau bidang fungsi

penting lainnya.

3. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat

(mis., Alkohol atau obat pelecehan lainnya, obat-obatan) atau

kondisi neurologis atau medis lainnya (mis., kejang kompleks

parsial, amnesia global transien, gejala sisa cedera kepala

tertutup / cedera otak traumatis, kondisi neurologis lainnya).

4. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan identitas

disosiatif, pasca trauma gangguan stres, gangguan stres akut,

gangguan gejala somatik, atau neurokognitif mayor atau ringan

kekacauan.

Catatan pengkodean: Kode untuk amnesia disosiatif tanpa fugue

disosiatif adalah 300,12 (F44.0). Kode untuk amnesia disosiatif

dengan fugue disosiatif adalah 300,13 (F44.1).

f. Perjalanan Penyakit dan Prognosa

Gejala amnesia disosiatif biasanya berakhir dengan tiba-tiba dan

pemulihan biasanya lengkap dengan sedikit rekurensi. Pada beberapa

kasus, khususnya jika terdapat tujuan sekunder, kondisi mungkin

berlangsung dalam jangka waktu panjang. Klinisis harus mencoba untuk

memulihkan ingatan pasien yang hilang sesegera mungkin; jika tidak

ingatan yang terepresi dapat membentuk suatu nukleus (inti) di dalam


pikiran bawah sadar dimana di sekelilingnya kelak dapat berkembang

episode amnestik.3

g. Terapi

Wawancara dapat memberikan petujuk bagi kondisi adanya

pencetus yang traumatik secara psikologis. Barbiturat kerja sedang dan

kerja singkat seperti thipental (Pentothal) dan natrium amobarbital

diberikan secara intravena dan benzodiazepine dapat berguna untuk

membantu pasien memulihkan ingatannya yang hilang. Hipnosis dapat

digunakan terutama sebagai cara untuk membuat pasien cukup santai

mengingat apa yang telah dilupakan. Pasien ditempatkan di dalam

keadaan somnolen, pada tempat dimana inhibisi mental dihilangkan dan

material yang dilupakan timbul ke dalam kesadaran dan selanjutnya

diingat kembali. Jika ingatan yang hilang telah didapatkan, psikoterapi

biasanya dianjurkan untuk membantu pasien memasukkan ingatan ke

dalam keadaan kesadarannya.3

2.1.3 Gangguan Depersonalisasi/Derealisasi

a. Gambaran Umum

Karakteristik dari gangguan depersonalisasi adanya gangguan

persisten dan berulang dalam persepsi tentang realitas diri yang hilang

dalam waktu tertentu. Pasien dengan gangguan ini merasa bahwa

dirinya robot, ada dalam mimpi atau terpisah dari tubuhnya. Pasien

menyadari gejala tidak sesuai realita dan bersifat ego-dystonik.


Beberapa klinis membedakan antara depersonalisasi dan derealisasi.

Depersonalisasi adalah perasaan bahwa tubuh atau dirinya asing dan

tidak nyata. Derealisasi adalah persepsi bahwa objek / dunia luar aneh

dan tidak nyata.2

b. Epidemiologi

Sering terjadi dan tidak selalu patologik.2

c. Etiologi

Dapat disebabkan oleh factor psikologik, neurologic, dan penyakit

sistemik (seperti gangguan tyroid, pancreas). Depersonalisasi sering

berhubungan dengan epilepsy, tumor otak, deprivasi sensorik, trauma

psikis, dan stimulasi elektrik lobus temporal.2

d. Kriteria Diagnosa

Kriteria diagnosis menurut DSM-V

1. Kehadiran pengalaman yang berulang atau berulang dari

depersonalisasi, derealization, atau keduanya:

a) Depersonalisasi: Pengalaman ketidaktahuan, detasemen,

atau menjadi pengamat luar sehubungan dengan pikiran,

perasaan, sensasi, tubuh, atau tindakan seseorang (mis.,

perubahan persepsi, rasa waktu terdistorsi, diri tidak nyata

atau tidak ada, emosional dan / atau mati rasa fisik).


b) Derealisasi: Pengalaman yang tidak realiti atau tidak

sehubungan dengan lingkungan (mis., individu atau objek

dialami sebagai tidak nyata, seperti mimpi, berkabut, tak

bernyawa, atau terdistorsi secara visual).

2. Selama pengalaman depersonalisasi atau derealization,

pengujian realitas tetap utuh.

3. Gejala-gejala tersebut menyebabkan distres atau gangguan klinis

yang signifikan secara sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi

penting lainnya.

4. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat

(mis., obat pelecehan, pengobatan) atau kondisi medis lainnya

(mis., kejang).

5. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain,

seperti skizofrenia, gangguan panik, gangguan depresi mayor,

gangguan stres akut, posttraumatic gangguan stres, atau

gangguan disosiatif lainnya.

e. Perjalanan penyakit dan prognosis

Pada sebagian besar pasien, gejala depersonalisasi gejala awalnya

muncul mendadak, hanya pada sebagian kecil pasien yang pada awalnya

timbul bertahap. Awal penyakit berkisar antar umur 15 – 30 tahun,

jarang terjadi setelah umur 30 tahun, hampir tidak pernah timbul pada

umur tua. Adanya presipitasi factor timbulnya gangguan ini tidak


banyak diketahui walaupun sering ditemui permulaan gangguan ini

muncul pada saat istirahat dari stress psikologik.2

2.1.4 Gangguan Disosiatif Lainnya Yang Ditentukan

Menurut DSM-V, kategori ini berlaku untuk presentasi di mana gejala

karakteristik disosiatif gangguan yang menyebabkan tekanan signifikan secara

klinis atau gangguan dalam sosial, pekerjaan, atau bidang-bidang fungsi penting

lainnya mendominasi tetapi tidak memenuhi kriteria lengkap untuk semua

gangguan dalam kelas diagnostik gangguan disosiatif. Disosiatif lain yang

ditentukan kategori gangguan digunakan dalam situasi di mana dokter memilih

untuk berkomunikasi alasan spesifik bahwa presentasi tidak memenuhi kriteria

untuk disosiatif tertentu kekacauan. Ini dilakukan dengan merekam "gangguan

disosiatif spesifik lainnya" diikuti berdasarkan alasan spesifik (mis., “trans

disosiatif”).

Contoh presentasi yang dapat ditentukan menggunakan penunjukan

"lainnya yang ditentukan" termasuk yang berikut ini:

a. Sindrom kronis dan berulang dari gejala disosiatif campuran:

Kategori ini termasuk gangguan identitas yang terkait dengan

diskontinuitas yang kurang dari ditandai dengan rasa diri dan hak

pilihan, atau perubahan identitas atau episode kepemilikan dalam diri

seseorang yang melaporkan tidak ada amnesia disosiatif.`

b. Gangguan identitas karena persuasi yang dipaksakan dan intens:

Individu yang telah mengalami persuasi paksa yang kuat (mis., cuci
otak, reformasi pikiran, indoktrinasi sementara tawanan, penyiksaan,

pemenjaraan politik jangka panjang, perekrutan oleh sekte / sekte

atau oleh organisasi teror) dapat hadir dengan lama perubahan, atau

pertanyaan yang disengaja, identitas mereka.

c. Reaksi disosiatif akut terhadap kejadian stressful: Kategori ini untuk

akut, sementara kondisi yang biasanya berlangsung kurang dari 1

bulan, dan terkadang hanya beberapa jam atau berhari-hari. Kondisi-

kondisi ini dicirikan oleh penyempitan kesadaran; depersonalisasi;

derealization; gangguan persepsi (mis., perlambatan waktu,

makropsia); mikro-amnesia; pingsan sementara; dan / atau perubahan

fungsi sensorik-motorik (mis., analgesia, kelumpuhan).

d. Trans disosiatif: Kondisi ini ditandai dengan penyempitan akut atau

lengkap hilangnya kesadaran akan lingkungan sekitar yang

bermanifestasi sebagai sikap tidak responsif yang mendalam atau

ketidakpekaan terhadap rangsangan lingkungan. Ketidak responsif

mungkin disertai dengan perilaku stereotip minor (mis., gerakan jari)

di mana individu tidak menyadari dan / atau bahwa dia tidak dapat

mengendalikan, serta kelumpuhan sementara atau kehilangan

kesadaran. Trans disosiatif bukanlah bagian normal dari yang

diterima secara luas praktik budaya atau agama kolektif.4

2.1.5 Gangguan Disosiatif yang Tidak Tergolongkan


Gangguan disosiatif yang tidak tergolongkan diterapkan untuk gangguan

dengan gambaran disosiatif tetapi tidak memenuhi kriteria diagnostik amnesia

disosiatif, gangguan identitas disosiatif atau gangguan depersonalisasi.3


DAFTAR PUSTAKA

1. Maramis W.F, Maramis A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2nd Ed.

Surabaya: Universitas Airlangga.

2. Buku Ajar Psikiatri. 3rd Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. 2017

3. Kaplan H. I, Saddock B.J, Grabb J.A. 1997. Sinopsis Psikiatri. Edisi Tujuh. Jilid 2.

Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.

4. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders, DSM-V(5th ed., text revision). Washington, DC: American

Psychiantric Association

5. Maldonado J, Butler L, dan Spiegel D. 1998. Treatment for Dissosiative

Disorder. New York: Oxford University


LAPORAN KASUS

SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0)

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. B

Usia : 45 tahun

Tempat/Tgl Lahir : Makassar, 10 Oktober 1974

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Sudah menikah

Agama : Islam

Suku : Barru

Pendidikan Terakhir : SMP

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Alamat : Soppeng

A. Keluhan utama : Mengamuk

B. Riwayat gangguan sekarang

1. Keluhan dan Gejala

Pasien laki-laki berusia 48 tahun dating ke UGD RSKD untuk

ketiga kalinya dibawa oleh iparnya dengan keluhan mengamuk

yang dialami 2 minggu terakhir memberat 3 hari terakhir. Pasien

melempar setiap barang yang ada di sekitarnya serta meludah ke

orang-orang yang melewati depan rumahnya. Pada siang hari pasien

ke kantor polisi yang berada di Barru dan mengaku sebagai


Kapolda wilayah Sulselbar sehingga polisi memborgol pasien.

Pasien mengaku bahwa dirinya dirasuki oleh jin dan merupakan

titisan dari Sultan Hasanuddin yang menyuruhnya melalui suara-

suara bisikan untuk memukul dan melempar setiap orang di

depannya. Pasien juga merasa gelisah dan merasa bahwa istri dan

keluarganya telah meracuni makanannya, pasien suka marah-marah,

tidur sangat kurang, makan jarang, tidak mandi selama satu minggu.

2. Hendayan / Disfungsi

 Hendaya dalam bidang sosial (+)

 Hendaya dalam bidang pekerjaan (+)

 Hendaya dalam penggunaan waktu senggang (+)

3. Faktor stressor psikososial

 Tidak jelas

4. Hubungan gangguan, sekarang dengan riwayat penyakit fisik dan

psikis sebelumnya :

 Riwayat infeksi (-)

 Riwayat trauma (-)

 Riwayat kejang (-)

 Riwayat NAPZA (-)

 Alkohol (+) :

 Merokok (+) : sejak kelas 6 SD

5. Riwayat penyakit sebelumnya

 Tidak ada
6. Riwayat penyakit psikiatri sebelumnya

 Tidak ada riwayat gangguan psikiatri sebelumnya

C. Riwayat Kehidupan Pribadi

 Pasien lahir secara normal dibantu oleh dukun beranak

 Riwayat pemberian ASI tidak diketahui

 Pendidikan terakhir pasien sampai SMP

D. Riwayat Kehidupan Keluarga

 Pasien anak ke – 4 dari 6 bersaudara (♀,♀,♂, ♂, ♀,♀).

 Hubungan dengan keluarga baik

 Riwayat keluraga dengan keluhan yang sama tidak ada

 Sudah menikah 2 kali, istri pertama cerai, istri kedua ditinggal

E. Situasi kehidupan sekarang

Pasien saat ini tinggal bersama adik dan iparnya.

F. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya

Secara umum pasien merasa bahwa lingkungannya tidak baik terhadap

dirinya.

II. PEMERIKSAAN FISIS DAN NEUROLOGIS

Pemeriksaan fisik :

A. Status internus

 Keadaan umum : Baik

 Kesadaran : Compos mentis

 Tanda vital :

- Tekanan darah : 120/70 mmHg


- Nadi : 60 x/menit

- Pernapasan : 20 x/menit

- Suhu : 36,70C

 GCS : E4M6V5

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL

I. STATUS MENTAL :

A. Deskripsi Umum :

1. Penampilan : Seorang pria, wajah tampak sesuai umur, perawakan

normal, postur tubuh tegap, rambut kusut, kulit sawo matang,

pasien tampak tidak terawat

2. Kesadaran : Berubah

3. Perilaku dan aktivitas psikomotor : saat wawancara pasien tidak

kooperatif dan terkesan menentang

4. Pembicaraan : Pasien berbicara tidak spontan, intonasi meningkat

5. Sikap terhadap pemeriksa : Tidak Kooperatif.

B. Keadaan afektif (mood), perasaan, dan empati, perhatikan :

1. Mood : sulit dinilai

2. Afek : hostile

3. Keserasian : tidak serasi

4. Empati : tidak dapat dirabarasakan.


C. Fungsi Intelektual (kognitif) :

1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum, dan kecerdasan : sulit

dinilai.

2. Daya konsentrasi : Terganggu, gampang teralih

3. Orientasi (waktu, tempat dan orang) : •Waktu : terganggu

• Tempat : baik

• Orang : terganggu

4. Daya ingat : •Panjang : baik

•Pendek : baik

•Sedang : baik

•Segera : baik

5. Pikiran abstrak : Terganggu

6. Bakat kreatif : Tidak ada.

7. Kemampuan menolong diri sendiri : kurang

D. Gangguan Persepsi

1. Halusinasi : Halusinasi auditorik mendengar suara-suara laki-

laki yang menyuruh pasien

2. Ilusi : Tidak ada.

3. Depersonalisasi : Tidak ada.

4. Derbalisasi : Tidak ada.

E. Gangguan Berpikir

1. Arus pikiran : Irelevan


2. Isi pikiran : waham kebesaran (pasien merasa dirinya

merupakan titisan Sultan Hasanuddin), waham curiga(pasien

selalu menuduhistri dan keluraganya meracuni makanannya)

3. Bentuk pikiran : Observasi

F. Pengendalian Impuls : Terganggu

G. Daya Nilai

1. Norma Sosial : Terganggu.

2. Uji Daya Nilai : Terganggu

3. Penilaian Realitas : Terganggu

H. Tilikan (insight) : Tilikan 1

I. Taraf dapat dipercaya : Dapat dipercaya.

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Pasien laki-laki berusia 48 tahun dating ke UGD RSKD untuk ketiga

kalinya dibawa oleh iparnya dengan keluhan mengamuk yang dialami 2

minggu terakhir memberat 3 hari terakhir. Pasien melempar setiap barang

yang ada di sekitarnya serta meludah ke orang-orang yang melewati depan

rumahnya. Pada siang hari pasien ke kantor polisi yang berada di Barru dan

mengaku sebagai Kapolda wilayah Sulselbar sehingga polisi memborgol

pasien. Pasien mengaku bahwa dirinya dirasuki oleh jin dan merupakan titisan

dari Sultan Hasanuddin yang menyuruhnya melalui suara-suara bisikan untuk

memukul dan melempar setiap orang di depannya. Pasien juga merasa gelisah

dan merasa bahwa istri dan keluarganya telah meracuni makanannya, pasien
suka marah-marah, tidur sangat kurang, makan jarang, tidak mandi selama

satu minggu.

Pada pemeriksaan status mental tampak seorang pria wajah sesuai

umur rambut kusut, kulit sawo matang, tampak tak terurus, bicara tidak

spontan, tidak kooperatif terhadap pemeriksa. Mood tidak dapat dinilai afek

hostile, empati tidak dapat diraba rasakan, mood dan afek tidak sesuai.

Ada gangguan presepsi berupa halusinasi mendengar suara-suara

orang yang menyuruhnya melempar dan memukul orang yang lewat

didepannya. Terdapat waham kebesaran karena menganggap dirinya titisan

Sultan Hasanuddin, mengaku sebagai Kapolda Sulselbar, dan memeliki

kekayaan yang banyak, waham cemburu pasien selalu menuduh istri dan

keluarganya meracuni makanannya. Pada norma sosial dan uji daya nilai

terganggu, penilaian realitas terganggu, pasien merasa dirinya tidak sakit

(tilikan 1).

V. EVALUASI MULTIAKSIAL (SESUAI PPDJG III )

 Aksis I

Pada pemeriksaan alloanamnesis dan autoanamnesis ditemukan

hendaya berat dalam menilai realitas sehingga pasien dikatakan mengalami

gangguan jiwa psikotik

Pada pemeriksaan status internus dan neurologik tidak di temukan

adanya kelainan, sehingga kemungkinan adanya gangguan organik dapat

disingkirkan dan di diagnosis gangguan jiwa psikotik non organic


Dari pemeriksaan status mental di dapatkan satu gejala

Schizophrenia (PPGDJ 3) yaitu delusion of control (dikendalikan oleh orang

yang sudah meninggal), sehingga pasien memenuhi kriteria Schizophrenia

satu gejala (PPGDJ 3) Halusinasi auditorik mendengar suara-suara orang

bercerita (PPGDJ 3).

Pada pasien ini juga ditemukan adanya gangguan isi pikir berupa

Waham cemburu (pasien selalu menuduh istri dan keluarganya meracuni

makanannya) dan waham delusion of control (karena pasien selalu merasa di

perintah seseorang untuk melempar dan memukul orang yang lewat

didepannya) sehingga memenuhi kriteria dari Schizoprenia Paranoid

(PPGDJ 3)

 Aksis II

Tidak ada kepribadian yang khas

 Aksis III

Tidak ada diagnosis

 Aksis IV

Stressor tidak jelas

 Aksis V

GAF Scale 50-41 (Gejala berat, disabilitas berat).

VI. DAFTAR MASALAH

 Organbiologik: Tidak ditemukan kelainan fisik bermakna, terdapat

ketidakseimbangan neurotransmitter maka memerlukan psikoterapi.


 Psikologik: Ditemukan hendaya dalam beraktifitas sehingga memerlukan

psikoterapi.

 Sosiologik: Ditemukan adanya hendaya sehingga memerlukan sosioterapi.

VII. RENCANA TERAPI

a. Farmakoterapi :

 Haloperidol 5 mg tab/ 8 jam/ oral

 Chloropromazine 100 mg tab / 24jam / oral / malam

 Trihexyphenidyl 2 mg tab / 12 jam / oral

b. Psikoterapi

 Suportif

Memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat

membantu pasien dalam memahami dan menghadapi

penyakitnya. Memberi penjelasan dan pengertian mengenai

penyakitnya, manfaat pengobatan, cara pengobatan, efek samping

yang mungkin timbul selama pengobatan, serta memotivasi

pasien supaya mau minum obat secara teratur.

 Sosioterapi

Memberikan penjelasan kepada orang – orang terdekat

pasien sehingga bisa menerima keadaan pasien dan memberikan

dukungan moral serta menciptakan lingkungan yang kondusif

untuk membantu proses penyembuhan dan keteraturan

pengobatan.
VIII. PROGNOSIS

 Quo ad Vitam : Bonam

 Quo ad Function : Dubia ad bonam

 Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

IX. FOLLOW UP

Memantau keadaan umum pasien serta perkembangan penyakitnya,

selain itu menilai efektivitas dan kemungkinan efek samping obat yang

diberikan.

X. PEMBAHASAN

Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang ditandai oleh

delusi,halusinasi, ucapan dan perilaku yang tidak teratur, dan gejala lain yang

menyebabkan disfungsi sosial atau pekerjaan . Penyakit ini mempengaruhi

0,5-1% populasi dunia. Etiologi biologisnya multifaktorial dan masih

diselidiki.

Skizofrenia biasanya muncul pada awal masa dewasa atau akhir masa

remaja. Pria lebih rentan daripada wanita, dan juga cenderung mengalami

bentuk penyakit yang lebih serius dengan gejala yang lebih negatif, lebih

sedikit peluang untuk pulih sepenuhnya, dan hasil yang secara umum lebih

buruk. Tinjauan sistematis menunjukkan bahwa penyakit ini lebih umum

terjadi pada laki-laki daripada perempuan (rasio risiko 1,4: 12) dan lebih

sering pada orang yang lahir di kota — semakin besar kota dan semakin lama

orang itu tinggal di sana, semakin besar risikonya.


Orang dengan skizofrenia biasanya mendengar suara (halusinasi

pendengaran), yang sering mengkritik atau menyalahgunakan mereka. Suara-

suara dapat berbicara langsung kepada pasien, mengomentari tindakan pasien,

atau mendiskusikan pasien di antara mereka sendiri. Tidak mengherankan,

orang-orang yang mendengar suara-suara sering mencoba untuk memahami

halusinasi ini, dan ini dapat mengarah pada pengembangan kepercayaan atau

delusi yang aneh.

Banyak pasien juga memiliki gangguan pikiran dan gejala negatif.

Sementara gejala negatif mungkin kurang meresahkan bagi pasien, yang

membuat anda sangat sulit untuk mendiagnosis. Beberapa gejala yang muncul

pada pasien skizofrenia:

1. Kurang wawasan (lack of insight)

2. Halusinasi auditorik

3. Delusi

4. Gangguan Pikirian

5. Gejala negatif: ini termasuk penarikan sosial, pengabaian diri,

kehilangan motivasi dan inisiatif, tumpul emosional, dan

kurangnya bicara

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa

di Indonesia edisi ketiga (PPDGJ III), Skizofrenia baru di tegakkan apabila

harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala – gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau

bergema dalam kepalanya (tidak keras), da nisi pikiran ulangan,

walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau

- “thought insertion or withadrawal” = isi pikiran yang asing dari luar

masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar

oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

- “thought broadcasting” = isi pikirannya terasir keluar sehingga orang

lain atau umum mengetahuinya

b. - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh

suatu kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan

pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang “dirinya”= secara jelas

merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan,

atau pengindera khusus);

- “delusional perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar

bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau

mukjizat;

c. Halusinasi auditorik :

- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap

perilaku pasien, atau


- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara

berbagai suara yang berbicara) atau,

- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh

d. Waham – waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal

keyakinan agama atau politik tertenu, atau kekuatan dan kemampuan

diatas manusia biasa (mislanya mampu mengendalikan cuaca, atau

berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia).

 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :

e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik

oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa

kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide – ide berlebihan

(over-valued idea) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama

berminggu – minggu atau berbulan – bulan terus menerus;

f. Arus pikiran yang terputus ( break ) atau yang mengalami sisipan

(interpolation), yang berakibat inkoherens atau pembicaraan yang tidak

relevan, atau neologisme;

g. Perilaku katatonik, seperti keadaan (posturing), atau fleksibilitas cerea,

negativisme, mutisme, dan stupor;

h. Gejala – gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang, dan

respon emosional yang menumpul atau tidak waajar, biasanya yang

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya


kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak

disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

 Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun

waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik

prodromal)

 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal

behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan .

tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude),

dan penarikan diri secara social.

Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia paranoid (F20.0) dapat ditegakkan

apabila memenuhi pedoman diagnostic sebagai berikut :

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

 Sebagai tambahan :

a. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;

- Suara – suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi

perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa

bunyi pluit (whistling) mendengung (humming), atau bunyi

tawa (laughing);

- Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat

seksual, atau lain – lain perasaan tubuh; halusinasi visual

mungkin ada tetapi jarang menonjol;


- Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham

dikendalikan ( delucion of control ), dipengaruhi ( delusion of

influence), atau “passivity” (delucion of passivity), dan

keyakinan dikejar – kejar beraneka ragam, adalah yang paling

khas;

Anda mungkin juga menyukai