Anda di halaman 1dari 63

RESPONSI

NKB (36 Minggu) + SMK + SC atas indikasi Kontraksi Prematur


dan BSC 2x + BBLR + Asfiksia Ringan - Sedang + Respiratory
Distress ec. TTN + Sepsis + Ikterik

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian akhir stase di
Departemen Pediatri Rumah Sakit Umum Daerah Dok II Jayapura

Oleh:
Clara Sima, S. Ked (20140811014027)
Rini Siantari, S. Ked (0120840232)
Vanesia Hera Saiduy, S. Ked (0120840269)
Yogi Haryanto, S. Ked (0120840290)

Pembimbing:
dr. James Thimoty, Sp. A,. (K),. M. Kes

SMF PEDIATRI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOK II JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2019
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas
Nama : By. Ny.H
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahirh : 18-02-2019
Berat Lahir : 2200 gram
Panjang Badan : 43,5 cm
APGAR Score : 6/8
Alamat : Entrop
No. DM : 446184
Jaminan : BPJS
Nama Orang Tua
Bapak : Tn. E S
Ibu : Ny. H.
Umur Orang Tua
Bapak : 33 tahun
Ibu : 35 tahun
Pekerjaan
Pekerjaan Bapak :Swasta
Pekerjaan Ibu :Swasta
Tgl. Pemeriksaan : 18-02-2019

1.2. Anamnesa
Hetroanamnesa : Ibu Bayi dan Bidan
Keluhan Utama : Bayi Merintih
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merupakan bayi yang lahir secara Sectio Cesarea atas indikasi
kontraksi prematur dan BSC 2x, ibu memiliki faktor risiko sepsis, section cesarea
di RSUD Jayapura tanggal 18 Februari 2019 jam 13.58 WIT dengan jenis kelamin
perempuan, berat badan lahir 2.200 gr dan panjang badan 43,5 cm. Bayi lahir

2
dengan APGAR score 6/8, cairan ketuban normal berwarna jernih. Dilakukan
resusitasi dengan, pemberian kehangatan, posisikan, dikeringkan dan diberi
rangsang taktil. Pasien juga diberikan oksigen melalui T-Piece Resusitator
(Neopuff) dengan PEEP: 7 cmH2O FiO2: 21%. Pasien kemudian dipindahkan ke
ruang perawatan SCN2 untuk diobservasi secara ketat. Pada saat observasi pasien
didapati masih merintih, respirasi semakin cepat, retraksi berat dan saturasi O2
<90% meski dengan bantuan oksigen. Karena pada pasien didapati adanya sesak,
desaturasi dan retraksi, dengan pertimbangan itu maka pasien dipindahkan ke ruang
perawatan NICU agar bisa mendapatkan perawatan yang lebih intensif lagi.

Riwayat Kehamilan Ibu : G6P5A0


Hamil I : tahun 2006/Spontan/ P/ 2700 gr/ Anak Hidup
Haml II : tahun 2008/Spontan/ P/2800 gr/ Anak Hidup
Hamil III : tahun 2014/ Spontan/ P/ ?/ Anak Hidup
Hamil IV : tahun 2016/ SC/ L/ 2700 gr/ Anak Hidup
Hamil V : tahun 2018/ SC/ P/ 2100 gr/ Anak Hidup
Hamil VI : kehamilan saat ini

Ibu pasien mengakui pemeriksaan antenatal care tidak dilakukan secara


teratur, begitupun dengan HPHT juga tidak diketahui. Faktor risiko selama
kehamilan, seperti demam disangkal, ketuban berbau, keruh/kehijauan disangkal,
keputihan (+) tapi tidak berbau, ketuban pecah dini (-), infeksi saluran kencing saat
kehamilan disangkal.

Riwayat Persalinan :
Kehamilan saat ini merupakan kehamilan ke-6, dimana riwayat kehamilan
1-3 secara pervaginam, sedangkan pada kehamilan ke-4 dan ke-5 dilakukan secara
Sectio Cesarea. Pada kehamilan yang sekarang metode persalinan yang digunakan
adalah secara sectio cesarea atas indikasi kontraksi prematur dan BSC 2x.

3
1.3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18-02-2019;
Berat Badan : 2.200 gr
Panjang Badan : 43,5 cm
Lingkar kepala : 34 cm
Keadaan umum : tampak lemah
Denyut Jantung : 150x/menit
Frekuensi Napas : 62 x/menit
Suhu Badan : 37,1o C
SpO2 : 88-90%
Keluhan : merintih (+), sesak (+), retraksi (+)

Kepala/leher :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pernapasan cuping hidung (-), mukosa
bibir lembab (+), oral candidiasis (-)
Thorax :
Inspeksi : simetris, scars/sikatriks (-), ikut gerak napas (+), retraksi (+)
Palpasi : taktil fremitus ( dextra = sinistra )
Auskultasi : suara nafas bronkovesikuler (+/+), rhonki (-/-) wheezing (-/-),
bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, Hepar/lien tidak teraba turgor kembali cepat (+) normal
Perkusi : Timpani
Ekstremitas :
Akral hangat, CRT <2”, edema tungkai (-), ulkus (-)
Kulit :
Anemis (-), Sianosis (-), Ikterik (-)

4
Downe Score
Pernafasan 1
Retraksi 2
Sianosis 1
Air Entry 0
Merintih 1
Total Skor 5

5
Total: I8

6
Total: 11

Total skor: 18+ 11 =29

7
1.4. pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (18-02-2019)

No. Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal

1. WBC 21,440 3,37 – 8,38 x103/µL

2. RBC 4,37 3,69 -5,46 juta/µL

3. HGB 15,8 13,3 – 16,6 g/dl

4. PLT 96.000 140 – 400 ribu /µL

5. I/T Ratio - <0,2

8
1.5. Diagnosis Kerja
 NKB (35 Minggu)-SMK/Letak Kepala/ SC atas Indikasi Kontraksi Preatur
+ BSC 2x
 BBLR
 Asfiksia ringan sedang
 Respiratory distress ec suspek TTN dd HMD
 Suspek Sepsis

1.6. Terapi
 Pemberian kehangatkan
 O2 CPAP PEEP 7cm H2O FiO2: 21 %
 Keb cairan 80x2.2= 176 ml/24jam
 Cadex: 7,3 ml/jam
 Periksa DPL, CRP, IT ratio
 Pro X-ray thoracoabdominal

1.7. Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad functionam : dubia ad bonam

9
Follow Up Pasien
TANGGAL FOLLOW UP
19/02/2019 S= sesak (-), desaturase oksigen (-), instabilitas suhu (-), muntah (-),
Usia : 17 jam kuning (-), batuk (-) BAK (+), minum (+) susu lactogen prematur.
HP : 2 hari O= Tampak aktif
JK : P TTV : HR 147 X/M, RR 56 X/M, SB 36,9 SPO2 100%
BL : 2200gr K/L normochepal, CA -/-, SI -/-, PCH (-), P>KGB (-)
BS : 2130gr Thorax simetris ikut gerak napas, retraksi (+), suara nafas
(↓70) bronkovesikuler +/+, rhonki -/-, whz -/-
Diuresis : 2,5 Cor BJ I-II reg, mur-mur (-), gallop (-)
cc/jam Abdomen tampak datar, supel, BU (+) N, Hepar/Lien tidak teraba
Balanced : - membesar
25,8 Ekstremitas Akral HKM, CRT<3”, edema (-)
Skor down:  A=
P: 0  NKB-SMK/letak kepala/sc ai kontraksi premature, BSC 2x/asfiksia
R: 1 ringn sedang/RD ec TTN/sepsis
S: 1
A: 0 P=
M: 0 - Hangatkan
SKOR: 2 - O2 ventilator mode NIV (Pc-CMV), FiO2 30%, pins 15,0, Ti 0,50, RR
30, PEEP 6 turunkan jadi 5
- Kebutuhan cairan 80 x 2,13= 170,4 CC
- Minum 2 x 15 ml = 30 20cc/jam
80𝑥80
- Kebutuhan kalori = 16/2,13 = 7,5 kkal/kgbb
100
- Injeksi ampicillin 2 x 110 mg (iv) (H2)
- Injeksi gentamicin 11mg/ 36 jam (iv) (H2)

20/02/2019 S= sesak (-), desaturasi oksigen (-), instabilitas suhu (-), batuk (-)
Usia : 1 hari muntah (+),kuning (-),BAK (+), minum (+) ASI.
17 jam O= Tampak aktif
HP : 3 hari TTV : HR 131 X/M, RR 52 X/M, SB 36,8 SPO2 97%
JK : P K/L normochepal, CA -/-, SI -/-, PCH (-), P>KGB (-)
BL : 2200gr Thorax simetris ikut gerak napas, retraksi (+), suara nafas
BS : 2100gr bronkovesikuler +/+, rhonki -/-, whz -/-
(↓30) Cor BJ I-II reg, mur-mur (-), gallop (-)
GDS: Abdomen tampak cembung, distance (+), teraba benjolan keras dgn
Diuresis : 3,3 diameter ± 1cm, mobile didaerah epigastrium, Hepar/lien tidak teraba
ml/jam membesar
Balanced : - Ekstremitas HKM, CRT<3”, edema (-)
92,3ml  A=
Skor down:  NKB (35minggu)/SMK/letak kepala/sc ai kontraksi premature, BSC
P: 0 2x/asfiksia ringan sedang/RD ec TTN/sepsis
R: 1
S: 1 P=
A: 0 - Hangatkan
M: 0 - O2 ventilator (Pc-cmv) FiO2 25%, Ti 0,50, RR 30, pins 15,0, PEEP 7,0
SKOR 2 diturunkan 6, slope 0,11
- Kebutuhan cairan 174 x 92,3= 266,3 CC
- Minum 8 x 10 ml = 80cc
- Aminofusin 80cc/24jam

10
- IVFD Cadex 106cc/24jam
- Injeksi ampicillin 2 x 110 mg (iv) (H3)
- Injeksi gentamicin 11mg/ 36 jam (iv) (H3)
- Ranitidin 2x2mg iv
- Cek hasil lab (Albumin, Natrium, Kalium)
21/02/2019 S= sesak (-), desaturasi oksigen (-), instabilitas suhu (-), kuning (+),
Usia : 3 hari batuk (-) BAK (+), minum (+) ASI, OGT (+) warna hijau
HP : 4 hari O= Tampak tenang
JK : L TTV : HR 147 X/M, RR 56 X/M, SB 37,1 SPO2 97%
BL : 2200gr K/L normochepal, CA -/-, SI -/-, PCH (-), P>KGB (-)
BS : 1950gr Thorax simetris ikut gerak napas, retraksi (+), suara nafas
(↓50) bronkovesikuler +/+, rhonki -/-, whz -/-
GDS: 86 Cor BJ I-II reg, mur-mur (-), gallop (-)
Diuresis : Ekstremitas HKM, CRT<3”, edem (-)
4,41ml/jam  A =
Balanced : -  NKB (35minggu)/SMK/letak kepala/sc ai kontraksi premature, BSC
103,6ml 2x/asfiksia ringan sedang/RD ec TTN/sepsis
Skor down:
P: 0 P=
R: 1 - Hangatkan
S: 1 - O2 Ventilator (CPAP), FiO2 21%, TI 0,36, PEEP 6,0, slope 0,11
A: 0 - Kebutuhan cairan 206 x 103,6= 309,6 CC
M: 0 - Minum 8 x 5 ml = 40cc
SKOR 2 - Aminofusin 80cc/24jam
- IVFD Cadex: Nacl 3% 8cc, kcl 2cc, ca glukonas 13, D40% 7,6, D10%
Hasil lab 158,4 = 189 cc/24jam = 7,875
20/02/19 - Injeksi ampicillin 2 x 110 mg (iv) (H4)
Albumin 3,3 - Injeksi gentamicin 11mg/ 36 jam (iv) (H4)
Kalium Darah - Ranitidin 2x2mg iv
5,53 - Foto therapy
Natrium - Rencana cek bilirubin total direk dan indirek
Darah 139,80
CL Darah
112,00
Calcium Ion
0,94

22/02/2019 S= sesak (-), desaturasi oksigen (+), instabilitas suhu (-), kuning (+),
Usia : 4 hari minum (+) ASI, muntah (-)
HP : 5 hari O= Tampak tenang
JK : P TTV : HR 150 X/M, RR 52 X/M, SB 36,5 SPO2 100%
BL : 2200gr K/L normochepal, CA -/-, SI -/-, PCH (-), P>KGB (-)
BS : 1950gr Thorax simetris ikut gerak napas, retraksi (-), suara nafas
(tetap) bronkovesikuler +/+, rhonki -/-, whz -/-
GDS: 78 Cor BJ I-II reg, mur-mur (-), gallop (-)
Diuresis : Ekstremitas HKM, CRT<3”, edem -/+ (palpebra kiri)
4,4ml/jam  A=
Balanced :  NKB (35minggu)/SMK/letak kepala/sc ai kontraksi premature, BSC
+18,3 2x/asfiksia ringan sedang/RD ec TTN/sepsis/ikterik neonatorum
Skor down: 
P: 0 P=

11
R: 0 - Hangatkan
S: 1 - O2 Ventilator (CPAP), FiO2 21%, Pman insp 15,0, PEEP 6, slope 0,11,
A: 0 Tmam insp 0,36
M: 0 - Kebutuhan cairan 309,6 - 18,3cc= 291,3 CC
SKOR 1 - Minum 8 x 10 ml = 80cc
Hasil lab - Aminofusin 80cc/24jam = 3,3cc/jam
21/02/19 - IVFD Cadex: 131,3 cc/24jam = 5,4 cc/jam
Bil. Total = - Injeksi ampicillin 2 x 110 mg (iv) (H5)
12.14 - Injeksi gentamicin 11mg/ 36 jam (iv) (H5)
Bil. Direct= - Ranitidin 2x2mg iv
0,34 - Foto therapy
Bil. Indirect=
11,80
Gol Darah O
Rh +

23/02/2019 S= sesak (-), desaturasi oksigen (-), instabilitas suhu (-), kuning (+),
Usia : 5 hari minum ASI (+), muntah (-)
HP : 6 hari O= Tampak aktif
JK : P TTV : HR 116 X/M, RR 46 X/M, SB 36,5 SPO2 100%
BL : 2200gr K/L normochepal, CA -/-, SI -/-, PCH (-), P>KGB (-)
BS : 1960gr Thorax simetris ikut gerak napas, retraksi (-), suara nafas
(↑10) bronkovesikuler +/+, rhonki -/-, whz -/-
GDS: 125 Cor BJ I-II reg, mur-mur (-), gallop (-)
Diuresis : 2.2 Abdomen cembung (+), supel, BU(+)N, Hepar/Lien tidak teraba
ml/jam membesar, kremer II
Balanced : + Ekstremitas HKM, CRT<3”, edem (-)
110,6ml  A=
Skor down:  NKB (35minggu)/SMK/letak kepala/sc ai kontraksi premature, BSC
P: 0 2x/asfiksia ringan sedang/RD ec TTN/sepsis/ikterik neonatorum
R: 0 
S: 0 P=
A: 0 -Hangatkan
M: 0 -O2 Ventilator (CPAP), FiO2 21%, Pman insp 15,0, PEEP 6, slope 0,11,
SKOR 0 Tmam insp 0,36
-Kebutuhan cairan 330 cc
- Minum 8 x 15 ml = 120cc
- Aminofusin 80cc/24jam = 3,3cc/jam
- IVFD Cadex: 130 cc/24jam = 5,4 cc/jam Asnet
- Injeksi ampicillin 2 x 110 mg (iv) (H6)
- Injeksi gentamicin 11mg/ 36 jam (iv) (H6)
- Ranitidin 2x2mg iv
- Foto therapy 48 jam

12
24/02/2019 S= sesak (-), desaturasi oksigen (-), instabilitas suhu (-), kuning (+),
Usia : 6 hari minum ASI (+), muntah (-)
HP : 7 hari O= Tampak tenang
JK : P TTV : HR 158 X/M, RR 56 X/M, SB 36,7 SPO2 98%
BL : 2200gr K/L normochepal, CA -/-, SI -/-, PCH (-), P>KGB (-)
BS : 1840gr Thorax simetris ikut gerak napas, retraksi (-), suara nafas
(↓120) bronkovesikuler +/+, rhonki -/-, whz -/-
GDS: 111 Cor BJ I-II reg, mur-mur (-), gallop (-)
mg/dl Abdomen cembung (+), supel, BU(+)N, Hepar/Lien tidak teraba
Diuresis : 3,2 membesar, kremer II
ml/jam Ekstremitas HKM, CRT<3”, edem (-)
Balanced : +  A=
109,1 ml  NKB (35minggu)/SMK/letak kepala/sc ai kontraksi premature, BSC
Skor down: 2x/asfiksia ringan sedang/RD ec TTN/sepsis/ikterik neonatorum
P: 0 
R: 0 P=
S: 0 - Hangatkan
A: 0 - Kebutuhan cairan 330 CC
M: 0 - Minum 8 x 20 ml = 160cc
SKOR 0 - Aminofusin 80cc/24jam = 3,3cc/jam
- IVFD Cadex: 90 cc/24jam = 3,75 cc/jam
160𝑥67
- Kebutuhan kalori 100 = = 107,2/1,84 = 58,2 cc
- Injeksi ampicillin 2 x 110 mg (iv) (H7)
- Injeksi gentamicin 11mg/ 36 jam (iv) (H7)
- Ranitidin 2x2mg iv

25/02/2019 S= sesak (-), desaturasi oksigen (-), instabilitas suhu (-), kuning (-),
Usia : 7 hari minum ASI (+), muntah (-)
HP : 8 hari O= Tampak tenang
JK : P TTV : HR 157 X/M, RR 54 X/M, SB 36,6 SPO2 100%
BL : 2200gr K/L normochepal, CA -/-, SI -/-, PCH (-), P>KGB (-)
BS : 1880 gr Thorax simetris ikut gerak napas, retraksi (-), suara nafas
GDS: 97 bronkovesikuler +/+, rhonki -/-, whz -/-
Diuresis : 4,52 Cor BJ I-II reg, mur-mur (-), gallop (-)
ml/jam Abdomen cembung (+), supel, BU(+)N, Hepar/Lien tidak teraba
Balanced : membesar
+72,16 ml Ekstremitas HKM, CRT<3”, edem (-)
 A=
Skor down:  NKB (35minggu)/SMK/letak kepala/sc ai kontraksi premature, BSC
P: 0 2x/asfiksia ringan sedang/RD ec TTN/sepsis/ikterik neonatorum
R: 0 
S: 0 P=
A: 0 - Hangatkan
M: 0 - Kebutuhan cairan 330 CC
SKOR 0 - Minum 8 x 30 ml = 240cc
- Aminofusin 80cc/24jam = 3,3cc/jam
- IVFD Cadex: 90 cc/24jam = 3,75 cc/jam
240𝑥67
- Kebutuhan kalori = = 161/1,88 = 85,53 kkal
100

13
26/02/2019 S= sesak (-), desaturasi oksigen (-), instabilitas suhu (-), kuning (-
Usia : 8 hari ), minum ASI (+), muntah (-)
HP : 9 hari O= Tampak tenang
JK : P TTV : HR 138 X/M, RR 51 X/M, SB 36,8 SPO2 100%
PB : 43 cm K/L normochepal, CA -/-, SI -/-, PCH (-), P>KGB (-)
LK : 31 cm Thorax simetris ikut gerak napas, retraksi (-), suara nafas
BL : 2200gr bronkovesikuler +/+, rhonki -/-, whz -/-
BS : 1880 gr Cor BJ I-II reg, mur-mur (-), gallop (-)
GDS: 98 Abdomen cembung (+), supel, BU(+)N, Hepar/Lien tidak teraba
Diuresis : 2,6 membesar
ml/jam Ekstremitas HKM, CRT<3”, edem (-)
Balanced :  A=
+126,12 ml  NKB (35minggu)/SMK/letak kepala/sc ai kontraksi premature,
BSC 2x/asfiksia ringan sedang/RD ec TTN
Skor down: (perbaikan)/sepsis/ikterik neonatorum
P: 0 
R: 0 P=
S: 0 - Hangatkan
A: 0 - Kebutuhan cairan 330 cc
M: 0 - Minum 8 x 45 ml = 360 cc
SKOR 0 280𝑥67
- Kebutuhan kalori 100 = = 187,6/188 = 99,78 kkal
PINDAH SCN 1

Diagnosis Akhir
NKB (36 Minggu)/SMK/SC atas indikasi Kontraksi Prematur
dan BSC 2x/BBLR/Asfiksia Ringan-Sedang + Respiratory Distress ec. TTN +
Sepsis + Ikterik

14
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Teori Diagnosis


Diagnosis yang didapatkan pada kasus ini, yaitu neonatus kurang bulan-
sesuai masa kehamilan, lahir letak kepala, section caesarea atas indikasi kontraksi
prematur, dengan bekas section caesarea sebanyak 2x, asfiksia ringan sedang,
lahir dengan tanda distress napas et causa transient tachypnea of the newborn /
sepsis / ikterik neonatorum. Bayi dinyatakan kurang bulan berdasarkan kriteria
pemeriksaan New Ballard Score dengan hasil 36 minggu, yang berarti bayi berada
dalam usia preterm. Kemudian pada kurva Lubchencko dengan berat badan bayi
2200 gr menunjukkan bayi sesuai masa kehamilan. Penentuan usia gestasi
berdasarkan HPHT tidak dilakukan karena ibu tidak mengetahui dengan pasti kapan
tanggal HPHT.

A. Neonatus Kurang Bulan (NKB), Sesuai Masa Kehamilan (SMK) Dan Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR)
Hubungan antara umur kehamilan dan berat badan lahir mencerminkan
kecukupan pertumbuhan intrauterine. Penentuan ini menentukan morbiditas
dan mortalitas bayi selanjutnya. Penentuan umur dapat dilakukan mulai dari
antenatal sampai persalinan. Pada masa antenatal ditentukan dengan cara
sederhana yaitu dengan perhitungan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT),
sedangkan grafik pertumbuhan terhadap usia kehamilan digunakan untuk
menentukan apakah berat badan lahir bayi sesuai untuk masa kehamilan atau
tidak.
Klasifikasi menurut masa gestasi atau umur kehamilan yaitu:
1. Neonatus Kurang Bulan (NKB): bayi dilahirkan dengan masa gestasi
<37 minggu (<259 Hari)
2. Neonatus Cukup Bulan (NCB): bayi dinyatakan cukup bulan
berdasarkan kriteria pemeriksaan New Ballard Score maupun dari
HPHT dengan hasil 37-42 minggu (259-293 hari), yang berarti bayi
berada dalam usia aterm.

15
3. Neonatus Lebih Bulan (NLB): bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi
>42 minggu (294 hari).

Pada kasus ini didapatkan usia gestasi berdasarkan New Ballard Score
adalah 36 minggu yang berarti bayi berada pada usia preterm atau kurang
bulan.
Klasifikasi menurut berat lahir yaitu:
1. Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR): bayi yang dilahirkan
dengan berat <1000 gram
2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR): bayi yang dilahirkan dengan
berat 1000-1500 gram
3. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR): bayi yang dilahirkan dengan berat
lahir <2500 gram dan > 1500gram tanpa memandang masa gestasi.
4. Bayi Berat Lahir Cukup/Normal: bayi yang dilahirkan dengan berat
lahir >2500 gram – 4000 gram
5. Bayi Berat Lahir Lebih/ Makrosomia: bayi yang dilahirkan dengan berat
lahir > 4000 gram

Pada kasus ini, bayi dilahirkan dengan berat badan lahir 2200 gram,
sehingga bayi termasuk dalam klasifikasi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR).
Kemudian pada kurva Lubchencko dengan berat badan bayi yang hanya 2200
gram dan usia gestasi pada kasus ini berdasarkan New Ballard Score adalah
36 minggu yang berarti bayi berada pada usia preterm atau kurang bulan. Hasil
plotting pada grafik Lubchencko menunjukkan bayi sesuai masa kehamilan.
Penentuan usia gestasi berdasarkan HPHT tidak dapat dilakukan karena ibu
tidak tahu pasti kapan tanggal HPHT. Pada bayi kecil untuk masa kehamilan
atau disebut juga small for gestation age (SGA) atau sering didengar dengan
Kecil Masa Kehamilan (KMK) jika bayi yang lahir dengan berat lahir (< 10
persentil) menurut grafik Lubchencko. Sedangkan pada bayi besar untuk masa
kehamilan disebut juga Large for Gestational age (LGA) atau biasa didengar
dengan Besar Masa Kehamilan (BMK) jika bayi yang dilahirkan dengan berat
lahir (>90 Persentil) menurut grafik Lubchencko. Sehingga pada kasus ini nilai

16
yang didapatkan nilai grafik Lubchencko adalah >10 persentil dan <90
persentil.

B. Kontraksi Prematur
Prematuritas adalah kelahiran yang berlangsung pada umur kehamilan
20 minggu hingga 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.

Faktor risiko:
a. Usia ibu, persalinan prematur meningkat pada usia <20 tahun dan >35
tahun.
b. Penyakit dalam kehamilan
- Preeklampsia/Eklamsia
Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah usia 20 minggu
kehamilan dan disertai dengan proteinuria sedangkan eklamsia
adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang dan atau koma.
Preeklamsia meningkatkan risiko terjadinya solusio plasenta,
persalinan prematur, Intrauterine Growth Retardation (IUGR) dan
hipoksia akut.
- Penyakit kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular adalah sekelompok gangguan pada jantung
dan pembuluh darah. Penyakit jantung/kardiovaskular terjadi pada
0,5-3% kehamilan yang dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas pada ibu hamil. Masa kehamilan, persalinan maupun
pasca persalinan berhubungan dengan perubahan fisiologis yang
membutuhkan penyesuaian dalam sistem kardiovaskular. Fisiologi
hemodinamik mencapai puncak pada akhir trimester kedua, pada
masa ini perubahan hemodinamik dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klink pada jantung yang telah sakit sebelumnya.

- Anemia
Anemia adalah suatu kelainan darah yang terjadi ketika tubuh
menghasilkan terlalu sedikit sel darah merah (SDM), penghancuran
SDM berlebihan atau kehilangan banyak SDM. Selama kehamilan,
tubuh ibu mengalami banyak perubahan salah satunya hubungan

17
antara suplai darah dengan respon tubuh. Total jumlah plasma pada
wanita hamil dan jumlah SDM meningkat dari kebutuhan awal,
namun peningkatan volume plasma lebih besar dibandingkan
peningkatan massa SDM dan menyebabkan penurunan konsentrasi
hemoglobin, sehingga mempengaruhi kadar O2 yang masuk
kedalam jaringan. Keadaan ini dapat menyebabkan hipoksia
jaringan yang kemudian akan memproduksi kortisol dan
prostaglandin yang mencetuskan terjadinya persalinan prematur
pada ibu dengan anemia.

- Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan yang hidup.
Paritas dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah anak yang
dilahirkan yaitu:
1) Nullipara, adalah seorang wanita yang belum pernah
menyelesaikan kehamilan melewati gestasi 20 minggu.
2) Primipara, yaitu seorang wanita yang pernah satu kali
melahirkan bayi yang lahir hidup atau meninggal dengan
perkiraan lama gestasi 20 minggu atau lebih.
3) Multipara, adalah seorang wanita yang pernah menyelesaikan
dua atau lebih kehamilan hingga 20 minggu atau lebih.
Jumlah paritas merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
kelahiran prematur karena jumlah paritas dapat mempengaruhi
keadaan kesehatan ibu dalam kehamilan.
- Hipotiroid
Penyakit tiroid adalah suatu kelainan yang menyerang glandula
tiroid. Saat awal gestasi, janin bergantung sepenuhnya pada hormon
tiroid ibu yang melewati plasenta karena fungsi tiroid janin belum
berfungsi sebelum 12-14minggu kehamilan. Pada kehamilan 12
minggu pertama kadar hormone chorionic gonadotropin (HCG)
akan mencapai puncaknya dan kadar tiroksin bebas akan meningkat,
sehingga menekan kadar tirotropin. Namun kadar hormon tiroid
yang rendah pada hipotiroid kehamilan akan memicu aksis HPA

18
untuk produksi TRH guna memenuhi kebutuhan hormon tiroid ibu
dan janin. Pengaktifan aksis HPA ini yang dapat merangsang
pelepasan kortisol kedalam darah sehingga memproduksi
prostaglandin yang dapat memicu terjadinya persalinan prematur.

- Riwayat Partus Prematuritas


Riwayat persalinan prematur sebelumnya merupakan penanda risiko
paling kuat dan paling penting. Wanita yang mengalami persalinan
prematur memiliki risiko untuk mengalaminya kembali pada
kehamilan selanjutnya.

- Ketuban Pecah Dini


Ketuban pecah dini adalah pecahnya kulit ketuban sebelum
persalinan, sedangkan pecahnya kulit ketuban pada usia kehamilan
<37 minggu disebut ketuban pecah dini prematur. Ketuban pecah
selama persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus
dan perengangan berulang, keseimbangan antara sintesis dan
degradasi ekstraseluler matriks, perubahan struktur, jumlah sel dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah.
Pecahnya selaput ketuban yang berfungsi melindungi atau menjadi
pembatas dunia luar dan dunia dalam rahim pecah dan
mengeluarkan air ketuban menyebabkan hubungan langsung antara
dunia luar dan ruangan dalam uterus yang memudahkan terjadinya
infeksi asenden. Semakin lama periode laten maka semakin besar
kemungkinan infeksi dalam uterus, persalinan prematur dan
selanjutnya meningkatkan kejadian morbiditas dan mortalitas ibu
dan bayi atau janin dalam uterus.

- Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum adalah perdarahan jalan lahir setelah
kehamilan 24 minggu hingga sebelum kelahiran bayi. Perdarahan
antepartum menyebabkan 1/5 bayi lahir prematur dan juga
menyebabkan bayi yang dilahirkan mengalami cerebral palsy.

19
Penyebab paling sering dari perdarahan antepartum adalah plasenta
previa dan solusio plasenta.

- Gemelli
Gemelli atau kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin
atau lebih intrauteri. Kehamilan ganda dianggap menyerupai risiko
tinggi karena dapat menyebabkan komplikasi lebih tinggi untuk
mengalami hyperemesis gravidarum, hipertensi dalam kehamilan,
kehamilan dengan hidraamnion, persalinan dengan prematuritas,
serta pertumbuhan janin terhambat.

- Bacterial Vaginosis
Vagina yang sehat mengandung berbagai jenis bakteri yang penting
dalam memerangi infeksi. Bakteri vaginosis terjadi pada 40% wanita
dan merupakan faktor risiko penyebab prematur. BV dapat
meningkatkan risiko prematur 2 x lipat terutama jika dijumpai pada
usia kehamilan kurang dari 20 minggu. BV merupakan suatu kondisi
tanpa dijumpai adanya peradangan. Bakteri penyebab BV
menghasilkan enzim mukolitik yang mempermudah bakteri tersebut
menembus barrier serviks masuk kedalam traktus genitalis bagian
atas. Selain itu jumlah mikro flora vagina normal yaitu Lactobacillus
fakultatif menurun, maka akan mempengaruhi tingkat keasaman
vagina dan mempermudah pertumbuhn bakteri anaerob.

- Infeksi Saluran Kemih


Infeksi saluran kemih adalah tumbuh dan berkembangbiaknya
mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah yang bermakna. Pada
wanita hamil dikenal 2 keadaan infeksi salran kemih, yaitu:
1) Bacteriuria asimtomatik adalah terdapatnya bakteri dalam
saluran kemih tanpa menimbulkan manifestasi klinis.
2) ISK simtomatik adalah ISK yang disertai gejala dan tanda klinis.
Lebih dari 30% penderita bacteriuria simtomatik yang tidak
diobati akan menyebabkan tingginya kelahiran prematur dengan

20
berat badan lahir rendah sekitar 1,5-2 x lipat. Faktor risiko
meningkatnya infeksi saluran kemih dapat dikarenakan oleh:
 Perubahan morfologi kehamilan, dimana asal dari traktus
genital dan traktus urinalis adalah sama secara embriologi.
Selain itu, letaknya yang sangat berdekatan, maka adanya
perubahan pada salah satu sistem akan mempengaruhi sistem
yang lain. Pada saat hamil dapat terjadi perubahan pada
traktus urinalis berupa:
a. Dilatasi pelvis renal dan ureter
b. Vesika urinaria terdesak ke anterior dan superior
 Sistokel dan urethrokel
 Kebiasaan menahan berkemih. Cara terjadinya infeksi
saluran kemih umumnya bakteri yang menyebabkan
terjadinya infeksi berasal dari tubuh penderita sendiri. Ada 3
cara terjadinya infeksi, yaitu:
a. Melalui aliran darah yang berasal dari usus halus atau
organ lain ke bagian saluran kemih
b. Penyebaran melalui saluran getah bening yang berasal
dari usus besar ke buli-buli atau ke ginjal
c. Migrasi mikroorganisme secara ascenden dan urethra
wanita yang pendek memudahkan terjadinya
kontaminasi yang berasal dari vagina dan rectum.

Pada kasus ini pasien lahir pada usia gestasi 36 minggu sehingga masuk
kedalam kriteria prematur yaitu <37 minggu. Pasien ini masuk kedalam kriteria
kontraksi prematuritas karena terdapat setidaknya satu faktor risiko yang
positif, yaitu keputihan yang tidak diobati pada ibu pasien, sehingga
memungkinkan terjadinya kontraksi prematuritas.

C. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)


Klasifikasi Bayi berdasarkan Berat Badan:
Makrosomia : >4000 gram
Normal : 2500-3999 gram

21
BBLR : <2500 gram
BBLASR : <1000 gram

Klasifikasi Bayi berdasarkan Usia Gestasi:


1. Pre-term/kurang bulan : <37 minggu
2. Term/cukup bulan : 37-41 minggu
3. Post-term/lebih bulan : ≥42 mingggu

Tanda klinis BBLR-Kurang Bulan:


1. Kulit tipis dan mengkilap
2. Tulang rawan telinga sangat lunak
3. Lanugo banyak terutama pada punggung
4. Jaringan payudara belum terlihat jelas
- Perempuan: labia mayora belum menutupi labio minora
- Laki-laki: skrotum belum banyak lipatan
5. Garis telapak kaki < 1/3 bagian atau belum terbentuk
6. Aktifitas dan tangisannya lemah
7. Menghisap dan menelan tidak efektif/kemah

Tatalaksana umum perawatan BBLR:


1. Mempertahankan suhu tubuh
2. Resusitasi bayi baru lahir
3. Mencegah infeksi
4. Pengawasan nutrisi
5. Pengawasan ASI
6. Pemantauan berat badan
7. Mewaspadai beberapa penyakit yang berhubungan dengan prematuritas dan
dismaturitas

Pada pasien ini sesuai dengan teori yaitu BBLR dengan kriteria berat
badan lahir <2500 gram, sesuai dengan pasien yakni berat badan lahir sebesar
2200 gram, sehingga masuk kedalam kriteria BBLR.

22
D. Sepsis Neonatorum
Sepsis adalah sebuah respon sistemik terhadap infeksi yang disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur, protozoa atau ricketsia. Sepsis pada bayi baru lahir
adalah suatu infeksi aliran darah yang bersifat infasive dan ditandai dengan
ditemukannya bakteri di dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum
tulang atau urine.
Derajat neutropenial untuk prediksi sepsis neonatal sesuai dengan
umur, yaitu jumlah total neutrofil kurang dari 1800/ul saat lahir, 8100/ul saat
umur 12 jam, 7000/ul saat 24 jam dan kurang dari 1800/ul sesudah 72 jam.
Adanya neutropenial merupakan indikator sepsis neonatal yang lebih baik
dibanding neutrofilia. Jumlah total neutrofil imatur yang lebih dari 1100/ul,
1400/ul dan 800/ul berturut-turut saat lahir, umur 12 jam dan di atas 60 jam
dianggap abnormal. Dari indeks neutrofil, rasio neutrophil gejala klinis sepsis
neonatorum:

SSP Letargi, Tidak mau minum, menangis lemah atau bahkan


melengking, iritabel, hingga kejang
Kardiovaskular Pucat, sianosis, akral dingin,kutis marmorata
Respiratori Takipnea, apnea, merintih, retraksi
Pencernaan Muntah, diare, kembung, distress abdomen
Hematologi Perdarahan, Kuning
Kulit Purpura, pustule, merah/rash
Pelepasan Demam, takikardia,takipnea, dan vasodilatasi.
mediator
inflamasi dini
Bila respon hipoperfusi, somnolen, lemah, diuresis, akral dingin, perfusi
inflamasi tidak perifer / lalu syok
teratasi

23
Pemeriksaan penunjang:

Pemeriksaan Normal
IT ratio < 0,2
CRP < 10 mg/dl
Netropenia < 1800 /mm3
Trombosit < 150.000/mm3
Sitokin IL-8, IL -6 ≥100 pg/ml
Procalsitonin >2 mg/ml

Faktor Risiko Sepsis Neonatorum:

Faktor Resiko Mayor Faktor Resiko Minor


Ketuban pecah > 18 jam Ketuban pecah > 12 jam
Ibu demam saat intrapartum ( suhu Ibu demam saat intrapartum suhu >37,5°C
>38 °C)
Korioamnionitis Nilai APGAR rendah (menit ke-1 < 5, menit
ke 5 < 7)
Denyut jantung janin menetap > Bayi Berat Lahir sangat rendah (BBLSR) <
160x/menit 1500 gr
Ketuban berbau  Usia Gestasi < 37 minggu
 Kehamilan Ganda
 Keputihan yang tidak diobati
 Infeksi saluran kencing (ISK)/
tersangka ISK yang tidak diobati

Sepsis yang berkepanjangan merupakan penyebab paling penting kesakitan


dam kematian pada neonatus. Rekomendasi terbaru untuk memulai terapi sepsis
pada neonatus adalah dengan kombinasi ampisilin dan gentamisin.

Gentamisin bersifat ototoksik dan nephrotoksik. Toksisitas serius terlihat


setelah 7 sampai 10 hari pengobatan. Untuk mengurangi toksisitas maka

24
konsentrasi yang diberikan harus rendah dan oleh karena itu disarankan
penggunaannya adalah satu rejimen per hari.

Ampicillin merupakan antibiotik spektrum luas dan merupakan antibiotik


yang paling sering digunakan untuk mengobati infeksi. Ampisilin sering digunakan
sebagai profilaksis untuk mengurangi resiko infeksi setelah operasi abdominal
termasuk operasi seksio. Ampicillin yang diberikan dengan dosis tinggi dapat
mengakibatkan eksitasi sistem saraf pusat atau aktkejang. Selain itu peningkatan
waktu perdarahan (bleeding time) dapat meningkat apabila diberikan dosis yang
berulang dalam waktu yang lama.

Gathwala et al, membandingkan efektivitas penggunaan antibiotik selama


10 hari dengan 14 hari pada pasien neonatus dengan sepsis dengan hasil kultur
darah positif (sudah terbukti). Didapatkan bahwa neonatus yang sudah dilakukan
pemeriksaan kultur darah apabila diterapi dengan antibiotik selama 10 sama
efektifnya dengan yang 14 hari apabila bayi tersebut menunjukan perbaikan klinis
pada hari ke 7 terapi antibiotik.

25
Sebagai kesimpulan, dijelaskan bahwa pemberian antibiotik yang sesuai
dengan hasil kuktur darah sepsis. Namun, dalam situasi tertentu (neonatus ≥ 32
minggu kehamilan dan ≥ 1500 gram), yang menjadi asimtomatik setelah pemberian
terapi antibiotik yang sesuai selama 5 hari, maka dapat dipertimbangkan untuk
menghentikan antibiotik setelah 7 atau 10 hari.

Sedangkan untuk gejala klinis yang dialami pasien antara lain:

- Sesak
- Takipneu (RR: 64x/menit)
- Sianosis membaik setelah pemberian O2 CPAP PEEP sebesar 7cmH2O dan
FiO2 sebesar 21 %
- Bayi tampak letargis/lemah/tidak aktif
- Suhu Badan : 37,3o C

Pemeriksaan Laboratorium pada pasien didapatkan:

- Leukosit: 21.440x103/uL
- Trombosit: 96.000x103/uL

Berdasarkan anamnesis ibu, pemeriksaan fisik pada bayi dan


pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang
mendukung diagnosis Sepsis Neonatorum pada bayi tersebut.

 Terapi antibiotika empiris untuk sepsis onset dini


Sepsis onset dini biasanya disebabkan patogen dari jalan lahir maternal
atau cairan amnion korioamniotis. Mayoritas patogen yang terisolasi adalah
streptokokus grup B dan E.coli. Namun, beberapa penelitian di negara
berkembang disebutkan, bahwa patogen yang banyak terisolasi adalah bakteri
gram negatif seperti Klebsiela spp, E. Coli, dan Enterobacter bahkan jarang
ditemukan streoptokokus. Penelitian di Ghana bahkan menunjukkan dominasi
patogen Staphylococcus aureus dan Salmonella non tifoid pada neonatus
dengan sepsis onset dini.
Terapi inisial yang disarankan pada umumnya adalah, kombinasi
ampisilin dan aminoglikosida (gentamisin). Alternatif untuk aminoglikosida
adalah, sefalosporin generasi tiga (misal sefotaksim).

26
Regimen ini ditemukan aman dan efikasi akan bertahan dengan durasi
pemberian terapi yang tepat. Pada suatu penelitian di Kamerun, disebutkan
bahwa lini pertama terapi sepsis adalah tiga antibiotik parenteral, ampisilin,
aminoglikosida, dan sefalosporin generasi tiga, yang dianggap menjadi antibio-
tika berspektrum luas untuk mengatasi patogen.
Penelitian lain yang dilakukan di Swiss, terapi empiris yang digunakan
adalah amikasin atau gentamisin yang dikombinasi-kan dengan amoksisilin
yang diberikan secara intravena.
Penelitian yang dilakukan di tiga rumah sakit umum di Malaysia,
penggunaan terapi empiris yang direkomendasikan adalah kombinasi antara
penisillin dengan gentamisin, dimana mempunyai efektifitas 89-95% pada
neonatus dengan sepsis. Sedangkan penelitian di Amerika Serikat yang
dilakukan secara cohort, penggunaan ampisilin yang dikombinasikan dengan
gentamisin untuk terapi empiris lebih direkomendasikan diban-dingkan dengan
penggunaan sefotaksim yang dikombinasikan dengan gentamisin.

 Terapi antibiotika empiris untuk sepsis onset lanjut


Terapi sepsis onset lanjut biasanya dilakukan dengan regimen ampisilin
dan sefalosporin generasi tiga bila belum memungkinkan adanya hasil kultur.
Untuk rasionalisasi penggunaan antibiotiknya, terapi selalu disesuaikan dengan
hasil kultur. Dari tahun 2004-2007, di Neonatal Intensive Care Unit (NICU )
negara maju sudah menggunakan regimen sefalotin plus amikasin.
Dalam beberapa tahun terakhir, ditemukan resistensi luas dari
penggunaan regimen-regimen ini. Resistensi terhadap ampisilin, gentamisin
dan sefalosporin generasi tiga belum berubah sampai saat ini.
Pada kasus dengan risiko infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit
tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum
luas) atau sefoperazon dan seftazidim (sefalosporin generasi ketiga).
Secara in vitro, seftazidim lebih aktif terhadap Pseudomonas
dibandingkan sefoperazon atau piperasilin. Kombinasi sefalosporin generasi
ketiga dengan penisilin atau ampisilin, sering digunakan sebagai terapi awal
pada sepsis onset dini dan sepsis onset lanjut. Keuntungan utama menggunakan
sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik terhadap

27
bakteribakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten terhadap
aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat menembus
cairan serebrospinal dengan sangat baik.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan
penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida.
Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau
penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan
oleh bakteri Gram negatif.
Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten
terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin.
Pemberian antibiotik pada sepsis onset dini dan onset lanjut di negara-negara
berkembang tidak bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju.
Pemberian antibiotik hendaknya disesuaikan dengan pola kuman yang ada
pada masing-masing unit perawatan neonatus.
 Lama pemberian terapi
Bakteremia tanpa fokus infeksi yang teridientifikasi disarankan untuk
diberikan terapi selama 10 hari, meningitis tanpa komplikasi membutuhkan
terapi minimal 14 hari, dan mencapai 21 hari pada meningitis yang disebabkan
oleh bakteri Gram negatif. Terapi antimikroba harus dihentikan 48 jam setelah
terapi bila probabilitas sepsis ditemukan rendah.
Pada neonatus dengan suspek sepsis diberikan gentamisin 4-5
mg/kgBB/dosis atau amikasin 15 mg/kgBB/dosis secara intravena setiap 12
jam. Suatu penelitian mengatakan hubungan antara terapi agen antimikroba
lebih dari 5 hari pada anak dengan suspek onset dini dapat meningkatkan risiko.
Penelitian di Ohio membandingkan neonatus dengan pemberian
antibiotik empiris 3 vs 7 hari yang dilakukan pada 790 neonatus dengan BBLR.
Sebanyak 695 neonatus memiliki kultur negatif dan sebanyak 40% menerima
terapi antibiotika 3 hari dan 34% menerima terapi 7 hari. Tidak ditemukan
efikasi antara kedua kelompok tetapi pasien dengan terapi 7 hari memiliki
durasi rawat inap yang lebih panjang dan penggunaan ventilator yang lebih
lama. Penelitian di Newheven Amerika pada 354 neonatas dengan usia gestasi
< 32 minggu dan BBLR menemukan bahwa terapi antibiotika berlama-lama

28
lebih dari 5 hari berhubungan dengan peningkatan risiko perburukan sepsis dan
kematian. Namun belum jelas apakah ini disebabkan efek samping antibiotika
ataupun perburukan penyakit.

E. Asfiksia
Asfiksia pada bayi baru lahir menurut IDAI adalah sebuah kegagalan
nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir.
Asfiksia adalah salah satu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada
saat respirasi, yang ditandai dengan:
1. Asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis,
2. Nilai APGAR setelah menit ke 5 tetap 0-3,
3. Manifestasi neurologis

Patofisiologi
Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilikal dapat
terjadi pada saat antepartum, intrapartum atau pascapartum saat tali pusat
dipotong. Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan
ketika asfiksia bertambah berat.
a. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk
mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala dijalan
lahir atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal, aktivitas singkat
ini akan diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut apnea primer.
b. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis
karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha bernafas
otomatis dimulai. Hal ini hanya akan membantu dalam waktu singkat,
kemudian jika paru tidak mengembang, secara bertahap terjadi
penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan. Selanjutnya bayi akan
memasuki periode apnea terminal. Kecuali jika dilakukan resusitasi yang
tepat, pemulihan dari keadaan terminal ini tidak akan terjadi.
c. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di
bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat saat
bayi bernafas terengah-engah tetapi bersama dengan menurun dan
hentinya nafas terengah-engah bayi, frekuensi jantung terus berkurang.

29
Keadaan asam-basa semakin memburuk, metabolisme selular gagal,
jantungpun berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu cukup lama.
d. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan
pelepasan ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun demikian,
tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi jantung, mengalami
penurunan tajam selama apnea terminal.
e. Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia. Apnea
primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada
umumnya bradikardi berat dan kondisi syok memburuk apnea terminal.
Etiologi
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :
1. Faktor ibu
 Preeklampsia dan eklampsia
 Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
 Partus lama atau partus macet
 Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
 Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
2. Faktor Tali Pusat
 Lilitan tali pusat
 Tali pusat pendek
 Simpul tali pusat
 Prolapsus tali pusat.
3. Faktor bayi
 Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
 Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
 Kelainan bawaan (kongenital)
 Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi yang terdiri dari :
a. Faktor Ibu

30
b. Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala
akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat
pemberian obat analgetika atau anestesia dalam.
c. Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus
akan menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan
demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan: (a)
gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipertoni atau tetani
uterus akibat penyakit atau obat, (b) hipotensi mendadak pada ibu
karena perdarahan, (c) hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.
d. Faktor plasenta. Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh
luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat
gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta,
perdarahan plasenta dan lain-lain.
e. Faktor fetus. Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya
aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat
pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat
ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher,
kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.
f. Depresi neonatus. Depresi tali pusat pernafasan bayi baru lahir dapat
terjadi karena beberapa hal, yaitu: (a) pemakaian obat
anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat
menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, (b) trauma yang terjadi
pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial, (c) kelainan
kongenital pada bayi, misalnya hernia diafragmatika, atresia/stenosis
saluran pernapasan, hipoplasia paru dan lain-lain.
Manifestasi klinik
Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan
tanda-tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :
 DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
 Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
 Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ
lain

31
 Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
 Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen
pada otot-otot jantung atau sel-sel otak
 Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan
 Takipnea (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru
atau nafas tidak teratur/megap-megap
 Sianosis
Pengkajian klinis
Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal (2009) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk melakukan
resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu : pernafasan,
observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan
auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan
dada asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah
pernafasannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan
tidak teratur), atau tidak sama sekali.
Denyut jantung. Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut
apeks atau merasakan denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau
<100 kali per menit. Angka ini merupakan titik batas yang mengindikasikan
ada atau tidaknya hipoksia yang signifikan.
Warna. Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah
muda. Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada
beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin mengalami syok atau
anemia berat. Tentukan apakah bayi berwarna merah muda, biru, atau pucat.
Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua
komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan
menggambarkan depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia
kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak berhubungan.

32
APGAR SCORE menit 1
Indikator 0 1 2
Frekuensi Tidak ada <100x/menit >100x/menit
jantung
Usaha Tidak ada Tidak teratur, Teratur,
pernafasan lambat menangis
Tonus otot Lemah Beberapa Semua tungkai
tungkai fleksi fleksi
Refleks Tidak ada Gerak sedikit Batuk/menangis
Warna kulit Seluruh tubuh Tubuh Seluruh tubuh
pucat kemerahan merah muda
ekstremitas biru

APGAR SCORE menit 5


Indikator 0 1 2
Frekuensi Tidak ada <100x/menit >100x/menit
jantung
Usaha Tidak ada Tidak teratur, Teratur,
pernafasan lambat menangis
Tonus otot Lemah Beberapa Semua tungkai
tungkai fleksi fleksi
Refleks Tidak ada Gerak sedikit Reaksi melawan
Warna kulit Seluruh tubuh Tubuh Seluruh tubuh
pucat kemerahan merah muda
ekstremitas biru

Penentuan klasifikasi asfiksia pada pasien ini adalah berdasarkan APGAR


Score yakni 6/8, yang tergolong didalam asfiksia ringan-sedang.

33
F. Respiratory Distress
Evaluasi Gawat Napas dengan Menggunakan Skor Down

Penilaian 0 1 2
Frekuensi Napas < 6 0/menit 60-80/menit >80/menit

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi Ringan Retraksi Berat

Sianosis Tidak Sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap


dengan O2 walaupun diberi
O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
bilateral baik udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat di dengar Dapat di dengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu

Evaluasi Gawat napas dengan Menggunakan Skor Down:

Skor <4 Tidak ada gawat napas


Skor 4-7 Gawat napas
Skor >7 Ancaman gagal napas (pemeriksaan gas darah harus dilakukan)

Penyebab Umum Gawat Napas


 Transient Tachypnea of the Newborn (TTN)
Suatu penyakit ringan pada neonatus yang mendekati cukup bulan atau
cukup bulan yang mengalami gawat napas segera setelah lahir dan hilang
dengan sendirinya dalam waktu 3-5 hari.
Faktor Risiko:
- Bedah sesar sebelum ada kontraksi
- Makrosomia
- Partus lama
- Sedasi ibu berlebihan
- Skor Apgar rendah (1 menit: < 7)
Tanda Klinis TTN:
- Neonatus biasanya hampir cukup bulan atau cukup bulan dan segera
setelah kelahiran mengalami takipnea (>80 pernapasan/menit)

34
- Neonatus mungkin juga merintih, napas cuping hidung, mengalami
retraksi dada dan mengalami sianosis
- Keadaan ini biasanya tidak berlangsung > 72 jam
- Rontgen dada:
Garis pada perihilar, kardiomegali ringan, peningkatan volume paru, cairan
pada fissura minor dan umumnya ditemukan cairan pada rongga pleural.

Patofisiologi
Bayi matur yang memiliki transisi normal dari janin ke kehidupan postnatal
memiliki surfaktan yang dan sistem epitel yang matur. TTN terjadi pada bayi baru
lahir matur dengan jalur surfaktan matur dan kurang berkembangnya epitel
pernapasan transportasi Na +, sedangkan RDS neonatus terjadi pada bayi dengan
kedua jalur surfaktan dini dan Na + transportasi immatur.
Bayi lahir dengan kelahiran sesar berisiko memiliki cairan paru yang
berlebihan sebagai akibat tidak mengalami semua tahapan persalinan normal dan
kurangnya lonjakan katekolamin yang tepat, yang menyebabkan pelepasan yang
rendah dari counter-regulatory hormones pada saat persalinan. Hal ini membuat
cairan tertahan di alveoli yang akan menghambat terjadinya pertukaran gas.
Bayi yang mengalami TTN adalah bayi yang dilahirkan secara operasi
sesar sebab mereka kehilangan kesempatan untuk mengeluarkan cairan paru
mereka. Bayi yang dilahirkan lewat persalinan per vaginam mengalami kompresi
dada saat menuruni jalan lahir. Hal inilah yang menyebabkan sebagian cairan paru
keluar. Kesempatan ini tidak didapatkan bagi bayi yang dilahirkan operasi sesar.
TTN merupakan penyakit self-limited disease yang terjadi pada banyak bayi di
seluruh dunia dan dihadapi oleh semua dokter yang merawat bayi baru lahir. Bayi
baru lahir dengan TTN yang baru lahir dalam beberapa jam pertama kehidupan
dengan takipnea, terjadi peningkatan kebutuhan oksigen, dan ABGs yang tidak
mencerminkan retensi karbon dioksida. Ketika mengelola TTN yang baru lahir,
mengamati tanda-tanda penurunan klinis yang mungkin dipikirkan diagnosis lain
dalam gangguan repiratory sistress lainnya adalah sangat penting. Bayi baru lahir
dengan TTN biasanya sering dianggap dan didiagnosis sebagai sebagai Congenital
Pnemoni, Aspirasi Pnemoni atau gangguan Hyaline membrane disease (HMD).
Pada HMD biasanya terjadi pada bayi dengan usia kehamilan di bawah 35 minggu.

35
Sehingga bila bayi sesak di atas usia kehamilan 35 minggu yang paling sering
dipikirkan adalan TTN.

Pemeriksaan Fisik

Temuan fisik yang didapatkan Bayi baru lahir dengan TTN meliputi
takipnea dengan grunting, flaring, and retraksi. Bayi sering digambarkan sebagai
memiliki ”quiet” tachypnea “. Kasus yang ekstrim dapat memperlihatkan sianosis.
Sebuah studi yang menyelidiki faktor risiko untuk durasi takipnea pada pasien
dengan takipnea transient yang baru lahir melaporkan bahwa tingkat pernapasan
puncak lebih dari 90 napas per menit selama 36 jam pertama kehidupan dikaitkan
dengan takipnea berkepanjangan yang berlangsung lebih dari 72 jam.
Pemeriksaan Laboratorium
 Analisis Gas Darah biasanya akan memperlihatkan hipoksia ringan.
Hipokarbia biasanya didapatkan. Jika ada, hipokarbia biasanya ringan
(PCO2 >55 mm Hg). Extreme hypercarbia sangat jarang, namun jika terjadi,
merupakan indikasi untuk mencari penyebab lain.
 Differensial Count adalah normal pada TTN, tapi sebaiknya dilakukan
untuk menentukan apakah terdapat proses infeksi. Nilai hematokrit akan
menyingkirkan polisitemia.
 Urine and serum antigen test dapat membantu menyingkirkan infeksi
bakteri.
Pemeriksaan Radiologi
 Rontgen thoraks
Berikut adalah gambaran khas pada TTN:
- Hiperexpansi paru, khas pada TTN.
- Garis prominen di perihiler.
- Pembesaran jantung ringan hingga sedang.
- Diafragma datar, dapat dilihat dari lateral.
- Cairan di fisura minor dan perlahan akan terdapat di ruang pleura.
Prominent pulmonary vascular markings.
- Radiografi dada adalah standar diagnostik untuk Bayi baru lahir
dengan TTN .

36
- Temuan karakteristik termasuk perihilar menonjol, yang berkorelasi
dengan kendurnya sistem limfatik dengan cairan paru-paru
dipertahankan, dan cairan dalam celah.
- Efusi pleura kecil dapat terlihat.
- Patchy Infiltrat atau gambaran infiltrat yang halus pada kedua lapang
paru secara homogen dan tersebar merata
- Tindak lanjut radiografi dada mungkin diperlukan jika sejarah klinis
menunjukkan sindroma aspirasi mekonium atau pneumonia
neonatal atau jika memburuk Status pernapasan.

37
Sebuah foto toraks anteroposterior terlentang Bayi baru lahir dengan TTN.
Perhatikan penampilan retikuler atau patchy infiltrat atau gambaran infiltrat yang
halus pada kedua lapang paru secara homogen dan tersebar meratadengan cairan
interstisial ringan kardiomegali.

Tatalaksana TTN:
- Pemberian oksigen
- Pembatasan cairan
- Pemberia asupan setelah takipnea membaik
Konfirmasi diagnosis dengan menyisihkan penyebab takipnea lain seperti
pneumonia, penyakit jantung kongenital dan hiperventilasi serebral.
Hasil Akhir dan Prognosis TTN
Penyakit ini bersifat sembuh sendiri dan tidak ada risiko kekambuhan atau
disfungsi paru lebih lanjut. Gejala respirasi membaik sejalan dengan mobilisasi
cairan dan ini biasanya dikaitkan dengan diuresis.
 Penyakit Membran Hialin (HMD)
Penyakit membrane hialin juga dikenal sebagai sindrom gawat napas
(respiratory distress syndrome/RDS). Kondisi ini biasanya terjadi pada bayi
prematur.
HMD terjadi pada sekitar 25 % neonatus yang lahir pada usia kehamilan 32
minggu. Insidens meningkat dengan semakin prematurnya neonates.
Gejala Klinis:
Kesulitan bernapas yang terlihat mencakup :
- Takipnea yang meningkat (>60/menit)
- Retraksi dada
- Sianosis pada udara kamar yang menetap atau progresif, lebih dari 24-48
jam pertama kehidupan
- Foto rontgen yang khas menunjukkan adanya pola retikulogranular seragam
dan bronkogram udara
- Menurunnya udara yang masuk
- Grunting
Faktor Risiko:

38
 Risiko meningkat apabila ada :
- Prematuritas
- Jenis kelamin laki-laki
- Neonatus dari ibu dengan diabetes
 Risiko berkurang apabila ada :
- Stress intrauterine kronis
 Ketuban Pecah Dini dalam waktu lama
 Hipertensi ibu
 Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) atau kecil untuk masa
kehamilan (KMK)
- Kortikosteroid – Prenatal
Patofisiologi
Kegagalan untuk mencapai kapasitas residu fungsional (Fungsional
Residual Capacity [FRC]) yang memadai dan kecenderungan paru yang terkena
untuk menjadi atelektatik berkorelasi dengan tegangan permukaan yang tinggi dan
tidak adanya surfaktan paru. Atelektasis alveolar, pembentukan membran hialin,
dan edema interstisial membuat pemenuhan paru berkurang, sehingga tekanan
lebih besar diperlukan untuk mengembangkan alveoli dan saluran-saluran napas
yang kecil. Pada bayi yang sudah terkena PMH, bagian bawah dinding dada ditarik
ke dalam apabila diafragma menurun, dan tekanan intratoraks menjadi negatif,
sehingga membatasi jumlah tekanan intratoraks yang dapat diproduksi, hasilnya
akan terjadi atelektasis. Dinding dada yang sangat penuh pada bayi prematur
memberikan ketahanan lebih rendah dari bayi yang matur dengan kecenderungan
paru untuk kolaps. Dengan demikian, pada akhir ekspirasi, volume toraks dan paru
cenderung untuk mendekati volume residu, dan akhirnya atelektasis dapat terjadi.
Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit
pernapasan kecil dan dinding dada yang compliance, menghasilkan atelektasis dan
menghasilkan alveoli yang diperfusi tetapi tidak berventilasi, yang menyebabkan
hipoksia. Penurunan pemenuhan paru, volume tidal yang kecil, peningkatan ruang
mati fisiologis, peningkatan kerja pernapasan, dan ventilasi alveolar yang tidak
memadai pada akhirnya menyebabkan hiperkapnia. Kombinasi hiperkapnia,
hipoksia, dan asidosis mengakibatkan vasokonstriksi arteri pulmonari dengan

39
peningkatan shunting kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus
dan dalam paru itu sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan cedera iskemik pada
sel-sel yang memproduksi surfaktan dan pembuluh darah yang akan mengakibatkan
terjadi efusi bahan protein ke dalam ruang alveolar dan terjadi pembentukan
membran hialin.

Patogenesis Penyakit Membran Hialin.

Hipoksia, asidosis, hipotermia, dan hipotensi dapat mengganggu produksi


dan atau sekresi surfaktan. Pada sebagian neonatus, toksisitas oksigen dengan
barotrauma dan volutrauma pada paru-paru mereka yang belum matang secara
struktural menyebabkan influks sel inflamasi, yang memperburuk cedera vaskular,
menyebabkan displasia bronkopulmonal (Bronchopulmonary Dysplasia [BPD]).
Kekurangan antioksidan dan cedera radikal bebas memperburuk kecederaan. Pada
evaluasi makroskopik, paru bayi baru lahir yang terkena tampak pengap dan
kemerahan (yaitu, seperti hepar). Oleh karena itu, paru memerlukan peningkatan

40
tekanan pembukaan yang penting untuk mengembang. Atelektasis difus rongga
udara distal bersama dengan distensi saluran napas distal dan daerah perilimfatik
dapat diamati secara mikroskopis. Atelektasis progresif, barotrauma atau
volutrauma, dan toksisitas oksigen merusak sel-sel endotel dan epitel pada lapisan
saluran udara distal ini, mengakibatkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari
darah.
Membran hialin yang melapisi alveoli dapat membentuk dalam waktu
setengah jam setelah kelahiran. Pada bayi prematur lebih besar, epitel mulai
menyembuh dalam waktu 36-72 jam setelah lahir, dan sintesis surfaktan endogen
dimulai. Fase pemulihan ditandai dengan regenerasi sel-sel alveolar, termasuk sel
tipe II, dengan peningkatan dalam aktivitas surfaktan. Proses penyembuhan ini
adalah kompleks.
Sebuah proses kronis sering terjadi kemudian pada bayi yang sangat
immatur dan sakit berat dan pada bayi lahir dari ibu dengan korioamnionitis,
sehingga menyebabkan BPD. Pada bayi yang sangat prematur, penghentian dalam
pengembangan paru sering terjadi selama tahap sakular, mengakibatkan penyakit
paru kronis yang disebut BPD “baru”.
Pemeriksaan:
Pemeriksaan Laboratorium:
1. Pengambilan sampel gas darah penting dalam pengelolaan HMD. Biasanya,
pengambilan sampel arteri secara intermiten dilakukan. Meskipun tidak ada
konsensus, sebagian besar ahli neonatologi setuju bahwa tekanan oksigen arteri
50-70 mm Hg dan tekanan karbon dioksida arteri 45-60 mm Hg dapat diterima.
Sebagian besar akan mempertahankan pH pada atau di atas 7,25 dan saturasi
oksigen arteri pada 88-95%. Selain itu, oksigen transkutaneus secara kontinu
dan pemantauan karbon dioksida atau pemantauan saturasi oksigen, atau
keduanya, yang membuktikan sangat membantu dalam pemantauan menit ke
menit.
2. Pemeriksaan Sepsis. Sebuah pemeriksaan sepsis parsial, termasuk hitung sel
darah lengkap dan kultur darah, harus dipertimbangkan untuk setiap bayi
dengan diagnosis HMD, karena sepsis yang berlangsung awal (misalnya,

41
infeksi streptokokus grup B atau Haemophilus influenzae) sudah dapat
dibedakan dari HMD atas dasar klinis saja.
3. Kadar glukosa serum dapat menjadi tinggi atau rendah pada awalnya dan harus
dipantau secara ketat untuk menilai kecukupan infus dekstrosa. Hipoglikemia
saja dapat menyebabkan takipnea dan gangguan pernapasan.
4. Kadar elektrolit serum termasuk kalsium harus dipantau setiap 12-24 jam untuk
pengelolaan cairan parenteral. Hipokalsemia dapat berkontribusi lebih banyak
pada gejala pernafasan dan sering pada bayi sakit, asupan gizi kurang, bayi
prematur, atau bayi yang asfiksia.

Pemeriksaan Radiologi
1. X-Ray
Sebuah foto rontgen dada AP harus diperoleh untuk semua bayi dengan
gangguan pernapasan dengan durasi apa pun. Temuan radiografi khas pada HMD
adalah pola retikulogranular yang seragam atau ground-glass apperence, disertai
dengan gambaran airbronchogram di perifer. Selama perjalanan klinis penyakit,
gambaran foto dada sekuensial dapat mengungkapkan kebocoran udara sekunder
yang disebabkan intervensi ventilasi mekanik serta timbulnya perubahan yang
sesuai dengan BPD. Dalam HMD, temuan radiografi dada klasik terdiri dari
hypoaerasi yang jelas, opasitas reticulogranular yang menyebar secara bilateral
pada parenkim paru, dan bronkogram udara yang meluas ke perifer.
Retikulogranularitas ini terjadi karena superimposisi beberapa nodul asinar yang
disebabkan oleh alveoli yang atelektatik. Perkembangan airbronchogram
tergantung pada koalesensi daerah atelektasis asinar sekitar bronkus dan bronkiolus
yang teraerasi. Pada bayi yang tidak diintubasi, didapatkan kubah sefalika dari
diafragma dan hypoekspansi. Fitur radiografi klasik HMD terlihat pada gambar
berikut:

42
Gambar 2. Klasik HMD. Dada berbentuk lonceng adalah karena kurang aerasi
umum. Volume paru-paru berkurang, parenkim paru memiliki pola
retikulogranular menyebar dan terdapat bronkogram udara perifer memperluas.

Gambar 3.Penyakit membran hialin (PMH) sedang-berat. Pola retikulogranular


lebih menonjol dan distribusinya lebih seragam dari biasanya. Paru-paru
hipoaerasi. Air bronchogram yang meningkat diamati.

43
Gambar 4. HMD berat. Kekeruhan reticulogranular didapatkan sepanjang kedua
lapang paru-paru, dengan air bronchogram menonjol dan mengaburkan bayang
jantung secara total. Daerah kistik di paru-paru kanan dapat mewakili alveoli yang
melebar atau emfisema paru interstisial awal.

Spektrum radiologis dari HMD berkisar dari ringan sampai berat (seperti
terlihat pada gambar 3 dan gambar 4) dan biasanya berkorelasi dengan keparahan
dari temuan klinis. Pada tahap awal HMD, gambaran air bronchogram kurang
menonjol, karena bronkus utama terletak pada bagian yang lebih anterior dari paru
dan karena atelektasis alveolus cenderung untuk melibatkan daerah paru yang
dependen, dimana merupakan bagian posterior pada bayi yang terlentang. Namun,
gambaran gelembung, yang mewakili distensi berlebihan dari bronkiolus dan
saluran alveolar dapat diamati.
Sewaktu HMD berlangsung, pola retikulogranular menjadi menonjol karena
koalesensi daerah atelektatik yang kecil. Koalesensi ini mengarah kepada
peningkatan opasitas daerah paru yang lebih besar. Sewaktu bagian anterior dari
paru terjadi microatelectasis, distribusi granularitas menjadi merata, dan gambaran
air bronchogram dapat dilihat. Dengan peningkatan keparahan penyakit,
opasifikasi yang progresif dari bagian anterior paru menyebabkan bayang jantung
tidak kelihatan dan pembentukan gambaran air bronchogram menjadi lebih
menonjol. Pada penyakit yang lebih berat, paru muncul opak dan gambaran air

44
bronchogram menjadi jelas, dengan bayang cardiomediastinal tidak kelihatan sama
sekali.
Pada bayi dengan HMD ringan sampai sedang, hipoaerasi dan opasitas
retikulogranular menetap selama 3-5 hari. Penurunan opasitas terjadi dari perifer ke
daerah medial dan dari lobus superior ke lobus inferior dimulai pada akhir minggu
pertama. Bayi dengan HMD berat mengalami hipoaerasi progresif dan opasitas
bilateral yang difus. Perdarahan parenkim yang jelas juga didapatkan. Jenis HMD
yang parah dan progresif sering menyebabkan kematian, biasanya dalam waktu 72
jam. Temuan radiografi dari HMD tergantung waktu pemberian surfaktan. Jika
awal, meskipun pencegahan dengan surfaktan, paru sudah mengalami hipoaerasi
dan memiliki pola retikulogranular karena cairan interstitial dan alveoli yang
atelektatis. Surfaktan biasanya menghasilkan sedikit perbaikan, yang mungkin
simetris atau asimetris; yang asimetri biasanya menghilang dalam 2-5 hari.
Bayi yang sedang diberikan ventilasi dengan tekanan positif intermiten
dengan PEEP mungkin memiliki paru yang mempunyai aerasi baik tanpa gambaran
air bronchogram. Bayi dengan penyakit yang berat mungkin tidak dapat
mengembangkan paru mereka, mereka memiliki radiograf yang opak total. Pada
akhir perjalanan penyakit, edema paru, kebocoran udara, atau perdarahan paru
dapat mempengaruhi gambaran radiografik. Dengan ventilasi tekanan positif,
opasitas paru menurun, dan timbul perbaik secara radiografik. Namun, tekanan
positif diperlukan untuk mengaerasi paru dapat mengganggu epitelium,
menghasilkan edema interstisial dan alveolar. Hal ini juga dapat menyebabkan
diseksi udara ke septae interlobar dan saluran limfatik, menghasilkan emfisema
interstisial opasitas (pulmonary interstitial emphysema [PIE]). Setelah mendapat
dukungan ventilasi selama berhari-hari, fibrosis interstisial terjadi akibat dari efek
kumulatif dari beban terapeutik pada parenkim paru. Fibrosis ini sering disertai
dengan nekrosis eksudatif dan gambaran sarang lebah dari paru-paru pada
radiografi dada. Kondisi ini disebut sebagai displasia bronkopulmonalis
(bronchopulmonary dysplasia [BPD]). Penampilan sarang lebah menunjukkan
kelompok alveolar yang mengalami distensi secara fokal pada paru terluka dan
immatur.

45
Pada bayi dengan HMD biasanya mengalami hipoksia karena duktus
arteriosus mungkin masih tetap paten. Pada peringkat awal penyakit, shunting
adalah dari kanan ke kiri. Pada akhir minggu pertama, shunting menjadi kiri ke
kanan disebabkan tekanan arteri pulmonalis yang menurun karena peningkatan
komplians dari paru sedang dalam fase penyembuhan. Edema paru interstisial dapat
berkembang. Karena itu, ketika pola granular dari penyakit membran hialin berubah
ke gambaran opak yang homogen, edema paru terjadi akibat duktus arteriosus yang
paten (patent ductus arteriosus [PDA]) atau awal dari perubahan paru kronis harus
dicurigai. Jika foto dada pada bayi prematur menunjukkan opasitas
retikulogranular, PMH boleh didiagnosa dengan keyakinan sehingga 90%.
2. USG
Opaksifikasi yang homogen pada paru adalah karena konsolidasi lobus
inferior yang boleh dilihat pada USG abdominal bagian atas. Selain itu, USG sangat
berguna dalam mendiagnosa atau menyingkirkan efusi pleura yang timbul
bersamaan atau sebagai komplikasi.
3. EKG
Merupakan alat diagnostik yang berharga dalam evaluasi bayi dengan
hipoksemia dan gangguan pernapasan. Hal ini digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis PDA serta merekod respon terhadap terapi. Penyakit jantung kongenital
yang signifikan dapat disingkirkan dengan teknik ini juga.

Derajat Berat/ringan Temuan pada pemeriksan radiologik toraks


I Ringan Kadang normal atau gambaran granuler,
homogen, tidak ada air bronchogram
II Ringan-Sedang Seperti tersebut di atas ditambah gambaran air
bronchogram
III Sedang-Berat Seperti di atas ditambah batas jantung menjadi
tidak jelas
IV Berat “white lung” : paru putih menyeluruh
Gambaran pemeriksaan radiologik toraks pada PMH menurut kriteria Bomsel
terdiri dari 4 stadium.

46
Gambar 5. Gambaran pemeriksaan radiologik toraks pada PMH menurut kriteria
Bomsel.

Tatalaksana:
 Pengaturan suhu
 Cairan parenteral
 Antibiotik
 Pemantauan berkesinambungan
 Penggunaan CPAP telah dicoba, jika dengan CPAP
 pH < 7,2
 Atau pO2 < 40 mmHg
 Atau pCO2 > 60 mmHg
 Defisit basa > -10
 FiO2 > 60 %
Jika 2 analisis gas darah dengan jeda 20 menit mengungkap nilai di atas,
lakukan intubasi dan ventilasi mekanik
Khusus :
Terapi surfaktan jika intubasi trakeal diperlukan
Hasil Akhir:
- RDS bertanggung jawab untuk 20% dari semua kematian neonatus

47
- Penyakit paru kronis terjadi pada 29% BBLSR
 Sindrom Aspirasi Mekonium (MAS)
Gawat napas yang bersifat sekunder akibat aspirasi mekonium oleh fetus
dalam uterus atau oleh neonatus selama proses persalinan dan kelahiran
Patogenesis:
Aspirasi mekonium dapat menyebabkan:
- Sumbatan jalan napas
- Inflamasi berat
- Hipertensi paru
- Aktivasi thrombosis
Faktor Risiko:
- Kehamilan lebih bulan
- Hipertensi maternal
- Denyut jantung janin abnormal
- Profil biofisis ≤ 6
- Pre-eklamsia
- Ibu penderita diabetes
- KMK
- Korioamnionitis
Presentasi Klinis:
- Air ketuban bercampur mekonium sebelum kelahiran
- Pewarnaan kuning/hijau oleh mekonium pada neonatus setelah lahir
- Gagal pernapasan yang mengarah pada peningkatan diameter
anteroposterior dada
- Persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN)
Pemeriksaan untuk MAS
Laboratorium :
- Analisis gas darah (AGD)
- Kultur darah dan pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan Radiologi:
Rontgen dada : bercak infiltrate, garis kasar pada kedua bidang paru,
hiperinflasi anteroposterior dan diafragma lebih datar.

48
Tatalaksana:
Prenatal:
- Identifikasi kehamilan berisiko tinggi
- Memantau denyut jantung janin selama persalinan
- Tatalaksana di ruang bersalin (Visualisasi pita suara dan pengisapan
trakea apabila bayi tidak bernapas
Tatalaksana Umum Neonatus dengan SAM:
- Mengosongkan isi lambung untuk menghindari aspirasi lebih lanjut
- Koreksi abnormalitas metabolic, misalnya hipoksia, asidosis,
hipoglikemia, hipokalsemia dan hipotermia
- Pemantauan untuk melihat kerusakan pada organ lain (otak, ginjal,
jantung dan hati)
Tatalaksana Pernapasan:
- Pengisapan dan vibrasi dada dengan frekuensi yang sering
- Pulmonary toilet untuk menghilangkan mekonium residual jika
diintubasi
- Cakupan antibiotic (ampisillin dan gentamicin)
- Gunakan CPAP
Hasil Akhir dan Prognosis:
- Angka kematian bisa mencapai 50%
- Bayi yang bertahan hidup mungkin akan menderita dysplasia
bronkopulmonal dan sekuele neurologis.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapati adanya retraksi segera setelah
lahir, total skor downe 4, total APGAR skor pada menit pertama 6, merintih serta
sianosis, sehingga pasien ini didiagnosa dengan respiratory distress et causa TTN.
G. Ikterik Neonatorum
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
bilirubin dalam darah >5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh adanya
ikterus, dengan faktor penyebab fisiologik dan non-fisiologik.

1. Ikterus fisiologik
Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup

49
bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan mencapai puncaknya
sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat
selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1 mg/dL selama 1
sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin
puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan
terjadi lebih lambat, bisa terjadi selama 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai 6
minggu.
Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi
peningkatan kadar bilirubun dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan
bertahan lebih lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak diberikan
fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl masih
dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan
metabolism bilirubin.
Frekuensi ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan ialah secara
berurut 50-60% dan 80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan dapat
membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor
tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan
maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi
peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens bilirubin.
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi - Peningkatan jumlah sel darah merah
bilirubin - Penurunan umur sel darah merah
- Peningkatan early bilirubin
- Peningkatan aktivitas ß-glukoronidase
Peningkatan resirkulasi - Tidak adanya flora bakteri
melalui entero-hepatic shunt - Pengeluaran mekonium yang terlambat
- Defisiensi protein karier
- Penurunan aktifitas UDPGT
Penurunan klirens bilirubin

50
Penurunan klirens dari plasma
Penurunan metabolisme hati

2. Ikterus non-fisiologik
Jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus patologik, yang tidak
mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik. Terdapatnya hal-hal di bawah ini
merupakan petunjuk untuk tindak lanjut, yaitu: ikterus yang terjadi sebelum
usia 24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan
fototerapi; peningkatan kadar bilirubin total serum >0,5 mg/dL/jam; adanya
tanda-tanda penyakit yang mendasar pada setiap bayi (muntah, letargis, malas
menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang
tidak stabil); ikterus yang bertahan setelah delapan hari pada bayi cukup bulan
atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.
Metabolisme Bilirubin
Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat degradasi
hemoglobin pada sistem retikuloendotelial. Tingkat penghancuran hemoglobin
pada neonatus lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua. Sekitar 1 g
hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek, yaitu bilirubin yang
larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air.
Transportasi bilirubin indirek melalui ikatan dengan albumin. Bilirubin
ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit, sedangkan albumin tidak.
Di dalam sel, bilirubin akan terikat pada ligandin, serta sebagian kecil pada
glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua
arah, tergantung dari konsentra-si dan afinitas albumin plasma dan ligandin
dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi
dan diekskresi ke dalam empedu. Di dalam sitosol hepatosit, ligandin mengikat
biliru-bin sedangkan albumin tidak.
Di dalam hepatosit terjadi konjugasi lanjut dari bilirubin menjadi
bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil bilirubin ter-dapat dalam bentuk
monoglukoronid, yang akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi
diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukorinid, yaitu
uridin difosfat-glukoronid transferase (UDPG-T), yang mengatalisis
pembentuk-an bilirubin monoglukoronid. Sintesis dan ekskresi diglukoronid

51
terjadi di kanalikuli empedu. Isomer bilirubin yang dapat mem-bentuk ikatan
hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi langsung ke dalam
empedu tanpa konjugasi, misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar.
Setelah konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, terjadi
ekskresi segera ke sistem empedu kemu-dian ke usus. Di dalam usus, bilirubin
direk ini tidak di absorbsi; sebagian bilirubin direk dihidrolisis menjadi
bilirubin indirek dan direabsorbsi, siklus ini disebut siklus enterohepatik.
Etiologi ikterus
Etiologi ikterus yang sering ditemu-kan ialah: hiperbilirubinemia
fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk
jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan
polisitemia/hiperviskositas.
Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi
piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom Lucey-Driscoll, penyakit
Crigler-Najjar, hipotiroid dan hemoglobinopati.
Derajat Ikterus Menurut Kramer
Derajat Ikterus Daerah Ikterus Perkiraan Kadar
Bilirubin

I Kepala dan leher 5,0 mg%

II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg%

III Sampai badan bawah (dibawah 11,4 mg%


umbilikus) hingga tungkai atas (di atas
lutut)

IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 13,4 mg%

V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg%

52
Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk
akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi.
Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja
heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksi-da. Besi
dapat digunakan kembali, sedang-kan karbon monoksida diekskresikan
melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin
yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan
hidro-gen intramolekul). Bilirubin tak terkonjuga-si yang hidrofobik diangkut
dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan
bilirubin tak ter-konjugasi dengan albumin baik oleh faktor endogen maupun
eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang bebas dapat me-lewati
membran yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang
darah otak, yang dapat mengarah ke neuro-toksisitas.
Bilirubin yang mencapai hati akan di-angkut ke dalam hepatosit,
dimana biliru-bin terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan

53
meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin.
Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pa-da saat lahir namun akan meningkat
pesat selama beberapa minggu kehidupan.
Bilirubin terikat menjadi asam gluku-ronat di retikulum endoplasmik
retikulum melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil
transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin yang
tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresi-kan kedalam
empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak
berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam
usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi
ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus absorbsi, kon-jugasi, ekskresi,
dekonjugasi, dan reabsorb-si ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini
berlangsung sangat panjang pada neo-natus, oleh karena asupan gizi yang ter-
batas pada hari-hari pertama kehidupan.

Faktor Risiko
ASI yang kurang
Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah
karena tidak cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk memroses
pembuangan bilirubin dari dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi pada bayi
prematur yang ibunya tidak memroduksi cukup ASI.
Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun berisiko
untuk terjadinya hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang memiliki jenis
golongan darah yang berbeda dengan ibunya, lahir dengan anemia akibat
abnormalitas eritrosit (antara lain eliptositosis), atau mendapat transfusi darah;
kesemuanya berisiko tinggi akan mengalami hiperbilirubinemia.
Infeksi/ inkompabilitas ABO-Rh
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu
ke janin di dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Kondisi

54
ini dapat meliputi infeksi kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan
sepsis.
Gejala klinis pada hiperbillirubinemia
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi
kadang-kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan
kerusakan otak (Kern icterus). Gejala klinis yang tampak ialah rasa kantuk,
tidak kuat menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata ter-putar-
putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian. Efek
jangka panjang Kern icterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli,
dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.
Diagnosis
Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun
masih dapat digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan ini
sulit di-terapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian.
Secara evident base, pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan,
namun bila ter-dapat keterbatasan alat masih boleh diguna-kan untuk tujuan
skrining. Bayi dengan skrining positif harus segera dirujuk untuk diagnosis dan
tata laksana lebih lanjut.
Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual,
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan dilakukan pada pencaha-yaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
b. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
c. Keparahan ikterus ditentukan berdasar-kan usia bayi dan bagian tubuh
yang tampak kuning.

Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih

55
lanjut. Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total perlu dipertimbangkan
karena hal ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus.

Bilirubinometer transkutan
Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan
prinsip kerja memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang
gelombang 450 nm). Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna
kulit neonatus yang sedang diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO


Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh
karena itu, ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum
yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin
bebas, antara lain dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini yaitu
berdasar-kan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin dimana
bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pen-dekatan bilirubin
bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Pemecahan heme menghasilkan biliru-bin dan gas CO dalam jumlah
yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka peng-ukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan seba-gai indeks produksi
bilirubin.

Diagnosis banding
Sebagai diagnosis banding dari ikterus yaitu: atresia bilier, breast milk
jaundice, kolestasis, anemia hemolitik pada bayi baru lahir, hepatitis B, dan
hipotiroid.

Pengobatan
Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi
pengganti untuk menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan cahaya
ber-intensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan bilirubin dalam kulit.
Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5

56
mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus
difototerapi bila konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan
untuk memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko
tinggi dan berat badan lahir rendah.
Diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi diatas 35 minggu adalah kadar
diatas persentil 95.
24 jam: ≥ 8 mg/ dL (137 M/ L)
48 jam: ≥ 14 mg/ dL (239 M/ L)
72 jam: ≥ 16 mg/ dL (274 M/ L)
84 jam: ≥ 17 mg/ dL (290 M/ L)

Berikut adalah panduan terapi sinar pada bayi dengan usia kehamilan
35minggu atau lebih menurut American Academy of Pediatric, Juli 2004.

57
Pedoman penggunaan fototerapi pada bayi berat lahir rendah berdasarkan berat
lahir:
Wt 1500-
Age (hrs) Wt <1500g Wt >2000g
2000g
SBR SBR SBR
(micromol/L) (micromol/L) (micromol/L)
<24 hrs >70 >70 >85
24-48 hrs >85 >120 >140
49-72 hrs >120 >155 >200
>72 hrs >140 >170 >240
American Academy of Pediatrics Guidelines (published in Pediatrics 114:297-
316, July 2004)

Pedoman penggunaan foto terapi untuk bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu:
Infants at medium
Infants at higher
risk (38 or more Infants at lower
risk (35 - 376
Age weeks plus risk risk (38 or more
weeks
factors or 35 - 376 weeks and well)
plus risk factors)
weeks and well)
SBR (micromol/L) SBR (micromol/L) SBR (micormol/L) SBR (micromol/L)
Birth 70 85 100
12 hrs 100 110 150
24hrs 135 160 195
48hrs 185 220 255
72hrs 230 260 295
96hrs 250 295 340
5 days 255 305 360
≥ 6 days 255 305 360
American Academy of Pediatrics Guidelines (published in Pediatrics
114:297316, July 2004)

58
Intravena immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan
faktor imunolo-gik. Pada hiperbilirubinemia yang disebab-kan oleh
inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat menu-
runkan kemungkinan dilakukannya trans-fusi tukar.

Transfusi pengganti
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit
yang rentan terhadap antibodi erirtosit maternal; menghilangkan eritrosit yang
tersensitisasi; mengeluarkan bilirubin serum; serta meningkatkan albumin yang
masih bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatannya dangan bilirubin.
Pedoman penggunaan transfusi tukar pada bayi berat lahir rendah
berdasarkan usia.
Age Wt <1500g strong Wt 1550-2000g Wt >2000g
SBR
Hours SBR (micromol/L) SBR (micromol/L)
(micromol/L)
<24</p/> >170-255 >255 >270-310
24-48 >170-255 >255 >270-310
49-72 >170-255 >270 >290-320
>72 >255 >290 >310-340

Transfusi pertukaran berdasarkan Bilirubin: Rasio Albumin:

Gestational Age and risk group Bilirubin : albumin ratio

> 38 weeks and well 8.0


>38 weeks + hemolysis, or 35 to
7.2
37 6/7 and well
35 to 37 6/7 + hemoly

Pedoman untuk transfusi tukar pada bayi usia 35 minggu atau lebih.

59
Infants at higher Infants at medium
Infants ay lower
risk (35-37+6 risk (≥ 38 weeks +
Age (hrs) risk (≥38 weeks
weeks + risk risk factors or 35-
and well)
factors) 37+6 weeks and well
SBR (micromol/L) SBR (micromol/L) SBR (micromol/L) SBR (micromol/L)
Birth 200 235 270
12 hours 230 255 295
24 hours 255 280 320
48 hours 290 320 375
72 hours 315 360 405
96 hours 320 380 425
5 days 320 380 425
6 days 320 380 425
7 days 320 380 425

Penghentian ASI
Pada hiperbilirubinemia akibat pem-berian ASI, penghentian ASI
selama 24-48 jam akan menurunkan bilirubin serum. Mengenai pengentian
pemberian ASI (walaupun hanya sementara) masih terda-pat perbedaan
pendapat.
Terapi medikamentosa
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang
mening-katkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif
diberikan pada ibu hamil selama beberapa hari sampai beberapa minggu
sebelum melahirkan. Penggunaan phenobarbital post-natal masih menjadi
pertentangan oleh karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat
mengurangi bilirubin dengan mengeluar-kannya melalui urin sehingga dapat
menurunkan kerja siklus enterohepatika.

Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapati skor kramer II, karena derajat
ikterus pada pasien ini yakni mulai dari kepala sampai dengan umbilikus dan
termasuk kedalam ikterus fisiologis karena ikterus yang muncul >24 jam dan dalam
48 jam,

60
BAB III
KESIMPULAN

Pasien merupakan bayi yang lahir secara Sectio Sesarea atas indikasi
kontraksi premature dan BSC 2x dengan berat lahir 2200 gr, panjang 43,5 cm,
dengan air ketuban keruh. Apgar score 6/7, tetapi kemudian bayi tiba-tiba merintih,
sianosis pada mukosa bibir dan akral, sehingga diberikan O2 CPAP PEEP 7, FiO2
21%. Pasien dirawat di ruang NICU dan direncanakan untuk diperiksaan DL serta
foto X-ray dan observasi ketat tanda-tanda distress napas.
Di NICU bayi diterapi dengan O2 CPAP PEEP 7 IVFD Cadex, Ampicillin
110 mg/12 jam, Gentamicin 11 mg/36 jam. Setelah 8 hari perawatan, pasien
diperbolehkan pindah SCN1, pasien sudah tidak ada keluhan, berat badan sedikit
berkurang sehingga di programkan untuk kenaikan berat badan melalui asupan
kalori dari PASI serta ASI. Selama perawat, di hari ke 4 pasien mengalami kuning,
dan didiagnosis sebagai Ikterus neonatorum, pasie diberi fototerapi 48 jam, dan
kemudian membaik.

61
Daftar Pustaka

Kosim, Soleh, dkk. 2014. Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama.IDAI. Badan
Penerbit IDAI: Jakarta
Waldo E Nelson, MD et al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15. Jakarta: EGC.
Abdul L et al. 2003. Diagnosis Fisis Pada Anak. Edisi ke-2. Jakarta : CV Sagung
Seto.
Fanaroff AA, Martin RJ. Neonatal-Perinatal Medicine: Diseases of the fetus and
infant. 8th ed. 2006.
Helve O, Andersson S, Kirjavainen T, Pitkanen OM. Improvement of Lung
Compliance during Postnatal Adaptation Correlates with Airway Sodium
Transport. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.
2006;173:448-452.
Jain L, Eaton DC. Physiology of fetal lung fluid clearance and the effect of labor.
Semin Perinatol. Feb 2006;30(1):34-43.
Gian Pacifici Mania, 2015: Clinical pharmacology of gentamicin in neonatus:
regimen, toxicology and pharmacokinetics. Medical Express.
Gian pacifici Mania, 2017. Clinical pharmacology of Ampicillin in Neonates and
Infants: Effects and pharmacokinetics. International Journal of Pediatrics.
(6385)

Schleubner, E. (2013). The Prevention, Diagnosis and Treatment of Premature


Labor. Counting Medical Education, 227-233.

Guslihan Dasa Tjipta, dkk. Gawat Napas pada Neonatus. Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Çoban A, Türkmen Kaynak, 2018. Turkish Neonatal Society guideline to the
approach, follow-up, and treatment of neonatal jaundice.
Mrs. Malar Kodi, 2014. Transient Tachypnea of New born (TTN). International
Journal of Nursing Education and Research.
Hayatullah, M. K., Tjipta, G. D., Sianturi, P., Azlin, E., Lubis, B. M., Syamsidah,
& Wahyuni, F. (2017). Terapi Antibiotika Empiris pada Neonatus. The
Journal of Medicine School, Majalah Kedokteran Nusantara, 108-109.

62
Irvan, & dkk. 2018. Sepsis dan Tatalaksana berdasar Guidline Terbaru Sepsis and
Treatment basic on the Newest guidline 2018. Anestesiologi Indonesia, 64,
67.

JNPK-KL, IDAI, POGI, & Programe, U. I.-H. (2008). Pelayanan Obstetri Dan
Neonatal Emergensi Komprehensif-Asuhan Neonatal Esensial. Health
Service Program, 41, 181.

Tazani, R. M., & dkk. (2013). Gambaran Faktor Resiko Ikterus Neonatorum pada
Neonatus di Ruang Parinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2013.
FK UJ, 1.

63

Anda mungkin juga menyukai