Anda di halaman 1dari 36

1

LAPORAN REFERAT
BLOK MENTAL HEALTH
GANGGUAN PANIK (PANIC DISORDER)



Tutor : dr. Tri Lestari
KELOMPOK IX

1 Galuh Ajeng Parandhini G1A010029
2 Windarto G1A010036
3 Mona Fadhila G1A010043
4 Danny Amanati Aisya G1A010050
5 Shofa Shabrina Henandar G1A010051
6 Nurvita Pranasari G1A010054
7 Dasep Padilah G1A010062
8 Moch. Riski Kurniadi G1A010071
9 Rhani Shabrina G1A010076



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2013


ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas pertolongan-
Nya kami dapat menyelesaikan laporan referat dengan judul Gangguan Panik
(Panic Disorder) ini tepat pada waktunya. Penulisan referat ini bertujuan
meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai salah satu gangguan mental
yang umumnya sering terjadi dalam masyarakat.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Tri Lestari selaku tutor referat kami yang telah membimbing penyusunan
referat ini
2. Seluruh dosen dan staf pengajar Jurusan Kedokteran, Universitas Jenderal
Soedirman khususnya kepada dosen dan pengajar blok Mental Health ini.
3. Orang tua yang telah mendukung kami baik dalam bentuk moril maupun
materiil.
4. Teman-teman angkatan 2010.
5. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, sehingga laporan referat ini
bisa diselesaikan.
Referat yang kami susun ini dapat membantu terutama dalam kasus
Gangguan Panik (Panic Disorder). Meskipun demikian, kami sadar bahwa dalam
penulisan referat ini masih jauh dari sempurna karena referat ini merupakan
referat pertama yang kami susun. tiada gading yang tak retak, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penyusunan laporan referat
ini bisa mencapai sempurna di kemudian hari.
Kami juga berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca
maupun penyusun.



Purwokerto, Mei 2013


Penyusun


iii

DAFTAR ISI
Halaman Judul ....................................................................................................... i
Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................. iii
Daftar Gambar ....................................................................................................... iv
Bab I Pendahuluan ................................................................................................. 1
1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
2. Tujuan ....................................................................................................... 2
3. Manfaat .................................................................................................... 2
Bab II Dasar Teori ................................................................................................. 3
A. Definisi ...................................................................................................... 3
B. Etiologi ..................................................................................................... 4
C. Faktor Resiko ............................................................................................ 5
D. Penegakan Diagnosis ................................................................................ 6
E. Tatalaksana ................................................................................................ 8
F. Diagnosis Banding .................................................................................... 21
G. Prognosis ................................................................................................... 22
Bab III Pembahasan ............................................................................................. 23
Bab IV Kesimpulan ............................................................................................... 30
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 31














iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Diagnosis Banding Organik untuk Gangguan Panik ............................. 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Serangan panik adalah suatu episode ansietas yang cepat, intens,
dan meningkat, yang berlangsung 15 sampai 30 menit, ketika individu
mengalami ketakutan emosional yang besar juga ketidaknyamanan
fisiologis. Selama serangan panik individu tersebut sengat cemas dan
memperlihatkan empat atau lebih gejala berikut: palpitasi, berkeringat,
tremor, sesak napas, rasa asfiksi, nyeri dada, mual, distress abdomen,
pusing, parastesia, meggigil, atau hot flash (Videbeck, 2008).
Panik dapat terjadi sebagai bagian dari beberapa kondisi. Namun,
gangguan panik ditandai dengan serangan ansietas berat yang tidak
diperkirakan dengan gejala autonom yang jelas yang tidak berkaitan
dengan situasi tertentu. Gambaran umumnya adalah sesak napas, ketakutan
akan mati atau menjadi gila, dan keinginan segera untuk melarikan diri
tanpa mempertimbangkan konsekuensinya (Davies, 2009).
Pasien gangguan panik sering ditemukan pada mereka yang berada
pada usia produktif yakni antara 18-45 tahun. Selain itu penderita
gangguan panik lebih umum ditemukan pada wanita, terutama mereka
yang belum menikah serta wanita post-partum, serangan panik jarang
ditemukan pada wanita hamil (McLean, 2001).
Gangguan panik dapat diwariskan secara genetik. Pada kembar
monozigot, terdapat 31% kemungkinan bahwa salah satu kembar tersebut
akan mengalami gangguan panik jika kembar yang lain mengalaminya.
Angka kejadian pada kerabat tingkat pertama ialah 15% (Videbeck, 2008).
Prevalensi gangguan panik pertahunnya adalah 1-2%, dengan
prevalensi seumur hidup 1,5-3,5%. Onset tersering adalah pada usia
remaja atau pada orang yang berusia pada pertengahan 30 tahun,
sedangkan onset setelah usia 45 tahun jarang. Terdapat bukti mengenai
transmisi genetik, orang kekerabatan tingkat pertama dengan pasien
beresiko empat hingga tujuh kali lebih besar daripada populasi umum
(Davies, 2009).


2

Angka prevalensi gangguan panik pada tahun tertentu ialah 1%
sampai 2%. Angka kejadian gangguan yang berlangsung seumur hidup
adalah 1,5% sampai 3,5%. Setengah dari mereka yang mengalami
gangguan panik juga mengalami agoraphobia. Gangguan panik lebih
umum terjadi pada individu yang tidak lulus kuliah dan individu yang
tidak menikah. Resiko tersebut meningkat 18% pada individu yang depresi
(Videbeck, 2008).

2. Tujuan
a. Mengetahui definisi, tanda, gejala, dan epidemiologi dari gangguan
panik.
b. Mengetahui faktor resiko dari gangguan panik
c. Mengetahui terapi lama dan baru dari gangguan panik
d. Mengetahui komplikasi dan prognosis gangguan panik

3. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari referat ini adalah:
a. Memperkaya ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu kedokteran
jiwa
b. Memberikan informasi bagi pembaca tentang gangguan panik
c. Memberikan informasi kepada pembaca gambaran tentang gangguan
panik untuk upaya pencegahan
d. Memberikan informasi kepada pembaca gambaran tentang gangguan
panik untuk upaya diagnosis dini dan penatalaksanaan










3

BAB II
DASAR TEORI

A. Definisi
Gangguan panik menurut Kolb dan Brodie merupakan kelainan
medis berupa serangan panik berulang dan sering yang tidak disebabkan
oleh penggunaan zat atau obat atau gangguan jiwa lain dengan puncaknya
adalah perasaan takut, perasaan tidak nyaman dan khawatir berlebihan.
Gangguan panik menurut Kaplan dan Saddock disebabkan oleh respon
terhadap bahaya yang mengancam berasal dari dalam dirinya sendiri yang
merupakan dorongan yang tidak terkontrol (Saddock, 2007).
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik yang
spontan dan tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode kecemasan
atau ketakutan yang kuat dan relative singkat, yang disertai oleh gejala
somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea (Saddock, 2007).
Menurut DSM-IV, gangguan panik adalah gangguan yang
sekurang-kurangnya terdapat 3 serangan panik dalam waktu 3 minggu dan
tidak dalam kondisi berat atau dalam situasi yang mengancam kehidupan.
Gangguan panik bersifat rekuren dan akan mengakibatkan terjadinya
serangan panik yang tidak diduga-duga dan mencapai puncaknya kurang
dari 10 menit (Saddock, 2007).
Menurut PPDGJ-III gangguan panik (F41.0) baru ditegakkan
sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan adana gangguan anxietas
fobik. Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali
serangan anxietas berat dalam masa kira-kira satu bulan (Maslim, 2001):
a. Pada keadaan di mana sebenarnya secara objektif tidak ada
bahaya
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat
diduga sebelumnya
c. Dengan keadaan yang relative bebas dari gejala-gejala anxietas
pada periode di antara serangan-serangan panik.
.


4

B. Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang mendasari terjadinya gangguan panik
diantaranya faktor biologis yang meliputi sistem saraf otonom dan zat-zat
panikogen, faktor genetis dan faktor psikososial. (Saddock, 2007).
1. Faktor Biologis
Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah
menghasilkan berbagai temuan; satu interpretasi adalah bahwa gejala
gangguan panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di dalam
struktur otak dan fungsi otak. penelitian tersebut dan penelitian lainnya
telah menghasilkan hipotesis yang melibatkan disregulasi system saraf
perifer dan pusat di dalam patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf
otonomik pada beberapa pasien gangguan panik telah dilaporkan
menunjukkan peningkatan tonus simpatik, beradaptasi secara lambat
terhadap stimuli yang berulang, dan berespon secara berlebihan terhadap
stimuli yang sedang. Sistem neurotransmiter utama yang terlibat adalah
norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA) (Saddock,
2007).
2. Faktor Genetika
Bahwa gangguan ini memiliki komponen genetika yang jelas. Angka
prevalensi tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita gangguan
panik. Berbagai penelitian telah menemukan adanya peningkatan resiko
gangguan panik sebesar 4-8 kali lipat pada sanak saudara derajat pertama
pasien dengan gangguan panik dibandingkan dengan sanak saudara derajat
pertama dari pasien dengan gangguan psikiatrik lainnya. Demikian juga
pada kembar monozigot

(Saddock, 2007).
3. Faktor Psikososial
Baik teori kognitif perilaku dan psikoanalitik telah dikembangkan
untuk menjelaskan patogenesis gangguan panik dan agoraphobia. Teori
kognitif perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang
dipelajari baik dari perilaku modeling orang tua atau melalui proses
pembiasan klasik (Saddock, 2007).


5

4. Teori psikoanalitik memandang serangan panik sebagai akibat dari
pertahanan yang tidak berhasil dalam melawan impuls yang menyebabkan
kecemasan. Apa yang sebelumnya merupakan suatu sinyal kecemasan
ringan menjadi suatu perasaan ketakutan yang melanda, lengkap dengan
gejala somatik (Saddock, 2007).
5. Peneliti menyatakan bahwa penyebab serangan panic kemungkinan
melibatkan arti bawah sadar peristiwa yang menegangkan dan bahwa
patogenesis serangan panik mungkin berhubungan dengan faktor
neurofisiologis yang dipicu oleh reaksi psikologis (Saddock, 2007).

C. Faktor Resiko
Gangguan kecemasan ini merupakan salah satu bentuk dari penyakit
mental. Penyebabnya bisa apa saja, seperti ketidakseimbangan kimia dalam
tubuh, perubahan struktur otak, stres lingkungan, trauma dan fobia, dan
sebagainya. Tidak ada penyebab tunggal untuk gangguan panik, tapi satu hal
yang pasti adalah bahwa gangguan panik telah ditemukan dapat berjalan
dalam keluarga, hal ini juga ditemukan ada sebagai kondisi co-morbid dengan
gangguan herediter, seperti gangguan bipolar, dan kecenderungan genetik
untuk alkoholisme (Barlow, 2006).
Faktor psikologis, peristiwa kehidupan menegangkan, hidup transisi,
lingkungan, dan berpikir dengan cara yang melebih-lebihkan reaksi tubuh
relatif normal juga diyakini berperan dalam timbulnya gangguan panik.
Seringkali serangan pertama dipicu oleh penyakit fisik, stres utama, atau obat
tertentu. Orang yang cenderung untuk mengambil tanggung jawab yang
berlebihan dapat mengembangkan kecenderungan untuk menderita serangan
panik. Ada beberapa bukti bahwa hipoglikemia, hipertiroid, mitral valve
prolapse, labyrinthitis dan pheochromocytoma dapat menyebabkan atau
memperburuk gangguan panik (Barlow, 2006).
Dapat pula berhubungan dengan ketakutan dan teror, karena mengalami
kehilangan kendali. Orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan
suatu walaupun dengan pengarahan, panik mengakibatkan disorganisasi
kepribadian, dengan panik terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya


6

kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat anxietas ini
tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang
lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian (Barlow, 2006).

D. Penegakan Diagnosis
Menurut DSM-IV, kriteria diagnosis gangguan panik harus dibuktikan
dengan adanya serangan panik yang berkaitan dengan kecemasan persisten
dengan durasi lebih dari 1 bulan terhadap : (1)serangan panik baru (2)
konsekuensi serangan, atau (3) terjadi perubahan perilaku yang signifikan
berhubungan dengan serangan. Selain itu untuk mendiagnosis serangan
panik, kita harus menemukan minimal 4 gejala dari 13 gejala berikut :
a. Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan
b. Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila
c. Takut mati
d. Leher serasa dicekik
e. Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah cepat
f. Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada
g. Merasa sesak, bernapas pendek
h. Mual atau distress abdominal
i. Gemetaran
j. Berkeringat
k. Rasa panas dikulit, menggigil
l. Mati rasa, kesemutan
m. Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari diri sendiri)
(Saddock, 2007; Greist, 2000).

Selama serangan panik, pasien akan senantiasa berkeinginan untuk
kabur dan merasa bahwa ajalnya hampir datang akibat perasaan terkecekik
dan berdebar-debar. Gejala lain yang dapat timbul adalah sakit kepala, tangan
terasa dingin, timbulnya pemikiran-pemikiran yang mengganggu, dan banyak
merenung (Saddock, 2007; Greist, 2000).



7

Terdapat 2 tipe diagnosis gangguan panik, yakni gangguan panik tanpa
agorafobia dan yang disertai agorafobia. Diagnosis diekslusi bila serangan
panik terjadi pada kondisi di bawah pengaruh obat atau terjadi karena
didahului gangguan mental lainnya (Saddock, 2007; Greist, 2000)
Menurut PPDGJ-III gangguan panik dapat ditegakkan sebagai diagnosis
utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik. Untuk diagnosis
pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat dalam
masa kira-kira satu bulan :
1. Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada
bahaya.
2. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situation)
3. Dengan keadaan yang relatif dari gejala-gejala anxietas pada periode
diantara serangan-serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat
terjadi juga anxietas antipsikotik yaitu anxietas yang terjadi setelah
membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi (Rusdi,
2001).


Ya

Tidak
Ya


Tidak
A Ya Ya

Akibat fisiologik
langsung dari penyakit
umum
Gangguan cemas akibat
penyakit umum
Akibat fisiologik langsung
suatu zat



Gangguan cemas akibat zat
Serangan panik berulang tak terduga , 1
bulan merasa kuatir, prihatin, tentang
serangan atau perubahan perilaku
Dengan
agorafobia
Gangguan
panik
dengan
agoraphobia
Gejala cemas, takut,
menghindar atau
meningkatnya kesiagaan


8

Tidak


E. Tatalaksana
1.) Penatalaksanaan ketika serangan panik terjadi
Serangan panik merupakan salah satu jenis kegawatdaruratan psikiatri.
Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pasien
serangan panik yang datang dengan keluhan nyeri dada, sesak napas,
palpitasi, atau nyaris pingsan antara lain:
1. Terapi oksigen
2. Membaringkan pasien dalam posisi fowler
3. Memonitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan EKG
4. Memeriksa ada tidaknya kelainan lain yang dialami pasien seperti
kelainan kardiopulmoner dan memastikan kalau pasien memang sedang
mengalami serangan panik.
5. Memberikan penjelasan dan motivasi pada pasien kalau semua keluhan
yang dialaminya dapat berkurang jika dia menenangkan diri.
Komponen utama dari terapi pasien serangan panik adalah
menjelaskan pada pasien kalau kondisi yang dialaminya bukanlah
disebabkan oleh kondisi medis yang serius dan bukan pula dikarenakan
oleh gangguan mental yang parah, tapi lebih diakibatkan oleh
ketidakseimbangan kimiawi dalam tubuh karena respon sistem simpatik
atau fight or flight response. Memberi keyakinan seperti ini terbukti
menjadi plasebo yang signifikan dalam memperbaiki kondisi pasien.
Dokter harus mendengarkan keluhan pasien secara efektif namun
tetap menunjukkan empati terhadap kondisi pasien. Kita harus hati-hati
dalam menggunakan frasa seperti penyakit Anda tidak serius atau
Anda akan baik-baik saja karena itu dapat di-misinterpretasi oleh
pasien sebagai ketiadaan empati.
Gangguan panik tanpa
agorafobia


9

6. Memberikan injeks lorazepam 0.5 mg IV untuk menenangkan dan
mengurangi impuls tak terkontrol pasien.
Bila keadaan pasien membaik, lorazepam injeksi dapat diganti
dengan lorazepam oral atau golongan benzodiazepin lain. Terapi ini
tidak boleh lebih dari 1 minggu untuk mencegah ketergantungan.
Benzodiazepin digunakan hanya untuk meningkatkan kepercayaan diri
pasien. Setelah serangan panik berlalu, pasien harus dijelaskan
mengenai pentingnya terapi jangka panjang seperti CBT (Cognitive-
behaviour therapy) dan penggunaan obat jenis SSRI (Serotonin
Selective Reuptake Inhibitors) (Memon, 2011).

2). Penatalaksanaan gangguan panik ketika tidak ada serangan
Mengingat gangguan panik merupakan suatu penyakit yang bersifat
kronik, sering berulang, serta dapat menyertai berbagai gangguan mental
dan somatik lain, maka penatalaksanaan yang tepat serta hemat biaya
sangat dibutuhkan oleh pasien untuk mengurangi beban ekonomi yang bisa
ikut menjadi pemicu gangguan mental yang lain lagi pada pasien (Memon
et al, 2011).
1. Cognitive-behavioral therapy (CBT)
CBT, dengan atau tanpa farmakoterapi, merupakan terapi pilihan
untuk gangguan panik, dan terapi ini harus diberikan pada semua
pasien. CBT memiliki efikasi yang lebih tinggi dalam mengatasi
gangguan panik dan biayanya lebih murah. Selain itu tingkat drop out
dan relaps juga lebih rendah jika dibandingkan dengan terapi
farmakologi. Meskipun begitu, hasil yang lebih superior dapat
dihasilkan dari kombinasi CBT dan famakoterapi (Memon et al, 2011).
Beberapa Metode CBT :
Terdapat beberapa metode CBT, beberapa di antaranya yakni
metode restrukturisasi, terapi relaksasi, terapi bernapas, dan terapi
interocepative. Inti dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam
memahami cara kerja pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah


10

dapat menimbulkan respon emosional yang berlebihan, seperti pada
gangguan panik.
a. Terapi restrukturisasi, melalui terapi ini pasien dapat
merestrukturisasi isi pikirannya dengan cara mengganti semua
pikiranpikiran negatif yang dapat mengakibatkan perasaan tidak
menyenangkan yang dapat memicu serangan panik dengan
pemikiran-pemikiran positif (Saddock et al, 2007)
b. Terapi relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu
pasien mengontrol kadar kecemasan dan mencegah hypocania ketika
serangan panik terjadi. Semua jenis CBT seperti di atas dapat
dilakukan pasien dengan atau tanpa melibatkan dokter (McLean et
al, 2001).
c. Salah satu metode CBT seperti interoceptive therapy yang terbukti
berhasil pada 87% pasien harus dilakukan dengan bantuan dokter di
suatu lingkungan yang terkontrol. Karena terapi ini dilakukan
dengan memberikan paparan yang dapat menstimulus serangan
panik pasien dengan cara meningkatkannya sedikit demi sedikit
hingga pasien mengalami desensitasi terhadap stimulus tersebut.
Adapun beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mendesensitasi
gangguan panik antara lain:
(i) Hiperventilasi disengaja ini dapat mengakibatkan kepala
pusing, derealisasi, dan pandangan menjadi kabur
(ii) Melakukan putaran pada kursi ergonomis ini dapat
mengakibatkan rasa pusing dan disorientasi
(iii) Bernapas melalui pipet ini dapat mengakibatkan sesak napas
dan konstriksi saluran napas
(iv) Menahan napas - ini dapat menciptakan sensasi seperti
pengalaman menjelang ajal
(v) Menegangkan badan untuk menciptakan perasaan tegang dan
waspada



11

Semua tindakan di atas dilakukan tidak boleh lebih dari 1 menit.
Kuncinya dari teknik di atas adalah menciptakan sejumlah stimulus yang
menyerupai serangan panik. Latihan-latihan tersebut diulangi 3-5 kali sehari
hingga pasien tidak lagi merasakan kepanikan terhadap stimulus seperti itu.
Biasanya butuh waktu hingga beberapa minggu untuk dapat mencapai hal
itu (Memon, 2011).
Pemaparan terhadap stimulus tersebut dilakukan agar pasien dapat
belajar melalui pengalaman bahwa semua sensasi internal yang dia rasakan
seperti sesak napas, pusing dan pandangan yang kabur bukanlah hal yang
harus ditakuti. Ketika pasien mulai menyadari hal tersebut maka secara
otomatis, hippocampus dan amygdala, yang merupakan pusat emosi, akan
ikut mempelajarinya sebagai hal yang tidak perlu ditakuti, sehingga respon
sistem simpatik akan ikut berkurang (Memon, 2011).
2. Terapi Medikasi
Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi
gangguan panik, yakni golongan SSRI (Serotonin Selective Reuptake
Inhibitors), trisiklik, dan MAOI (Monoamine Oxidase Inhibitor). Sedangkan
golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap kontoversial dalam
terapi gangguan panik (Cloos et al, 2005).
a. Golongan SSRI
Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya sebaiknya
dimulai dalam rentang 2 minggu sejak serangan panik terjadi karena
SSRI dapat memicu serangan panik pada pemberian awal. Oleh karena
itu dosis SSRI dimulai dari yang terkecil lalu ditingkatkan secara
perlahan di setiap kesempatan follow up berikutnya.
SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di
ekstraselular dengan cara menghambat pengambilan kembali serotonin
ke dalam sel presinaptik sehingga ada lebih banyak serotonin di celah
sinaptik yang dapat berikatan dengan reseptor sel post-sinaptik. SSRI
memiliki tingkat selektivitas yang cukup baik terhadap transporter
monoamin yang lain, seperti pada transporter noradrenaline dan


12

dopamine, SSRI memiliki afinitas yang lemah terhadap kedua reseptor
tersebut sehingga efek sampingnya lebih sedikit.
SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki
desain obat rasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada
suatu target biologi tertentu dan memberikan efek berdasarkan target
tersebut. Oleh karena itu SSRI digunakan secara luas di hampir semua
negara sebagai lini pertama pengobatan antipanik (Memon et al, 2011).
SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya dapat
ditingkatkan secara bertahap tergantung pada kebutuhan. Semua jenis
SSRI yang dikenal saat ini memiliki efektifitas yang baik dalam
menangani gangguan panik. Salah satunya, Fluoxetine dalam salut
memiliki masa paruh waktu yang panjang sehingga cocok digunakan
untuk pasien yang kurang patuh minum obat. Selain itu waktu paruh
yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawl yang dapat terjadi
ketika pasien lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI
(Saddock et al, 2007).
Contoh Golongan SSRI :
(i) Fluoxetine (Prozac)
Fluoxetine secara selektif menghambat reuptake seotonin
presinaptik, dengan efek minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap
reuptake norepinephrine atau dopamine.
(ii) Paroxetine (Paxil, Paxil CR)
Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara
kerjanya berupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin
neuronal dan memiliki efek yang lemah terhadap reuptake
norepinephrine dan dopamine.
(iii) Sertraline (Zoloft)
Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang
lemah pada reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.
(iv) Fluvoxamine (Luvox, Luvox CR)
Fluoxamine merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada
reuptake serotonin neuronal serta secara signifikan tidak berikatan


13

pada alfa-adrenergik, histamine atau reseptor kolinergik sehingga efek
sampingnya lebih sedikit dibanding obat-obatan jenis trisiklik.
(v) Citalopram (Celexa)
Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi
selektif reuptake serotonin pada membran neuronal. Efek samping
antikolinergik obat ini lebih sedikit.
(vi) Escitalopram (Lexapro)
Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme
kerjanya mirip dengan citalopram.
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika
tubuh mulai mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping
seksual yang timbul pada fase akhir pengobatan). Biasanya penggunaan
SSRI mencapai 6-8 minggu ketika obat mulai mendekat potensi terapi yang
menyeluruh. Adapun beberapa efek samping SSRI antara lain: anhedonia,
insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi urin, perubahan pada perilaku
seksual, penurunan berat badan, mual, muntah dan yang ditakutkan adalah
efek samping keinginan bunuh diri dan meningkatkan perasaan depresi pada
awal pengobatan (Memon et al, 2011).

b. Golongan Trisiklik
Golongan trisiklik zat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan
untuk mengatasi depresi. Pada awal penemuannya, golongan trisiklik
merupakan pilihan pertama untuk terapi depresi. Meskipun masih
dianggap memiliki efektifitas yang tinggi, namun saat ini penggunaannya
mulai digantikan oleh golongan SSRI dan antidepresan lain yang terbaru
(Memon et al, 2011).
Golongan trisiklik beberapa memiliki kelebihan di antaranya, dosisnya
cukup 1x/hari, rendah resiko ketergantungan, dan tidak perlu ada
pantangan makanan. Namun 35% penggunanya langsung menghentikan
pengobatan karena efek samping yang tidak menyenangkan. Golongan
trisiklik harus dimulai dengan dosis kecil untuk menghindari amphetamine
like stimulation. Biasanya pengobatan dengan menggunakan trisiklik


14

membutuhkan waktu sekitar 8-12 minggu untuk mencapai respon terapi.
Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau
panik yang resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan
trisiklik tidak menyebabkan ketergantungan sehingga dapat digunakan
dalam jangka waktu yang lama. Hanya saja kelemahan golongan ini
adalah, efek sampingnya biasanya mendahului efek terapi sehingga banyak
pasien yang justru segera menghentikan pengobatan meskipun efek
terapinya belum tercapai (Saddock et al, 2007).
Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI
(Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitor) dengan cara memblok
transporter serotonin dan norepinephrine, sehingga terjadi peningkatan
neurotransmiter ekstraseluler yang dapat bereaksi dalam proses
neurotransmisi. Trisiklik sama sekali tidak bereaksi terhadap transporter
dopamin sehingga efek samping akibat peningkatan dopamin seperti
halusinasi dapat berkurang (Memon et al, 2011).
Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik
juga bereaksi sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and
5-HT2C), 5-HT6, 5-HT7, 1-adrenergic, and NMDA receptors, dan
sebagai agonists pada sigma receptors (1 and 2), yang memberikan
kontribusi pada efek terapi dan efek sampingnya. Trisiklik juga dikenal
sebagai antihistamin dan antikolinergik kuat karena dapat bereaksi dengan
reseptor histamine dan asetilkolin muskarinik.
Kebanyak trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium,
sehingga dapat bekerja seperti obat-obatan natrium channel blocker dan
calcium channel blocker. Karena itu penggunanaan berlebih trisiklik dapat
menyebabkan kardiotoksik (Memon et al, 2011).
Contoh Golongan Trisiklik :
(i) Imipramine (Tofranil, Tofranil-PM)
Imipramine menghambat reuptake norepinephrine dan serotonin
pada neuron presinaptik.




15

(ii) Desipramine (Norpramin)
Desipramine dapat meningkatkan konsentrasi norepinephrine pada
celah sinaptik sistem saraf pusat dengan cara menghambat reuptake di
membran presinaptik. Hal ini dapat menyebabkan efek desensitasi
pada adenyl cyclase, menurunkan regulasi reseptor beta-adrenergik,
dan regulasi reseptor serotonin.
(iii) Clomipramine (Anafranil)
Obat ini berefek langsung pada uptake serotonin sedangkan pada
efeknya uptake norepinephrine terjadi ketika obat ini diubah menjadi
metabolitnya, desmethylclomipramine.
Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang
berkaitan dengan antimuskariniknya. Beberapa di antaranya adalah mulut
kering, hidung kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan
memori dan peningkatan temperatur tubuh. Efek samping lainnya adalah
pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit tidur, akathisia, hipersensitivitas,
hipotensi, aritmia serta kadang-kadang rhabdomiolisis (Memon et al,
2011).
c. MAO Inhibitor
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenis
antidepresi yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik. Pada
masa lalu golongan ini digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan
depresi yang sudah resisten terhadap golongan trisiklik.
MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai
agoraphobia. Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi
migraine dan penyakit parkinson karena target dari obat ini adalah MAO-
B yang berperan dalam timbulnya nyeri kepala dan gejala Parkinson
(Memon, 2011; Saddock, 2007).
Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini
rendah dan efek antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan
trisiklik. MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine
oxidase, sehingga ini dapat mencegah pemecahan monoamine
neurotransmitters dan meningkatkan avaibilitasnya. Terdapat 2 jenis


16

monoamine oxidase, MAO-A dan MAO-B. MAO-A berkaitan dengan
deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine and norepinephrine.
Sedangkan MAO-B mendeaminasi phenylethylamine and trace amines.
Dopamine dideaminasi oleh keduanya.
Contoh Golongan MAOI:
(i) Phenelzine (Nardil)
Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering
digunakan dalam mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan
merlalui superioritas yang jelas terhadap placebo dalam percobaan
double-blind untuk mengatas gangguan panik. Obat ini biasanya
digunakan untuk pasien yang tidak respon terhadap obat golongan
trisiklik atau obat antidepresi golongan kedua.
(ii) Tranylcypromine (Parnate)
Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena berikatan
secara ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi pemecahan
monoamin dan meningkatkan avaibilitas sinaptik.
Efek Samping MAOI yaitu ketika dikonsumsi peroral, MAOI
menghambat katabolisme amine. Sehingga ketika makanan yang
mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapat menderita krisis
hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga, maka
hal ini dapat menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah makanan yang
dibutuhkan hingga menimbulkan reaksi berbeda-beda pada tiap individu.
Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis
hipertensi pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan
tiramin menggantikan norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel,
dalam hal ini norepinefrin terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat memicu
aliran pengeluaran norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis
hipertensi. Teori lain menyatakan bahwa proliferasi dan akumulasi
katekolamin yang menyebabkan krisis hipertensi.




17

Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati,
makanan yang difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa
seperti kacang-kacangan. Makanan-makanan itu harus dihindarkan dari
pengguna MAOI (Memon et al, 2011).
d. Golongan Benzodiazepin
Golongan benzodiazepin merupakan salah satu obat piliahan yang
digunakan untuk mengatasi serangan panik akut. Benzodiazepin bekerja
dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter GABA (gamma-butyric
acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga dapat
menimbulkan kantuk, menekan kecemasan, anti kejang, melemaskan otot
dan dapat mengakibatkan amnesia.
Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate
acting dan long acting. Benzodiazepin short dan intermediate acting
digunakan untuk mengatasi insomnia sedangkan yang golongan long
acting digunakan untuk mengatasi gangguan panik (Saddock et al, 2007).
Contoh Golongan Benzodiazepin:
(i) Long acting : Clonazepam (Klonopin), Diazepam (Valium, Diastat,
Diazepam Intensol)
Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter
inhibitorik lainnya. Selain itu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif
panjang sekitar 36 jam.
Diazepam merupakan salah satu jenis benzodiazepin yang
potensinya rendah. Namun dapat digunakan untuk mengatasi serangan
panik. Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin
biasanya berkaitan dengan efek sedasi dan relaksan ototnya. Beberapa
di antaranya adalah mengantuk, pusing, dan penurunan konsentrasi dan
kewaspadaan. Kurangnya koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan
kecelakaan, terutama pada orang tua. Akibat lain dari benzodiazepin
adalah penurunan kemampuan menyetir sehingga dapat berakibat pada
tingginya angka kecelakaan.
Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan pusat
pernapasan terutama pada penggunaan intravena. Beberapa efek


18

samping lain yang dapat timbul pada penggunaan benzodiazepin adalah
mual, muntah, perubahan selera makan, pandangan kabur, bingung,
euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk. Beberapa kasus juga
menunjukkan bahwa benzodiazepin bersifat liver toksik (Memon et al,
2011).
(ii) Intermediate acting : Lorazepam (Ativan)
Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki efek
onset singkat dan paruh waktunya tergolong intermediate. Dengan
meningkatkan aksi GABA, yang merupakan inhibitor utama di otak,
lorazepam dapat menekan semua kerja SSP, termasuk sistem limbik
dan formasi retikuler.
(iii) Short acting : Alprazolam (Xanax, Xanax XR)
Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk manajemen serangan
panik. Obat ini dapat terikat pada reseptor-reseptor pada beberapa
bagian otak, termasuk sistem limbik dan RES. Meskipun begitu banyak
ahli yang tidak menyarankan penggunaan alprazolam dalam waktu lama
karena tingkat ketergantungannya sangat tinggi.
Kemasan Alprazolam adalah tablet 0.5 mg x 10 x10. Dosis
Alprazolam untuk dewasa adalah 0.25-0.5 mg 3x/hari, dapat
ditingkatkan dengan interval 3-4 hari sampai dengan maksimal 4
mg/hari dalam dosis terbagi. Sedangkan untuk lansia, pasien lemah fisik
dan disfungsi hati berat dosisnya adalah 0.25 mg 2-3x/hari. Efek
Alprazolam ditingkatkan oleh depresan SS, alkohol, barbiturat.
Eksresinya dihambat oleh simetidin.
e. Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors
Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini
adalah mencegah reuptake inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga
dapat mengatasi kepanikan. Contohnya adalah Venlafaxine (Effexor,
Effexor XR). Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat inhibitor
reuptake serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat ini adalah
menurunkan regulasi reseptor beta (Memon, 2011).



19

3. Interaksi Obat
Adapun beberapa interaksi obat yang harus diperhatikan pada
penggunaan terapi medikasi gangguan panik antara lain:
a. Kombinasi antara trisiklik (Imipramine/Clomipramine) dengan
Haloperidol (Phenothiazine) dapat mengurangi kecepatan ekskresi dari
trisiklik sehingga kadar dalam plasma meningkat, sebagai akibatnya
dapat terjadi potensiasi efek samping antikolinergik seperti ileus
paralitik, disuria, gangguan absorbsi dan lain-lain.
b. Kombinasi antara trisiklik/SSRI dengan CNS Depressant (alkohol,
opioid, benzodiazepine, dll) menyebabkan potensiasi efek sedasi dan
penelanan terhadap pusat pernapasan bahkan dapat terjadi gagal napas.
c. Kombinasi trisklik/SSRI dengan obat simpatomimetik (derivat
amfetamin) dapat membahayakan kondisi jantung.
d. Kombinasi trisiklik/SSRI dengan MAOI tidak boleh diberikan
bersamaan karena dapat terjadi Serotonin Malignant Syndrome.
Perubahan penggunaan trisiklik/SSRI menjadi MAOI atau sebaliknya
harus menunggu waktu sekitar 2-4 minggu untuk wash out period.
e. Kombinasi trisiklik dengan SSRI, dapat meningkatkan toksisitas obat
trisiklik (Maslim, 2007).
4. Pemilihan Obat dan Pengaturan Dosis
a. Semua jenis obat anti-panik hampir sama efektifnya dalam
menanggulangi sindrom panik pada taraf sedang dan pada stadium awal
dari gangguan panik.
b. Bila pasien peka terhadap efek samping obat, maka golongan obat yang
dianjurkan adalah SSRI yang lebih sedikit efek sampingnya.
c. Alprazolam menjadi pilihan untuk menangani pasien yang terkena
serangan panik akut.
d. Obat anti-panik harus dimulai dengan dosis kecil lalu ditingkatkan
secara perlahan hingga tercapai dosis maintenance. Dan harus
diingatkan pada pasien bahwa efek obat anti-panik bekerja dalam
jangka waktu 2-4 minggu sehingga meyakinkan pasien agar tetap patuh
minum obat sangatlah penting.


20

e. Lamanya pemberian obat anti-panik bisa mencapai 6-12 bulan dan bila
sudah tidak terdapat lagi gejala, dosisnya dapat diturunkan selama 3
bulan hingga pasien tidak tergantung lagi pada obat. Namun apabila
terdapat lagi serangan, pasien harus memulai lagi pengobatan dari awal.
f. Semua pasien yang baru saja memakan obat anti-panik tidak dianjurkan
membawa kendaraan atau menjalankan mesin karena pasien dapat
tertidur saat melakukan aktivitas.
g. Semua ibu hamil tidak dianjurkan memakan obat anti-panik.
h. Pada manula dan yang menderita gangguan hati serta ginjal, maka dosis
obat anti-panik harus diberikan seminimal mungkin (Maslim, 2007).

F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan panik adalah
gangguan medis dan gangguan mental. Salah satunya adalah gangguan buatan
(factitious disorders) yaitu pasien secara sengaja menghasilkan tanda gangguan
medis atau mental, namun salah menggambarkan riwayat penyakit dan
gejalanya. Selain itu hipokondriasis, gangguan depersonalisasi, fobia sosial dan
spesifik, gangguan stres pascatraumatik, gangguan depresi, dan skizofrenia
juga dapat menjadi diagnosis banding pada gangguan panik. Jenis serangan
panik dan fokus kecemasan dapat digunakan sebagai pembeda. Serangan panik
yang tidak diperkirakan adalah tanda utama dari gangguan panik, sedangkan
serangan panik yang berkaitan dengan situasional bisanya menyatakan fobia
sosial atau fobia spesifik, gangguan obsesif-kompulsif, atau gangguan depresif.
Selain itu pada gangguan panik tidak didapatkan fokus kecemasan, berbeda
dengan fobia spesifik dimana terdapat fokus kecemasan yang spesifik (Kaplan,
2010).
Terkadang seorang individu normal juga dapat mengalami serangan panik
spontan, namun untuk diagnosis gangguan panik, serangan panik harus terjadi
cukup parah yang menyebabkan tekanan atau serangan yang sering, sebulan
sekali atau lebih. Serangan panik juga dapat terjadi pada pasien yang menderita
depresi episodik, baik pada depresi berat maupun gangguan bipolar. Serangan
panik dapat mendahului timbulnya gejala depresi atau bersamaan dengan


21

gejala depresi. Beberapa kondisi juga mungkin dapat menghasilkan gejala yang
mirip dengan serangan panik akibat gangguan medis. Gangguan medis yang
dapat dijadikan diagnosis banding gangguan panik adalah sebagai berikut
(Fleet, 200; Kaplan, 2010).




















Tabel 1. Diagnosis Banding Organik untuk Gangguan Panik (Kaplan, 2010)





22

G.Prognosis
Pada pasien gangguan panik, Prognosis baik dengan pengobatan (50-60%
sembuh dengan obat-obatan; 80-90% dengan terapi perilaku kognitif).
Namun, penelitian follow-up selama 20 tahun memperlihatkan hanya kurang
dari 50% yang benar-benar bebas panik. Gangguan panik yang tidak diobati
sering berkembang menjadi kronis dan disertai gangguan psikiatri lain,
seperti gangguan depresif (Kusumadewi, 2010).



























23

BAB III
PEMBAHASAN
A. Teori baru
1. Medika Mentosa
Terkadang pemberian obat-obatan untuk mengatasi gangguan panik tidak
diperlukan, karena banyak pasien tertolong melalui konseling. Pemberian
obat dengan golongan tertentu biasanya disesuaikan dengan indikasi yang
terjadi, berikut contoh-contoh indikasinya (Cloos, 2005):
a. Serangan yang terjadi sering dan berat
Bila serangan panik pada pasien terjadi dalam frekuensi yang sering
dan menimbulkan gejala-gejala keadaan depresi, maka berikanlah obat
golongan antidepresan trisiklik. Contoh obat golongan antidepresan
trisiklik yang biasanya digunakan untuk keadaan ini adalah Imipramin
tablet 25 mg dengan dosis 100-150 mg dan diberikan selama 2 minggu
(Cloos, 2005).
b. Serangan yang terjadi jarang dan terbatas
Bila serangan panik pada pasien terjadi dalam frekuensi yang jarang
dan tidak menimbulkan gejala-gejala keadaan depresi, maka berikanlah
obat golongan anti anxietas non benzodiazepin. Contoh obat yang
sering digunakan adalah lorazepam 0,5 mg dengan dosis 2-4 mg per
hari atau dapat diganti dengan alprazolam 0,25 mg dengan dosis 0,25-1
mg per hari (Cloos, 2005).
2. Non-Medika Mentosa
RANZCP (Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrist)
menyatakan bahwa penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk
menangani gangguan panik adalah mengedukasi pasien dan keluarga agar
dapat mendukung pasien dalam mengatasi kepanikannya. Terapi medikasi
hanya dianjurkan untuk penggunaan jangka pendek (Cloos, 2005).
Saat ini CBT (Cognitive-behaviour therapy) merupakan terapi yang
dianggap lebih efektif dan murah dalam mengatasi gangguan panik jika
dibandingkan dengan terapi medikasi. Untuk terapi medikasi, obat-obatan
golongan tricyclic dan serotonin selective reuptake inhibitors (SSRI)


24

dianggap memiliki efikasi yang setara serta lebih dipilih sebagai medikasi
pilihan dibanding golongan benzodiazepin yang sering disalahgunakan serta
dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada pasien yang mengalami
ketergantungan alkohol (Saddock, 2007).
CBT untuk serangan panik memiliki angka kesuksesan tertinggi
dibandingkan dengan pengobatan lainnya untuk gangguan psikologis.
Beberapa penelitian mengevaluasi teknik CBT yang pada umumnya meraih
angka keberhasilan sampai 80%, dan kondisi pemeliharaan yang baik pasca
pengobatan (Spett, 2008).
Satuan pengobatan CBT mencakup banyak intervensi yang digunakan
oleh pasien dalam berbagai penelitian. Pada kenyataannya, beberapa pasien
membaik dalam waktu singkat dengan beberapa teknik, beberapa lainnya
membaik dengan sangat lambat dalam waktu yang cukup lama. Beberapa
pasien merespon baik terhadap teknik tertentu, sedangkan beberapa lainnya
merespon baik dengan teknik CBT yang berbeda. Berikut adalah beberapa
metode CBT (Spett, 2008):
a. Terapi restrukturisasi
Fokus dari terapi ini adalah mengubah pikiran-pikiran negatif dari pasien
yang dapat memicu serangan panik. Ada beberapa contoh dari terapi ini,
antara lain (Spett, 2008):
1) Intervensi Kognitif
Serangan panik tidak berbahaya. Penyebab utama munculnya
serangan panik adalah ketakutan akan serangan panik itu sendiri.
Untuk dapat mengatasi hal tersebut, pasien harus berani menghadapi
ketakutannya terhadap serangan panik yang justru menjadi akar
permasalahannya (Spett, 2008).
Pasien dengan gangguan panik percaya bahwa tanda klinis yang
muncul seperti palpitasi dan keringat dingin merupakan pertanda awal
akan terjadinya serangan jantung atau hilangnya kontrol diri. Penting
untuk memberitahu pasien bahwa tanda yang muncul tidaklah
berbahaya dan bukan merupakan tanda awal dari kelainan pada sistem
kardiovaskular. Mayoritas pasien memiliki keyakinan bahwa mereka


25

tidak dapat menghadapi simptom dari serangan panik tersebut. Hal
tersebut tidaklah benar. Serangan panik memang memunculkan
ketidaknyamanan, walaupun menakutkan, tetapi pasien dapat
mempelajari untuk menghadapinya (Spett, 2008).
Informasi dan argumen yang logis mengenai pernyataan bahwa
serangan panik itu tidak berbahaya akan mengurangi ketakutan
seseorang terhadap serangan panik itu sendiri. Penggunaan socratic
questioning biasanya lebih efektif daripada argumen yang logis.
Socratic questioning berarti menanyakan pasien beberapa pertanyaan
yang akan menebar keraguan akan serangan panik yang mereka alami
berbahaya atau tidak dapat ditoleransi (Spett, 2008).
Penjelasan logis dan penggunaan socratic questioning lebih lemah
dibandingkan dengan pengalaman pribadi. Untuk dapat
menyembuhkan serangan panik, kebanyakan pasien harus belajar dari
pengalaman personal dimana mereka tidak takut lagi dengan serangan
paniknya (Spett, 2008).
2) Pajanan In Vivo
Pajanan in vivo adalah metode dimana pasien menempatkan dirinya
pada situasi yang akan memicu serangan panik. Beberapa hal yang
perlu dijelaskan (Spett, 2008):
a. Semakin pasien menghindar dari situasi yang memicu serangan
panik, maka ketakutan semakin menjadi.
b. Semakin ketakutan pasien menjadi, semakin buruk serangan
panik yang akan muncul.
c. Semakin buruk serangan panik yang muncul, maka mereka akan
semakin menghindari situasi yang membangkitkan serangan
panik.
Mulailah dengan paparan situasi yang ringan, lalu secara bertahap
pindah ke paparan yang lebih merangsang kecemasan pasien.
Mintalah pasien untuk merancang program mereka sendiri (Spett,
2008).



26

3) Berperilaku aman
Yang dimaksud dengan teknik ini adalah perilaku yang biasa
dilakukan pasien untuk menghindar atau mengurangi gejala panik
mereka, misalnya membawa obat anti cemas, tinggal dekat rumah, dan
berpergian dengan teman akrab. Pasien harus menahan diri untuk tidak
melakukan hal tersebut selama latihan paparan (Spett, 2008).
Safety behaviour dapat mengurangi intensitas gejala panik saat
serangan, tetapi safety behaviour dapat meningkatkan frekuensi dan
intensitas serangan panik di masa depan. Power et al (J. of Consulting
and Clinical Psychology) menemukan bahwa safety behaviour
mengurangi efektivitas CBT untuk claustrophbia sekitar 50% (Spett,
2008).
4) Psikoterapi umum
Pasien dengan gangguan panik selalu memiliki masalah psikologis
lain yang dapat meningkatkan stres mereka dan kerentanan terhadap
serangan panik. Contohnya, pasien dengan gangguan panik sering
mengalami over concern (perhatian yang berlebih) dengan apa yang
dipikirkan orang lain terhadapnya, dan mayoritas pasien juga rendah diri,
tidak agresif, dan beberapa masalah dengan keluarga dan hubungan
interpersonal. Mengurangi masalah psikologisnya akan menurunkan
tingkat stres, meningkatkan kepuasan hidup, dan akan mengurangi
simptom dari kelainan psikologis, termasuk serangan panik. Pengobatan
yang dilakukan kebanyakan pasien berfokus pada 2 hal yakni pada
serangan panik yang muncul dan masalah psikologis lainnya (Spett,
2008).
5) Perekaman aktivitas
Pasien memiliki kecenderungan untuk melakukan latihan pekerjaan
rumah sebelum sesi terapi mereka lakukan. Pencatatan atau perekaman
(record-keeping) dapat mmemotivasi pasien untuk melakukan latihan
pajanan (exposure exercise) sepanjang periode sesi terapi. Pasien yang
bersedia dapat merekam latihan pajanannya, frekuensi dan intensitas
gejala panik mereka, kognisi, situasi yang mereka hindari, dan cara untuk


27

menyelamatkan diri dari situasi tersebut. Informasi ini dapat digunakan
untuk perencanaan pengobatan dan sebagai tolak ukur kemajuan selama
pengobatan. Kegiatan tersebut juga berfokus pada perilaku dan kognisi
mereka untuk berubah (Spett, 2008).
6) Paparan Imajinasi
Paparan imajinasi dilakukan apabila pasien benar-benar tidak ingin
melakukan paparan interoseptik. Latihan ini dilakukan dengan meminta
pasien untuk membayangkan gejala apa saja yang dapat mereka rasakan
ketika terjadi serangan panik. Gejala tersebut nantinya akan dibuat suatu
skala numerik dari 0-10, dimana 0 adalah gejala yang tidak ada dan 10
merupakan gejala yang paling dirasakan ketika terjadi serangan panik
(Spett, 2008).
b. Paparan Interoseptik
Paparan interoseptik merupakan suatu paparan berupa aktivitas
tertentu yang dapat menyebabkan serangan panik. Untuk mengurangi
rasa takut pasien terhadap gejala yang dirasakannya, mintalah pasien
untuk melakukan suatu aktivitas yang menyebabkan serangan panik
tersebut. Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan adalah (Spett,
2008):
1) Berlari ditempat, hal ini ditujukan untuk meningkatkan kinerja
jantung yang akan menimbulkan detak jantung yang cepat.
2) Berputar ditempat, hal ini ditujukan untuk memproduksi suatu gejala
pusing, mual dan muntah.
3) Meniup balon sekuat tenaga, hal ini ditujukan untuk menimbulkan
rasa sesak, panas, dingin di tubuh.
4) Menghirup udara dari sedotan, hal ini ditujukan untuk menimbulkan
rasa sesak napas dimana terjadi kekurangan udara.
5) Berdiri-jongkok-berdiri, hal ini ditujukan untuk menimbulkan rasa
pusing yang ringan.




28

Ketika melakukan latihan paparan ini, pasien harus terfokus kepada
hal-hal yang dirasakan oleh tubuhnya. Hindari terjadinya pengalihan
perhatian dari pasien. Latihan paparan ini ditujukan untuk mengajarkan
pasien bahwa mereka bisa mentoleransi gejala-gejala yang mereka
rasakan, sehingga mereka tidak akan mengalami serangan jantung, panik
yang berlebihan atau hilang kontrol diri (Spett, 2008).
c. Terapi relaksasi dan bernafas
Fokus dari terapi ini adalah membuat penderita gangguan panik merasa
setenang mungkin, berikut contoh terapi relaksasi dan bernapas (Spett,
2008):
1) Pelibatan pengaruh dari orang lain
Pelibatan pengaruh orang lain disini merupakan permintaan
bantuan kepada orang lain yang merupakan keluarga, atau orang
terdekat pasien untuk membantu menenangkan pasien ketika terjadi
serangan. Orang lain tersebut nantinya akan memberikan suatu
anjuran-anjuran kepada pasien seperti menarik napas panjang,
tenang, berpikiran yang menyenangkan, dan lain-lain. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi rasa panik yang dialami pasien
(Spett, 2008).
2) Latihan Relaksasi
Latihan ini berupa latihan untuk menenangkan pasien atau
mungkin menghilangkan rasa panik yang dirasakan pasien. Latihan
pernapasan dan latihan-latihan relaksasi lainnya dapat menurunkan
rasa panik yang dirasakan oleh pasien (Spett, 2008).
Meta analisis mendukung efikasi dari CBT dalam memperbaiki gejala
pada gangguan panik dan kecacatan yang ditimbulkannya. Disamping itu,
meta analisis juga menemukan fakta bahwa penggunaan terapi kognitif,
terapi perilaku, dan kombinasi keduanya (CBT) memiliki tingkat
keefektifan yang lebih tinggi dibandingkan dengan psikoterapi emosional
pada pasien dengan gangguan panik (Ham, 2005).




29

Walaupun bukti bahwa kombinasi antidepresan dan CBT efektif
dalam mengatasi gangguan panik, hal tersebut masih belum jelas apakah
salah satu modalitas pengobatan mendominasi yang lainnya. Masih terdapat
banyak pertentangan pada penelitian kini mengenai kombinasi CBT dengan
antidepresan dalam hal memperbaiki outcome yang dihasilkan. Secara
keseluruhan, kombinasi beberapa teknik CBT dengan antidepresan
menghasilkan keuntungan yang sangat besar dalam meta analisis pada studi
singkat. Hasil dari penelitian terkini mengindikasikan kombinasi tersebut
hanya efektif selama proses terapi, namun setelah terapi dihentikan, pasien
yang menggunakan CBT atau CBT ditambah plasebo memiliki outcome
yang lebih baik daripada pasien yang menggunakan kombinasi pengobatan
antidepresan dan CBT (Ham, 2005).

B. Teori lama
Dahulu pilihan obat untuk mengatasi gangguan panik hanya fenobarbital.
Namun seiring berjalannya waktu, telah diketahui efek samping berbahaya dari
obat tersebut seperi depresi pernafasan, depresi kardiovaskular, efek hang over
(Efek kantuk yang ditimbulkan terjadi di satu hari setelah penggunaan
fenobarbital), dan kecanduan, sehingga sekarang penggunaannya dalam
mengatasi gangguan panik sudah jarang.














30

BAB IV
KESIMPULAN

1. Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang
spontan dan tidak diperkirakan.
2. Kecemasan/anxiety berupa ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan
berkelanjutan terus-menerus
3. Faktor psikologis, peristiwa kehidupan menegangkan, hidup transisi,
lingkungan, dan berpikir dengan cara yang melebih-lebihkan reaksi tubuh
relatif normal juga diyakini berperan dalam timbulnya gangguan panik
4. diagnosis gangguan panik berdasarkan suatu periode tertentu adanya rasa
takut atau rasa tidak nyaman.
5. Tatalaksana untuk gangguan panik dibagi 2 yaitu pada saat serangan panik
dan tidak pada saat serangan panik.
6. Penderita dengan fungsi premorbid yang baik serta durasi serangan yang
singkat bertendensi untuk prognosis yang lebih baik.


31

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, RL. Atkinson, RC. Smith, EE. Bem, DJ. 2002. Hilgards Introduction
to Psychology (13
th
edition). New York : Harcourt College Publishers.


Barlow, D. H., & Craske, M. G. 2006. Mastery of your anxiety and panic: Patient
workbook (4th ed.). New York: Oxford University Press.


Cloos JM. Treatment of panic disorder. Updated on January 2005. [Cited on June
2011]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1


Davies, Teifion. 2009. ABC Kesehatan Mental. Jakarta: EGC.

Fleet R.P., Martel J.P., Lavoie K.L. Non-fearful Panic Disorder: A Variant of
Panic in Medical Patients?. Psychosomatics


Greist JH &Jefferson JW. 2000. Anxiety disorder. In: Review of General
Psychiatry. 5th Ed. Baltimore: Vishal. Cp.21.


Ham, Peter, David B Waters, dkk. 2005. Treatment of Panic Disorder. American
Family Physician. Vol.71, No.4. From: www.aafp.org/afp.


Kaplan, Harold I., Benjamin J.S., dan Jack A.G. 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis
Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang: Binapura
Aksara


Kusumadewi I, Elvira SD. 2010. Gangguan Panik In: Elvira SD, Hadisukanto
G,editors. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKU


Neale, JM. Davidson, GC. (2001). Abnormal Psychology. New York : John Wiley
& Sons, Inc.


Maslim R Obat anti-panik. Dalam: Penggunaan Klinis Obat Psikotropika. Edisi
Ketiga. Jakarta: PT Nuh Jaya. Hal.52-56

McLean PD & Woody SR. 2001. Panik diorder and agoraphobia. In: Anxiety
Disorders in Adults. Vancouver: Oxford University Press.



32


Memon MA. Panic disorder. Updated on March 2011. [Cited on June 2011].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/287913-overview


Saddock BJ & Saddock VA. 2007. Panic disorder and agoraphobia. In: Kaplan
& Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Sec.16.


Spett, Milton. 2008. Cognitive-Behaviour Therapy for Panic Attacks. The Journal
of Psychiatry and Law.


Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai