Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

URETEROLITHIASIS

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
RS Islam Sultan Agung

Disusun oleh :

1) Alifa 01.211.
2) Luqman Hakim 30101206794
3) Sahmia 01.211.6522

Pembimbing:

dr.Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2017
LEMBAR PENGESAHAN
RADIOGRAPH BASED DISCUSSION

Diajukangunamelengkapitugaskepaniteraanklinisbagianilmuradiologi
FakultasKedokteranUniversitas Islam Sultan Agung

Nama : Alifa 01.210.6079


Luqman
Sahmia 01.211.6522

Judul : Uretrolithiasis
Bagian : Ilmu Radiologi
Fakultas : Kedokteran UNISSULA
Pembimbing : dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

Telah diajukan dan disahkan


Semarang, 2017
Pembimbing,

dr. Bambang Satoto, Sp. Rad

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN ..................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 6


A. DEFINISI ........................................................................................... 6
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI URETER ........................................ 6
C. ETIOLOGI ........................................................................................ 8
D. PATOGENESIS............................................................................... 10
E. KLASIFIKASI BATU SALURAN KEMIH ............................... 15
F. DIAGNOSIS....................................... Error! Bookmark not defined.
G. PENATALAKSANAAN ................................................................. 23
H. KOMPLIKASI ................................................................................ 27
I. PROGNOSIS ..................................................................................... 27
J. PENCEGAHAN ............................................................................... 27

BAB III LAPORAN KASUS ................................... Error! Bookmark not defined.


3.1 Identitas Penderita ....................................Error! Bookmark not defined.
3.2 Anamnesis (Alloanamnesis) ......................Error! Bookmark not defined.
3.3 Pemeriksaan Fisik .....................................Error! Bookmark not defined.
3.5 Pemeriksaan Penunjang ...........................Error! Bookmark not defined.
3.6 Pembacaan Hasil Foto Thoraks ...............Error! Bookmark not defined.
3.7 Kesan ..........................................................Error! Bookmark not defined.
3.8 Diagnosis ....................................................Error! Bookmark not defined.
BAB IV PEMBAHASAN ..................................... Error! Bookmark not defined.
BAB V KESIMPULAN ...................................... Error! Bookmark not defined.

3
BAB I
PENDAHULUAN

Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar


dari jumlah pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang pasti dari
penyakit ini di Indonesia belum dapat ditetapkan secara pasti. Dari data dalam
negeri yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah penderita batu ginjal
yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun
mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847 pasien pada tahun 2002,
peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai tersedianya alat pemecah batu
ginjal non-invasif ESWL (Extracorporeal shockwave lithotripsy) yang secara total
mencakup 86% dari seluruh tindakan (ESWL, PCNL, dan operasi terbuka) (IAUI,
2007).
Dari data di luar negeri didapatkan bahwa resiko pembentukan batu sepanjang
hidup (life time risk) dilaporkan berkisar 5-10% (EAU Guidelines). Laki-laki lebih
sering dibandingkan wanita (kira-kira 3:1) dengan puncak insidensi antara dekade
keempat dan kelima, hal ini kurang lebih sesuai dengan yang ditemukan di RSUPN-
CM. Beberapa macam batu saluran kemih, salah satunya adalah batu ureter (IAUI,
2007).
Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistim kalik
ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang ureter yang
biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang turun dari kalik yaitu ureteropelvic
junction (UPJ), persilangan ureter dengan vasa iliaka, dan muara ureter di dinding
buli. Komposisi batu ureter sama dengan komposisi batu saluran kencing pada
umumnya yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium oksalat
monohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sedang sebagian kecil terdiri dari batu
asam urat, batu struvit dan batu sistin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi penanganan batu ureter antara lain letak
batu, ukuran batu, adanya komplikasi ( obstruksi, infeksi, gangguan fungsi ginjal )
dan komposisi batu. Hal ini yang akan menentukan macam penanganan yang kita
putuskan. Misalnya cukup di lakukan observasi, menunggu batu keluar spontan,
atau melakukan intervensi aktif.

4
Kekambuhan pembentukan batu merupakan masalah yang sering muncul
pada semua jenis batu dan oleh karena itu menjadi bagian penting perawatan medis
pada pasien dengan batu saluran kemih (IAUI, 2007).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Batu saluran kemih adalah terbentuknya batu yang disebabkan oleh
pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih seperti garam kalsium,
magnesium, asam urat, atau sistein yang jumlahnya berlebihan atau karena
faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi (Purnomo, 2011).
Ureterolithiasis adalah kalkulus atau batu di dalam ureter. Batu ureter
pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke ureter. Batu ureter
mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian keluar bersama
kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung kemih dan kemudian berupa
nidus menjadi batu kandung kemih yang besar. Batu juga bisa tetap tinggal di
ureter sambil menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan
hidroureter dan hidronefrosis. Jika disertai dengan infeksi sekunder dapat
menimbulkan pionefrosis, urosepsis, abses ginjal, abses perinefrik, abses
paranefrik, ataupun pielonefritis. Tidak jarang terjadi hematuria yang didahului
oleh serangan kolik (Purnomo, 2011).

B. Anatomi dan Fisiologi Ureter


Ureter adalah suatu saluran muskuler berbentuk silinder yang
menghantarkan urin dari ginjal menuju kandung kemih. Panjang ureter adalah
sekitar 20-30 cm dengan diameter maksimum sekitar 1,7 cm di dekat kandung
kemih dan berjalan dari hilus ginjalmenuju kandung kemih. Ureter dibagi
menjadi pars abdominalis,pelvis,danintravesikalis. Dindingnya terdiri atas
mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos sirkuler dan
longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik (berkontraksi) guna
mengeluarkan urine ke buli-buli. Secara anatomis terdapat beberapa tempat
yang ukuran diameternya relative lebih sempit daripada di tempat lain
Sehingga batu atau benda-benda lain yang berasal dari ginjal seringkali
tersangkut. Tempat-tempat penyempitan itu antara lain adalah :
1. Pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau pelvi-ureter junction
2. Tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis

6
3. Pada saat ureter masuk ke buli-buli (Snell, 2006).
Sistem perdarahan ureter bersifat segmental dan berasal dari pembuluh
arteri ginjal, gonad, dan buli-buli dengan hubungan kolateral kaya sehingaa
umumnya perdarahan tidak terancam pada tindak bedah ureter. Persyarafan
ureter bersifat otonom (Snell, 2006).

Gambar 2. Anatomi ginjal

Gambar 1. Anatomi Saluran Kemih

Ureter dibagi menjadi 3 bagian. Yaitu ureter proksimal (dari UPJ sampai
bagian atas sakrum), ureter tengah (bagian atas sakrum sampai pelvic brim) dan
ureter distal (dari pelvic brim sampai muara ureter). Hal ini berkaitan dengan
teknik pembedahan (insisi). Namun dengan berkembangnya terapi minimal
invasif untuk batu ureter, maka saat ini untuk keperluan alternatif terapi, ureter
dibagi 2 saja yaitu proksimal (di atas pelvicbrim) dan distal (di bawah pelvic
brim) (IAUI, 2007).

7
Gambar 2. Anatomi Ureter

C. Etiologi
1. Faktor intrinsik
a. Herediter (keturunan)
Studi menunjukkan bahwa penyakit batu diwariskan.Untuk jenis batu
umum penyakit, individu dengan riwayat keluarga penyakit batu
memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi menjadi batu bekas. Ini
risiko yang lebih tinggi mungkin karena kombinasi dari predisposisi
genetik dan eksposur lingkungan yang sama (misalnya, diet).
Meskipun beberapa faktor genetik telah jelas berhubungan dengan
bentuk yang jarang dari nefrolisiasis (misalnya,cystinuria), informasi
masih terbatas pada gen yang berkontribusi terhadap risiko bentuk
umum dari penyakit batu (Purnomo, 2011).
b. Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun. Untuk
pria, insiden mulai meningkat setelah usia 20, puncak antara 40 dan
60 tahun. Untuk wanita, tingkat insiden tampaknya lebih tinggi pada
akhir 20-an dan pada usia 50 tahunan (Purnomo, 2011).
c. Jenis Kelamin

8
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasienperempuan. Tingginya kejadian BSK pada laki-laki disebabkan
oleh anatomis saluran kemih pada laki-laki yang lebih panjang
dibandingkan perempuan, secara alamiah didalam air kemih laki-laki
kadar kalsium lebih tinggi dibandingkan perempuan (Purnomo, 2011).
2. Faktor ekstrinsik
a. Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih yang lebih tinggi dari pada daerah lain, sehingga dikenal
sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di
Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran
kemih.Prevalensi BSK banyak diderita oleh masyarakat yang tinggal
di daerah pegunungan.Hal tersebut disebabkan oleh sumber air bersih
yang dikonsumsi oleh masyarakat dimana sumber air bersih tersebut
banyak mengandung mineral seperti phospor, kalsium, magnesium,
dan sebagainya.Letak geografi menyebabkan perbedaan insiden BSK
di suatu tempat dengan tempat lainnya.Faktor geografi mewakili salah
satu aspek lingkungan dan sosial budaya seperti kebiasaan
makanannya, temperatur, dan kelembaban udara yang dapat menjadi
predoposisi kejadian BSK (Purnomo, 2011).
b. Iklim dan temperatur
Faktor iklim dan cuaca tidak berpengaruh langsung, namun
kejadiannya banyak ditemukan di daerah yang bersuhu tinggi.
Temperatur yang tinggi akan meningkatkan jumlah keringat dan
meningkatkan konsentrasi air kemih. Konsentrasi air kemih yang
meningkat dapat menyebabkan pembentukan kristal air kemih. Pada
orang yang mempunyai kadar asam urat tinggi akan lebih berisiko
menderita penyakit BSK (Purnomo, 2011).
c. Asupan air
Dua faktor yang berhubungan dengan kejadian BSK adalah jumlah air
yang diminum dan kandungan mineral yang terdapat dalam air minum
tersebut. Bila jumlah air yang diminum sedikit maka akan

9
meningkatkan konsentrasi air kemih, sehingga mempermudah
pembentukan batu saluran kemih (Purnomo, 2011).
d. Diet
Diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih. Diperkirakan diet sebagai faktor
penyebab terbesar terjadinya BSK. Misalnya diet tinggi purine,
kebutuhan akan protein dalam tubuh normalnya adalah 600 mg/kgBB,
dan apabila berlebihan maka akan meningkatkan risiko terbentuknya
BSK. Hal tersebut diakibatkan, protein yang tinggi terutama protein
hewani dapat menurunkan kadar sitrat air kemih, akibatnya kadar
asam urat dalam darah akan naik, konsumsi protein hewani yang
tinggi juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan memicu
terjadinya hipertensi (Purnomo, 2011).
e. Pekerjaan
Sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk dan
kurang aktifitas atau sedentary life(Purnomo, 2011).
f. Kebiasaan menahan buang air kemih
Kebiasaan menahan buang air kemih akan menimbulakan statis air
kemih yang dapat berakibat timbulnya Infeksi Saluran Kemih (ISK).
ISK yang disebabkan oleh kuman pemecah urea dapat menyebabkan
terbentuknya jenis batu struvit (Purnomo, 2011).

D. Patogenesis
Secara teoritis batu dapat terbentuk diseluruh saluran kemih, terutama
pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis urine).
Statis urine dapat terjadi pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya
kelainan bawaan seperti pervikalises (stenosis uretro-pelvis), obstruksi
intravesica kronis seperti pada hiperplasia prostat benigna dan striktur
merupakan keadaan yang dapat meningkatkan terjadinya pembentukan batu
(Purnomo, 2011).
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-
bahan organik maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal

10
tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika
tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi
kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu
(nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-
bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya
cukup besar, agregat Kristal masih rapuh dan belum cukup mampu menyumbat
saluran kemih. Untuk itu agregat Kristal menempel pada epitel saluran kemih
(membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan bahan lain di endapkan pada
agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat
saluran kemih (Purnomo, 2011).
Kondisi metastabel dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di
dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau adanya korpus
alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu (Purnomo,
2011).
Lebih dari 80 % batu saluran kemih terdiri dari batu kalsium, baik yang
berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium
oksalat dan kalsium fosfat, sedangkan sisanya bersalah dari batu asam urat,
batu magnesium amonium fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein , dan
batu jenis lainya. Meskipun patogenesis pembentukan batu hampir sama, tetapi
suasana di dalam saluran kemih yang memungkinkan terbentuknay jenis batu
tidak sama. Dalam hal ini misalkan batu asam urat mudah terbentuk dalam
suasana asam, sedangkan batu magnesium amonium fosfat terbentuk karena
urin bersifat basa (Purnomo,2011).

Bahan organik dan anorganik

Larut dalam urine

11
Kristal

Tetap metastable
Rapuh dan belum mampu menyebabkan obstruksi

Agregat menempel pada epitel


saluran kemih
(retensi kristal)

Membentuk batu besar

Gambar 3. Patogenesis

Batu yang ukuran kecil (< 5mm) pada umumnya dapat keluar spontan
sedangkan yang lebih besar sering kali menetap di ureter dan menyebabkan
reaksi radang (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronis berupa
hidroureter atau hidronefrosis (Purnomo, 2011).
Batu yang terletak pada ureter maupun sistem pelvikalises mampu
menimbulkan obstruksi saluran kemih dan menimbulkan kelainan struktur
saluran kemih sebelah atas. Obstruksi di ureter menimbulkan hidroureter
dan hidronefrosis, batu dapat menimbulkan kaliskstasis pada kaliks yang
bersangkutan. Jika disertai dengan abses perinefrik, abses paranefrik
ataupun pielonefritis. Pada keadaan yang lanjut dapat terjadi kerusakan

12
ginjal, dan jika mengenai kedua sisi mengakibatkan gagal ginjal permanen
(Purnomo, 2011).

Penghambat pembentukan batu saluran kemih


Terbentuk atau tidaknya batu didalam saluran kemih ditentukan juga
oleh adanya keseimbangan antara zat pembentuk batu inhibitor, yaitu zat
yang mampu mencegah timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat
menghambat terbentuknya batu saluran kemih, yang bekerja mulai dari
proses reabsorbsi kalsium di dalam usus, proses pembentukan inti batu atau
kristal, proses agregasi kristal, hingga retensi Kristal(Purnomo, 2011).
Ion magnesium (Mg ++) dikenal dapat menghambat pembentukan batu
karena jika berikatan dengan oksalat, membentuk garam magnesium oksalat
sehingga jumlah oksalat akan berikatan dengan kalsium (Ca ++) untuk
membentuk kalsium oksalat menurun. Demikian pula sitrat,sehingga
jumlah kalsium yang akan berikatan dengan okslat ataupunfosfat berkurang.
Hal ini menyebabkan kristal kalsium oksalat atau kalsium fosfat jumlahnya
berkurang(Purnomo, 2011).
Beberapa protein atau senyawa organik lain mampu bertindak sebagai
inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan kristal, menghambat
agregasi kristal, maupun menghambat retensi kristal. Senyawa itu antara
lain adalah: Glikosaminogen (GAG), protein Tamm Horsfall (THP) atau
Uromukoid, nefrokalsin dan osteopontin. Defisiensi zat zat yang berfungsi
sebagai inhibitor batu merupakan salah satu faktor penyebab batu salauran
kemih(Purnomo, 2011).

E. Klasifikasi Batu Saluran Kemih


Batu saluran kemih dapat diklasifikasikan berdasarkan: ukuran batu,
lokasi batu, karakteristik batu berdasarkan x-ray, etiologi pembentuk batu,
komposisi batu, dan risiko terbentukanya batu berulang (EAU, 2013).

13
14
F. Diagnosis
Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius tergantung
padaadanya obstruksi, infeksi, dan edema (Tanagho et.all, 2004). Ketika batu
menghambat aliran urin, terjadinya obstruksi menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi
(pielonefritis dan sistitis yang disertai menggigil, demam, dan disuria) dapat
terjadi dari iritasi batu yang terus-menerus. Beberapa batu, jika ada,
menyebabkan sedikit gejala namun secara perlahan merusak unit fungsional
(nefron) ginjal; sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan
ketidaknyamanan (Alrecht et al, 2002). Tanda dan gejala penyakit batu saluran
kemih ditentukan oleh letaknya, besarnya dan morfologinya.
1. Anamnesis
Pasien mengeluh nyeri yang hebat (kolik). Nyeri ini dapat menjalar
hingga ke perut bagian depan, perut sebelah bawah, daerah inguinal, dan
sampai ke kemaluan. Gerakan peristaltik ureter mencoba mendorong batu
ke distal, sehingga menimbulkan kontraksi yang kuat dan dirasakan sebagai
nyeri hebat (kolik). Pasien juga mengeluh nyeri pada saat kencing atau
sering kencing. Ini disebabkan oleh letak batu yang berada di sebelah distal

15
ureter. Hematuria sering kali dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada
mukosa saluran kemih yang disebabkan oleh batu Batu yang ukurannya
kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang lebih
besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi peradangan
(periureteritis) maka akan ditemukan demam. Pasien juga kemungkinan
mengalami gejala-gejala gastrointestinal seperti mual, muntah dan distensi
abdomen (Alrecht et al, 2002; IAUI, 2007).
2. Pemeriksaan fisis
Inspeksi
Terlihat pembesaran pada daerah pinggang atau abdomen sebelah atas.
Pembesaran ini mungkin karena hidronefrosis.
Palpasi
Ditemukan nyeri tekan pada abdomen sebelah atas. Bisa kiri, kanan atau
dikedua belah daerah pinggang. Pemeriksaan bimanual dengan memakai
dua tangan atau dikenal juga dengan nama tes Ballotement. Ditemukan
pembesaran ginjal yang teraba disebut Ballotement positif.
Perkusi
Ditemukan nyeri ketok pada sudut kostovertebra yaitu sudut yang dibentuk
oleh kosta terakhir dengan tulang vertebra (Tanagho et al, 2004; IAUI,
2007)
3. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
a)Urinalisis
Makroskopik didapatkan gross hematuria.
Mikroskopik ditemukan sedimen urin yang menunjukkkan adanya
leukosituria,hematuria, kristal-kristal pembentuk batu.
Pemeriksaan kimiawi ditemukan pH urin lebih dari 7,6 menunjukkan
adanya pertumbuhan kuman pemecah urea dan kemungkinan terbentuk
batu fosfat. Bisa juga pH urin lebih asam dan kemungkinan terbentuk
batu asam urat.
Pemeriksaan kultur urin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman
pemecah urea.

16
Pemeriksaan Faal Ginjal. Pemeriksaan ureum dan kreatinin adalah untuk
melihat fungsi ginjal baik atau tidak. Pemeriksaan elektrolit untuk
memeriksa factor penyebab timbulnya batu antara lain kadar kalsium,
oksalat, fosfat maupun urat di dalam urin.
b)Pemeriksaan Darah Lengkap
Dapat ditemukan kadar hemoglobin yang menurun akibat terjadinya
hematuria. Bisa juga didapatkat jumlah lekosit yang meningkat akibat
proses peradangan di ureter.
Radiologis
Foto BNO-IVP untuk melihat lokasi batu, besarnya batu, apakah terjadi
bendungan atau tidak. Pada gangguan fungsi ginjal maka IVP tidak dapat
dilakukan; pada keadaan ini dapat dilakukan retrograd pielografi atau
dilanjutkan dengan antegrad pielografi, bila hasil retrograd pielografi tidak
memberikan informasi yang memadai. Pada foto BNO batu yang dapat
dilihat disebut sebagai batu radioopak, sedangkan batu yang tidak tampak
disebut sebagai batu radiolusen, berikut ini adalah urutan batu menurut
densitasnya, dari yang paling opaq hingga yang paling bersifat radiolusent;
calsium fosfat, calsium oxalat, magnesium amonium fosfat, sistin, asam
urat, xantine.

Normal

17
Pielografi intra vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Juga
untuk mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non-opak yang tidak
terlihat oleh foto polos abdomen.

IPV menit ke 5
Pada menit ke-5, organ yang dinilai yaitu perginjalan, yang
meliputi nefrogram dan sistem pyelocalices (SPC). Nefrogram yaitu
bayangan dari ginjal kanan dan kiri yang terisi kontras. Warnanya
semiopaque, jadi putihnya sedang-sedang saja.
Pada menit ke-5, contoh penyakit yang bisa diketahui yaitu
penyakit-penyakit yang ada di ren, misalnya pyelonefritis,
nefrolitiasis, hidronefrosis, massa/tumor renal, dll.

Menit ke 15

18
Penilaian ureter:
1. Jumlah ureter.
Terkadang, ureter bisa hanya nampak 1 aja, itu mungkin di
sebabkan kontraksi ureter saat pengambilan foto, jadi tidak
nampak ketika difoto.
2. Posisi ureter.
3. Kaliber ureter.
Maksudnya diameternya, normal < 0.5 cm.
4. Ada tidaknya batu, baik lusen maupun opaque.
Kemudian nyatakan bentuk, jumlah, ukuran, dan letak batu.
Contoh penyakit pada menit ke 15 diantaranya: hidroureter,
ureterolithiasis, ureteritis.

Menit ke 45

Menit ke 45 : Menilai buli-buli.


Apakah dinding buli reguler? adakah additional shadow
(divertikel) ataupun filling defect (masa tumor) dan indentasi
prostat.
gambaran dinding yang menebal ireguler dicurigai adanya
sistitis kronis.
Contoh penyakit pada menit ke 45 yaitu cystitis, pembesaran
prostat, massa vesikolithiasis

19
Post miksi

POST MIKSI
Kita harus menilai apakah setelah pasien berkemih kontras di
buli minimal? Seandainya terdapat sisa yang banyak kita dapat
mengasumsikan apakah terdapat sumbatan di distal buli ataupun otot
kandung kencing yang lemah. Normalnya yaitu sisa 1/3 dari buli-buli
penuh

Urografi Retrograde
Indikasi urografi retrograde adalah untuk melihat anatomi traktus
urinarius bagian atas dan lesi-lesinya. Hal ini dikerjakan apabila pielografi
intravena tidak berhasil menyajikan anatomi dan lesi-lesi traktus
urinarius bagian atas. Keistimewaan urografi retrigrad berguna melihat
fistel.
Urografi retrograd memerlukan prosedur sistoskopi. Kateter
dimasukkan oleh ahli urologi. Kerjasama antara ahli urologi dan radiologi
diperlukan karena waktu memasukkan kotras, posisi pasien dapat dipantau
(dimonitor) dengan fluoroskopi atau televisi. Udara dalam kateter
dikeluarkan, kemudian 25 % bahas kontras yang mengandung iodium
disuntikkan dengan dosis 5-10 ml dibawah pengawasan fluoroskopi.
Harus dicegah pengisian yang berlebihan karena risiko ekstravasasi ke
dalam sinusrenalis atau intravasasi ke dalam kumpulan saluran-saluran

20
(collecting duct). Ekstravasasi kontras dapat menutupi bagian-bagian yang
halus dekat papilla. Rutin dibuat proyeksi frontal dan oblik. Kemudian
kateter diangkat pada akhir pemeriksaan, lalu dibuat foto polos abdomen.
Jika ada obstruksi dibuat lagi foto 15 menit kemudian.
Komplikasi dapat berupa sepsis, perforasi ureter, ekstravasasi
bahankontras, reaksi bahan kontras, hematuri dan anuri berhubung dengan
edema pada sambungan ureter dan vesika.

Ultrasonografi
USG dikerjakan bila tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV yaitu pada
keadaan seperti allergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun
dan pada wanita yang sedang hamil. Terlihat gambaran echoic shadow jika
terdapat batu.

Usg ginjal normal

21
Ct scan
Tehnik CT scan adalah tehnik pemeriksaan yang paling baik untuk melihat
gambaran semua jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana terjadinya
obstruksi.

Normal

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pemeriksaan MRI manfaat utamanya pada ginjal adalah untuk
mendeteksi adanya massa ginjal. Keuntungan dari pemeriksaan MRI
adalah memberikan gambaran multiplanar, secara jelas memberikan
gambaran antara jaringan normal dengan jaringan yang patologis serta
tidak ada efek radiasi.

Normal

22
G. Penatalaksanaan
Beberapa faktor yang mempengaruhi penanganan batu saluran kemih
antara lain letak batu,ukuran batu, adanya komplikasi (obstruksi, infeksi,
ganggguan fungsi ginjal) dan komposisi batu. Hal ini yang akan menentukan
macam penanganan yang diputuskan. Misalnya cukup dilakukan observasi,
menunggu batu keluar spontan atau melakukan intervensi aktif. Perlu diketahui
bahwa pengeluaran batu pada saluran kemih baru dapat diperlukan apabila
terdapat indikasi sebagai berikut: (1) obstruksi saluran kemih, (2) infeksi, (3)
nyeri menetap atau nyeri berulang, (4) batu metabolik yang tumbuh cepat
(Shanmugam et al, 2011).

Terapi konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter < 5 mm. Seperti
disebutkansebelumnya, batu ureter < 5 mm bisa keluar spontan. Karena itu
dimungkinkanuntuk pilihan terapi konservatif berupa :
1. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
2. blocker
3. NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu
syaratlain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya
infeksidan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan observasi
bukanmerupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi, apalagi pada
pasienpasientertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan penurunan
fungsiginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus
segeradilakukan intervensi (EAU, 2013).

Operatif
Dahulu sebelum alat-alat minimal invasif berkembang, untuk keperluan
penanganan batu ureter, ureter dibagi menjadi 3 bagian. Yaitu ureter proksimal
(dari UPJ sampai bagian atas sakrum), ureter tengah (bagian atas sakrum
sampai pelvic brim) dan ureter distal (dari pelvic brim sampai muara ureter).
Hal ini berkaitan dengan teknik pembedahan (insisi). Namun dengan

23
berkembangnya terapi minimal invasif untuk batu ureter, maka saat ini untuk
keperluan alternatif terapi, ureter dibagi 2 saja yaitu proksimal (di atas
pelvicbrim) dan distal (di bawah pelvic brim) (IAUI, 2007).
Batu ureter dengan ukuran < 4 mm, biasanya cukup kecil untuk bisa
keluar spontan. Karena itu ukuran batu juga menentukan alternatif terapi yang
akan kita pilih. Komposisi batu menentukan pilihan terapi karena batu dengan
komposisi tertentu mempunyai derajat kekerasaan tertentu pula, misalnya batu
kalsium oksolat monohidrat dan sistin adalah batu yang keras, sedang batu
kalsium oksolat dihidrat biasanya kurang keras dan mudah pecah (IAUI, 2007).
Adanya komplikasi obstruksi dan atau infeksi juga menjadi
pertimbangan dalam penentuan alternatif terapi batu ureter. Tidak saja
mengenai waktu kapan kita melakukan tindakan aktif, tapi juga menjadi
pertimbangan dalam memilih jenis tindakan yang akan kita lakukan.
Secara garis besar terdapat beberapa alternatif penanganan batu ureter
yaitu observasi, SWL, URS, PNL, dan bedah terbuka. Ada juga alternatif lain
yang jarang dilakukan yaitu laparoskopi dan ekstraksi batu ureter tanpa
tuntunan(blind basketing).

ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)


Alat ESWL adalah pemecah batu yang digunakan untuk memecah batu
ginjal, batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif
dan tanpa pembiusan. Metode ESWL menggunakan teknologi dengan
gelombang kejut, efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan tindakan
operasi. Batu dipecah menjadi fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan
melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan batu yang sedang keluar
menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria (Purnomo,
2011).
Angka keberhasilan tindakan ini rata-rata mencapai 90 persen,
tergantung jenis dan ukuran batu. Tindakan ini memerlukan waktu sekitar 1
jam dan biasanya tidak memerlukan rawat inap. Pada kasus dengan faktor
penyulit perlu perawatan lebih lama hingga rawat inap.

24
Gambar 4. Alat Extracorporeal Shockwave Lithotripsy

Kontraindikasi SWL:
1. Wanita hamil
2. Gangguan pembekuan darah
3. Infeksi saluran kemih
4. Malformasi tulang yang berat dan obesitas
5. Aneurisma arteri di sekitar batu
6. Anatomical distruction distal of the stone (EAU, 2013)
Komplikasi SWL untuk terapi batu ureter hampir tidak ada. Tetapi
SWL mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain bila batunya keras (
misalnya kalsium oksalat monohidrat ) sulit pecah dan perlu beberapa kali
tindakan. Juga pada orang gemuk mungkin akan kesulitan. Penggunaan SWL
untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan anak-anak juga harus
dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada kemungkinan terjadi kerusakan
pada ovarium. Meskipun belum ada data yang valid, untuk wanita di bawah
40 tahun sebaiknyadiinformasikan sejelas-jelasnya.

Uteroskopi
Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah
secara dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah
batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu
ureter. Juga batu ureter dapat diekstraksi langsung dengan tuntunan URS.

25
Dikembangkannya semirigid URS dan fleksibel URS telah menambah
cakupan penggunaan URS untuk terapi batu ureter. Keterbatasan URS adalah
tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga perlu alat
pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan
jenis pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing
operator danketersediaan alat tersebut (EAU, 2013; IAUI, 2007).

Bedah terbuka
Di klinik atau rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas yang
memadai untuktindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, maka
pengambilan batu masihdilakukan melalui pembedahan terbuka.
Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin
masihdilakukan. Tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi
bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior. Meskipun
demikian dewasa ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih tinggal 1
-2 persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan kelainan anatomi
atau ukuran batu ureter yang besar.
Indikasi operasi terbuka
1. Complex stone burder
2. Treatment failure of SWL and/or PNL, or URS
3. Abnormalitas anatomi intrarenal
4. Obesitas
5. Deformitas tulang terutama kaki dan panggul
6. Keinginan pasien (EAU, 2013)

Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter
terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam
penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai tanda-
tanda obstruksi,pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter yang
melekat (impacted).
H. Komplikasi

26
Dibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang.
Komplikasiakut yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian,
kehilangan ginjal,kebutuhan transfusi dan tambahan intervensi sekunder yang
tidak direncanakan.Data kematian, kehilangan ginjal dan kebutuhan transfusi
pada tindakan batuureter memiliki risiko sangat rendah. Komplikasi akut dapat
dibagi menjadi yangsignifikan dan kurang signifikan. Yang termasuk
komplikasi signifikan adalahavulsi ureter, trauma organ pencernaan, sepsis,
trauma vaskuler, hidro ataupneumotorak, emboli paru dan urinoma. Sedang
yang termasuk kurangsignifikan perforasi ureter, hematom perirenal, ileus,
stein strasse, infeksi lukaoperasi, ISK dan migrasi stent.
Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak
hanyadisebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari
batu,terutama yang melekat (IAUI, 2007).

I. Prognosis
Prognosis batu ureter tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak
batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin
buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat
mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya
infeksi karena faktor obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal. Pembedahan pada hidronefrosis akut biasanya berhasil jika infeksi dapat
dikendalikan dan ginjal berfungsi dengan baik (Wedro, 2010).

J. Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur
yang menyusun batu ureter yang diperoleh dari analisis batu. Pada umumnya
pencegahan itu berupa (Purnomo, 2011):
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup 8 liter/hari dan diusahakan
produksi urin 2-3 liter per hari.
2. Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu.
3. Aktivitas harian yang cukup.
4. Pemberian medikamentosa.

27
Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah:
1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan
menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.
2. Rendah oksalat.
3. Rendah garam, karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri.
5. Rendah purin.
Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang menderita
hiperkalsiuri tipe II.

28
BAB III
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. NB
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 41 Tahun
Status : Sudah menikah
Alamat : Jl. Primatama
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Swasta
MRS : 5 Februari 2017

1.2 Anamnesis (tanggal 5 Februari 2017)


1. Keluhanutama: Nyeri pinggang bagian kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri yang dirasakan pasien sejak bulan Januari 2017. Nyeri
menjalar dari pinggang kiri sampai ke bagian perut, nyeri hilang timbul.
Pasien juga sering merasakan demam dan mengigil, tidak ada mual dan
muntah, makan dan minum baik, BAB baik, riwayat BAK berwarna
kecoklatan, riwayat BAK keluar batu tidak ada, BAK berwarna merah tidak
ada. BAK berpasir tidak ada.
Pasien pada bulan November pernah diopname di RS dengan
keluhan yang sama. Pasien juga sudah melalukan pemeriksaan USG dengan
hasil diagnosa batu ureter kiri dan pasien disarankan untuk operasi. Tetapi
pasien sebelum melakukan tindakan operasi pasien diberi obat untuk
menghancurkan batu tersebut, tetapi selama pasien kontrol ke poli tidak ada
perubahan sampai sekarang. Maka dari itu pasien harus di opname untuk
dilakukan tindakan operasi.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali sakit seperti ini.

29
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga kakak pasien pernah mengalami penyakit seperti yang
pasien alami.
5. Riwayat Psikososial
Pasien merupakan pekerja kantoran. Riwayat alkohol (-), riwayat
merokok (-). Kebiasan pasien setiap hari minum 500 1000ml/ hari.
6. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
TTV : Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,6C
Status Generalis :
- Kepala :Bentuk simetris
- Mata :Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil
isokor(+/+), reflek cahaya (+/+)
- Telinga :Simetris (-/-)
- Hidung :Deviasi septum (-), perdarahan (-/-)
- Mulut :Mulut tidak kotor, faring tidak hiperemis
- Leher :Pembesaran kelenjar getah bening (-/-), JVP tidak
meningkat
- Thorax :Simetris, ikut gerak nafas, retraksi (-)
- Jantung :Bunyi jantung I,II reguler, gallop (-), murmur (-)
- Paru-paru :
Inpeksi : simetris
Palpasi : vocal premitus kedua lapang paru sama
Perkusi : bunyi sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+),rhonki (-/-), Wheezing
(-/-)
- Abdomen :

30
Inpeksi : cembung
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeti tekan (-)
Perkusi : tympani
- Ekstremitas atas : akral hangat +/+, edema -/-, krepitasi -/-,deformitas -/-
,CRT <2 detik
- Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, edema -/-, krepitasi -/-, deformitas -
/-, CRT < 2 detik.

Status Urologi:
- Flank kiri :
Nyeri ketok (+)
Nyeri tekan (+)

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Radiologi

No. Foto BNO IVP Keterangan


1.
Tampak opasitas bentuk
oval pada paravertebralis
kiri setinggi VL 4 (ukuran
sekitar 0,7 x 0,56 cm )

2.
7

31
Bentuk , letak, ukuran
dan aksis normal. Pada
menit ke 7 tampak
ekskresi kontras, PCS
tidak melebar , tak tampak
felling defect

3.
15
Menilai sistem
pelviokalises sampai
dengan kedua ureter dan
mengevaluasi kemampuan
ginjal
Ureter kanan tak melebar,
tak tampak bendungan

4.
30
Foto ini digunakan untuk
mengevaluasi kemampuan
ginjal mensekresikan
bahan kontras.

5.
45

32
6.
60
Ginjal kiri: bentuk, letak,
ukuran dan aksis normal.
Sampai akhir pemeriksaan
menit 60 tak tampak
ekskresi kontras, PCS tak
dapat dinilai.
Ureter kiri: tak dapat dinilai
VU:dinding regular, tidak
tampak filling defect,
identasi dan additional
shadow

7.
Foto setelah berkemih:
sisa kontras pada vesica
urinaria banyak

33
8. Diagnosis Kerja
Batu Ureter Proximal Sinistra
11. Penatalaksanaan
- IVFD RL 500cc 20 tpm
- Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
- Inj. Ranitidin 2x1 amp
- Inj. Ketorolac 3x1 amp
- Tindakan operasi
12. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam :dubia ad bonam

34
DAFTAR PUSTAKA

Alrecht, H. Tiselius, G., Hans, Andre, J. 2002. Urinary Stone Diagnosis, Treatment
and Prevention of Recurrence : 2nd edition

Anonim. 2012. Dasar-dasar Radiologi BNO-IVP. Diambil dari


http://catatansangdokterahli.blogspot.com/2012/07/dasar-dasar-radiologi-foto-
bno-ivp.html pada tanggal 2 Februari 2017

European Association of Urology (EAU). 2013. Guidelines on Urolithiasis.


Available from: www.uroweb.org/individual-guidelines/non-oncology-
guidelines. Diakses pada tanggal 21 April 2014

Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IUAI). 2007. Guidelines Batu Saluran Kemih.
Avalable from: www.iaui.or.id/info/guid.php. Diakses pada tanggal 21 April
2014

Purnomo, B.B. 2011. Batu Saluran Kemih. Dalam Dasar Dasar Urologi, Edisi
Kedua. Jakarta : Sagung Seto

Shanmugam, et al. 2011. Profil Analisis Penyakit Batu Saluran Kemih di


Departemen Bedah Urologi RSU dr. Saiful Anwar dari Mei 2009-2011.
Universitas Brawijaya

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC

Tanagho EA, McAninch JW. 2004. Smiths General Urology. Edisi ke-16. New
York : Lange Medical Book.

Wedro, Benjamin. 2010. Hydronephrosis. Medicinet.


http://www.medicinenet.com/hydronephrosis/page5.htm

35

Anda mungkin juga menyukai