Anda di halaman 1dari 22

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Januari 2018


Universitas Halu oleo

BRONKIOLITIS

Oleh :

Dewi Akka, S.Ked

( K1 A1 13 100 )

Triaji Ariansyah, S.Ked

(K1 A1 13 108 )

Pembimbing

dr. Hj. Musyawarah, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2018

1
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. Rifki Rahman
Tanggal Lahir : 5 Desember 2017
Umur : 1 bulan 6 hari
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Alama t : JL. Martadinata Kel.Mata Kec.Kendari
Suku : Bugis
BBL : 3200 gr
PBL : Lupa
No. RM : 57 94 05
Tanggal masuk : 11 Januari 2018, Pukul 21.55 WITA
Ruangan : Mawar Lt.2
Cara Masuk : Dikirim dr. IGD
Ayah : Tn. Muh. Iksan
Umur : 27 thn
Pekerjaan : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny. Winda
Umur : 20 thn
Pekerjaan : IRT

2
B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien
Keluhan utama : Sesak
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari yang lalu, demam (+) sejak 1
hari yang lalu, demam naik turun, kejang (-), berkeringat malam (-), menggigil (-
), Batuk (+) sejak 2 hari yang lalu, lendir (+), darah (-), pilek (+), Mual (+),
muntah (+) sejak 1 hari yang lalu, terutama setelah batuk. Malas menetek. BAK
dan BAB dalam batas normal
Riwayat keluhan penyakit lain (-), asthma (-), alergi (-)
Riwayat pengobatan sebelumnya (+) obat batuk puyer
Riwayat penyakit sebelumnya (-)
Riwayat kontak dengan penderita batuk dan pilek di dalam keluarga (+) ayah
dan ibu.
Riwayat penyakit dalam keluarga; asthma (-), alergi (-) Batuk (+)
Riwayat makanan : ASI + Susu Formula
Riwayat kelahiran : cukup bulan, lahir spontan, di rumah, ditolong dukun,
biru (-), inj. Vit. K (-), HB0 (-).
Riwayat kehamilan : ANC tidak rutin, sakit selama hamil (-)
Riwayat imunisasi (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit Berat, pasif
Antropometri : BB : 4,5 kg │ PB :53 cm │LK : 33 cm │LD : 32,5 cm │LP :
29 cm │LLA : 9,5 cm
Tanda Vital
TekananDarah :- Pernapasan : 64 x/menit
Nadi : 160 x/menit Suhu : 38,3 oC
Pucat : (-) Ikterus : (-) Sianosis : (-)
Turgor : Baik Tonus : Baik Busung : (-)

3
Kepala : Normocephal
Ubun-ubun Besar : terbuka (+) , membonjol (-), cekung (-)
Muka : Simetris kanan dan kiri, pucat (-), ikterik(-)
Rambut : Berwarna hitam, tidak mudah tercabut
Telinga : Otorhea (-), perdarahan (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-)
Hidung : Rinorhea (-), epistaksis (-), pernapasan cuping hidung (+)
Bibir : Kering (-), pucat (-)
Lidah : Kotor (-), tepi hiperemis (-), tremor (-)
Mulut : Stomatitis (-)
Tenggorokan : Hiperemis (-)
Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk(-), massa (-)
Paru :
PP : Simetris kiri dan kanan, retraksi subkostal (+), retraksi interkostal (-)
PR : Nyeri tekan (-), massa tumor (-), krepitasi (-)
PK : Sonor kedua lapangan paru
Batas Paru belakang kiri VTh XI
Batas Paru belakang kanan VTh X
Batas Paru hepar ICS V kanan
PD : Bronkovesikular, ronki +/+ wheezing +/+
Jantung
PP : Iktus kordis tidak tampak
PR : Iktus kordis tidak teraba
PK : Batas jantung kiri ICS V linea midclavicula sinistra
Batas jantung kananICS IV linea parasternal dextra
PD : Bunyi Jantung I dan II murni regular, murmur (-)

4
Abdomen
PP : Cembung, ikut gerak nafas, distensi (-)
PD : Peristaltik (+), kesan normal
PK : Timpani (+) kesan normal
PR : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Limpa : Tidak teraba
Hati : Tidak teraba
Kelenjar Limfe : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anggota Gerak : Akral dingin (-), CTR < 2 detik
Kulit : Sianosis (-), peteki (-), ikterus (-)
Tasbeh : Tidak ada
Col. Vertebralis : Skoliosis (-), kifosis (-)
Refleks Patologis : Babinski (-/-)
Kaku kuduk : (-)
Ukur lingkar lengan atas : 9,5 cm
Ukur lingkar kepala : 33 cm
Ukur lingkar dada : 32,5 cm
Ukur lingkar perut : 29 cm

D. RESUME
By. RR, 1 bulan 6 hari, laki-laki. Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1
hari yang lalu, demam (+) sejak 1 hari yang lalu, demam naik turun, kejang (-),
berkeringat malam (-), menggigil (-), Batuk (+) sejak 2 hari yang lalu, lendir (+),
darah (-), pilek (+), Mual (+), muntah (+) sejak 1 hari yang lalu, terutama setelah
batuk. Malas menetek. BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat keluhan
penyakit lain (-), asthma (-), alergi (-). Riwayat pengobatan sebelumnya (+) obat
batuk puyer. Riwayat penyakit sebelumnya (-). Riwayat kontak dengan penderita
batuk dan pilek di dalam keluarga (+) ayah dan ibu. Riwayat penyakit dalam

5
keluarga; asthma (-), alergi (-) Batuk (+). Riwayat makanan : ASI + Susu
Formula. Riwayat kelahiran : cukup bulan, lahir spontan, di rumah, ditolong
dukun, biru (-), inj. Vit. K (-), HB0 (-). Riwayat kehamilan : ANC tidak rutin,
sakit selama hamil (-). Riwayat imunisasi (-)
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan sakit berat, pasif, nadi 160 x/menit,
pernapasan 64x/menit, suhu 38.30C, BB 4,5 kg, PB 53, LK 33 cm, LD 32,5 cm,
LP 29 cm, LLA 9,5 cm. Pada pemeriksaan umum, didapatkan pernapasan cuping
hidung (+), pada PP ditemukan retraksi subkostal (+), pada PD bunyi pernapasan
bronkovesikuler, bunyi tambahan ronki (+/+), wheezing (+/+).

E. DIAGNOSIS KERJA
 Bronkiolitis

F. ANJURAN PEMERIKSAAN
 Darah rutin
 Foto Thorax
 Saturasi Oksigen
 Analisi gas darah
 Rapid test infeksi virus
 C-Reactive Protein

G. PENATALAKSANAAN
 IVFD D5% 28 TPM
 Oksigen ½ liter/menit
 Dexamethason 0,75mg (0,15 cc)/8 jam/iv
 Nebulasi Nacl 0,9% 3cc/8 jam
 PCT Inj 45mg/6jam

6
Kebutuhan Cairan :
 BB x kebutuhan cairan x tetesan mikro = 4,5 x 150 x 60 = 28 tpm
24 (jam) x 60 (menit) 24 x 60
 Dexamethason 0,5-1 mg/kgbb /hari
= 2,25- 4,5mg/hari
= 0,75 mg (0,15 cc)/8 jam/iv
 Nebulasi Combivent ½ ampul + Nacl 0,9% 3 cc / 8 jam

H. FOLLOW UP
Tanggal Keluhan Instruksi Dokter
11/01/2018 S: Demam (+), sesak (+), batuk (+), IVFD D5% ½ NS 28 TPM
berlendir (+), mual (+), muntah (+) Oksigen ½ liter/menit
setelah batuk, nafsu makan menurun. Dexamethason 0,75mg/8jam/iv
O: TD; (-) BB : 4,5 Kg Nebulasi Combivent ½ ampul +
N : 160x/m Nacl 0,9% 3 cc / 8 jam
P : 64x/m PCT Inj 45mg/6jam
S : 38,3°C
Pernapasan cuping hidung (+), PP :
retraksi subkostal (+), retraksi interkostal
(+), PD: bronkovesikuler, ronki (+/+),
wheezing (+/+)
A : Bronkiolitis

7
12/1/2018 S: Demam (-), sesak (-), batuk berkurang, IVFD D5% ½ NS 28 TPM
nafsu makan menurun. Dexamethason 0,75mg/8jam/iv
O: TD; (-) BB : 4,5 Kg Nebulasi Combivent ½ ampul +
N : 148 x/m Nacl 0,9% 3 cc / 8 jam
P : 56 x/m
S : 37,8°C
Pernapasan cuping hidung (-), PP :
retraksi dinding dada (-), PD:
bronkovesikuler, ronki (+/+), wheezing
(-/-)
A : Bronkiolitis
13/1/2018 S: sesak (-), batuk berkurang, makan sedikit- IVFD D5% ½ NS 28 TPM
sedikit Dexamethason 2,5mg/8jam/iv
O: TD; (-) BB : 4,5 Kg Nebulasi Combivent ½ ampul +
N : 104 x/m Nacl 0,9% 3 cc / 8 jam
P : 36 x/m
S : 36,5°C
Pernapasan cuping hidung (-), PP :
retraksi dinding dada (-), PD: vesikuler,
ronki (-/-), wheezing (-/-/)
A : Bronkiolitis
14/1/2018 Pasien di bolehkan pulang

8
BAB II
ANALISIS KASUS

By. RR, 1 bulan 6 hari, laki-laki, datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari
yang lalu, demam (+) sejak 1 hari yang lalu, demam naik turun, kejang (-),
berkeringat malam (-), menggigil (-), Batuk (+) sejak 2 hari yang lalu, lendir (+),
darah (-), pilek (+), Mual (+), muntah (+) sejak 1 hari yang lalu, terutama setelah
batuk. Malas menetek. BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat keluhan penyakit
lain (-), asthma (-), alergi (-). Riwayat pengobatan sebelumnya (+) obat batuk puyer.
Riwayat penyakit sebelumnya (-). Riwayat kontak dengan penderita batuk dan pilek
di dalam keluarga (+) ayah dan ibu. Riwayat penyakit dalam keluarga; asthma (-),
alergi (-) Batuk (+). Riwayat makanan : ASI + Susu Formula. Riwayat kelahiran :
cukup bulan, lahir spontan, di rumah, ditolong dukun, biru (-), inj. Vit. K (-), HB0 (-).
Riwayat kehamilan : ANC tidak rutin, sakit selama hamil (-). Riwayat imunisasi (-)
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan sakit berat, pasif, nadi 160 x/menit,
pernapasan 64x/menit, suhu 38.30C, BB 4,5 kg, PB 53, LK 33 cm, LD 32,5 cm, LP
29 cm, LLA 9,5 cm. Pada pemeriksaan umum, didapatkan pernapasan cuping hidung
(+), pada PP ditemukan retraksi subkostal (+), pada PD bunyi pernapasan
bronkovesikuler, bunyi tambahan ronki (+/+), wheezing (+/+).
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut (IRA) bawah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya, infeksi tersebut
disebabkan oleh virus. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada
bayi yang didahului dengan gejala IRA.1 Sekitar 95% dari kasus-kasus tersebut secara
serologis terbukti disebabkan oleh invasi Respiratory Synscitial Virus (RSV).
Orenstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti Adenovirus, virus
influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus, dan mikoplasma, tetapi belum ada bukti
kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri.1

9
EPIDEMIOLOGI
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling
sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya pada usia 2-8 bulan. Sembilan puluh
lima persen kasus terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan 75% diantaranya
terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis
paling sering terjadi pada anak laki-laki berusia 3-6 bulan yang tidak mendapatkan
ASI, dan hidup dilingkungan padat penduduk. Selain itu, bronkiolitis terjadi 1,25 kali
lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan.1
Median lama perawatan adalah 2-4 hari, kecuali pada bayi prematur dan
kelainan bawaan seperti penyakit jantung bawaan (PJB). Bradley menyebutkan
bahwa penyakit akan lebih berat pada bayi muda. Hal itu ditunjukkan dengan lebih
rendahnya saturasi O2 juga pada bayi yang terpapar asap rokok pascanatal. Beberapa
prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi
yaitu bayi dengan masa gestasi <34 minggu, usia <3 bulan, sianosis, saturasi oksigen
<90%, laju respiratori >70x/menit, adanya ronki dan riwayat dysplasia
bronkupulmoner.1
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang
daripada negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan
ekonomi, kurangnya tunjangan medis serta kepadatan penduduk di negara
berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat
adalah 1-3%.1

FAKTOR RISIKO

Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden


tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Makin muda usia bayi menderita bronkiolitis
biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat
mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang
rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan,

10
bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan
immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit
yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun
bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Selain itu, faktor resiko
terjadinya bronkiolitis adalah status sosial ekonomi yang rendah, jumlah anggota
keluarga yang besar, perokok pasif, dan berada pada tempat penitipan anak atau
tempat dengan lingkungan yang padat penduduk.2

PATOFISIOLOGI
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebakan respon inflamasi
akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus, timbunan
debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit
peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik
dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa
akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang
memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat
selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil
selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis
dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.1

Gambar 1. Pembengkakan bronkioli akibat bronkiolitis3

11
Proses patologi ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi (ventilation perfusion mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi
karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien.
Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja
pernapasan (work of breathing) akan meningkat selama end-expiratory lung volume
meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila
respirasi mencapai 60 x/menit. Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari,
tetapi silia akan terganti setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan
oleh makrofag.1

MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar bayi bronkiolitis yang terkena mempunyai riwayat terpajan
pada anak yang lebih tua atau pada dewasa yang menderita penyakit pernapasan
ringan pada minggu sebelum mulainya penyakit. Bayi mula-mula menderita infeksi
ringan pada saluran pernapasan atas disertai dengan ingus yang serous dan bersin.
Gejala-gejala ini biasanya berakhir beberapa hari dan dapat disertai dengan
penurunan nafsu makan dan demam 38.5-39oC walau demikian suhu dapat berkisar
subnormal sampai meningkat dengan jelas. Perkembangan kegawatan pernapasan
yang bertahap ditandai dengan batuk mengi paroksismal, dispnea dan iritabilitas.
Menyusu pada ibu atau botol dapat sangat sulit karena frekuensi pernapasan yang
cepat tersebut tidak memberikan kesempatan untuk mengisap dan menelan. Pada
kasus ringan, gejala-gejala menghilang dalam 1-3 hari. Pada penderita yang terkena
lebih berat, gejala-gejala dapat berkembang dalam beberapa jam dan perjalanan
penyakit berlarut-larut.4
Suatu pemeriksaan mengungkapkan bahwa bayi takipnea sering dalam
keadaan sangat distress. Pernapasan berkisar dari 60-80 x/menit, sianosis dapat
terjadi. Cuping hidung melebar dan penggunaan otot-otot asesoris pernapasan

12
menimbulkan retraksi interkostal dan subkostal yang dangkal karena paru terus
menerus terdistensi oleh udara yang terperangkap. Depresi hati dan limpa akibat
overinflasi paru dapat mengakibatkannya teraba dibawah tepi kosta. Krepitasi halus
yang tersebar dapat didengar pada kahir inspirasi dan pada awal ekspirasi. Fase
ekspirasi pernapasan diperpanjang dan mengi dapat didengar. Pada sebagian besar
kasus yang berat, suara pernapasan hampir tidak dapat didengar bila obstruksi
bronkiolus hampir total.4

DIAGNOSA
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Anamnesis1
Gejala awal berupa infeksi respiratori-atas akibat virus, seperti pilek
ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang
disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis,
merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan penurunan
nafsu makan.

2. Pemeriksaan Fisis1
Pemeriksaan fisis pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis
adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Selain
itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis.
Obstruksi saluran respiratori-bawah akibat respons inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha
pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan
napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan
ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila gejala
menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 minggu.

13
3. Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi5
Gambaran radiologi bronkiolitis tidak spesifik, biasa normal atau terdapat
hiperinflasi paru-paru difus disertai diafragma datar, penonjolan ruang
retrosternal, dan penonjolan rongga interkostal. Bercak infiltrat atau infiltrat
peribronkial menandakan adanya pneumonia interstial pada kebanyakan bayi.
Penebalan dan cairan pleura sangat jarang ditemukan , kalaupun ada biasanya
minimal. Beberapa penderita yang tampak sakit berat secara klinis dan
memerlukan perawatan dan menunjukkan gambaran foto toraks yang normal.
Jadi gambaran yang biasa didapatkan adalah normal, penebalan peribronkial,
atelektasis kolaps segmental atau hiperinflasi.

b. Identifikasi virus5
Identifikasi virus bila dilakukan dengan memeriksa sekresi nasal dengan
menggunakan teknik imunofluoresens untuk RSV dan beberapa virus lain,
namun pemeriksaan ini mahal dan terbatas. Pemeriksaan rapid office tehnicques
saat ini dimungkinkan dengan menggunakan kit virus tertentu.

c. Darah rutin5
Pemeriksaan darah rutin tidak spesifik. Jumlah lekosit yang berkisar
antara 5000-24.000 sel/ml.

Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Digunakan


berbagai skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assesment Instrument
(RDAI), yang menilai distress napas berdasarkan 2 variabel repirasi yaitu
wheezing dan retraksi. Bila skor > 15 dimasukkan dalam kategori berat, bila skor
< 3 dimasukkan dalam kategori ringan.1,6

14
Tabel 1. Skor Respiratory Distress Assesment Instrument (RDAI)6
SKOR Skor
0 1 2 3 4 Maksimal
Wheezing
-Ekspirasi 0 Akhir 1/2 3/4 Semua 4
-Inspirasi 0 Sebagian Semua 2
-Lokasi 0 2 dr 4 lap 3 dr 4 lap 2
paru paru

Retraksi
-Supraklavikular 0 Ringan Sedang Berat 3
-Interkostal 0 Ringan Sedang Berat 3
-Subkostal 0 Ringan Sedang Berat 3
TOTAL 17

DIAGNOSIS BANDING

Tabel 2. Diagnosis banding anak dengan wheezing7


DIAGNOSIS GEJALA
Asma o Riwayat wheezing berulang, kadang tidak
berhubungan dengan batuk dan pilek
o Hiperinflasi dinding dada
o Ekspirasi memanjang
o Berespons baik terhadap bronkodilator
Bronkiolitis o Episode pertama wheezing pada anak umur < 2
tahun
o Hiperinflasi dinding dada
o Ekspirasi memanjang

15
o Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
o Respons kurang / tidak ada respons dengan
bronkodilator
Wheezing o Wheezing selalu berkaitan dengan batuk dan pilek
berkaitan o Tidak ada riwayat keluarga dengan
dengan batuk asma/eksem/hay fever
atau pilek o Ekspirasi memanjang
o Cenderung lebih ringan dibandingkan dengan
wheezing akibat asma
o Berespons baik terhadap bronkodilator
Benda asing o Riwayat tersedak atau wheezing tiba-tiba
o Wheezing umumnya unilateral
o Air trapping dengan hipersonor dan pergeseran
mediastinum
o Tanda kolaps paru
Pneumonia o Batuk dengan napas cepat
o Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
o Demam
o Crackles/ ronki
o Pernapasan cuping hidung
o Merintih/grunting

TATALAKSANA
Anak dengan bronkiolitis ringan bisa dirawat di rumah. Untuk bayi perlu
dilakukan observasi yang baik dan pemberian cairan yang cukup. Bayi yang
menderita bronkiolitis sedang atau berat harus dirawat di Rumah Sakit. Pengobatan
terdiri dari :5

16
 Antibiotik tidak perlu diberikan. Namun bila diperkirakan perlu misalnya pada
keadaan berat dan ada kemungkinan infeksi sekunder bakteri, antibiotik yang
sesuai dapat diberikan.
 Peran bronkodilator masih kiontroversial, maksud pemberian untuk memperbaiki
pertukaran gas. Bila perlu ipratropinum bromida, obat simpatomimetik, atau
teofilin, yang terbukti memberikan manfaat pada beberapa penderita dapat
dicoba untuk diberikan.
 Pemberian kortikosteroid juga belum dapat dibuktikan bermanfaat. Laporan
penelitian menunjukkan ada yang berhasil baik, namun adapula yang tidak
berpengaruh.
 Pemberian anti virus seperti ribavirin, dapat dipertanggungjawabkan, terutama
untuk bayi risiko tinggi yaitu dengan cystic fibrosis, ronchopulmonary dysplasia,
imunodefisiensi, dan penyakit jantung bawaan. Obat ini terbukti efektif untuk
pasien dengan ventilator.
 Imunoterapi masih dalam penelitian, terutama immunoglobulin untuk infeksi
RSV.

Antibiotik7
 Apabila terdapat napas cepat saja, pasien dapat rawat jalan dan diberikan
kotrimoksazol (4 mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari, atau amoksisilin (25
mg/kgBB/kali), 2 kali sehari, selama 3 hari. Apabila terdapat tanda distres
pernapasan tanpa sianosis tetapi anak masih bisa minum, rawat anak di rumah
sakit dan beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/ kgBB/kali IV atau IM setiap 6
jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberi respons yang baik maka terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit
dengan amoksisilin oral (25 mg/kgBB/kali, dua kali sehari) untuk 3 hari
berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat
keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat)

17
maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam)
sampai keadaan membaik, dilanjutkan per oral 4 kali sehari sampai total 10 hari.
 Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat (pneumonia berat) segera berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-
gentamisin.
 Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB/kali IM atau IV sekali
sehari).
Oksigen7
 Beri oksigen pada semua anak dengan wheezing dan distres pernapasan berat.
Metode yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen adalah dengan nasal
prongs atau kateter nasal. Bisa juga menggunakan kateter nasofaringeal.
Pemberian oksigen terbaik untuk bayi muda adalah menggunakan nasal prongs.
 Teruskan terapi oksigen sampai tanda hipoksia menghilang.
Perawat harus memeriksa sedikitnya tiap 3 jam bahwa kateter atau prongs berada
dalam posisi yang benar dan tidak tersumbat oleh mukus dan semua sambungan
terpasang aman.
Perawatan penunjang7
 Jika anak demam (≥ 39oC) yang tampak menyebabkan distres, berikan
parasetamol.
 Pastikan anak yang dirawat di rumah sakit mendapatkan cairan rumatan harian
secara tepat sesuai umur, tetapi hindarkan kelebihan cairan/overhidrasi.
Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
 Bujuk anak untuk makan sesegera mungkin setelah anak sudah bisa makan.
Pemantauan7
Anak yang dirawat di rumah sakit seharusnya diperiksa oleh seorang perawat
sedikitnya setiap 3 jam dan oleh seorang dokter minimal 1x/hari. Pemantauan terapi
oksigen. Perhatikan khususnya tanda gagal napas, misalnya: hipoksia yang memberat
dan distres pernapasan mengarah pada keletihan.7

18
Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan pemberian
oksigen selama 10 jam terakhir (ditandai dengan saturasi oksigen menetap di atas
93% atau stabil selama 4 jam), retraksi dada minimal, mampu makan/minum, dan
perbaikan tanda klinis yang lain.1

Gambar 2. Tatalaksana Bronkiolitis8

19
KOMPLIKASI
Jika anak gagal memberikan respons terhadap terapi oksigen atau keadaan
anak memburuk secara tiba-tiba, lakukan pemeriksaan foto dada untuk melihat
kemungkinan pneumotoraks.7
Tension pneumothorax yang diikuti dengan distres pernapasan dan pergeseran
jantung, membutuhkan penanganan segera dengan menempatkan jarum di daerah
yang terkena agar udara bisa keluar (perlu diikuti dengan insersi kateter dada dengan
katup di bawah air untuk menjamin kelangsungan keluarnya udara sampai kebocoran
udara menutup secara spontan dan paru mengembang).7

PENCEGAHAN
Penyebab utama bronkiolitis adalah infeksi Respiratory Syncitial Virus (RSV)
yang memiliki morbiditas tinggi, terutama pada anak dengan risiko tinggi dan
imunokompromais. Oleh sebab itu langkah preventif dilakukan dengan pemberian
imunisasi aktif dan pasif.5,8
Imunisasi pasif dilakukan dengan pemberian gama-globulin yang mengandung
titer antibodi protektif tinggi. Dosis yang dianjurkan 750 mg/KgBB setiap bulan,
diberikan secara intravena pada anak umur kehamilan < 35 minggu dan bayi dengan
dysplasia bronchopulmonari. Produk lain adalah antibody kelas IgA monoclonal yang
diberikan melalui tetes hidung setiap hari dan antibodi kelas IgG monoclonal yang
diberikan secara in tramuskular setiap bulan.8
Saat ini juga sedang dikembangkan vaksin virus hidup yang dilemahkan
(attenuated live viral vaccines). Tetapi kelemahan vaksin jenis ini adalah
imunogenositasnya rendah dan kecenderungan virus untuk berubah kembali menjadi
tipe liar.5,8

20
PROGNOSIS
Beberapa studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada
bayi akan berkembang menjadi asma. Suatu studi kohort prospektif menemukan
bahwa 23% bayi dengan riwayat bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3
tahun, dibandingkan dengan 1% pada kelompok control (OR : 28; 95% Cl 4-1235).1
Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkiolitis
mempunyai kecenderungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7
tahun dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya hiperreaktivitas
bronkial yang menetap selama beberapa tahun setelah setelah menderita bronkiolitis
pada bayi muda, baik pada RSV positif maupun RSV negatif.1

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Zain, Magdalena Sidharti. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hal. 333-349.
2. Behrman, R.E, Robert M. 2010, Bronchiolitis, dalam buku, Nelson : Esensi
Pediatri Ed. 4, Jakarta : EGC, hal. 583-6.
3. Louden Mark. Pediatrik, bronchiolitis. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com
4. Orenstein, D.M. 2012. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Ed. 15. Vol 1. Jakarta :
EGC.
5. Rauf, S., Artati, R.D., dan Meylani. 2009. Standar Pelayanan Medik. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNHAS/ SMF Anak RS. DR.
Wahidin Sudirohusodo. Makassar. Hal. 37-39.
6. Setiawati Landia, MS Makmuri. Tatalaksana Bronkiolitis (Treatment
Bronchiolitis). Dalam Continuing Education, Ilmu Kesehatan Anak XXXV,
Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak IV, Hot Topics in Pediatrics; FK
UNAIR, Surabaya : 2005. Diunduh dari www.pediatrik.com
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak
Di Rumah Sakit. Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di
Kabupaten/Kota. Jakarta : WHO Indonesia. Hal. 96-99.
8. M. Andersen, James, Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and
management. Paediatrics 2010;1-16.

22

Anda mungkin juga menyukai