Anda di halaman 1dari 49

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS BESAR

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

THYPHOID FEVER

OLEH :
Muhammad Fadhil S.Ked
K1A1 13 057

PEMBIMBING
dr. Fercee Primula Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Muhamad Fadhil

Stambuk : K1A1 13 036

Judul Refarat : Thypoid Fever

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.

Kendari, Mei 2019

Mengetahui :

Pembimbing,

dr. Fercee Primula Sp.PD


BAB I
CATATAN RIWAYAT PENYAKIT

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. U
Umur : 24 tahun
Agama : Islam
Tanggal masuk/Jam : 1 Maret 2019 / 19:00 WITA
Alamat: : Abuki
Pekerjaan : Wiraswasta
DPJP : dr. Fercee Primula Sp.PD
Dokter muda : Muhammad Fadhil S.Ked
No. RM : 01 08 91
Rumah Sakit dirawat : BLUD RS Konawe
Keterangan : Rawat Inap
B. ANAMNESIS (Alloanamnesis)
1. Keluhan Utama : Demam sejak 8 hari yang lalu
2. Riwayat penyakit sekarang : PBM datang ke RS dengan keluhan demam
sejak 8 hari yang lalu. Demam dirasakan semakin meningkat di sore dan
malam hari dan menurun namun tidak sampai bebas demam di pagi dan
siang hari, demam disertai dengan periode menggigil 1-2 jam sebelum
suhu badan naik. Kondisi ini dirasakan pasien sejak hari pertama demam
hingga saat datang ke rumah sakit. Keluhan lain : Sakit kepala (+), pusing
(-), penglihatan kabur (-), nyeri retro orbita (-), batuk (+), lendiri (+), sesak
(-), nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (+) frekuensi 1 x saat masih
dirumah beberapa jam sebelum ke rumah sakit. Isi muntah adalah lendir.
Penurunan nafsu makan (+), penurunan BB (-), BAK dalam batas normal,
BAB semipadat frekuensi 3x/hari.
3. Riwayat penyakit dahulu : Pasien pernah berobat ke PUSKESMAS
dengan keluhan yang sama, HT (-), DM (-), Alergi (-)
4. Riwayat pengobatan: Pasien mengkonsumsi Paracetamol tablet 500 mg
saat berada dirumah
5. Riwayat penyakit/keluhan yang sama dikeluarga : Tidak ada
6. Riwayat alergi makanan dan obat: Tidak ada
7. Riwayat Sosial Budaya : Pasien merokok dan mengkonsumsi alkohol
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

Sakit : Sedang
Kesadaran/GCS Score : E4V5M6 = 15, Compos mentis
Status gizi : BB= 64 Kg, TB= 175 cm IMT = 20,91 Kg/m2 (Kurang)

Tanda Vital
TD Nadi Pernafasan Suhu
120/70 mmHg 60x/Menit 24 x/Menit 39,0 0C
reguler

Status Generalisata

Kepala Normosefal, simetris kiri dan kanan, deformitas (-), rambut hitam
lurus

Mata o Konjungtiva: Anemis (-)


o Sklera : Ikteri (-)
o Pupil : Isokor (+)
o Edema palpebra (-)
o Gerakan bola mata DBN
Telinga o Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan.
o Lubang telinga : dalam batas normal, secret (-/-).
o Nyeri tekan: (-/-).
o Peradangan pada telinga (-/-).
o Pendengaran : normal
Hidung o Perdarahan (-/-)
o Sekret (-/-)
Mulut o Bibir : Kering (+), pucat (-), sianosis (-)
o Tonsil : tidak ada pembesaran, dalam batas normal
o Faring : Hiperemis (-)
o Gusi : tidak ada luka atau perdarahan
o Lidah : Papil edem (-) lidahkotor (-)
o Mukosa : normal
Leher Kaku kuduk (-), Pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid (-),
Trakea terletak di tengah, JVP R+2 cmH2O
Thoraks Inspeksi
Normochest, bentuk simtetris kiri dan kanan, pergerakan dinding dada
simetris, retraksi intercostal (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), krepitasi (-), massa (-), vokal fremitus Kanan=Kiri
Perkusi
Sonor pada kedua lapangan paru
Batas paru hepar: ICS VI linea midclavicula dextra
Auskultasi
Bunyi nafas bronkovesikuler, Rhonki basal -/- Wheezing -/-
Jantung Inspeksi
Iktus kordis tampak (+), deformitas (-)
Palpasi
Iktus cordis teraba (+), nyeri tekan (-), massa (-),thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kanan : ICS II linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea mid klavikula sinistra
Auskultasi
Bunyi jantung S1-S2 reguler, murmur kontinu (+)
Abdomen Inspeksi
Perut datar, ikut gerak napas, asites (-), striae (-)
Auskultasi
Peristaltik (+) kesan normal. bruit aorta abdominalis (-)
Palpasi
Nyeri tekan epigastrium (-), massa (-), pembesar hepar dan lien (-),
distensi abdomen (-), nyeri suprapubik (-), pemeriksaan ballottement
dalam batas normal.
Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
Ekstremitas o Edema tungkai bawah Dextra (-) / Sinistra (-)
o Clubbing finger (-), petechie (-/-)
o Kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah
Ekstremitas atas
5 5

Ekstremitas bawah

5 5
Dextra Sinistra
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
1. Darah rutin
 01/05/ 2019
Parameter Hasil Nilai rujukan

WBC 4,59 [10^3/uL] 4,00 – 10,00

RBC 4,97 [10^6/uL] 3,50 – 5,50

HGB 14,4 [g/dL] 11,0 – 16,0

HCT 38,9 [%] 35,0 – 50,0

MCV 78,3 [fl] 80,0 -100,0


MCH 29,0 [pg] 27,0 – 34,0

MCHC 37,0 [g/dL] 32,0 – 36,0

PLT 99 [10^3/uL] 100 – 300

RDW-SD 34,3 [fl] 35,0-56,0

RDW-CV 11,8 [%] 11,5-14,5

PDW 12,6 [fl] 15,0-18,0

MPV 10,8 [fl] 4,0-15,2

P-LCR 31,5 [%] 13,0-43,0

 03/05/2019
Parameter Hasil Nilai
rujukan

WBC 2,55 [10^3/uL] 4,00 – 10,00

RBC 4,48 [10^6/uL] 3,50 – 5,50

HGB 12,9 [g/dL] 11,0 – 16,0

HCT 35,2 [%] 35,0 – 50,0

MCV 78,6 [fl] 80,0 -100,0

MCH 28,8 [pg] 27,0 – 34,0

MCHC 36,6 [g/dL] 32,0 – 36,0

PLT 78 [10^3/uL] 100 – 300

RDW-SD 35,2 [fl] 35,0-56,0


RDW-CV 12,1 [%] 11,5-14,5

PDW 13,3 [fl] 15,0-18,0

MPV 11,2 [fl] 4,0-15,2

P-LCR 32,6 [%] 13,0-43,0

 07/05/2019
Parameter Hasil Nilai
rujukan

WBC 5,01 [10^3/uL] 4,00 – 10,00

RBC 4,69 [10^6/uL] 3,50 – 5,50

HGB 13,2 [g/dL] 11,0 – 16,0

HCT 37,7 [%] 35,0 – 50,0

MCV 80,4 [fl] 80,0 -100,0

MCH 28,1 [pg] 27,0 – 34,0

MCHC 35,0 [g/dL] 32,0 – 36,0

PLT 114 [10^3/uL] 100 – 300

RDW-SD 38,4 [fl] 35,0-56,0

RDW-CV 12,8 [%] 11,5-14,5

PDW 12,3 [fl] 15,0-18,0

MPV 10,7 [fl] 4,0-15,2

P-LCR 29,0 [%] 13,0-43,0


2. Malaria Mikroskopis/Drike Druple (03/05/2019) : Negatif
3. Tes Tubex TF (03/05/2019) : +4
E. RESUME
Tn. U, 24 tahun, wiraswasta, alamat abuki. Masuk IGD dengan keluhan
keluhan demam sejak 8 hari yang lalu. Demam dirasakan semakin meningkat di
sore dan malam hari dan menurun namun tidak sampai bebas demam di pagi dan
saing hari, demam disertai dengan periode menggigil 1-2 jam sebelum suhu badan
naik. Kondisi ini dirasakan pasien sejak hari pertama demam hingga saat datang
ke rumah sakit. Keluhan lain : Sakit kepala (+), pusing (-), penglihatan kabur (-),
nyeri retro orbita (-), batuk (+), lendiri (+), sesak (-), nyeri ulu hati (+), mual (+),
muntah (+) frekuensi 1 x saat masih dirumah beberapa jam sebelum ke rumah
sakit. Isi muntah adalah lendir. Penurunan nafsu makan (+), penurunan BB (-),
BAK dalam batas normal, BAB semipadat frekuensi 3x/hari.
Pemeriksaan fisik, kesadaran composmentis, gizi cukup (IMT=20,91
Kg/m2). TD : 120/70 mmHg, N: 60x/mnt, P : 24x/mnt, S : 39,0 C. Kepala:
konjungtiva anemis (-), bibir kering (+), Thoraks : normochest, simentris Ka=Ki,
retraksi intercostals (-), vocalfremitus Ka=Ki, bunyi napas vesikuler. Jantung :
Ictus cordis tampak dan teraba (+), bunyi jantung BJ I/ BJ II reguler, murmur(-).
Abdomen datar ikut gerak napas, peristaltic (+) kesan normal, nyeri tekan
abdomen (-), pembesaran hepar dan lien (-), ekstremitas dalam batas normal
Hasil pemeriksaan laboratorium (01/05/2019) WBC=4,59 ribu/uL,
HGB=14,4 gr/dl, PLT=99 ribu/uL. (03/05/2019) WBC=2,55 ribu/uL, HGB=12,9
gr/dl, PLT=78 ribu/uL. Malaria mikroskopis/drike druple (03/05/2019) : Negatif.
Tes Tubex TF (03/05/2019) : +4.
F. DIAGNOSA
DX/: Thypoid Fever
DD:
 Dengue Haemmorhagic Fever
 Malaria
G. TERAPI
1. Tatalaksana Di IGD
IVFD Ringer Laktat 20 tpm
Inj. Omeprazole 40 mg/12 Jam/IV
Inj. Paracetamol 1 gram/8 Jam/IV
Loperamide Tab 2-1-1
Injeksi Ondansentron 4 mg/Intravena
2. Tatalaksana Di Ruang Perawatan
Inj. Intricef 1 gram/12 jam/IV
Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam/IV
Paracetamol Tab 500 mg/8 jam

I. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
01/05/2019 Demam (+), KU: Lemah, Sadar Typhoid  Inj. Intricef 1
Sakit Kepala (+), TV: TD: 120/70 Fever gram/12
Batuk (+), Lendir mmHg, N: 60 x/m, jam/IV
(+), Sesak (-), P: 24x/m, S: 39,0  Inj.
O
Mual (+), Muntah C Omeprazole
(+) Frekuensi 1x, Darah rutin 40 mg/12
Nyeri ulu hati (+), (01/05/2019) : jam/IV
Nafsu makan  Paracetamol
 WBC : 4,59
menurun (+), Tab 500 mg/8
 RBC : 4,97
BAK normal, jam
 HGB : 14,4
BAB semipadat
 PLT : 99
frekuensi 3x.

02/05/2019 Demam (+), KU: Demam, sakit Thypoid  Inj. Intricef 1


Sakit Kepala (+), kepala, batuk Fever gram/12
Batuk (+), Lendir TV: TD: 120/60 jam/IV
(+), Sesak (-), mmHg, N: 68 x/m,  Inj.
Mual (-), Muntah P: 24x/m, S: 38,7 Omeprazole
O
(-), Nyeri ulu hati C 40 mg/12
(+), Nafsu makan Darah rutin jam/IV
menurun (+), (01/05/2019) :  Paracetamol
BAK normal, Tab 500 mg/8
 WBC : 4,59
BAB semipadat jam
 RBC : 4,97
frekuensi 2x.
 HGB : 14,4
 PLT : 99
03/05/2019 Demam (+), KU: Demam, sakit Thypoid  Inj. Intricef 1
Sakit Kepala (+), kepala, batuk Fever gram/12
Batuk (+), Lendir TV: TD: 120/60 jam/IV
(+), Sesak (-), mmHg, N: 62 x/m,  Inj.
Mual (-), Muntah P: 23x/m, S: 38,9 Omeprazole
O
(-), Nyeri ulu hati C 40 mg/12
(+), Nafsu makan Darah rutin jam/IV
menurun (+), (01/05/2019) :  Paracetamol
BAK normal, Tab 500 mg/8
 WBC : 4,59
BAB normal. jam
 RBC : 4,97
 HGB : 14,4
 PLT : 99

Darah Rutin
(03/05/2019) :

 WBC : 2,55
 RBC : 4,48
 HGB : 12,9
 PLT : 77

Tubex : +4

DDR : Negatif

04/05/2019 Demam (+), KU: Demam, sakit Thypoid  Inj. Intricef 1


Sakit Kepala (+), kepala, batuk Fever gram/12
Batuk (+), Lendir TV: TD: 120/60 jam/IV
(+), Sesak (-), mmHg, N: 68 x/m,  Inj.
Mual (-), Muntah P: 24x/m, S: 39,0 Omeprazole
O
(-), Nyeri ulu hati C 40 mg/12
(-), Nafsu makan Darah rutin jam/IV
menurun (+), (01/05/2019) :  Paracetamol
BAK normal, Tab 500 mg/8
 WBC : 4,59
BAB normal. jam
 RBC : 4,97
 HGB : 14,4
 PLT : 99

Darah Rutin
(03/05/2019) :

 WBC : 2,55
 RBC : 4,48
 HGB : 12,9
 PLT : 77

Tubex : +4

DDR : Negatif

05/05/2019 Demam (-), Sakit KU: Batuk Thypoid  Inj. Intricef 1


Kepala (-), Batuk TV: TD: 120/60 Fever gram/12
(+), Lendir (+), mmHg, N: 66 x/m, jam/IV
Sesak (-), Mual (- P: 24x/m, S: 37,4  Inj.
O
), Muntah (-), C Omeprazole
Nyeri ulu hati (-), Darah rutin 40 mg/12
Nafsu makan (01/05/2019) : jam/IV
menurun (-),
 WBC : 4,59  Paracetamol
BAK normal,  RBC : 4,97 Tab 500 mg/8
BAB normal.  HGB : 14,4 jam
 PLT : 99

Darah Rutin
(03/05/2019) :

 WBC : 2,55
 RBC : 4,48
 HGB : 12,9
 PLT : 77

Tubex : +4

DDR : Negatif

06/05/2019 Demam (-), Sakit KU: Batuk Thypoid  Inj. Intricef 1


Kepala (-), Batuk TV: TD: 120/60 Fever gram/12
(+), Lendir (+), mmHg, N: 70 x/m, jam/IV
Sesak (-), Mual (- P: 22x/m, S: 37,0  Inj.
O
), Muntah (-), C Omeprazole
Nyeri ulu hati (-), Darah rutin 40 mg/12
Nafsu makan (01/05/2019) : jam/IV
menurun (-),
 WBC : 4,59  Paracetamol
BAK normal,
 RBC : 4,97 Tab 500 mg/8
BAB normal.
 HGB : 14,4 jam
 PLT : 99

Darah Rutin
(03/05/2019) :

 WBC : 2,55
 RBC : 4,48
 HGB : 12,9
 PLT : 77

Tubex : +4

DDR : Negatif

07/05/2019 Demam (-), Sakit KU: Batuk  Cefixim Tab


Kepala (-), Batuk TV: TD: 120/60 200 mg 2 x 1
(+), Lendir (+), mmHg, N: 72 x/m,  Paracetamol
Sesak (-), Mual (- P: 22x/m, S: 36,5 Tab 500 mg
O
), Muntah (-), C 3x1
Nyeri ulu hati (-), Darah rutin  Neurosanbe
Nafsu makan (01/05/2019) : Tab 2 x 1
menurun (-),
 WBC : 4,59
BAK normal,
 RBC : 4,97
BAB normal.
 HGB : 14,4
 PLT : 99

Darah Rutin
(03/05/2019) :

 WBC : 2,55
 RBC : 4,48
 HGB : 12,9
 PLT : 77

Darah Rutin
(08/05/2019) :

 WBC : 5,01
 RBC : 4,69
 HGB : 13,2
 PLT : 114

Tubex : +4

DDR : Negatif

08/05/2019 - - Thypoid  Cefixim Tab


Fever 200 mg 2 x 1
(Rawat  Paracetamol
Jalan) Tab 500 mg
3x1
 Neurosanbe
Tab 2 x 1

H. PROGNOSIS
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Dubia et bonam
Ad vitam : Bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
enterica serovar typhi (S. typhi). Insidens penyakit ini sering dijumpai di negara-
negara Asia dan dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi.
Pada permulaan penyakit, biasanya tidak tampak gejala atau keluhan dan
kemudian timbul gejala atau keluhan seperti demam sore hari dan serangkaian
gejala infeksi umum dan pada saluran cerna.1,2,3
Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan tambahan dari laboratorium. Terapi untuk demam tifoid meliputi
istirahat, pemberian anti-mikroba, antipiretika, serta nutrisi dan cairan yang
adekuat. Salah satu anti-mikroba yang saat ini dapat diberikan secara optimal
cost-effective adalah levofloxacin 500 mg 1 kali sehari selama 7 hari. Strategi
pencegahan meliputi higiene perorangan, sanitasi lingkungan, penyediaan air
bersih sampai dengan penggunaan vaksin.4
B. DEFINISI
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
enterica serovar typhi (S typhi).1-3 Salmonella enterica serovar paratyphi A, B,
dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid.3 Demam
tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. Pada daerah endemik,
sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid.3
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan
oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara
berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini
hanya didapatkan pada manusia. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk
serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.3
C. EPIDEMIOLOGI
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa
dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai
saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang.1,2
Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta
kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi
(>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan,
Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100
kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan
Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10
kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.2
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan
reservoir untuk Salmonella typhi.1 Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama
berhari-hari di air tanah, air ko kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan
dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan.1 Pada daerah
endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan
musim hujan.1 Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan
secara oral.1,2 Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang
terkontaminasi oleh feses.2

Gambar 1. Peta Persebaran Insidensi Demam Thypoid.2


Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun.1 Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama
untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.2
D. ETIOLOGI
Salmonella typhi sama dengan Salmonella lain merupakan bakteri basil
gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul.
Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob
fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh
dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F)
selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang
rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makanan kering, dan bahan tinja. Mempunyai antigen
somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai
makromolekul lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding
sel dan dinamakan endotoksin.5

Gambar 2. Morfologi Salmonella Thypi.5


E. PATOGENESIS
Patofisiologi demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti
organisme Yaitu : (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri
bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus
mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, (3)
bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.1

Bakteri S.thypi dan S.parathypi masuk ke dalam tubuh manusia melalui


makanan atau minuman terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung dengan pH <2, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Sel-sel M adalah sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch,
merupakan tempat internalisasi S.thypi dan S.paratyphi. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh makrorag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.2,5

Semua spesies Salmonella patogen, bila ada di usus ditelan oleh sel fagosit,
yang kemudian melewati mereka melalui mukosa dan menyajikannya ke
makrofag di lamina propria. Salmonella nontyphoidal difagositosis di seluruh
ileum dan kolon distal. Dengan toll-like receptor (TLR) –5 dan kompleks TLR-4 /
MD2 / CD-14, makrofag mengenali pola molekuler terkait-patogen (PAMP)
seperti flagella dan lipopolysaccharides. Makrofag dan sel epitel usus kemudian
menarik sel T dan neutrofil dengan interleukin 8 (IL-8), menyebabkan peradangan
dan menekan infeksi.1,6

Setelah melalui periode tertentu (periode inkubasi), yang lamanya


ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu mala
S.typhi dan S.paratyphi akan keluar dari habitatnya. Selanjutnya keluar melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik. Dengan cara ini organisme dapat
mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai adalah hati, limpa,
sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal.5

Gambar 3. Life cycle salmonella thypi.1


Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Kuman pathogen-berikatan dengan susunan
molekuler (PAMPs) seperti flagella dan lipopolisakarida yang masih bertahan di
dalam dapat dikenali makrofag melalui kuman tool-like receptor (TLR)-5 dan
TLR-4/MD2/CD-14 complex, makrofag dan sel epitel intestinal kemudian
mengaktivasi sel T dan neutrofil serta interleukin 8 (IL-8), sehingga terjadilah
proses inflamasi. Kuman S.typhimemiliki fimbriae yang mendukung untuk
terjadinya penempelan pada epitel. Selain itu, S.typhi juga memiliki kapsul Vi
yang menutupi PAMPs yang berfungsi untuk melawan neutrofil. Proses yang
sama terulang kembali yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskular, ganguan mental dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri,
makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan
(Salmonellaintramakrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.1,2,4

Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonellamenstimulasi makrofag
dalam hati, limpa, folikel limpoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik. Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun seluler baik
di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi, bagaimana
mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi
S.typhi tidak diketahuo dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih
berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan
demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap
antigen S.typhi pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar
hasil virulen melewati usus setiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa
memasuki epitel pejamu.5

F. MANIFESTASI KLINIS
Sindrom klinis yang terkait dengan S typhi dan paratyphi tidak bisa
dibedakan. Demam tifoid dimulai 7-14 hari setelah konsumsi organisme, dapat
muncul keluhan atau gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam
yang tidak tinggi (Penyakit demam nonspesifik yang parah pada pasien yang
terpajan salmonella tifoid harus selalu meningkatkan kemungkinan diagnosis
demam tifoid), malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan
demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut,
serta beraneka ragam keluhan lainnya.1,2
Pola demam bertahap, ditandai dengan naiknya suhu setiap hari yang turun
pada pagi berikutnya. Puncak dan palung semakin meningkat dari waktu ke
waktu.1
Selama minggu pertama penyakit, manifestasi gastrointestinal yang terkenal
dari penyakit berkembang. Ini termasuk nyeri abdomen difus dan nyeri tekan dan,
dalam beberapa kasus, nyeri kuadran kanan atas yang kolik. Infiltrasi monocytic
mengobarkan patch Peyer dan mempersempit lumen usus, menyebabkan sembelit
yang berlangsung selama durasi penyakit. Orang tersebut kemudian mengalami
batuk kering, sakit kepala frontal yang tumpul, delirium, dan rasa tidak enak yang
kian meningkat.1,4,5
Kira-kira pada akhir minggu pertama sakit, demam dataran tinggi pada 103-
104 ° F (39-40 ° C). Pasien mengembangkan bintik-bintik mawar, yang berwarna
salmon, blansing, truncal, makulopapula yang biasanya berukuran 1-4 cm dan
jumlahnya kurang dari 5; ini umumnya hilang dalam 2-5 hari. Ini adalah emboli
bakteri pada dermis dan terkadang berkembang pada orang dengan shigellosis
atau salmonellosis nontyphoidal.1,3
Selama minggu kedua sakit, tanda-tanda dan gejala yang tercantum di atas
berkembang. Perut menjadi buncit, dan splenomegali lunak sering terjadi.
Bradikardia relatif dan nadi dikrotik (denyut ganda, denyut kedua lebih lemah
daripada yang pertama) dapat terjadi.1,2,3
Pada minggu ketiga, individu yang masih demam tumbuh lebih beracun dan
anoreksia dengan penurunan berat badan yang signifikan. Konjungtiva terinfeksi,
dan pasien tachypneic dengan denyut nadi yang sudah ada dan kresek di atas dasar
paru-paru. Distensi perut parah. Beberapa pasien mengalami diare cair, kuning-
hijau, dan busuk (sup kacang polong). Individu dapat turun ke keadaan tifus, yang
ditandai dengan apatis, kebingungan, dan bahkan psikosis. Peyer nekrotik dapat
menyebabkan perforasi usus dan peritonitis.1,2,3
Komplikasi ini sering tidak diketahui dan dapat ditutupi oleh kortikosteroid.
Pada titik ini, toksemia yang berlebihan, miokarditis, atau perdarahan usus dapat
menyebabkan kematian.1,2,3
Jika individu bertahan hingga minggu keempat, demam, kondisi mental, dan
perut kembung perlahan membaik selama beberapa hari. Komplikasi usus dan
neurologis masih dapat terjadi pada orang yang selamat yang tidak diobati.
Penurunan berat badan dan kelemahan yang melemahkan bulan lalu. Beberapa
orang yang selamat menjadi pembawa S typhi yang asimptomatik dan memiliki
potensi untuk menularkan bakteri tanpa batas.1,2,3
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang
sudah sakit selama lebih dari 2 minggu.1,7 Komplikasi yang sering dijumpai
adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati
tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman
adalah secara hematogen.7 Bila tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan
mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.2
Tabel 1. Gejala dan tanda Demam Thypoid.1
G. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
ditemukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis yang diperkuat oleh
pemeriksaan laboratorium penunjang. Demam tifoid telah dikaitkan dengan
beberapa perubahan fisiologis pada orang yang terkena dan perubahan ini
merupakan bagian dari patofisiologi penyakit. Bedasarkan beberapa studi telah
ditemukan hubungan antara demam tifoid dan gangguan hematologis seperti
anemia, leukopenia, defisiensi imun dan trombositopenia.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis,
menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta
timbulnya penyulit.
1. Hematologi

Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit


perdarahan usus atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia),
tetapi dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering
neutropenia dengan limfositosis relatif. LED (Laju Endap Darah) :
meningkat. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).

Gambar 4. Perubahan hematopoiesis akibat infeksi thypoid.8

Perubahan hematologis terkait dengan pasien demam tifoid laki-laki


menunjukkan penurunan yang signifikan (p <0,05) dalam Packed Cell
Volume (PCV), hemoglobin (HB), Sel Darah Merah (RBC) dan Platelet
(PLT) pada pria positif tifoid dibandingkan dengan tifoid negatif. laki-laki,
tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam Sel Darah Putih
(WBC) dari subyek. Hasilnya sejalan dengan yang menunjukkan penurunan
yang signifikan (p <0,05) dalam PCV tetapi tidak ada penurunan yang
signifikan (p <0,05) pada WBC pada pasien positif tifoid dibandingkan
dengan kontrol. Hal ini juga sesuai dengan karya di mana perubahan
hematologis akibat demam tifoid dievaluasi. Perubahan ini dapat dikaitkan
dengan penekanan aktivitas sumsum tulang dan hemofagositosis yang
merupakan mekanisme serangan utama Salmonella typhi pada pasien tifoid.
Penurunan HB, PCV yang signifikan dan RBC, menyarankan bahwa tipus
dapat menyebabkan anemia.8
Demam tifoid adalah penyakit multi-sistem yang mempengaruhi
sumsum tulang yang bisa menyebabkan penurunan PCV, RBC dan HB yang
diamati dalam penelitian ini. Penurunan signifikan dalam tingkat trombosit
rata-rata yang diamati pada pasien pria dibandingkan dengan orang normal
dapat menunjukkan bahwa aktivasi trombosit bisa menjadi faktor utama
ketika tingkat antibodi meningkat. Trombosit telah dilaporkan diaktifkan
oleh beberapa faktor partikulat seperti bakteri dan bahan kimia yang larut
seperti racun. Setelah diaktifkan, ia mengalami metamorfosis kental yang
mengarah pada pembentukan trombus intravaskular yang merupakan awal
koagulasi intravaskular diseminata. Penurunan trombosit yang diamati dapat
disebabkan oleh penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang selama
infeksi akut atau sebagian oleh peningkatan destruksi mereka oleh limpa
yang membesar. Perubahan hematologis terkait dengan pasien demam tifoid
perempuan menunjukkan penurunan signifikan pada PCV, HB, RBC, WBC
dan PLT perempuan positif tifoid dibandingkan dengan kontrol. Ini sejalan
dengan karya. Ini mungkin karena metabolisme bakteri yang mungkin dan
toksinnya pada sumsum tulang, situs utama myelopoesis. Parameter
hematologis yang lebih rendah mungkin karena invasi organ hematopoietik
seperti kelenjar getah bening, limpa, amandel dan sumsum tulang oleh
Salmonella typhi yang secara radikal memperlambat laju haematopoiesis.8
Hematologis perubahan yang diperoleh dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa erythropoesis dan myelopoesis mengalami depresi
sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan volume sel yang dikemas,
hemoglobin, sel darah merah dan jumlah sel darah putih masing-masing.
Perubahan hematologis komparatif terkait dengan pasien demam tifoid pria
dan wanita menunjukkan penurunan yang signifikan (p <0,05) pada PCV
dan HB tetapi menunjukkan penurunan yang tidak signifikan pada RBC dan
WBC pada wanita positif tifoid dibandingkan dengan pria positif tifoid.
Trombosit (PLT) wanita positif tifoid meningkat lebih banyak dibandingkan
dengan pria positif tifoid. Penurunan parameter hematologis pada wanita
positif tifoid kecuali trombosit menunjukkan bahwa demam tifoid dapat
memiliki efek yang lebih depresi pada aktivitas sumsum tulang dan
haematopoiesis pada wanita yang terinfeksi lebih banyak daripada pria yang
terinfeksi. Hal ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa pria mungkin
memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan S. typhi daripada wanita
karena perhatian ekstra yang diambil oleh wanita dalam persiapan makanan
dan kebiasaan makan sembarangan pria di lokasi pinggir jalan. Eksposur
berulang terhadap S. typhi mungkin telah memberikan pria dengan
kekebalan mukosa lokal yang kuat termasuk respons IgA lokal yang kuat
yang terkait dengan penampilan IgA sirkulasi dan secara simultan keadaan
respon imun sistemik yang mempengaruhi semua modalitas utama,
termasuk respons IgM dan IgG. Namun, telah ditemukan jumlah PLT secara
signifikan lebih tinggi pada wanita daripada pada pria, yang mungkin terkait
dengan kehilangan darah menstruasi dan mekanisme kompensasi terkait
juga melaporkan bahwa jumlah trombosit lebih tinggi pada wanita
dibandingkan dengan laki-laki yang semuanya mendukung temuan
penelitian ini.8
2. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran
peradangan sampai hepatitis Akut namun seringkali kembaloi menjadi
normal ketika sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus.13

3. Imunologi (Tes Widal)

Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi


(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi atau paratyphi
(reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling
sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di
Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui.
Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis
ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.13
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat
disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi,
reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik
(pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat
disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi
antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan
umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain.13
Diagnosis Demam Tifoid atau Paratifoid dinyatakan bila titer O =
1/160, bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi
mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O
meningkat setelah akhir minggu 1. Melihat hal-hal di atas maka permintaan
tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari
kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan
disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak sebelumnya.13

4. Mikrobiologi ((Kultur (Gall culture/ Biakan empedu))


Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan
Demam Typhoid atau paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka
diagnosis pasti untuk Demam Tifoid atau Paratifoid. Sebalikanya jika hasil
negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid atau Paratifoid, karena hasil
biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain
jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan
ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga
kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam
minggu pertama sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah
mendapat vaksinasi.13
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena
perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2 - 7 hari,
bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan
spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk
stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan tinja.13
I. PENATALAKSANAAN
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.7 Yang juga tidak kalah penting
adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.9

1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:


a. Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi
b. Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun
parenteral.
c. Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah serat.
d. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
e. Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran), kemudian
dicatat dengan baik di rekam medik pasien
2. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi keluhan
gastrointestinal.
3. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk demam
tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk penderita yang
sedang hamil), atau Trimetroprim-sulfametoxazole (Kotrimoksazol).
4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti
dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim,
Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu
pertumbuhan tulang).
a) Kloramfenikol
Di Indonesia, kloramfenikol masih menjadi lini pertama pengobatan
demam tifoid. Dosis yang diberikan adlaah 4 x 500 mg per hari, dapat
diberikan parenteral ataupun enteral. Obat ini diberikan sampai 7 hari bebas
panas. Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata setelah 7 hari. Sedangkan
penelitian lain mengatakan bahwa obat ini dapat menurunkan demam setelah
hari ke-5.
b) Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5
atau ke-6.
c) Kotrimoksazol
Efektifitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet, 1 tablet berisi sulfametoksazol 400 mg
dan 80 mg trimetoprim, diberikan selama 2 minggu.
d) Ampisilin dan amoxicillin
Kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB
dan digunakan selama 2 minggu.
e) Sefalosporin generasi ketiga
Obat golongan sefalosporin generasi ketiga ini masih dinilai efektif untuk
demam tifoid, misalnya seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam dextrosa 100
cc/24jam/IV line, diberikan selama 30 menit selama 3-5 hari.
f) Fluorokuinolon
Berikut dosis dan cara pemberian obat golongan kuinolon:
1) Norfloksasin, 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
2) Siprofloksasin, 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
3) Ofloksasin, 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
4) Pefloksasin, 400 mg/hari selama 7 hari
5) Fleroksasin, 400 mg/hari selama 7 hari
6) Levofloksasin, 1 x 500 mg/hari selama 5 hari
g) Azitromisin
Azitromisin 2 x 500 mg menunjukkan bahwa pemberian obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan mengurangi
kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penilitian yang
mengikutsertakan pula strain MDR maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant
S. typhi). Jika dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan azitromisin dapat
mengurangi angka relaps.
ANTIBIOTIKA DOSIS KETERANGAN

Kloramfenikol Dewasa: 4x500 mg Merupakan obat yang sering


selama 10 hari digunakan dan telah lama dikenal
efektif untuk tifoid
Anak 100
mg/kgBB/har, per oral Murah dan dapat diberikan peroral
atau intravena, dibagi 4 serta sensitivitas masih tinggi
dosis, selama 10-14
Pemberian PO/IV
hari
Tidak diberikan bila lekosit
<2000/mm3

Seftriakson Dewasa: 2-4gr/hari Cepat menurunkan suhu, lama


selama 3-5 hari pemberian pendek dan dapat dosis
tunggal serta cukup aman untuk
Anak: 80
anak.
mg/kgBB/hari, IM atau
IV, dosis tunggal Pemberian PO/IV
selama 5 hari
Ampisilin & Dewasa: (1.5-2) gr/hr Aman untuk penderita hamil
Amoksisilin selama 7-10 hari
Sering dikombinasi dengan
Anak: 100 kloramfenikol pada pasien kritis
mg/kgbb/hari per oral
Tidak mahal
atau intravena, dibagi 3
dosis, selama 10 hari. Pemberian PO/IV

Kotrimoksazole (TMP- Dewasa: 2x(160-800) Tidak mahal


SMX) selama 7-10 hari
Pemberian per oral
Anak: Kotrimoksazol
4-6 mg/kgBB/hari, per
oral, dibagi 2 dosis,
selama 10 hari.

Kuinolon Ciprofloxacin 2x500 Pefloxacin dan Fleroxacin lebih


mg selama 1 minggu cepat menurunkan suhu

Ofloxacin 2x(200-400) Efektif mencegah relaps dan kanker


selama 1 minggu
Pemberian peroral

Pemberian pada anak tidak


dianjurkan karena efek samping
pada pertumbuhan tulang

Sefiksim Anak: 20 Aman untuk anak


mg/kgBB/hari, per
Efektif
oral, dibagi menjadi 2
dosis, selama 10 hari Pemberian per oral

Thiamfenikol Dewasa: 4x500 Dapat dipakai untuk anak dan


mg/hari dewasa

Anak: 50 mg/kgbb/hari Dilaporkan cukup sensitif pada


selama 5-7 hari bebas beberapa daerah
panas
Tabel 2. Antibiotik dan dosis penggunan untuk tifoid.13

J. KOMPLIKASI
Pada minggu kedua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai
yang ringan sampai berat bahkan kematian.
1. Komplikasi Intestinal (Perdarahan intestinal dan Perforasi Intestinal)
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus
dan mengenai pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan. Selanjutnya, bila
tukak menembus dinding usus, maka akan terjadi perforasi. Selain karena faktor
luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah atau
gabungan kedua faktor tersebut.
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor
yang tidak memerlukan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita mengalami syok. Secara klinis, perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor
hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup
tinggi yakni 10-32%. Bila transfusi yang diberikan tidak mengimbangi perdarahan
yang terjadi, tindakan bedah mungkin perlu dipertimbangkan.
Perdarahan dan perforasi terjadi pada minggu kedua demam atau setelah itu.
Perdarahan dengan gejala berak darah (hematokezia) atau dideteksi dengan tes
perdarahan tersembunti (occult blood test). Perforasi intestinal ditandai dengan
nyeri abdomen akut, tegang dan nyeri tekan yang paling nyata di kuadran bawah
abdomen. Suhu tubuh tiba-tiba menurun dengan peningkatan frekuensi nadi dan
berakhir dengan syok. Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda-tanda ileus,
bising usus melemah dan pekak hati menghilang, perforasi dapat dipastikan
dengan pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Perforasi intestinal adalah
komplikasi tifoid yang serius dan paling sering menyebabkan kematian.
Bila pada gambaran foto polos abdomen ditemukan udara pada rongga
peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Antibiotik diberikan
secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S. typhi tetapi juga untuk
mengatasi kuman yang bersifat fakultatif anaerob. Umumnya diberikan antibiotik
spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk
kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazole. Cairan harus
diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang NGT
(nasogastric tube). Transfusi darah dapat diberikan bila terjadi kehilangan darah
akibat perdarahan intestinal.
2. Komplikasi Extra-Intestinal
a. Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia,
peningkatan prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time,
peningkatan fibrin degradation product sampai koagulasi intravaskular
diseminata dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid.
Trombositopenia dapat terjadi akibat menurunnya produksi trombosit di
sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di
sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga dapat menyebabkan penurunan
trombosit. Sedangkan penyebab DIC pada demam tifoid belum jelas. Hal-hal
yang sering dikemukakan antara lain endotoksis mengaktifkan sistem koagulasi
dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan
vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya
mengakibatkan perangsangan koagulasi.
b. Hepatitis Tifosa
Pembengkakkan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus
denan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai pada S. tyhphi daripada S.
paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus,
malaria atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter
laboratorium dan bila perlu histopatogik hati.
Demam tifoid yang disertai gejala-gejala ikterus, hepatomegali dan
kelainan tes fungsi hati dimana didapatkan peningkatan SGOT, SGPT dan
bilirubin darah. Pada histopatologi hati didapatkan tifoid dan hyperplasia sel-
sel kupfer.
c. Pankreatitis Tifosa
Pankreatitis tifosa merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejala-
gejalanya adalah sama dengan gejala pancreatitis. Pakreatitis Penderita nyeri
perut hebat yang disertai mual dan muntah warna kehijauan, meteorismus dan
bising usus menurun. Enzim amylase dan lipase meningkat.
d. Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% pada penderita demam tifoid sedangkan
kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan
miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan
sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik.
e. Manifestasi Neuropsikiatrik/Toksik Tifoid
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa
kejang, semi koma atau koma, parkinson’s rigidity/transient parkinsonism,
sindroma otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia
sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis
perifer, Guillain-Barre syndrome dan psikosis.
Gejala demam tifoid diikuti suatu sindroma klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis
lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal.
Sindroma klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai toksik tifoid,
demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atauu demam tifoid dengan
toksemia. Terapi yang diberikan adalah kloramfenikol 4 x 500 mg, ampisilin 4
x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.
K. PENCEGAHAN
1. Preventif dan kontrol penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan
kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi
kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor penjamu serta faktor
lingkungan.
Secara garis besar terdapat 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi
tifoid, yaitu:
a) Identifikasi dan eradikasi S. typhi
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini
cukup sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi
maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif maupun
pasif.
1) Pencegahan transmisi
Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S. typhi akut
maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di
rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman
S. typhi.
2) Proteksi terhadap orang yang berisiko tertular dan terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi
tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi
tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya
yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya,
serta golongan individu berisiko, yaitu golongan imunokompromais maupun
golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:
a) Daerah non-endemik, tanpa ada kejadian outbreak atau epidemi
- Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
- Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-
minuman
- Pencarian dan pengobatan kasus demam tifoid karier
b) Bila ada kejadian epidemi tifoid
- Pencarian dan eliminasi sumber penularan
- Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
- Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
c) Daerah endemik
- Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan >57°C, iodisasi,
klorinisasi)
- Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui
pendidihan, menjauhi makanan segar
- Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat
L. PROGNOSIS
Prognosis adalah bonam, namun ad sanationam dubia ad bonam, karena
penyakit dapat terjadi berulang.
BAB III
ANALISIS KASUS
A. Anamnesa

Kasus Teori
Pada kasus ditemukan gejala berupa :  Selama minggu pertama penyakit,
- Demam menggigil selama 8 hari manifestasi gastrointestinal yang
- Sakit kepala terkenal dari penyakit
- Batuk berlendiri berkembang. Ini termasuk nyeri
- Nyeri ulu hati abdomen difus dan nyeri tekan
- Mual dan, dalam beberapa kasus, nyeri
- Muntah, frekuensi 1 x saat masih kuadran kanan atas yang kolik.
dirumah beberapa jam sebelum ke Kira-kira pada akhir minggu
rumah sakit. Isi muntah adalah pertama sakit, demam dataran
lendir. tinggi pada 103-104 ° F (39-40 °
- Penurunan nafsu makan C).
- BAK dalam batas normal  Selama minggu kedua sakit
- BAB semipadat frekuensi 3x/hari. splenomegali lunak sering terjadi.
Bradikardia relatif dan nadi
dikrotik (denyut ganda, denyut
kedua lebih lemah daripada yang
pertama) dapat terjadi.
 Pada minggu ketiga, individu yang
masih demam tumbuh lebih
beracun dan anoreksia dengan
penurunan berat badan yang
signifikan. Konjungtiva terinfeksi,
dan pasien tachypneic dengan
denyut nadi yang sudah ada dan
kresek di atas dasar paru-paru.
Distensi perut parah. Beberapa
pasien mengalami diare cair,
kuning-hijau, dan busuk (sup
kacang polong). Individu dapat
turun ke keadaan tifus, yang
ditandai dengan apatis,
kebingungan, dan bahkan psikosis.
Peyer nekrotik dapat menyebabkan
perforasi usus dan peritonitis.

B. Pemeriksaan Fisik

Kasus Teori
Pemeriksaan fisik, kesadaran  Kira-kira pada akhir minggu
composmentis, gizi cukup (IMT=20,91 pertama pasien mengembangkan
Kg/m2). TD : 120/70 mmHg, N: bintik-bintik mawar, yang
60x/mnt, P : 24x/mnt, S : 39,0 C. berwarna salmon, blansing,
Kepala: konjungtiva anemis (-), bibir truncal, makulopapula yang
kering (+), Thoraks : normochest, biasanya berukuran 1-4 cm dan
simentris Ka=Ki, retraksi intercostals (- jumlahnya kurang dari 5; ini
), vocalfremitus Ka=Ki, bunyi napas umumnya hilang dalam 2-5 hari.
vesikuler. Jantung : Ictus cordis tampak Ini adalah emboli bakteri pada
dan teraba (+), bunyi jantung BJ I/ BJ II dermis dan terkadang berkembang
reguler, murmur(-). Abdomen datar ikut pada orang dengan shigellosis
gerak napas, peristaltic (+) kesan atau salmonellosis nontyphoidal.
normal, nyeri tekan abdomen (-),  Minggu kedua sakit perut menjadi
pembesaran hepar dan lien (-), buncit, dan splenomegali lunak
ekstremitas dalam batas normal sering terjadi. Bradikardia relatif
dan nadi dikrotik (denyut ganda,
denyut kedua lebih lemah
daripada yang pertama) dapat
terjadi.
 Minggu ketiga, individu yang
masih demam tumbuh lebih
beracun dan anoreksia dengan
penurunan berat badan yang
signifikan. Konjungtiva terinfeksi,
dan pasien tachypneic dengan
denyut nadi yang sudah ada dan
kresek di atas dasar paru-paru.

C. Pemeriksaan Penunjang

Kasus Teori
Darah rutin (01/05/2019) :  Demam tifoid adalah penyakit multi-sistem

 WBC : 4,59 yang mempengaruhi sumsum tulang yang bisa

 RBC : 4,97 menyebabkan penurunan PCV, RBC dan HB


 HGB : 14,4
yang diamati dalam penelitian ini. Penurunan
 PLT : 99
signifikan dalam tingkat trombosit rata-rata
Darah Rutin (03/05/2019) :
yang diamati pada pasien pria dibandingkan
 WBC : 2,55
dengan orang normal dapat menunjukkan
 RBC : 4,48
bahwa aktivasi trombosit bisa menjadi faktor
 HGB : 12,9
 PLT : 77 utama ketika tingkat antibodi meningkat.

Darah Rutin (08/05/2019) : Trombosit telah dilaporkan diaktifkan oleh

beberapa faktor partikulat seperti bakteri dan


 WBC : 5,01
 RBC : 4,69 bahan kimia yang larut seperti racun.

 HGB : 13,2
 PLT : 114 Penurunan trombosit yang diamati dapat

Tubex : +4 disebabkan oleh penurunan produksi

trombosit oleh sumsum tulang selama infeksi


DDR : Negatif
akut atau sebagian oleh peningkatan destruksi

mereka oleh limpa yang membesar.

 Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat

dengan gambaran peradangan sampai

hepatitis Akut namun seringkali kembaloi

menjadi normal ketika sembuh. Kenaikan

SGOT dan SGPT tidak memerlukan

penanganan khusus.

 Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk

mendeteksi adanya antibodi (didalam darah)

terhadap antigen kuman Samonella typhi atau

paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test

kuno yang masih amat popular dan paling

sering diminta terutama di negara dimana

penyakit ini endemis seperti di Indonesia.

Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat

segera diketahui. Hasil positif dinyatakan

dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi

jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin

 Kultur merupakan baku emas (gold standard)


untuk pemeriksaan Demam Typhoid atau

paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil

positif maka diagnosis pasti untuk Demam

Tifoid atau Paratifoid. Sebalikanya jika hasil

negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid

atau Paratifoid, karena hasil biakan negatif

palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit

kurang dari 2mL), darah tidak segera

dimasukan ke dalam medial Gall (darah

dibiarkan membeku dalam spuit sehingga

kuman terperangkap di dalam bekuan), saat

pengambilan darah masih dalam minggu

pertama sakit, sudah mendapatkan terapi

antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.

D. Penatalaksanaan

Kasus Teori
Tatalaksana IGD :  Pemberian cairan dilakukan
sebagai profilaksis akan kebutuhan
 IVFD Ringer Laktat 20 tpm
cairan pasien yang meningkat
 Inj. Omeprazole 40 mg/12 Jam/IV
diakibatkan proses infeksi yang
 Inj. Paracetamol 1 gram/8 Jam/IV
memicu penignkatan metabolism
 Loperamide Tab 2-1-1
tubuh dan juga profilaksis
 Injeksi Ondansentron 4 terjadinya dehidrasi akibat BAB
mg/Intravena semipadat yang dialami pasien
 Pemberian omeprazole (gol. PPI)
Tatalaksana Rawat Inap :
berfungsi untuk menghambat
 Inj. Intricef 1 gram/12 jam/IV sekresi dari asam lambung dengan
 Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam/IV menghambat kerja enzim K+H+
 Paracetamol Tab 500 mg/8 jam ATPase sehingga tidak terbentuk
ATP yang digunakan untuk
Tatalaksana Rawat Jalan :
mengeluarkan asam lambung dari
 Cefixim Tab 200 mg 2 x 1 sel kanalikuli.
 Paracetamol Tab 500 mg 3 x 1  Pemberian Ondansesentron (Anti
 Neurosanbe Tab 2 x 1 Emetik) berfungsi untuk mencegah
muntah berulang yang dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman,
iritasi esophagus hingga dehidrasi.
 Obat golongan sefalosporin
generasi ketiga ini masih dinilai
efektif untuk demam tifoid,
misalnya seftriakson dengan dosis
3-4 gram dalam dextrosa 100
cc/24jam/IV line, diberikan selama
30 menit selama 3-5 hari.
Meskipun yang menjadi first line
utama adalah kloramfenikol tab
500 mg/6 jam.
 Pemberian paracetamol sebagai
antipiretik untuk menurunkan
gejala sistemik berupa demam pada
pasien.
 Pemberian neurosanbe diberikan
sebagai suplemen tambahan berupa
Vit. B 1 (Tiamin), B6 (Piridoksin),
B12 (Kobalamin).
DAFTAR PUSTAKA

1. Brusch JL. Typhoid Fever [Internet]. Medscape. 2018 [diakses 4 Mei 2019].
Tersedia dalam: https://emedicine.medscape.com/article/231135-overview#a4
2. Cita YP. Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid. Jakarta: Jurnal
Kesehatan Masyarakat; 2011
3. Crump JA, Karlsson MS, Gordon MA, Parry CM. Epidemiology, Clinical
Presentation, Laboratory Diagnosis, Antimicrobial Resistance, and
Antimicrobial Management of Invasive Salmonella Infections. Amerika:
CMR Journals; Oktober 2015
4. Mogasale VV, Ramani E, Mogasale V, Park JY, Wierzba TF. Estimating
Typhoid Fever Risk Associated with Lack of Access to Safe Water. Hindawi:
Journal of Environmental Public Health; 2018
5. Buckle GC, Walker CLF, Black RE. Typhoid Fever and Paratyphoid Fever:
Systemic Review to Estimate Global Morbidity and Mortality for 2010.
Baltimore: Journal of Global Health; 2012
6. Wain JR, Mikoleit ML, Hendriksen RS, Keddy KH, Ochiai RL. Typhoid
Fever. Research Gate; 2014
7. Reesi MA, Stephens G, McMullan B. Severe Thrombocytopenia in a Child
with Typhoid Fever: a Case Report. Amerika: Journal of Medical Case
Reports; 2018
8. Ozougwu JC, Obiukwu CE, Obimba KC, Elom MO, Usanga VU.
Haematological Changes Associated with Male and Female Typhoid Fever
Patients. Nigeria: International Journal of Research in Pharmacy and
Biosciences; 2016
9. Upadhyay R, Nadkar MY, Muruganathan A, Tiwaskar M, Amarapurkar D,
Banka NH, Mehta KM, Sathyaprakash BS. API Recommendation for the
management of Thypoind Fever. India: Journal od Association of Physicians
of India; 2015
10. Sidabutar S, Satari HI. Pilihan Terapi Empiris Demam tifoid pada Anak:
Kloramfenikol atau Seftriakson?. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak:
2010
11. Widjanarko A, Sudoyo AW, Salonder H. Buku Ilmu Penyakit Dalam:
Demam Tifoid. Jakarta: Interna Publishing; 2014

Anda mungkin juga menyukai