Anda di halaman 1dari 36

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : By.Ny.S.A

Tanggal Lahir : 27/04/2022

Jenis kelamin : Perempuan

BBL : 3.345 gram

PBL : 49 cm

Agama : Islam

Alamat : Bombana

No. RM : 06 04 61

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : sesak

 Anamnesis Terpimpin

Telah lahir bayi tidak segera menangis, badan biru, ketuban campur

mekonium, tonus otot lemah, indikasi SC KPD dan Gawat Janin. Apgar

Score 3.

 Riwayat Kehamilan Ibu :

1) Riwayat Antenatal : Riwayat konsumsi alcohol atau obat-obatan saat

hamil disangkal. Riwayat penyakit yang diderita saat hamil (-).

2) Riwayat Intranatal : -
C. PEMERIKSAAN FISIK

KU : Sakit berat

Pucat : (-) Sianosis : (+) Tonus : Baik

Ikterus : (-) Turgor :Kembali cepat Edema : (-)

Antropometri : BBL : 3.345 gr │ PB : 49 cm

Tanda Vital :

Nadi : 149 x/menit

Pernapasan: 70 x/menit

Suhu : 35,7 C

Sp02 : 96 % (O2)

Kepala : Normocephal

Ubun-Ubun: Belum tertutup

Muka : Simetris kanan dan kiri

Rambut : Berwarna hitam, tidak mudah dicabut

Telinga :Otorhea (-)deformitas (-)

Mata : Konjungtiva anemis(-), Sklera ikterik (-)

Hidung : Rinorhea (-), Epistaksis(-)

Bibir : Kering(-), pucat (-),

Lidah : Lidah kotor (-)

Mulut : Sianosis(-), pucat(-), kering(-)

Gigi : Caries (-)

Tenggorok : Hiperemis (-), Tonsil T1-T1

Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)

2
Bentuk dada : Simetris Kiri dan Kanan

Paru :

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi subcostal (+)

Palpasi : Massa (-) | Nyeri Tekan (-) | Krepitasi (-)

Perkusi : Sonor kedua lapangan paru

Aukultasi : Bronkovesikuler +/+│Rhonki -/- │ Wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidaktampak

Palpasi : Ictus cordis tidakteraba

Perkusi : Pekak

Auskultasi : BJ I/II murni regular, bunyi tambahan (-)

Batas kiri : ICS V Linea midclavicularis (S)

Batas kanan : ICS IV Linea parasternalis (D)

Irama : BJ I/II murni regular

Souffle :-

Thrill :-

Abdomen :

Inspeksi : Datar,ikut gerak napas

Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal

Perkusi : tymphani

Palpasi : distensi (-) nyeri tekan (-) regio epigastrium

Alat kelamin : Tidak ditemukan adanya kelainan

3
Ekstremitas : Akral hangat (+), Tonus lemah, Spastik (-), Ekstremitas

Dalam Batas Normal

Apgar Score : 3 (A 0, P 2, G 0, A 0, 1)

D. DIAGNOSIS KERJA

ASFIKSIA + RDN

E. PENATALAKSANAAN

1. Perwatan rutin bayi baru lahir, (Reposisi, suction lendir, bersihkan jalan

napas, jepit dan potong tali pusat, Inj. Vit K, Oles Zalf Oxy mata)

2. O2 sungkup 8 lpm, VTP (+) Via Sungkup Neopuff

3. CPAP FiO2 41% dengan (Air 6, O2 2, PEEP 7)

4. Kebutuhan cairan hari ini 60 cc/kgbb/hari: 160,56 cc/hr

5. IVFD Dextrose 10% 6,7cc/jam/SP

6. Ceftazidene 100mg/12j/iv

7. Gentamicin 13,5mg/24 j/iv

8. OGT dekompresi

4
1. FOLLOW UP

Tanggal
27/04/2022 S : lemah  CPAP FiO2 41% dengan
Apgar Score awal : 3 (Air 6, O2 2, PEEP 7)
Downe score 6  Kebutuhan cairan hari ini
60 cc/kgbb/hari: 160,56
O : KU : Sakit berat cc/hr
N:  129x/menit  IVFD Dextrose 10%
P: 72x/menit 6,7cc/jam/SP
S: 36 0C  Ceftazidene
SpO2: 97% 100mg/12j/iv
 Gentamicin 13,5mg/24
Kepala : Normo Cephal
j/iv
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-)
 OGT dekompresi
Edema Palpebrae (-/-)
Hidung : Rinore(-/-),  Inkubator
Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-),
menghisap (-)
Thoraks : I : Normochest, retraksi
subcosta (+) Interscostal (+), distres
napas (+)
Abdomen : Distended (-), tali pusat
dbn
Extremitas : sianosis (-), ikterik (-)

A : RDN

28/04/2022 S : lemah  CPAP FiO2 41% dengan


Apgar Score awal : 3 (Air 6, O2 2, PEEP 7)
Downe score 6  Kebutuhan cairan hari ini
80 cc/kgbb/hari: 292,2
O : KU : Sakit berat cc/hr
N:  130x/menit  IVFD Dextrose 10% 11
P: 74x/menit cc/jam/SP
S: 36 0C  Ceftazidene
SpO2: 97% 100mg/12j/iv
 Gentamicin 13,5mg/24
Kepala : Normo Cephal
j/iv
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-)
 OGT dekompresi
Edema Palpebrae (-/-)
Hidung : Rinore(-/-),  Inkubator
Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-),
menghisap (-)
Thoraks : I : Normochest, retraksi

5
subcosta (+) Interscostal (+), distres
napas (+)
Abdomen : Distended (-), tali pusat
dbn
Extremitas : sianosis (-), ikterik (-)

A : RDN

BAB II

6
TINJAUAN PUSTAKA

A. Asfiksia Neonatorum

1. Definisi

Istilah asfiksia sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti nadi

yang berhenti (stopping of the pulse). Asfiksia terjadi apabila terdapat

kegagalan pertukaran gas di organ, definisi asfiksia sendiri menurut

WHO adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera

setelah lahir.1

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas

spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin

meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan

lebih lanjut.2

2. Epidemiologi

Berdasarkan data dari WHO November 2013, jumlah kelahiran bayi

hidup di Indonesia pada tahun 2010 adalah 4.371.800, dengan kelahiran

prematur sebanyak 675.700 (15,5 per 100 kelahiran hidup) dan angka

kematian sebesar 32.400 (nomor 8 penyebab kematian di Indonesia).

Dalam 10 tahun terakhir, angka Kematian Neonatal di Indonesia

cenderung stagnan yaitu 20/1000 kelahiran hidup menjadi 19/1000

kelahiran hidup (SDKI 2012). Selain itu proporsi kematian neonatal

terhadap kematian anak balita cenderung meningkat dari 43% (SDKI

2002/2003) menjadi 48% (SDKI 2012). Penyebab utama kematian

7
neonatal pada minggu pertama (0-6 hari) adalah asfiksia (36 %), BBLR/

Prematuritas (32%) serta sepsis (12%) sedangkan bayi usia 7-28 hari

adalah sepsis (22%), kelainan kongenital (19%) dan pneumonia (17 %).

Upaya menurunkan angka kematian bayi adalah perawatan antenatal dan

pertolongan persalinan sesuai standar yang harus disertai dengan

perawatan neonatal yang adekuat dan upaya untuk menurunkan kematian

bayi akibat bayi berat lahir rendah, infeksi pasca lahir (seperti tetanus

neonatorum, sepsis), hipotermia dan asfiksia.1

3. Etiologi

Beberapa penyebab terjadinya asfiksia yaitu faktor ibu, faktor janin

dan faktor tali pusat. Faktor janin yaitu prematur, persalinan sulit,

kelainan kongenital, dan air ketuban bercampur dengan mekonium.

Faktor ibu diantaranya adalah preeklampsia, eklampsia, perdarahan

antepartum, partus lama, demam selama persalinan, infeksi berat,

kehamilan post-matur, gangguan pertukaran nutrisi atau oksigen, dan

gangguan his. Sedangkan faktor tali pusat diantaranya yaitu lillitan tali

pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, prolapsus tali pusat, tekanan

pada tali pusat dan ketuban pecah dini.3

a. Primapara dan Grandemulti

Pada ibu primipara, ibu berisiko untuk melahirkan bayi dengan

asfiksia dikarenakan pada ibu primi dimungkinkan proses persalinan

yang dilalui lebih lama daripada ibu multi akibatnya bayi yang

terlalu lama dalam proses persalinan tersebut akan mengalami

8
asfiksia. Sedangkan pada ibu grandemulti juga berisiko terjadinya

asfiksia dikarenakan fungsi seluruh organ tubuh yang mulai

menurun. Hal ini bisa mengakibatkan berbagai macam komplikasi

yang bisa terjadi pada ibu dan janinnya, salah satu komplikasi yang

timbul pada janin yaitu asfiksia.4

b. Usia kehamilan kurang dari 37 minggu.

Pada teori dijelaskan bahwa persalinan dengan umur kehamilan

preterm atau umur kehamilan di bawah 37 minggu mengakibatkan

kurang matangnya perkembangan paru bayi sehingga dapat

menyebabkan terjadinya gangguan pernapasan. Persalinan premature

atau kurang dari 37 minggu lebih berisiko meningkatkan kejadian

asfiksia pada janin, hal ini disebabkan pada bayi yang lahir pada usia

kehamilan kurang dari 37 minngu organ – organ belum terbentuk

secara sempurna begitu pula dengan paru janin juga belum matang

untuk bertahan hidup diluar rahim. Karena organ – organ belum

matang . Termasuk sistem pernafasan akibatnya ketika bayi lahir,

bayi akan mengalami gangguan pada pernafasan dan tidak bisa

bernafas secara spontan setelah lahir. Bila dilihat dari cara

persalinannya, hampir seluruh dari responden dilahirkan dengan

menggunakan manual aid.4

c. Persalinan sungsang

9
Menurut teori persalinan sungsang yang dilakukan dengan

manual aid berisiko terjadinya asfiksia dikarenakan saat sebagian

besar badan janin telah lahir, terjadilah pengecilan rahim, sehingga

terjadi gangguan sirkulasi plasenta dan akan menyebabkan asfiksia

saat bayi lahir ada persalinan sungsang dengan cara manual aid

ketika badan janin yang sebagian sudah berada di luar rahim,

terdapat rangsangan yang kuat untuk janin bernapas. Hal ini

mengakibatkan darah, mucus, cairan amnion serta mekonium akan di

aspirasi oleh bayi dan dapat menyebabkan bayi mengalami anoksia

selain itu ketika kepala janin sudah masuk ke panggul akan

menyebabkan terjepitnya tali pusat sehingga terjadi gangguan aliran

oksigen dari plasenta ke janin yang akhirnya akan menyebabkan bayi

mengalami asfiksia.4

d. Ibu Anemia dan Hipertensi

Bila dilihat dari penyakit yang menyertai ibu, sebagian kecil ibu

mempunyai penyakit anemia dan hampir setengah dari ibu hamil

mempunyai penyakit hipertensi. Menurut teori anemia ini

mengakibatkan kemampuan transportasi O2 turun sehingga

konsumsi O2 janin tidak terpenuhi. Hal inilah yang mengakibatkan

bayi lahir asfiksia. Sedangkan pada ibu dengan hipertensi terjadi

peningkatan hambatan pada pembuluh darah perifer yang akan

mempengaruhi aliran darah dari uterus ke plasenta sehingga

berakibat pada hipoksia janin. Pada ibu bersalin dengan anemia

10
berisiko menyebabkan bayi lahir dengan asfiksia. Yang mana

Anemia merupakan suatu keadaan dimana jumlah eritrosit yang

beredar menurun. Akibatnya, terjadi pula penurunan transportasi

oksigen dari paru ke jaringan perifer. Jika transportasi oksigen makin

turun, maka konsumsi oksigen janin berkurang atau tidak terpenuhi.

Karena tidak terpenuhinya kebutuhan oksigen tersebut akibatnya

bayi mengalami asfiksia. Begitu pula dengan hipertensi, hipertensi

pada kehamilan dan persalinan merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Hal ini berisiko

menyebabkan asfiksia pada janin dikarenakan pada ibu – ibu yang

memiliki hipertensi terjadi gangguan aliran pada plasenta sehingga

suplai makanan dan oksigen dari ibu ke janin berkurang. Dengan

berkurangnya suplai oksigen dari ibu ke janin, pada saat proses

persalinan janin akan mengalami hipoksia hingga akhirnya saat bayi

sudah lahir bayi mengalami asfiksia.4

e. Tali Pusat

Menurut teori, jika terjadi lilitan tali pusat pada bayi, ketika

kepala janin makin masuk ke dasar panggul, maka makin erat lilitan

tali pusat dan makin terganggu aliran darah menuju dari janin. Pada

saat proses persalinan, penolong mempunyai peranan penting agar

bayi tidak mengalami asfiksia, jika terdapat lilitan tali pusat pada

bayi maka akan terjadi gangguan aliran darah dari plasenta ke tali

pusat akibatnya akan terjadi asidosis respiratoir dan metabolik pada

11
janin, sehingga oksigenisasi ke janin berkurang, karena oksigen dari

plasenta menuju ke janin berkurang maka terjadilah asfiksia saat

bayi lahir.4

f. Berat Bayi Lahir Rendah

Bila dilihat dari berat badan lahir, sebagian kecil bayi lahir

dengan berat badan kurang dari 2500 gram dan lebih dari 3500 gram.

Menurut teori makin rendah berat badan bayi lahir maka makin

tinggi pula resiko bayi lahir yang mengalami gangguan pernafasan.

Sedangkan makin besar bayi maka makin lama proses persalinannya,

sehingga bayi berisiko mengalami gangguan pernafasan. Berat badan

janin pada saat lahir juga menjadi salah satu faktor yang dapat

menyebabkan bayi mengalami asfiksia. Jika bayi lahir dengan berat

badan kurang dari 2500 gram atau berat badan lahir rendah, ada dua

kemungkinan yang terjadi, yang pertama bayi mengalami kelahiran

secara premature dan yang kedua bayi mengalami gangguan

pemenuhan kebutuhan nutrisi sehingga bayi mengalami gangguan

pertumbuhan. Keduanya memungkinkan bayi mengalami gangguan

pernafasan setelah lahir sehingga bayi akan mengalami asfiksia.

Sedangkan pada bayi yang mempunyai berat badan lebih dari 3500

gram juga mempunyai risiko untuk terjadinya asfiksia karena proses

persalinannya cenderung lebih lama sehingga bayi mengalami

kesulitan bernafas spontan saat lahir.4

4. Patogenesis

12
Oksigen sangat penting bagi kehidupan sebelum dan setelah

persalinan. Selama didalam rahim, janin mendapatkan oksigen dan

nutrisi dari ibu melalui plasenta. Sebelum lahir, alveoli paru-paru bayi

yang menguncup dan berisi cairan. Paru-paru janin tidak berfungsi

sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan CO2 ( karbon

dioksida ) sehingga paru-paru tidak perlu diperfusi atau dialiri darah

dalam jumlah besar. Setelah lahir, bayi tidak berhubungan dengan

plasenta lagi sehingga akan bergantung kepada paru-paru sebagai sumber

utama oksigen. Oleh karena itu, beberapa saat setelah lahir paru-paru

harus segera terisi oksigen dan pembuluh darah paru-paru harus

berelaksasi untuk memberikan perfusi pada alveoli dan menyerap

oksigen untuk diedarkan keseluruh tubuh. Biasanya bayi baru lahir akan

melakukan usaha untuk menghirup udara kedalam paru-paru, hal ini

menyebabkan cairan paru-paru keluar dari alveoli ke jaringan interstisial

diparu, sehingga oksigen dapat diantar ke arteri pulmonal dan

menyebabkan arteri berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteri

pulmonal akan tetap berkontriksi dan pembuluh darah arteri sistemik

tidak mendapat oksigen sehingga tidak dapat memberikan perfusi ke

organ-organ tubuh yang penting seperti otak, jantung, ginjal, dan lain

lain. Bila keadaan ini berlangsung lama maka akan menyebabkan

kerusakan jaringan otak dan organ lain yang dapat menyebabkan

kematian atau kecatatan.5

13
Transisi dari kehidupan janin intrauterin ke kehidupan bayi

ekstrauterin, menunjukkan perubahan sebagai berikut. Alveoli paru janin

dalam uterus berisi cairan paru, pada saat lahir dan bayi mengambil nafas

pertama, udara memasuki alveoli paru-parudan cairan paru-paru

diabsorsi oleh jaringan paru-paru. Pada nafas kedua dan berikutnya,

udara yang masuk kedalam alveoli bertambah banyak dan cairan paru-

paru diabsorsi kemudian seluruh alveoli berisi udara dan mengandung

oksigen. Aliran darah paru-paru meningkat secara dramatis. Hal ini

disebabkan oleh ekspansi paru-paru yang membutuhkan tekanan puncak

inspirasi dan tekanan akhir ekpirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru-paru

dan peningkatan tekanan oksigen olveoli, keduanya menyebabkan

penurunan resistensi vaskuler paru-paru dan peningkatan aliran darah

paru-paru setelah lahir. Aliran intakranial dan ektrakranial mulai beralih

arah yang kemudian diikuti penutupan duktus ateriosus. Kegagalan

penurunan resistensi vaskular paru-paru menyebabkan hipertensi

pulmonal persisten pada bayi baru lahir ( Persistent Pulmonary

Hypertention Of The Neonatal), dengan aliran darah paru-paru yang

inadekuat dan hipoksemia relative. Ekspansi paru-paru yang inadekuat

menyebabkan gagal nafas. 5

Pernafasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika bayi

baru lahir kurang oksigen. Pada periode awal, bayi akan mengalami

pernafasan cepat ( rapid breathing ) yang disebut gasping primer. Setelah

periode awal ini akan diikuti dengan keadaan bayi tidak bernafas (apnea)

14
yang disebut apnea primer. Pada saat ini frekuensi jantung mulai

menurun, namun tekanan darah masih tetap bertahan. Bila keadaan ini

berlangsung lama dan tidak dilakukan pertolongan pada bayi baru lahir,

maka bayi akan melakukan usaha nafas megap-megap yang disebut

gasping sekunder, dan kemudian masuk dalam periode apnea sekunder.

Pada saat ini frekuensi jantung semakin menurun dan tekanan darah

semakin menurun dan dapat menyebabkan kematian bila bayi tidak

segera ditolong. 5

5. Diagnosis

Varney (2008) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk melakukan

resusitasi ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu : 5

a. Pernafasan

Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat.

Lakukan auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal,

seperti pergerakan dada asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur.

Tentukan apakah pernafasannya adekuat (frekuensi baik dan teratur),

tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau tidak sama sekali.

b. Denyut jantung

Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau

merasakan denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau

<100 kali per menit. Angka ini merupakan titik batas yang

mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang signifikan.

15
c. Warna

Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda.

Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada

beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin mengalami

syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi berwarna merah

muda, biru, atau pucat. Ketiga observasi tersebut dikenal dengan

komponen skor apgar. Dua komponen lainnya adalah tonus dan

respons terhadap rangsangan menggambarkan depresi SSP pada bayi

baru lahir yang mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan

neuromuscular yang tidak berhubungan.

Tabel 1. Asfiksia Neonatorum ditegakkan dengan menetapkan nilai APGAR

Nilai 0 1 2
Appearance Seluruh tubuh Tubuh Seluruh tubuh
biru/pucat kemerahan, kemerahan
ekstremitas biru
Pulse (laju Tidak ada <100 x/menit ≥100 x/menit,
jantung) bayi terlihat
bugar
Grimace Tidak bereaksi Gerakan sedikit Reaksi melawan
(refleks)
Activity (tonus Lumpuh Ekstremitas Gerakan aktif
otot) fleksi sedikit
Respiration Tidak ada Lambat Menangis kuat
(usaha bernapas)

16
Asfiksia dapat diklasifikasikan berdasarkan Nilai APGAR (Wiknjosastro

& Henderson, 2007) 5

a. Asfiksia Berat ( Nilai APGAR 0-3 )

Pada kasus asfiksia berat, bayi akan mengalami asidosis,

sehingga memerlukan perbaikan dan resusitasi aktif dengan segera.

Tanda dan gejala pada asfiksia berat adalah frekuensi jantung kurang

dari 100 kali per menit,tidak ada usaha nafas, tonus otot lemah

bahkan tidak ada memberikan reaksi jika diberikan rangsangan, bayi

tampak pucat, terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum

atau sesudah persalinan.

b. Asfiksia sedang ( Nilai APGAR 4-6 )

Pada asfiksia sedang, tanda dan gejala yang muncul adalah

frekuensi jantung kurang dari 100 kali per menit, pernafasan tidak

teratur dan kulit berwarna biru, tonus otot sedikit fleksi. Pada

asfiksia sedang perlu dilakukan penghisapan lendir melalui hidung

dan mulut kemudian memberikan oksigen kepada bayi melalui

hidung dengan menggunakan kantong atau masker pendukung

ventilator.

c. Asfiksia ringan ( Nilai APGAR 7-10 )

Pada asfiksia ringan, irama jantung normal, bernafas dan

berespon terhadapb stimulus. Bayi dengan asfiksia ringan tidak

membutuhkan resusitas, hanya saja keringkan bayi dengan handuk

yang hangat dan berikan kepada ibunya.

17
6. Penatalaksanaan

a. Tindakan umum

1) Bersihkan jalan nafas: letakkan kepala bayi lebih rendah agar

lendir mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop untuk

membantu pengisapan lendir dari saluran nafas yang lebih

dalam.

2) Rangsang reflek pernafasan: dilakukan setelah 20 detik bayi

tidak memperlihatkan bernafas, rangsangan dilakukan dengan

cara memukul achiles.

3) mempertahankan suhu tubuh.

b. Tindakan khusus

1) Asfiksia berat: berikan O2 dengan tekanan positif dan intermiten

melalui pipa endotrakeal, dapat dilakukan dengan tiupan udara

yang telah diperkaya oleh O2. Bila pernafasan spontan tidak

timbul, lakukan massage jantung dengan ibu jari yang menekan

pertengahan sternum 80-100 kali per menit. Jika tidak berhasil

selama 2 menit, siapkan rujukan bayi. Jika bayi tidak dapat di

rujuk lanjutkan ventilasi dan hentikan ventilasi jika selama 20

menit tidak ada pernafasan.

2) Asfiksia sedang/ringan: pasang relkiek pernafasan ( hisap lendir,

rangsang nyeri ) selama 30-60 detik. Bila gagal, lakukan

pernafasan kodok ( frog breathing ) 1-2 menit yaitu: kepala bayi

ekstensi maksimal berikan O2 sebanyak 1-2 liter per menit

18
melalui kateter dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta

gerakkan dagu keatas dan bawah secara teratur 20 kali per

menit. 5

B. RESPIRATORY DISTRESS OF THE NEWBORN

1. Definisi

Distres pernapasan pada bayi baru lahir dikenali sebagai satu atau

lebih tanda peningkatan kerja pernapasan, seperti takipnea, pelebaran

hidung, retraksi dada, atau grunting.9

2. Epidemiologi

Menurut United Nations Children’s Fund (2018), Angka Kematian

Neonatal (AKN) di dunia sebesar 18 per 1.000 Kelahiran Hidup (KH).

Bahkan, insiden kematian bayi baru lahir sebesar 75 % terjadi pada

minggu pertama kehidupan dan 40% diantaranya meninggal dalam 24

jam pertama (World Health Organization, 2018). Mayoritas dari semua

kematian bayi baru lahir disebabkan oleh komplikasi pernafasan,

kelahiran prematur, infeksi dan cacat lahir (WHO,2018).10

Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun

2012 dimuat dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016 dan 2017,

Angka Kematian Neonatus (AKN) sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup.

Di tahun 2017, hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)

terjadi penurunan AKN sebesar 15 per 1.000 KH (Kemenkes RI, 2019b).

Data ini menunjukkan bahwa kematian bayi baru lahir di Indonesia

19
meskipun terjadi penurunan tetapi masih tergolong tinggi. Mengingat

target Sustainable Development Goals (SDG’s) pada tahun 2030 dalam

hal menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi

semua orang di segala usia, salah satunya adalah mengakhiri kematian

bayi dan balita yang dapat dicegah dengan menurunkan Angka Kematian

Neonatal (AKN) hingga 12 per 1.000 KH (International NGO Forum on

Indonesian Development, 2017). 10

Di Indonesia, penyebab utama kematian bayi baru lahir pada tahun

2015 adalah prematuritas sebanyak 35,5% dan stagnan diangka 35%

pada tahun 2017 (Healthy Newborn Network, 2017; UNICEF, 2015).

Bayi prematur meninggal dunia akibat sindrom gangguan pernapasan

(RDS) yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya surfaktan

paru, perdarahan intraventrikular atau perdarahan ke otak pada saat lahir

lahir, kerusakan usus bayi dan berbagai jenis infeksi (The National

Academies of Sciences Engeneering Medicine, 2014). Data Kementerian

Republik Indonesia pada tahun 2018, penyebab kematian bayi baru lahir

tertinggi disebabkan oleh komplikasi kejadian intraparum, akibat

gangguan pernafasan dan kardiovaskular, BBLR dan prematur, kelahiran

kongenital, akibat tetanus neonatorum, infeksi dan akibat lainnya. 10

3. Etiologi

1) Transient Tachypnea Of The Newborn

Etiologi paling umum dari gangguan pernapasan pada bayi baru

lahir adalah TTN, yang terjadi pada sekitar lima atau enam per 1.000

20
kelahiran. Hal ini lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dari ibu

dengan asma. Bayi baru lahir dengan TTN memiliki risiko lebih

besar terkena asma pada masa kanak-kanak; dalam satu penelitian,

hubungan ini lebih kuat pada pasien dengan status sosial ekonomi

yang lebih rendah, ras kulit putih, dan laki-laki yang ibunya tidak

menderita asma. Hasil TTN dari reabsorpsi tertunda dan

pembersihan cairan alveolar. Pelepasan prostaglandin pasca

persalinan menyebabkan distensi pembuluh limfatik, yang

mengeluarkan cairan paru-paru saat sirkulasi paru meningkat dengan

napas janin awal. Persalinan sesar tanpa persalinan melewati proses

ini dan oleh karena itu merupakan faktor risiko TTN. Defisiensi

surfaktan mungkin berperan dalam TTN. Penelitian menunjukkan

penurunan jumlah badan pipih dalam aspirasi lambung dan

penurunan konsentrasi fosfolipid surfaktan dalam aspirasi trakea

dalam kasus TTN. Namun, mengobati TTN dengan surfaktan tidak

diindikasikan.11

TTN muncul dalam dua jam setelah lahir dan dapat bertahan

selama 72 jam. Suara nafas dapat jelas atau mengungkapkan rales

pada auskultasi. Semakin tinggi frekuensi pernapasan saat onset,

semakin lama TTN cenderung bertahan. Temuan radiografi thorax

mendukung diagnosis klinis, menunjukkan hiperekspansi, densitas

perihilar dengan cairan fisura, atau efusi pleura. Gas darah dapat

menunjukkan hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis respiratorik.11

21
Karena TTN bersifat self-limited, pengobatan bersifat suportif.

Furosemide (Lasix) dapat menyebabkan penurunan berat badan dan

hiponatremia, dan merupakan kontraindikasi meskipun terdapat

kelebihan cairan paru pada bayi baru lahir dengan TTN. Pembatasan

cairan pada TTN bermanfaat, mengurangi durasi dukungan

pernapasan dan biaya terkait rumah sakit. Albuterol inhalasi

mengurangi durasi takipnea dan kebutuhan terapi oksigen, meskipun

pedoman standar masih diperlukan Antibiotik tidak diindikasikan

dalam TTN. Kortikosteroid antenatal yang diberikan 48 jam sebelum

sesar elektif pada usia kehamilan 37 hingga 39 minggu mengurangi

kejadian TTN, meskipun tidak jelas apakah menunda kelahiran sesar

hingga usia kehamilan 39 minggu lebih disukai.11

2) Respiratory Distress Syndrome

Bayi baru lahir yang lahir sebelum usia kehamilan 34 minggu

mungkin mengalami gangguan pernapasan akibat defisiensi

surfaktan dan imaturitas paru. RDS lebih sering terjadi pada pria

kulit putih dan bayi baru lahir yang lahir dari ibu dengan diabetes

mellitus.11

Gejala RDS (yaitu, takipnea, grunting, retraksi, dan sianosis)

terjadi segera setelah lahir. Radiografi dada menunjukkan gambaran

ground-glass difus dengan bronkogram udara dan hipoekspansi, dan

pengukuran gas darah menunjukkan hipoksemia dan asidosis. Gejala

biasanya memburuk dalam 12 hingga 24 jam pertama. Dengan

22
kemajuan dalam pengobatan seperti surfaktan dan N-CPAP,

kebanyakan bayi baru lahir dengan RDS sembuh tanpa efek jangka

panjang. Displasia bronkopulmoner dapat terjadi pada kasus yang

rumit, menyebabkan mengi berulang, asma, dan tingkat rawat inap

yang lebih tinggi di kemudian hari.11

Kortikosteroid antenatal yang diberikan antara usia kehamilan

24 dan 34 minggu menurunkan risiko RDS dengan jumlah yang

diperlukan untuk mengobati. Dosis tunggal antenatal kortikosteroid

bermanfaat jika diberikan lebih dari 24 jam sebelum melahirkan dan

memberikan perlindungan selama tujuh hari. Penggunaan dosis

kortikosteroid antenatal berulang untuk mencegah RDS masih

diperdebatkan, tetapi tidak lebih dari dua program yang

direkomendasikan.11

3) Meconium Aspiration Syndrome

Cairan amnion bercampur mekonium terdapat pada sekitar 10%

sampai 15% persalinan, meskipun insidensi sindrom aspirasi

mekonium hanya 1%. Karena ekskresi mekonium sering

menunjukkan kematangan janin, sindrom aspirasi mekonium terjadi

pada bayi baru lahir aterm dan postterm. Mekonium adalah

konglomerasi sel deskuamasi, pigmen empedu, enzim pankreas, dan

cairan ketuban. Meskipun steril, dapat menyebabkan infeksi bakteri,

iritasi, obstruksi, dan pneumonia.11

23
Sindrom aspirasi mekonium muncul saat lahir sebagai takipnea,

grunting, retraksi, dan sianosis yang nyata. Pemeriksaan dapat

mengungkapkan dada berbentuk tong, dengan ronki dan ronki

terdengar pada auskultasi. Radiografi dada dapat menunjukkan

densitas halus bilateral dengan hiperinflasi. Perawatan termasuk N-

CPAP dan oksigen tambahan. Dukungan ventilator mungkin

diperlukan dalam kasus yang lebih parah.11

Penyedotan mekonium neonatus perineum tidak mencegah

aspirasi. Jika bayi hipotonik saat lahir, intubasi dan pengisapan

mekonium disarankan. Bayi yang kuat menerima manajemen

hamil.11

4) Neonatal Sepsis And Pneumonia

Sepsis dapat terjadi pada bayi cukup bulan dan bayi prematur

dan memiliki insiden satu atau dua per 1.000 kelahiran hidup. Gejala

dapat dimulai kemudian pada periode bayi baru lahir. Faktor risiko

termasuk ketuban pecah lebih dari 18 jam sebelum melahirkan,

prematuritas, dan demam ibu. Patogen umum termasuk streptokokus

grup B, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Haemophilus

influenzae, Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif.

Skrining universal dan antibiotik antepartum untuk pembawa

streptokokus grup B mengurangi penyakit awitan dini. Namun, 5.701

pasien perlu diskrining dan 1.191 pasien dirawat untuk mencegah

24
satu infeksi. Kalkulator risiko dapat digunakan untuk

memperkirakan kemungkinan infeksi awitan dini neonatus.11

Pneumonia awitan dini terjadi dalam tiga hari pertama

kehidupan, akibat transmisi bakteri melalui plasenta atau aspirasi

cairan ketuban yang terinfeksi. Pneumonia onset lambat terjadi

setelah keluar dari rumah sakit. Patogen bakteri mirip dengan yang

menyebabkan sepsis.11

Hitung darah lengkap serial, pengukuran protein C-reaktif, dan

kultur darah membantu diagnosis dan pengobatan. Antibiotik

intravena diberikan jika infeksi bakteri dicurigai. Ampisilin dan

gentamisin adalah antibiotik umum untuk infeksi onset dini,

sedangkan vankomisin dan/atau oksasilin dengan aminoglikosida

digunakan untuk infeksi onset lambat. Antibiotik harus digunakan

dengan bijaksana. Durasi pengobatan tergantung pada kondisi klinis

dan temuan laboratorium.11

5) Pneumothorax

Pneumotoraks terjadi jika tekanan ruang paru melebihi tekanan

ekstrapleura, baik secara spontan atau sekunder akibat infeksi,

aspirasi, deformitas paru, atau barotrauma ventilasi. Pneumotoraks

spontan terjadi pada 1% hingga 2% kelahiran aterm, dan lebih sering

pada kelahiran prematur dan bayi baru lahir dengan RDS atau

sindrom aspirasi mekonium. Pneumotoraks kecil mungkin

asimtomatik.11

25
Meskipun transiluminasi dapat membantu, radiografi dada

menegaskan diagnosis. Bayi baru lahir dengan gejala membutuhkan

oksigen tambahan. Tension pneumothorax membutuhkan

dekompresi jarum segera atau drainase selang dada.11

6) Persistent Pulmonary Hypertension Of The Newborn

Mekanisme fisiologis halus memungkinkan transisi peredaran

darah setelah lahir dengan penurunan resultan resistensi pembuluh

darah paru. Kegagalan mekanisme ini menyebabkan peningkatan

tekanan paru dan pirau kanan-ke-kiri, mengakibatkan hipoksemia.

Kegagalan ini dapat disebabkan oleh sindrom aspirasi mekonium,

pneumonia atau sepsis, RDS berat, hernia diafragma, dan hipoplasia

paru.11

Hipertensi paru persisten berat pada bayi baru lahir (PPHN)

terjadi pada dua dari 1.000 kelahiran hidup. Faktor risiko termasuk

diabetes ibu, persalinan sesar, obesitas ibu, dan ras kulit hitam.

Penggunaan ibu dari inhibitor reuptake serotonin selektif dikaitkan

dengan kondisi tersebut. Data hanya menunjukkan risiko absolut

kecil.11

Dengan PPHN, gangguan pernapasan terjadi dalam 24 jam

setelah lahir. Pada pemeriksaan, suara jantung kedua yang keras dan

murmur sistolik dapat terdengar. Saturasi oksigen atau Pao2

meningkat ketika 100% oksigen disediakan. Ekokardiografi harus

dilakukan untuk memastikan diagnosis. PPHN diobati dengan

26
oksigen dan dukungan lainnya. Dalam kasus yang serius, ventilator

atau vasopressor dukungan dan/atau penggunaan vasodilator paru

seperti oksida nitrat inhalasi atau sildenafil (Revatio) dapat

membantu. Beberapa kasus memerlukan oksigenasi membran

ekstrakorporeal.11

7) Congenital Heart Defects

Cacat jantung bawaan terjadi pada sekitar 1% kelahiran di

Amerika Serikat setiap tahun. Seperempat kasus kritis, memerlukan

pembedahan pada tahun pertama, dan seperempat dari bayi baru

lahir tersebut tidak dapat bertahan hidup pada tahun pertama.11

Bayi baru lahir dengan penyakit jantung sianotik hadir dengan

sianosis intens yang tidak sebanding dengan gangguan pernapasan.

Murmur jantung dapat terdengar pada pemeriksaan. Penurunan

denyut nadi femoralis dan tekanan darah ekstremitas bawah dapat

mengindikasikan koarktasio aorta. Memberikan oksigen 100% tidak

akan meningkatkan saturasi oksigen. Radiografi dada dan

elektrokardiografi dapat menunjukkan kelainan struktural

kongenital, dan ekokardiografi dapat mengkonfirmasi diagnosis.11

Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan A.S.

merekomendasikan oksimetri nadi daripada pemeriksaan fisik saja

untuk menyaring cacat jantung bawaan yang kritis. Bayi baru lahir

harus diskrining sebelum keluar dari rumah sakit, tetapi setidaknya

24 jam setelah lahir. Biaya pengobatan satu cacat jantung kongenital

27
kritis melebihi biaya skrining lebih dari 2.000 bayi baru lahir,

dengan 20 kematian bayi dicegah dengan skrining. Skrining

oksimetri nadi untuk cacat jantung kongenital kritis menjadi praktik

standar sebelum keluar dari rumah sakit.11

4. Patofisiologi

Penyebab distres pernapasan pada bayi baru lahir beragam dan

multisistem. Penyebab paru mungkin berhubungan dengan perubahan

selama perkembangan paru normal atau transisi ke kehidupan

ekstrauterin. Penyakit pernapasan dapat terjadi akibat kelainan

perkembangan yang terjadi sebelum atau setelah lahir. Malformasi

perkembangan awal termasuk fistula trakeoesofageal, sekuestrasi

bronkopulmonalis (massa abnormal jaringan paru yang tidak

berhubungan dengan percabangan trakeobronkial), dan kista bronkogenik

(percabangan abnormal percabangan trakeobronkial). Kemudian pada

kehamilan, dapat terjadi malformasi parenkim paru, termasuk malformasi

adenomatoid kistik kongenital atau hipoplasia paru akibat hernia

diafragmatika kongenital atau oligohidramnion berat. Penyebab umum

gangguan pernapasan pada bayi baru lahir adalah takipnea transien pada

bayi baru lahir (TTN), sindrom gangguan pernapasan (RDS), sindrom

aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis, asfiksia lahir, CHD, ensefalopati

iskemik hipoksia dan malformasi kongenital. Meskipun alveolus matur

muncul pada usia kehamilan 36 minggu, banyak septasi alveolar dan

maturasi mikrovaskuler terjadi setelah lahir. Paru-paru belum

28
berkembang sempurna hingga usia 2-5 tahun. Oleh karena itu, penyakit

paru perkembangan juga dapat terjadi setelah lahir. Displasia

bronkopulmonal (BPD), misalnya, penyakit paru-paru yang signifikan

yang memperumit prematuritas karena terhentinya alveolarisasi pada

paru-paru yang sedang berkembang yang terpapar ventilasi mekanis,

oksigen, dan mediator inflamasi lainnya sebelum perkembangan normal

selesai. Seperti yang didefinisikan oleh kebutuhan oksigen berkelanjutan

pada usia kehamilan yang disesuaikan 36 minggu, BPD mempengaruhi

hingga 32% bayi prematur dan 50% bayi dengan berat badan lahir sangat

rendah.9

5. Klinis

Takipnea adalah presentasi paling umum pada bayi baru lahir dengan

gangguan pernapasan. Kecepatan pernapasan normal adalah 40 hingga 60

pernapasan per menit. Takipnea didefinisikan sebagai tingkat pernapasan

lebih dari 60 kali per menit. Tanda-tanda lain mungkin termasuk nasal

flaring, grunting, retraksi dada dan sianosis. Retraksi, terbukti dengan

penggunaan otot-otot pernafasan di leher, tulang rusuk, sternum, atau

perut, terjadi ketika kemampuan paru-paru buruk atau resistensi saluran

napas terlalu tinggi.10

Grunting adalah bunyi ekspirasi yang disebabkan oleh penutupan

glotis yang tiba-tiba selama ekspirasi dalam upaya mempertahankan

kapasitas residual fungsional dan mencegah atelektasis alveolar. Nasal

flaring (nafas cuping hidung) terjadi ketika lubang hidung melebar saat

29
bernafas. Sianosis adalah kondisi warna kebiru-biruan pada kulit dan

selaput lendir karena kekurangan oksigen dalam darah. Bayi baru lahir

mungkin juga mengalami kelesuan, pemberian makanan yang buruk,

hipotermia, dan hipoglikemia.10

6. Klasifikasi Kegawatan Pernafasan pada Bayi

Down score dapat digunakan untuk mendiagnosis cepat dari gawat

nafas yang dialami oleh bayi baru lahir dalam menilai tingkat

keparahannya. Down score dapat dijadikan sebagai pengakajian klinis

awal dalam memantau derajat gawat nafas pada bayi RDN tanpa melalui

uji yang kompleks di unit perawatan. Berikut ini adalah penilaian

evaluasi gawat nafas menurut skor Down.

Tabel 3. Down Score


Kriteria 0 1 2
Pernapasan <60 x/menit 60-80 x/menit >80 x/menit
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
retraksi
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
sianosis dengan pemberian walaupun diberi
oksigen oksigen
Air Retry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
bilateral baik udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi
Total Diagnosis
<4 Gangguan pernapasan ringan
4-5 Gangguan pernapasan sedang
≥6 Gangguan pernapasan berat, diperlukan analisis gas darah

30
7. Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat sangat penting dalam

evaluasi bayi baru lahir dengan gangguan pernapasan. Data laboratorium

dapat membantu dalam diagnosis. Hitung darah lengkap dengan rasio

neutrofil imatur terhadap total lebih dari 0,2 menunjukkan infeksi. Rasio

ini dapat diubah oleh stres, menangis, dan persalinan yang diinduksi

dengan oksitosin (Pitocin). Meskipun rasio neutrofil total yang belum

matang memiliki sensitivitas yang signifikan dan nilai prediksi negatif,

rasio ini memiliki akurasi prediksi positif yang buruk sebagai tes satu kali

dan salah meningkat pada 50% bayi tanpa infeksi. Kadar protein C-

reaktif kurang dari 10 mg per L (95,24 nmol per L) mengesampingkan

sepsis dengan nilai prediksi negatif 94% bila diperoleh 24 dan 48 jam

setelah lahir. Glukosa kadarnya juga harus diukur karena hipoglikemia

dapat menjadi penyebab dan akibat dari distres pernapasan.11

8. Tatalaksana

a. Terapi Oksigen

Oksigenasi dapat dipertahankan dengan memberikan oksigen

via bag/masker, kanula hidung, tudung oksigen, nasal continuous

positive airway pressure (N-CPAP), atau ventilator. Resusitasi

dengan oksigen 100% dapat meningkatkan kematian neonatus

dibandingkan dengan udara sekitar. Oksigen campuran, dengan

fraksi oksigen inspirasi berkisar antara 21% hingga 50% oksigen,

menstabilkan bayi baru lahir prematur, dan monitor oksimetri

31
digunakan untuk mempertahankan saturasi sekitar 90%. Ventilasi

non-invasif, umumnya menggunakan N-CPAP, telah menjadi

perawatan pernapasan standar dibandingkan intubasi invasif. N-

CPAP telah menurunkan transfer ke pusat perawatan tersier dengan

jumlah yang dibutuhkan untuk mengobati 7,3 dan pengurangan biaya

potensial kasus. Ventilasi tekanan positif intermiten hidung juga

dapat digunakan. Pada bayi baru lahir prematur dengan RDS,

ventilasi tekanan positif intermiten hidung telah terbukti mengurangi

kebutuhan relatif untuk ventilasi mekanis sebesar 60%. Ventilasi

mekanis konvensional disediakan untuk kasus yang lebih parah.

Ventilasi mekanik (bantuan pernafasan dengan memberikan

sejumlah oksigen yang ditentukan melalui tabung endotrakeal) diatur

untuk memberikan sejumlah oksigen yang telah ditentukan pada bayi

selama nafas spontan dan menyediakan pernafasan mekanik pada

saat tidak ada nafas spontan.11

b. Pengganti Surfaktan

Terapi profilaksis dan penyelamatan dengan surfaktan alami

pada bayi baru lahir dengan RDS mengurangi kebocoran udara dan

kematian. Pneumosit tipe II neonatus menghasilkan surfaktan pada

trimester ketiga untuk mempersiapkan pernapasan udara. Tanpa

surfaktan, terjadi peningkatan tegangan permukaan paru, atelektasis,

dan ketidaksesuaian ventilasi/perfusi yang mengakibatkan hipoksia,

hiperkapnia, dan asidosis. Jumlah minimal terapi surfaktan yang

32
dibutuhkan adalah 100 mg per kg. Dosis awal 200 mg per kg

mengarah ke peningkatan yang signifikan secara statistik dalam

oksigenasi dan penurunan kebutuhan untuk mundur, meskipun tidak

ada manfaat kelangsungan hidup. Sebuah tinjauan Cochrane

menunjukkan bahwa teknik yang dikenal sebagai INSURE (Intubate,

administer surfactant, extubate to N-CPAP/ intubasi, berikan

surfaktan, ekstubasi untuk N-CPAP) menyebabkan pengurangan

risiko relatif sebesar 67% untuk ventilasi mekanis dan sekitar 50%

pengurangan risiko relatif untuk sindrom kebocoran udara dan

perkembangan menjadi displasia bronkopulmonal.11

c. Terapi Tambahan

Keseimbangan cairan dan elektrolit yang adekuat harus

dipertahankan. Pemberian makanan per oral dihentikan jika

frekuensi pernapasan melebihi 60 kali per menit untuk mencegah

aspirasi.11

Terapi tambahan Nitrat hidup (inhaled nitric oxcide-INO),

extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), dan cairan ventilasi

merupakan terapi tambahan yang digunakan pada digunakan bagi

bayi matur/cukup bulan dan prematur akhir dengan kondisi seperti

hipertensi pulmonal, sindrom aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis,

dan hernia diafragmatika kongenital untuk mengurangi atau

membalikkan hipertensi pulmonal, vasokontstriksi paru, asidosis,

serta distres pernapasan dan gagal napas bayi baru lahir. Terapi INO

33
digunakan bersamaan dengan terapi penggantian surfaktan, ventilasi

frekuensi tinggi, atau ECMO.10

ECMO digunakan pada penatalaksanaan bayi baru lahir dengan

gagal napas akut hebat pada kondisi yang sama seperti yang

disebutkan untuk INO. Terapi sebuah mesin jantung-paru yang

dimodifikasi, meskipun begitu, pada ECMO jantung tidak berhenti

dan darah tidak sepenuhnya melewati paru. Darah didorong dari

kateter atrium kanan atau vena jugularis kanan dengan gaya gravitasi

ke sebuah pompa pengatur, dipompa melalui membran paru di mana

darah dioksigenasi, kemudian melalui sebuah mesin penukar panas

yang kecil di mana darah menghangatkan, dan kemudian

dikembalikan ke sistem sirkulasi melalui sebuah arteri utama seperti

arteri karotis ke lengkung menyediakan oksigen untuk sirkulasi,

yang memungkinkan paru beristirahat serta menurunkan hipertensi

paru maupun hipoksemia pada kondisi seperti hipertensi paru

menetap bayi baru lahir, hernia diafragmatika kongenital, sepsis,

aspirasi mekonium, dan pneumonia berat. 10

9. Prognosis

Prognosis tergantung dari penyebab, adanya disfungsi organ lain, usia

dan penyakit kronik penderita. RDN merupakan penyakit yang dapat

hilang sendiri. Setelah periode deteriorasi (sekitar 48 jam) dan bila tidak

ada komplikasi, bayi yang terkena mulai membaik pada 72 jam. Sering

34
ditandai dengan awitan diuresis, perbaikan ini terutama disebabkan oleh

peningkatan produksi dan ketersediaan yang lebih besar material

surfaktan-aktif. Bayi RDN yang bertahan dalam 96 jam pertama memiliki

kesempatan mengalami pemulihan. 10

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Irwanto, 2017. Asfiksia pada Bayi Baru Lahir dan Resusitasi. Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD Dr. Soetomo
2. Nurita., Bunga, N., Kharisma., Putri, A. Analisis Faktor Penyebab
Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir. Jurnal Ners Dan Kebidanan
6(2): 251-262
3. Sari, A. K., Sincihu, Y., Ruddy, T. 2018. Tingkat Asfiksia Neonatorum
Berdasarkan Lamanya Ketuban Pecah Dini pada Persalinan Aterm. Jurnal
Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 7(1) : 84-92
4. Atik, S., Palupi, J., Sari, Y. 2019. Gambaran Derajat Asfiksia Neonatorum
pada Persalinan Pervaginam Letak Sungsang di RSD Kalisat. Jurnal MID-
Z (Midwifery Zigot) Jurnal Ilmiah Kebidanan 2(1):2621-7015
5. Angkat, N.S. 2018. Karakteristik Bayi Baru Lahir Yang Mengalami
Asfiksia Neonatorum Di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Subulusalam.
Skripsi. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Medan
6. Handryastuti. 2007. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam
Diagnosis dan Tata laksana 9(2): Sari Pediatri 112-120
7. Chairani, F. 2017. Prevelensi dan Faktor Penyebab Kejang Neonatus
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Tahun 2012-2015. Skripsi.
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Medan
8. Pallegrin, S., Munoz, F. M., Padula, M., Heath, P. T., Meller, L., Top, K.,
Wilmshurst, J., Wiznitzer, M., Das, M. K., Hahn, C. D., Kucuku, M.,
Oleske, J., Vinayan, K. P., Yozawitz, E., Aneja, S., Bhat, N., Boylan, G.,
Sesay, S., Shrestha, A., Soul, J. S., Tagbo, B., Joshi, J., Soe, A., Maltezou,
H. C., Gidudu, J., Kochhar, S. 2019. Neonatal seizures: Cas definition &
guidelines for data collection, analysis, and presentation of immunization
safety data. Journal Vaccine 37(52): 7596-7609
9. Reuter, S., Moser, C., Baack, M. 2014. Respiratory Distress in the
Newborn. Pediatrics in Review 35(10):417-429
10. Atika, N. A. 2019. Faktor Risiko Kejadian Respiratory Distress of
Newborn di Nenonatal Intensive Care Unit RSUP DR. Wahidin
Sudirohusodo. Skripsi. Fakultas Keperawatan Universitas Hasanudin.
Makassar
11. Hermansen, C. L., Mahajan, A. 2015. Newborn Respiratory Distress.
American Family Physician 92(11) 995-1002

36

Anda mungkin juga menyukai