Anda di halaman 1dari 27

i

A. Pendahuluan1,,9,12.
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan namasimple ectasia,
kardiospasme, megaesofagus, dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau
dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah
akalasia berarti “gagal untuk mengendur” dan merujuk pada
ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esofagus
bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan
lewat ke dalam lambung. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada
proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa
adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau
memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna
menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh
substernal dan umumnya terjadi regurgitasi. Secara histopatologis kelainan
ini ditandai oleh degenerasi ganglia pleksus mesentrikus. Akibat keadaaan ini
akan terjadi statis makanan dan selanjutnya akan timbul pelebaran esofagus.
Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672.Mula-mula
diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia
melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk
ke dalam lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer melakukan dilatasi
dengan kateter balon. Teori-teori pun mulai bermunculan tentang penyebab
dari akalasia seperti suatu proses yang melibatkan infeksi, kelainan atau
yang diwariskan (genetik), sistem imun (penyakit autoimun), dan proses
penuaan (proses degeneratif).Akalasia merupakan salah satu penyakit yang
jarang terjadi. Prevelensi akalasia esofagus sekitar 10 kasus per 100.000
populasi di mana rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan
perempuan. Walaupun penyakit ini jarang terjadi tetapi tetap harus bisa
mengenali dan mengatasi penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan
dari penyakit ini sangat mengancam nyawa seperti adanya obstruksi saluran
pernapasan sampai sudden death. Menurut penelitian, distribusi umur pada

1
akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-
9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus
didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah
25-60 tahun.
Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap
tahun. Suatu penelitian internasional melaporkan bahwa dari 28 populasi
di 26 negara, angka kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan
angka kematian standar 239 dan yang terendah dengan angka kematian
standar 0 (nol). Angka ini diperoleh dari seluruh kasus akalasia baik primer
maupun sekunder.
Dari data divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-
1988). Kelainan akalasia tidak diturunkan dan biasanya memerlukan waktu
bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala. Walaupun penyakit ini jarang
terjadi tapi kita harus bisa mengenali dan mengatasi penyakit ini karena
komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat mengancam nyawa
seperti obstruksi saluran pernapasan sampai sudden death. Oleh karena itu,
sangat penting bagi kita untuk mengetahui penegakan diagnosis akalasia
esofagus. Diagnosis akalasia esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
gambaran radiologik, esofagoskopi, dan pemeriksaan manometrik. Sifat terapi
pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak dapat
dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi
kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller).

B. Anatomi Esofagus9,10,12
Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan dan menyalurkan
makanan dari rongga mulut ke lambung. Esofagus merupakan tabung
muskular, kurang lebih panjangnya 25 cm dengan rata-rata diameter 2 cm,

2
yang memanjang dari faring sampai lambung. Esofagus tersusun dalam 3
bagian yaitu pars cervikalis (5-8 cm) yang berseblahan dengan kolumna
vertebralis, pars toracica (16 cm) yang melintasi arcus aorta bersama bronkus
utama kiri dan pars abdominalis yang panjangnya (1-4 cm) yang pendek pada
intraperitoneum. Esofagus mempunyai 3 kontriksi yaitu 1). kontriksi cervical
(pharyngo-oesophageal) di kartilago krikoid dan terletak setinggi vertebra
cervikalis VI bersifat spingter, 2). kontriksi thoracis (aortobronchial) di aorta
terletak setinggi vertebrathorakalis IV yang tidak bersifat sfingter, dan 3).
Kontriksi diaphragmatika terletak di dalah hiatus oesofagus setinggi
vertebralis X yang merupakan tempat berakhirnya esofagus di kardia
lambung, otot polosnya murni bersifat sfingter.

Gambar 1. Anatomi Esofagus


Esofagus di perdarahi oleh banyak arteri kecil. Bagian cervikalis
esofagus di perdarahi oleh a. thyroidea inferior, bagaian thoracis di perdarahi
oleh aorta ramus oesofagus serta bagian abdominalis di perdarahi oleh arteri
gastrica sinistra, cabang dari trunkus celiaca, dan arteri frenikus inferior

3
sinistra. Pada esofagus atas dan tengah darah vena dari plexus esofagus
mengalir melalui vena esofagus ke vena azigos dan vena hemiazigos untuk
kemudian masuk ke vena kava superior. Di esofagus bawah atau abdominalis
pembuluh vena bermuara ke dalam vena gastrika, yang merupakan cabang
vena porta dan melalui vena koronaria. Hubungan inilah yang menyebabkan
tibulnya varises esofagus bila terjadi bendungan vena porta. Perjalanan
limfatik ke dalam nodul limfatikus gastrica sinistra, yang mana berbalik
mendrainase utamanya ke nodus limfatikus celiacus.

Gambar 2. Pebuluh darah Esofagus

Inervasi esophagus berasal dari saraf simpatis oleh trusnkus simpatikus


dan saraf parasimpatis oleh nervus vagus. Otot bergaris dan otot polos
esophagus diinervasi terutama oleh nervus vagus. Spinal aferen memediasi
rasa nyeri lokal pada daerah intraluminal. Aferen nervus vagus pada mukosa
esophagus juga sensitif terhadap osmo, chemo, thermo dan intraluminal
stimuli mekanik inervasi motorik esophagus sangat didominasi oleh nervus
vagus. Badan sel saraf n. Vagus menginervasi spinter esophagus atas dan otot

4
bergarispada daerah proksimal. Saraf parasimpatis bersal dari nucleus
ambigus dan nucleus motorik saraf vagus yang berfungsi menginervasi
esofagus dan fungsi sekretomotor. Saraf simpatis berasal dari bersal dari T1-
T10 berfungsi sebagai kontriksi pembuluh darah, kontraksi esophagus,
relaksasi dinding otot esophagus, meningkatkan fungsi kelenjar dan gerakan
peristaltic esophagus. Trunkus simpatikus thoracica berasal dari nervus
splanchnicus mayor (abdominopelvis), dan plexus periarterial disekitar arteri
gastrica sinistra dan arteri frenikus inferior sinistra.
Aliran limfe bersal dari dua sistem yaitu saluran limfe dan kelenjar
limfe. Saluran limfe berawal dari jaringan esofagus dan melalui otot bergaris
dan otot polos esofagus. Aliran limfe sepertiga atas esofagus mengalir ke
kelenjar limfe di daerah servikal dan duktus thorasikus. Aliran limfe esofagus
bagian bawah mengalir mengikuti arteri gastrik sinistra menuju kelenjar limfe
gastrik.

Gambar 3. Aliran Limfe Esofagus.

C. Fisiologi Esofagus
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan secara cepat
dari faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi

5
tersebut. Normalnya, esofagus memperlihatkan dua tipe gerakan peristaltik:
peristaltik primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya
merupakan kelanjutan dari gelombang peristaltik yang dimulai di faring dan
menyebar ke esofagus selama tahap faringeal dari proses menelan.
Gelombang ini berjalan dari faring ke lambung dalam waktu sekitar 8 sampai
10 detik. Makanan yang ditelan seseorang pada posisi tegak biasanya
dihantarkan ke ujung bawah esofagus bahkan lebih cepat dari pada gelombang
persitaltik itu sendiri, sekitar 5 sampai 8 detik, akibat adanya efek gravitasi
tambahan yang menarik makanan ke bawah.
Jika gelombang peristaltik primer gagal mendorong semua makanan
yang telah masuk esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik
sekunder yang dihasilkan dari peregangan esofagus oleh makanan yang
tertahan, gelombang ini terus berlanjut sampai semua makanan dikosongkan
ke dalam lambung. Gelombang peristaltik sekunder ini sebagian dimulai oleh
sirkuit saraf intrinsik dalam sistem saraf mienterikus dan sebagian oleh
refleks-refleks yang dimulai pada faring lalu dihantarkan ke atas melalui
serabut-serabut aferen vagus ke medula dan kembali lagi ke esofagus melalui
serabut-serabut saraf eferen glosofaringeal dan vagus.
Susunan otot dinding faring dan sepertiga bagian atas esofagus adalah
otot lurik. Karena itu, gelombang peristaltik di daerah ini diatur oleh sinyal
saraf rangka dari saraf glosofaringeal dan saraf vagus. Pada dua pertiga bagian
bawah esofagus, susunan ototnya merupakan otot polos, namun bagian
esofagus ini juga secara kuat diatur oleh saraf vagus yang bekerja melalui
perhubungan dengan sistem saraf mienterikus esofageal. Sewaktu saraf vagus
yang menuju esofagus dipotong, setelah beberapa hari pleksus saraf
mienterikus esofagus menjadi cukup terangsang untuk menimbulkan
gelombang peristaltik sekunder yang kuat bahkan tanpa bantuan dari refleks
vagal. Karena itu, bahkan sesudah paralisis reflex penelanan batang otak,

6
makanan yang dimasukkan melalui selang atau dengan cara lain ke dalam
esofagus tetap siap memasuki lambung.
Bila gelombang peristaltik esofagus mendekat ke arah lambung, timbul
suatu gelombang relaksasi, yang dihantarkan melalui neuron penghambat
mienterikus, mendahului persitaltik. Selanjutnya, seluruh lambung dan, dalam
jumlah yan glebih sedikit, bahkan duodenum menjadi terelaksasi sewaktu
gelombang ini mencapai bagian akhir esofagus dan dengan demikian
mempersiapkan lebih awal untuk menerima makanan yang didorong ke
esofagus selama proses menelan.
Pada ujung bawah esofagus, meluas ke atas sekitar tiga sentimeter di
atas perbatasan dengan lambung, otot sirkular esofagus berfungsi sebagai
sfingter esofagus bawah yang lebar, atau disebut juga sfingter gastroesofageal.
Normalnya, sfingter ini tetap berkonstriksi secara tonik dengan tekanan
intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30 mmHg, berbeda dengan
bagian tengah esofagus yang normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu
gelombang peristaltik penelanan melewati esofagus, terdapat relaksasi reseptif
dari sfingter esofagus bagian bawah yang mendahului gelombang peristaltik,
yang mempermudah pendorongan makanan yang ditelan ke dalam lambung.
Kadang sfingter tidak berelaksasi dengan baik, sehingga mengakibatkan
keadaan yang disebut akalasia.
Sekresi lambung bersifat sangat asam dan mengandung banyak enzim
proteolitik. Mukosa esofagus, kecuali pada seperdelapan bagian bawah
esofagus, tidak mampu berlama-lama menahan kerja percernaan dari sekresi
lambung. Untungnya, konstriksi tonik dari sfingter esofagus bagian bawah
akan membantu untuk mencegah refluks yang bermakna dari isi lambung ke
dalam esofagus kecuali pada keadaan sangat abnormal.

7
D. Defenisi
Akalasia ialah ketidakmampuan bagian distal esofagus untuk relaksasi
dan berkurangnya peristaltik esofagus, karena diduga terjadi inkoordinasi
neuromuskuler. Akibatnya bagian proksimal dari tempat penyempitan akan
melebar dan disebut mega-esofagus10.

Gambar 4. Perbandingan Esofagus Normal Dan Akalasia

E. Epidemiologi1,9
Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun,
hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun
terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian
penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan. Menurut penelitian,
distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran
sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari
5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang
dewasa adalah 25-60 tahun.

F. Etiologi1,4,6,9.
Etiologi dari akalasia tidak diketahui secara pasti. Tetapi terdapat bukti bahwa
degenerasi plexus Auerbach menyebabkan kehilangan pengaturan neurologis.

8
Beberapa teori juga nebgemukakan berhubungan dengan gangguan autoimun,
penyakit infeksi atau keduanya. Bila ditinjau dari etiologinya, akalasia dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Akalasia Primer. Penyebab tidak diketahui, diduga disebabkan oleh virus
neurotropik yang berakibat lesi pada nucleus dorsalis vagus pada batang
otak dan ganglia misentrikus pada esophagus.
2. Akalasia sekunder. Disebabkan oleh infeksi (penyakit Chagas), tumor
intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti
pseudokista pancreas, dapat pula disebabkan oleh obat antikolinergik atau
paska vagotomi.

G. Patofisiologi 4,7,9,10
Segmen esofagus bagian bawah yang panjangnya berkisar antara 2–8 cm
menyempit dan tidak mampu berelaksasi. Esofagus bagian proksimal dari
penyempitan tersebut mengalami dilatasi dan pemanjangan sehingga akhirnya
menjadi megaesofagusyang berkelok-kelok. Bentuk esofagus ini sangat
bergantung pada lamanya proses, dapat berbentuk botol, fusiform, sampai
berbentuk sigmoid dengan hipertrofi jaringan otot sirkuler dan longitudinal.
Mukosa mungkin mengalami peradangan akibat rangsangan retensi makanan.
Akalasia adalah salah satu faktor risiko terjadinya karsinoma
epidermoid. Karsinoma dapat terjadi pada 5% pasien yang tidak mendapat
terapi, rata-rata 20 tahun dari saat terdiagnosis. Jika sudah terjadi karsinoma,
prognosisnya lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma esofagus yang
bukan berasal dari akalasia. Hal ini diduga karena gejalanya sangat mirip
dengan akalasia sehingga menimbulkan keterlambatan diagnosis.
Patogenesis dari akalasia diduga terjadi degenerasi neurogenik, yang
mana idiopatik atau karena infeksi. Pada binatang eksperimen, penyakit ini
telah direproduksi oleh destruksi nucleus ambiguus dan nucleus motor
dorsalis dari nervus vagus. Pada pasien dengan penyakit ini, perubahan

9
degeneratif telah ditunjukkan oleh nervus vagus dan pada ganglia dalam
pleksus mienterikus dari esofagus itu sendiri. Degenerasi ini mengakibatkan
hipertensi dari LES (lower esophageal sphincter), sebuah kegagalan sfingter
untuk merelaksasikan penelanan, peningkatan dari tekanan esofagus
intraluminal, dilatasi esofagus, dan kehilangan berikutnya dari peristalsis yang
progresif pada corpus esofagus. Dilatasi esofagus mengakibatkan kombinasi
dari sfingter yang tidak berelaksasi, yang mana menyebabkan perubahan
anatomis yang terlihat pada studi radiografis, seperti sebagai sebuah esofagus
yang terdilatasi dengan bentukan lonjong/lancip, penyempitan seperti “bird’s
beak” pada akhir distal. Ada tingkat air fluid level pada esofagus dari
makanan dan saliva yang terentensi, ketinggian yang mana merefleksikan
derajat resistensi yang dipaksakan oleh sfingter yang tidak relaksasi. Sebagai
progres dari penyakit, esofagus menjadi terdilatasi dan berkelok-kelok secara
massif.

H. Gejala klinis 9,10.


Akalasia biasanya dimulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang
ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Gejala utama akalasia
adalah disfagia, regurgitasi, rasa nyeri atau tidak enak di belakang sternum
dan berat badan menurun. Lama timbulnya gejala sangat bervariasi, dari
beberapa hari sampai bertahun-tahun, dan gejala lambat laun semakin berat.
Trias klasik dari gejala-gejala yang tampak terdiri atas disfagia,
regurgitasi, dan penurunan berat badan. Meskipun demikian, heartburn,
tersedak setelah makan (postprandial choking), dan batuk nokturnal adalah
umum terlihat. Disfagia yang pasien alami mulai dengan cairan dan berlanjut
ke padat. Kebanyakan pasien menggambarkan makan sebagai sebuah proses
yang membutuhkan banyak tenaga. Mereka makan secara perlahan dan
menggunakan volume air yang besar untuk membantu menghempaskan
makanan ke bawah dalam lambung. Saat air memperkuat tekanan, nyeri dada

10
retrosternal dialami dan dapat memberat sampai LES terbuka, yang mana
memberika rasa lega yang cepat. Regurgutasi makanan-makanan yang tak
tercerna, dan berbau busuk adalah umum dan dengan progresifnya penyakit,
aspirasi dapat menjadi mengancam jiwa. Pneumonia, abscess paru, dan
bronchiectasis sering merupakan hasil dari long standing achalasia. Disfagia
berlanjut secara perlahan bertahun-tahun dan pasien beradaptasi pada pola
hidupnya untuk mengakomodasi ketidaknyamanan yang menyertai penyakit
ini. Pasien sering tidak mencari perhatian medis sampai gejala-gejala mereka
berlanjut dan akan hadir dengan peregangan yang nyata dari esofagus.
Disfagia adalah gejala utama yang mula-mula dirasakan sebagai rasa
penuh atau rasa mengganjal di daerah esofagus distal, hilang timbul, dan
semakin lama semakin berat. Pasien akan makan secara perlahan-lahan dan
selalu disertai minum yang banyak. Regurgitasi terjadi bila penyakit sudah
lanjut dan sudah terjadi dilatasi esofagus bagian proksimal. Regurgitasi
biasanya dirasakan pada waktu malam sehingga pasien terbangun dari
tidurnya. Makanan yang mengalir balik belum dicerna, tidak asam,l dan
baunya manis karena pengaruh ludah. Keadaan ini berbahaya karena dapat
menimbulkan pneumonia aspirasi. Keluhan nyeri umumnya tidak dominan.
Mula-mula keadaan gizi baik dan baru menurun pada tahap lanjut.

I. Pemeriksaan Penunjang1,9,10
1. Foto Polos Thoraks
Pemeriksaan foto polos thorax tidak diindikasikan untuk tujuan
evaluasi. Pada pemeriksaan foto polos pada thorax didapatkan dilatasi
esofagus dibelakang jantung, gelembung udara di esofagus dapat terlihat
kecil atau tidak ada.

11
Gambar 5. Foto Polos Thoraks

2. Esofagografi
Esofagografi adalah pemeriksaan esofagus dengan menggunakan
kontras. Pemeriksaan esofagografi ini dilakukan sebelum endoskopi untuk
identifikasi terlebih dahulu, dimana disfagia pada keganasan akan mudah
terjadi perforasi karena alat endoskopi. Sebelum dilakukan tindakan,
pasien dipuasakan terlebih dahulu selama 4-6 jam sebelumnya, untuk
pasien dengan kecurigaan akalasia maka dilakukan puasa 5 hari sebelum
tindakan, pasien hanya diberi makanan cair.
Pada akalasia akan tampak kontras mengisi esophagus yang melebar
mulai dari proksimal sampai distal di mana terjadi penyempitan pada
daerah esophagogastric junction yang menetap pada perubahan posisi.
Kontras masih dapat melewati daerah penyempitan ke dalam gaster.
Esofagus berdilatasi dan material kontras masuk ke dalam lambung secara
perlahan-lahan bagian distal menyempit dengan gambaran paruh burung
(bird’s beak).

12
Gambar 6. Pada esofagografi gambaran paruh burung atau “bird’s
beak appearance”.
Tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esophagus dengan
gambaran peristaltic yang abnormal atau hilang dengan gambaran
penyempitan di bagian distal menyerupai ekor tikus (rat tail appearance).

Gambar 7. Gambaran penyempitan di bagian distal menyerupai ekor tikus “rat tail
appearance”.

13
3. Manometri Esofagus
Manometrik esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold
standar) untuk mendiagnosis achalasia esofagus. Guna pemeriksaan
manometrik adalah untuk menilai fungsi motorik esofagus dengan
melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen dan spinchter esofagus.
Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara
kuantitatif maupun kualitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan
pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. Hal-hal
yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan manometrik esofagus, antara
lain: Relaksasi spingter esofagus bawah yang tidak sempurna, Tidak ada
peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi esofagus secara
simultan sebagai reaksi dari proses menelan. Tanda klasik akalasia
esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan yang tinggi pada spinchter
esofagus bawah (tekanan spinchter esofagus bawah saat istirahat lebih
besar dari 45 mmHg), dan tekanan esofagus bagian proksimal dan media
saat istirahat (relaksasi) melebihi tekanan di lambung

Gambar 8. Pemeriksaan Manometri Esofagus.


4. Endoskopi (Esofagoskopi)

14
Endoskopi tidak sensitif dalam menentukan kelainan motilitas utama
esofagus. Pada pasien dengan penyakit lanjut, kerongkongan menjadi
lemah, melebar, dan berbelit-belit, yang dapat dilihat pada endoskopi.Pada
pasien dengan akalasia, perubahan mukosa karena iritasi kronis dan
stagnasi makanan termasuk eritema, mukosa gembur, ulserasi, dan infeksi
candida. LES ditutup rapat dan tidak terbuka dengan insuflasi udara,
namun endoskopi dapat masuk ke perut dengan tekanan mekanik lembut.
Sebaliknya, perasaan resistensi atau kekakuan di persimpangan
gastroesophageal menunjukkan diagnosis lain (misalnya, keganasan,
striktur). Jika resistensi dirasakan atau perubahan mukosa perlu
diperhatikant, dan harus dilakukan biopsi.
Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita akalasia
esofagus, untuk menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric
junction. Pada akalasia esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang
berdilatasi dan mengandung sisa-sisa makanan dan spingter esofagus tidak
membuka secara spontan. Jika akalasia esofagus disebabkan oleh
neoplasma atau striktur fibrosis esofagus, spinchter esofagus biasanya
dapat dibuka dengan sedikit memberikan tekanan pada saat melakukan
tindakan endoskopi.

15
Gambar 9. Perbandingan Aklasia esofagus jika dilihat
secara: A. Anatomis, B. Endoskopi, C. Esofagografi.

J. Diagnosis Banding
1. Spasme Difus Esofagus
Spasme difus e s o fa gu s te rd ir i at as ko nt ra ks i h ip er to ni k
b er ka la d an du a pe rt ig a b ag ia n b aw ah es o fa gu s
m en ga ki ba t ka n h ip er tr of i d an h yp er pl as ia d in di ng
e s o fa gu s .
Gejala utama yaitu rasa sakit dan disfagia yang tersa diepigastrik atau
retrostrernal yang dapat menjalar kebelakang, leher, telinga atau lengan dan
biasanya di sertai regurgitasi gastroesofagus refluks.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan radiologi,
endoskopi dan manometri. Pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk
menyingkirkan kelainan lain dari esofagus. Pemeriksaan barium
merupakan pemeriksaan radiologi terbaik untuk membantu menegak-
kan diagnosa. Gambaran khas untuk spasme esofageal difus adalah
kontraksi multipel yang serentak (corkscrew appearance). Pemeriksaan

16
esofagoskopi terutama untuk menyingkirkan keganasan di esofaagus distal.
Pada pemeriksaan manometri ditemukan peningkatan kontraksi dengan
gambaran amplitude yang tinggi sedangkan esofagus bawah dalam keadaan
relaksasi normal. Penatalaksanaan pasien ini yaitu menggunakan
antikolinergik atau nitrat. Selain itu apat dilakukan dilatasi esofagus.

Gambar 10. Spasme Difusa Esofagus

2. Scleroderma

Penyakit ini merupakan penyakit kolagen khus dikulit. Penyakit ini

sangat jarang di Indonesia. Pada pemeriksaan patologi terdapat atrofi sel

otot yang digantikan oleh jaringan kolagen. Gejala sama dengan

gangguan motilitas lain seperti nyeri, disfagi dan regurgitasi. Pada

pemeriksaan radiologi didapatkan peristaltic meuerun atau sama sekali

tidak ada. Pada pemeriksaan barium ditemukan esofagus sepertiga

proksimal yang normal, dilatasi esofagus yang atonik mulai dari arkus

17
aorta ke bawah, esophagogastric junction yang patulous, refluks

gastroesofageal dan pada posisi tegak barium mengalir cepat masuk

ke dalam lambung. Penatalaksanaan dapat berupa terapi konservatif dan

diet dapat mencegah regurgitasi. Reseksi esofagus distal dan lambung

proksimal dan rekontruksi dapat membarikan hasil yang baik.

Gambar 11. Scleroderma

3. Tumor Esofagus
Di Amerika, keganasan esofagus menyebabkan 10.000-11.000
kematian/tahun dan insidens keganasan esofagus 3-6 kasus/100.000
orang. Keganasan esofagus merupakan penyebab kematian akibat
keganasan yang ke tujuh di dunia dan insidensnya 30-800
kasus/100.000 orang. Keganasn esofagus lebih sering pada laki-laki

18
(laki-laki : wanita = 7 : 1). dan paling sering mengenai pada dekade 6
dan 7 dari kehidupannya.
Gejala klinis penderita keganasan esofagus pada awalnya
mengalami disfagia makanan padat, tetapi pada akhirnya juga mengalami
disfagia makanan cair, mengalami penurunan berat badan (> 50%), nyeri
daerah epigastrium/retrosternal, suara serak, gejala pernapasan.
Penyebab keganasan esophagus diperkirakan berhubungan dengan
paparan mukosa esofagus terhadap rangsangan toksik/berbahaya.
GERD merupakan faktor predisposes yang paling sering.
Pada pemeriksaan barium dapat ditemukan flat plaque-like pada
satu bagian dinding esofa- gus, massa yang melingkari dengan
penyempitan lumen yang ireguler dan tepi yang meng- gantung, filling
defect yang polypoid, ceruk ulkus yang besar dalam massa yang
menonjol. Pada CT scan dapat diketahui adaatau tidaknya invasi ke
jaringan sekitarnya (tracheobronchial tree, aorta, atau pericardium),
mediastinal adenopathy, dan metastase ke hati dan kelenjar limfe
abdominal.

19
Gambar 12. Tumor Esofagus

K. Penatalaksanaan
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik
esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan
memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan
operasi esofagokardiotomi (operasi Heller).

1. Medikamentosa Oral
Preparat oral yang digunakan diharapkan dapat merelaksasikan
sfingter esophagus bawah, obat tersebut antara lain nitrat (isosorbid
dinitrat) dan calcium channel blocker (nifedipin dan veramil).

2. Dilatasi/ Peregangan Singter Esofagus Bawah


Dilakukan dilatasi sfingter esophagus bawah dengan alat yang
dinamakan dilatasi pneumatic. Dilatasi dengan Gruntzig-type balloon
(volume terbatas, kontrol tekanan) adalah efektif pada 60% pasien dan
memiliki sebuah risiko perforasi kurang dari 4%; meskipun demikian,
perforasi mengancam jiwa dan harus dititikberatkan secara hati-hati pada
pasien yang tidak sehat (Townsend et al, 2012). Dilatasi yang dilakukan
dengan dilator yang terdiri atas sonde dengan balon yang dapat diisi
dengan udara atau air bertekanan tinggi sehingga otot sirkuler teregang
dan robek. Dilatasi ini harus diulang sewaktu timbul gejala kembali.
Angka keberhasilan cara dilatasi 70% dengan komplikasi perforasi 1.4%
dan kematian 0.3%. massalah yang sering timbul adalah refluks, yang
terjadi pada 22% kasus.

3. Esofagomiotomi
Merupakan suatu tindakan bedah, dianjurkan bila terdapat :

20
a. Beberapa kali (> 2 kali) tidak berhasil dilakuakan dilatasi penumatik
b. Adanya ruptur esophagus akibat dilatasi
c. Kesukaran menempatkan dilator penumatik karen dilatasi sangat hebat
d. Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan tumor esophagus

Bedah esofagomiotomi terdiri atas memotong otot esofagus pada


arah sumbu esofagus sepanjang sfingter bawah, di luar mukosa. Tindakan
ini dapat dikerjakan secara terbuka (torakotomi atau laparotomi),
torakoskopik, atau laparoskopik. Hasil operasi ini cukup memuaskan.
Tingkat keberhasilannya dikatakan mencapai 80-90%, bergantung pada
keterampilan operator. Bukti penelitian yang kuat menyimpulkan bahwa
indikasi esofagomiotomi adalah pasien yang (1) masih berusia muda, (2)
mengalami kegagalan terapi farmakologis atau dilatasi balon, (3) berisiko
tinggi mengalami perforasi pada teknik dilatasi, yaitu pasien dengan
esofagus yang berkelok-kelok atau divertikula, atau telah menjalani
pembedahan untuk kelainan lain sebelumnya, dan (4) ingin menghindari
prosedur terapi berulang. Esofagomiotomi memberikan hasil yang
memuaskan pada 95% kasus, dengan lama perawatan rumah sakit hanya
tiga hari bila dikerjakan secara laparoskopik.

Bedah esofagomiotomi menawarkan hasil yang superior dan kurang


membuat trauma daripada dilatasi balon. Teknik saat ini merupakan
modifikasi dari Heller myotomy yang digambarkan secara original oleh
sebuah laparotomi pada 1913. Perubahan yang bervariasi telah dibuat
untuk prosedur tersebut tetapi modified laparoscopic Heller myotomy
merupakan pilihan operasi saat ini. Hal tersebut dikerjakan atau dengan
video atau bantuan robot. Keputusan untuk melakukan sebuah prosedur
antirefluks menyisakan kontroversi. Kebanyakan pasien yang telah
menjalani sebuah myotomi akan mengalami beberapa gejala-gejala
refluks. Tambahan prosedur antirefluks parsial, seperti Toupet atau Dor

21
fundoplication, akan mengembalikan perlindungan terhadap refluks dan
menurunkan gejala-gejala postoperatif. Ini khususnya nyata pada pasien
yang bersihan esofagusnya (esophageal clearance) dirusak dengan hebat.

Esofagomiotomi dipertimbangkan dalam beberapa pasien


simptomatis dengan esofagus yang berkelok-kelok (megaesofagus),
esofagus sigmoid, kegagalan lebih dari satu myotomi, atau sebuah striktur
refluks yang tidak dapat berdilatasi. Lebih sedikit dari 60% pasien yang
menjalani keunggulan myotomi berulang dari operasi, dan fundoplikasi
untuk pengobatan striktur refluks bahkan memiliki hasil yang lebih buruk.
Terlebih lagi untuk mengobati secara tepat akalasia tahap akhir, reseksi
esofagus juga mengeliminasi risiko untuk karsinoma. Sebuah transhiatal
esophagotomy dengan atau tanpa pemeliharaan nervus vagus menawarkan
hasil jangka panjang yang baik.

4. Myotomy Endoskopi Peroral (POEM)


POEM adalah teknik yang melibatkan tunneling otot esofagus untuk
mengobati akalasia, khususnya dengan penyakit Chagas. Prosedur ini
dilakukan melalui endoskopi sehingga tidak ada sayatan eksterior yang
dibuat. POEM efektif untuk menyembuhkan gejala disfagia pada
Achalasia. Setelah prosedur ini, akalasia telah didapat Skor Eckaradt 0
atau 1. Dalam sebuah penelitian menggunakan asupan barium
menunjukkan pengosongan lengkap di 90% dan ditemukan memiliki
menurunkan tekanan esofagus. Tekanan sfingter terjadi berkurang setelah
prosedur ini, tetapi tidak secara dramatis ketika pasien menjalani prosedur
LHM. Prosedur ini dilakukan melalui endoskopi pada anestesi umum.
Sebuah terowongan dibuat di bawah lapisan esofagus yang lebih dalam
sampai mencapai LES. Serat otot esofagus dan kardia lambung kemudian
direseksi selama endoskopi. Hasil awal dari ini prosedurnya menjanjikan.

22
Tapi, risiko kerusakan esofagus masih mungkin dan tidak ada pengalaman
jangka panjang hasil terapi ini. Risiko GERD setelah prosedur yang
membutuhkan antasid seumur hidup terjadi pada 32% pasien. POEM tidak
menyembuhkan Achalasia, tapi ini prosedur paliatif. POEM untungnya
dilakukan pada September 2008 di Jakarta lembaga kami. POEM dengan
tindak lanjut terpanjang, 2 tahun, pertama kali dilaporkan pada Oktober
2010. Seluruhnya dunia, sudah ada 900 kasus yang berhasil diobati
dengan POEM. Salah satu kontraindikasi adalah intoleransi anestesi
umum.

5. Injeksi Toksin Botulinum


Menyuntikan toksin botulinum yang lemah ke sfingter esophagus
bawah dengan menggunakan endoskopi. Injeksi botulinum toxin (Botox)
secara langsung ke dalam LES mengeblok pelepasan asetilkolin,
mencegah kontraksi otot halus, dan secara efektif merelaksasikan LES.
Dengan pengobatan berulang, Botox dapat menawarkan pereda gejala
selama bertahun-tahun, tetapi gejala-gejala timbul lagi lebih dari 50%
dalam waktu enam bulan. Toksin botulinum yang disuntikkan dengan
bantuan endoskop adalah toksin yang bekerja menghambat pengeluaran
asetilkolin di prasinaps pada serabut syaraf sehingga dapat menurunkan
tonus sfingter esofagus. Meskipun demikian, terapi ini hanya berhasil pada
dua pertiga pasien. Selain itu pula, boyulinum hanya efektif untuk jangka
pendek sehingga harus dilakukan penyuntikan ulang.

H. Komplikasi
Pada akalasia memiliki faktor resiko terjadinya komplikasi yang berkaitan
dengan progeresivitas penyakit maupun intervensi terapi. Diantaranya
dapat terjadi 1). Pneumonia aspirasi yang terjadi ketika makanan atau
cairan masuk ke dalam paru-paru dan menyebabkan infeksi, 2).

23
Perforasi esofagus yang merupakan komplikasi dari tidakan dilatasi
SEB, dimana tingkat resiko kejadian perforasi ini sekitar 1-3%
tergantung dari keahlian dan pengalam operator, kontraksi esofagus
distal serta diameter balon yang digunakan. 3). Karsinoma esofagus, di
mana akalasia merupakan salah satu faktor predisposisi dan
meningkatkan terjadinya karsinoma esofagus.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Agianto., dkk. 2015. Studi Kasus: Gangguan Menelan Pada Pasien Akalasia
Esofagus. DK. Vol.3 No.2. Banjarmasin: Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat.
2. Hadjat, Fachri. 2015. Penyakit dan Kelainan Esofagus dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed. 7. Jakarta:
Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. H.A. Fuad Bakry F. 2009. Akalasia. Jilid 1, Ed. 5 dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
4. Hedianto,T., Sri Herawati. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spasme
Esofagus Difusa. Jurnal THT-KL Vol.6 N0.2. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo.
5. Hedayanti, N., Supriomo. 2016. Achalasia: A Review of Etiology
Pathophysiology and Treatment. The Indonesia journal of
Gastroenterohepatology and Digestive Endoscopy. Vol.17 No.1. Jakarta.
6. Karaeng, I.G.Suriana., Roro R. 20019. Diagnosis dan Tatalaksana Akalasia
Pada Anak. Medulla Vol.9 No.1. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung.
7. Loho, I.M., Ahmad,S., Achmad.F. 2014. Laporan Kaus: Pseudoakalasia
Sebagai Manifestasi Awal karsinoma Sel Skuamos Kepala Leher. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia. Vol.2 No.1. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia.
8. Rachmanio Nicko. 2019. Penatalaksanaan Akalasia Esofagus dengan
Prosedur Pembedahan Heller dilakukan Fundoplikasi. Mutiara Medika:
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol.19 No.1.

25
9. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. 2007.
Esofagus dan diaphragm dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat- De
Jong, Ed 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Sherwood, Lauralle. 2014. Sistem Pencernaan dalam Fisiologi Manusia:
Dari Sel Ke Sistem. Ed. 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
11. Subroto, Heru., dkk. 2005. Esofagus dan Diaphragma dalam Patofisiologi:
Konsep Klinis Proses-proses penyakit, Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
12. Waschke, J. 2012. Organ-organ dalam manusia dalam Sobotta: Atlas
Anatomi Manusia, Ed. 23, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

26

Anda mungkin juga menyukai