Anda di halaman 1dari 23

RHINITIS ATROFI

Disusun Oleh :

JOSLOUIS HUTAGAOL

Pembimbing :
dr. DARMA MALEM, Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
RUMAH SAKIT TINGKAT II
PUTRI HIJAU KESDAM I/BB
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
Rahmat -Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Rhinitis Atrofi”.
Adapun tujuan tugas laporan kasus ini adalah sebagai salah satu persyaratan
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) bagian ilmu penyakit THT di
Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau KESDAM I/BB Medan .
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr.DARMA MALEM, Sp.THT-KL atas bimbingan dan masukan yang telah
diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan tugas ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, Februari 2017


Penulis

Joslouis Hutagaol

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 2
Definisi ....................................................................................................................... 2
Epidemiologi ............................................................................................................. 2
Etiologi ....................................................................................................................... 2
Patologi dan Patogenesis ........................................................................................... 3
Gejala Klinis dan Pemeriksaan .................................................................................. 4
Diagnosis ................................................................................................................... 6
Diagnosis banding ..................................................................................................... 6
Komplikasi ................................................................................................................ 6
Penatalaksanaan ......................................................................................................... 6
Konservatif ................................................................................................................. 7
Operasi ...................................................................................................................... 8
BAB III LAPORAN KASUS ................................................................................... 10
BAB IV KESIMPULAN .......................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif
pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rinitis chronica
atrophicanscum foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental
dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.1
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan
dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum
ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak
menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu
ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena
ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara
klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-
hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau
(sementara pasien sendiri menderita anosmia).1,2,4
Menurut Boies, frekuensi penderita rinitis atrofi pada wanita dan laki-laki
adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas.
Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di
lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.1,2,3
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika
Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak
perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam
insidens ozaena.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Rinitis atrofi adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif
pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Karakteristiknya ialah adanya
atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya
crustae yang berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang
kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini
lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar pubertas.1,2,6

Epidemiologi
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan
Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita
dan 3 pria. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda.
Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun,
Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di
kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk
dan di negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai
Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar
dari 10-37 tahun.1,2

Etiologi
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat
berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis.
Beberapa penulis menekankan faktor herediter.5,6 Namun ada beberapa keadaan yang
dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,3,5
 Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella
Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung
manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain
Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus
mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.
 Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A.
2
 Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
 Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
 Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
 Teori mekanik dari Zaufal.
 Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi
pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
 Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
 Herediter.
 Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
 Golongan darah.
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi
primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma
hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang
disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada
hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan
hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut,
scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera
pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena
angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah.1,5

Patologi dan Patogenesis


Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia
menjadi epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat
pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis
dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi
bisa dibagi menjadi dua : 1

a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi
kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan


menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel
bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan
3
fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel
bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang
melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan
dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan
dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama
menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal
menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh
kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya
lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus
akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan
histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 3
 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
 Silia hidung. Silia akan menghilang.
 Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel
kubik atau epitel gepeng berlapis.
 Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau
jumlahnya berkurang.

Gejala Klinis dan Pemeriksaan


Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat,
gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak)
berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain
yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri
menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien
mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan
udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan
sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup
udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik
dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari
gambaran.1,2,4,5,6
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga
hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat,
terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi
4
inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa
hidung tipis dan kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang
timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 1
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai
awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai
mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel
pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental.
Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.5
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih
besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan
memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar
mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan
menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago,
otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi
mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini
dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan
dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk
keratitis sicca.
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan
antara lain : 3,4
 Foto rontgen sinus paranasalis.
 CT scan sinus paranasalis.
 Pemeriksaan mikroorganisme.
 Uji resistensi kuman.
 Pemeriksaan darah tepi.
 Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi konka media. Dari pemeriksaan
histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak
5
bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau
atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil.
 Pemeriksaan serologi darah.

Diagnosis
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux
test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk
menyingkirkan sifilis.1

Diagnosis Banding
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :
1. Rinitis kronik TBC
2. Rinitis kronik lepra
3. Rinitis kronik sifilis

Komplikasi
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana

Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan
lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan
lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah
pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan
demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung.5 Tujuan pengobatan adalah
menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat
diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,3

6
Konservatif
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung,
dan simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai
tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada
pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :
 NaCl
 NH4Cl
 NaHCO3 aaa 9
 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan garam dapur
d. Campuran :
 Na bikarbonat 28,4 g
 Na diborat 28,4 g
 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena)
biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml,
kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga
kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan
dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan
93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel

7
dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet
sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3
x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat,
pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai
2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.

Operasi
Tujuan operasi pada rinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan
rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan
mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.1 Teknik
bedah dibedakan menjadi dua kategori utama : 5
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah
dalam.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik
dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah
satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti
Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan
tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan
koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan
memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan


perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung.
Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga
8
menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk
menyempitkan rongga hidung.4

9
BAB III
LAPORAN KASUS

No MR : Suku : Batak
Tanggal : Agama :Islam
Nama : Uli Silaen Alamat :Jl.Mongonsidi
Kelamin :Perempuan Dokter Muda :
Umur :58 tahun Dokter :
Pekerjaan :Ibu Rumah Tangga

DIAGNOSA
1. ANAMNESA :
Keluhan utama : hidung tersumbat ± 11 hari yang lalu sebelum datang ke RS
Telaah : Os datang ke Rumah Sakit dengan keluhan hidung tersumbat
(mampet) yang semakin memburuk sejak 11 hari yang lalu. Hidung tersumbat
sudah dirasakan sejak 8 bulan yang lalu, yang dialami setiap jangka waktu
tertentu dan hilang timbul. Hidung dirasakan awalnya pada 1 lubang hidung,
namun sekarang terasa di kedua lubang hidung. Hidung tersumbat di rasakan
sepanjang hari secara terus menerus (pagi, siang dan sore) dan dirasakan setiap
hari. Dalam waktu 11 hari terakhir ini, hidung tersumbat dirasakan semakin parah.
RPT : Os memiliki riwayat DM dan Hipertensi sejak 6 trahun yang lalu
RPO : obat DM dan Hipertensi dikonsumsi os, tetapi os tidak ingat namanya
Serak :
Sesak :
Rasa panas pada tenggorok :
Rasa Kering pada Tenggorok :
Mengorok :

ANAMNESA UMUM
Demam :
Batuk :
Pilek :
10
Makan Obat :
2. STATUS PRESENT
Sensoriumm : compos mentis Frek.Nafas : 24x/menit
Tekanan Darah : 100/70 mmHg Suhu Tubuh : Affebris
Frekuensi Nadi : 88 x/menit KU/KP/KG :
3. STATUS LOKALISATA
TELINGA
DAUN TELINGA KANAN KIRI
Bisul : (-) (-)
Luka : (-) (-)
Cairan : (-) (-)
Nyeri tekan : (-) (-)
Kelainan Kongenital
- Makroti : (-) (-)
- Mikroti : (-) (-)
- Appendage : (-) (-)
- Fistel : (-) (-)

LIANG TELINGA KANAN KIRI


- Luas : (-) (-)
- Benjolan : (-) (-)
- Cairan : (-) (-)
- Darah : (-) (-)
- Nanah : (-) (-)
- Serumen : (+) (+)
- Krusta : (-) (-)
- Polip : (-) (-)
- Fistel mastoid : (-) (-)
- Corpus alineum : (-) (-)
- Granulasi : (-) (-)
- Massa / Turner : (-) (-)

TELINGA KANAN KIRI


- Cairan
11
Darah : (-) (-)
Nanah : (-) (-)
- Sakit : (-) (+)
- Bengkak : (-) (-)
- Pendengaran : (-) (-)
- Dikorek : (-) (-)
- Buka mulut : (-) (-)
- Berdengung : (-) (-)

HIDUNG KANAN KIRI


- Cairan
Ingus : (+) (+)
Darah : (-) (-)
Nanah : (-) (-)
- Berbau : (-) (-)
- Tumpat : (+) (+)
- Sakit : (-) (-)
- Gatal : (+) (+)
- Bersin : (+) (+)
- Penciuman : (-) (-)

LEHER
- Benjolan : Negatif
- Luka : Negatif
- Nanah : Negatif
- Fistula : Negatif
- Nyeri : Negatif

TENGGOROK
- Sakit menelan :
- Sulit menelan :
 Cair :
 Padat :

12
- Sangkut menelan :
- Gatal :
- Lendir :
- Batuk :
 Darah :
 Dahak :
 Kering :

MEMBRAN TIMPANI KANAN KIRI


- Warna
Putih Mutiara : (+) (-)
Hiperemis : (-) (+)
DOF (Suram) : (-) (+)
- Refleks Cahaya : (-) (-)
- Atrofi : (-) (-)
- Bombering / Bulignh : (-) (+)
Perforasi : (-) (+)
- Retraksi : (-) (-)
- Pengapuran : (-) (-)
- Atelektasis : (-) (-)

TES PENDENGARAN KANAN KIRI


Rinne Test :
Webber Test :
Schwabach Test :
Berbisik :

PENALA KANAN KIRI

13
16Hz TDP TDP
32Hz TDP TDP
64Hz TDP TDP
128Hz TDP TDP
256Hz TDP TDP
512Hz (+) (-)
1024Hz (+) (-)
2048Hz TDP TDP

BATANG HIDUNG KANAN KIRI


Bentuk normal normal
Luka (-) (-)
Cairan (+) (+)
Bisul (-) (-)
Fissure (-) (-)

ATRONOSKOPI ANTERIOR KANAN KIRI


Cavum nasi
Selaput lendir
- Permukaan
- Warna
Koaka
- Infence
- Media
Meatus nasi
- Deviasi
- Krista
- Spina / Tajam
- Hematoma
Abses /perforasi
Nanah
Darah
Krista
14
Polip
Corpus alienum
Massa/tumor

RHINOSKOPI POSTERIOR KANAN KIRI


Cavum nasi
Koana
Septum nasi
Konka
- Superior
- Media
Meatus nasi
- Superior
- Media
Tonsilo pharingeal/adenoid
Epifaring
Tuba wall
Fossa Rossenmuller
Massa/tumor
Posterior nasal deal

PARANASAL
SINUS FRONTALIS SINUS MAKSILARIS
KANAN KIRI KANAN KIRI
Nyeri tekan
Transluminasi

RONGGA MULUT
A. Bibir :
- Bentuk : normal
- Luka : -
- Fisula / Pecah : -
15
B. Gigi :
Karies : negatif
C. Lidah :
Bentuk : normal
Selaput membran : -
Luka : -
Pergerakan : normal
D. Pallatum Mole :
Bentuk :
Warna :
Uvula :
Gerakan :
Lain-lain :
E. Faring :
Selaput lendir :
Luka :
Selaput :
Benjolan :

TONSIL KANAN KIRI


Permukaan :
Besar :
Warna :
Selaput/Membran :
Detritus :
Sikatriks :
Plica Anterior :
Perlengketan :
Kripta :
Lakuna :
Kelenjar Limfe :

SPINGOSKOPI INDIREK
16
- Pangkal lidah :
- Tonsil lidah :
- Fapil lidah :
- Valecula :
- Epiglotis :
 Bentuk :
 Warna :
 Lain-lain :
- Lig.Ventrikulare :
- Sinus Pirifromis :
- Trakea :

LIGAMENTUM VOCALE KANAN KIRI


(PLICA VOCALIS)
- Bentuk :
- Warna :
- Luka :
- Selaput / Membran :
- Benjolan :
- Gerakan :
PALPASI LEHER :
Benjolan
- Jumlah :
- Ukuran :
- Warna :
- Permukaan :
- Nyeri tekan :
- Mobilitas :
Luka :
Fistula :
4. LABORATORIUM
- Darah :
- Urin :

17
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Rontgen :
- CT – Scan :
- Audiografi :
- Histo :

IV. DIAGNOSIS BANDING


 Otitis Media Akut (OMA)
 Otitis Media Supuratif Kronik ( OMSK )

V. DIAGNOSIS
Otitis media akut stadium perforasi auris sinistra

VI. PENGELOLAAN DAN TERAPI


 Pembersihan liang telinga dengan suction
 Pemberian obat cuci telinga H2O2
 Pemberian obat oral:
- Clindamycin ( Antibiotik )
- Metil prednisolon ( Kotikosteroid )
- Pseudoefedrin HCl

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam

18
BAB IV
KESIMPULAN

Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan
sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Wanita lebih sering terkena terutama usia pubertas. Sering ditemukan pada
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang
buruk.
Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda klinis yang ditemukan. Pada
anamnesis, didapatkan keluhan berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna
hijau, ada krusta hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung terasa
tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka
inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen, dan krusta yang berwarna hijau.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan histopatologik yang
berasal dari konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan
tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal.
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang
baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala.
Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat menolong
dilakukan pengobatan operatif. Pengobatan konservatif dengan pemberian antibiotika
berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat.
Obat cuci hidung juga diberikan untuk menghilangkan bau busuk. Pengobatan operatif
dengan operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang hidung dengan
implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ and Snow JB. Atrophic Rinitis Dalam: Ballenger JJ and Snow JB.
Ballenger's Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery 16th Ed. Hamilton:BC
Decker inc; 2003 h: 750-751.
2. Lalwani AK. Nonallergic & Allergic Rinitis Dalam: Lalwani AK.Current
Diagnosis and Treatment in Otolaryngology - Head and Neck Surgery. New York:
McGrawhill; 2007 Ch:13
3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-
6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
4. Vanessa IDA. Rinitis Atrofi. Mataram:Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.
2008 h:1-11
5. Buku Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.
6. Adams, L. G. et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.1997
7. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006

20

Anda mungkin juga menyukai