Penulis:
Agung Anjar Sukmantoro (194121010)
Tiara Novansca (194121016)
Widhi Nastiti (194121018)
Viera Permatasari Wiana (194121021)
Diana Rahman (194121027)
Pembimbing:
dr. Riyan Charlie Milyantono,Sp.THT-KL
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Anatomi Tonsil ....................................................................................................... 3
Gambar 2. 2 Vaskularisasi Tonsil................................................................................................ 4
Gambar 2. 3 Eipstein Barr Virus ................................................................................................. 5
Gambar 2. 4 Streptokokus B Hemolitikus grup A ........................................................................ 5
Gambar 2. 5 Derajat tonsilitis7..................................................................................................... 9
Gambar 2. 6 Tonsilitis bakterial dan virus9 ................................................................................ 10
Gambar 2. 7Tonsilitis difteri9 ..................................................................................................... 11
Gambar 2. 8 Prosedur tonsilektomi dengan harmonik skalpel19 ............................................... 15
Gambar 2. 9 Prosedur tonsilektomi dengan koblasi19................................................................ 16
iii
1. DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Tanda tonsilitis akut dan kronis7 ................................................................................. 8
1
2. BAB I
PENDAHULUAN
2
3. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri jaringan limfoid yang dilapisi oleh jaringan ikat
dengan kripta di dalamnya. Terdapat jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring
yaitu tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil tubal dan tonsil lingualis, lingkaran
tersebut adalah cincin Waldeyer. Tonsil memiliki bentuk yang oval, dan memiliki 10-30
kripta. Perbatasan tonsil lateral oleh m.konstriktor faring superior, untuk perbatasan sisi
anterior oleh m.palatoglossus, pada sisi posterior oleh m.palatofaringeus, pada sisi superior
oleh palatum molle, dan pada sisi inferior oleh tonsil lingual¹.
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di fossa kedua
sudut orofaring, Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Daerah yang kosong di
atas tonsil disebut sebagai fossa supratonsilar. Tonsil faringeal (Adenoid) merupakan
jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior nasofaring, merupakan salah satu
tonsil dari cincin Waldeyer. Adenoid tidak mempunyai kriptus, ukuran adenoid bervariasi
pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan membesar pada anak usia 3
tahun dan mengecil lagi pada usia 14 tahun. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.
Tonsil tubal adalah salah satu dari empat kelompok tonsil utama yang terdiri dari cincin
3
Waldeyer, yang mencakup tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil faringeal, dan tonsil tubal.
Tonsil tubal sangat dekat dengan torus tubarius, oleh karena itu tonsil ini kadang-kadang
juga disebut tonsil torus tubarius. Hal ini terletak di posterior pembukaan tabung Eustachian
ke nasofaring¹.
Tonsil mendapat suplai darah dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu kutub
atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Kutub
bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri linguals dorsal dan bagian posterior ole
arteri palatina asenden, dan cabang arteri fasialis, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung
dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena
lidah dan pleksus faringeal. Persarafan tonsil suplai sensorinya diberikan oleh saraf
glossopharyngeal (N. IX) dan juga dari cabang nervus palatina desenden¹.
4
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko Tonsilitis Kronis
5
Di Indonesia, tidak terdapat data epidemiologi spesifik mengenai tonsilitis, hanya
data mengenai infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Terdapat lima provinsi di Indonesia
dengan penyakit ISPA tertinggi, antara lain Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%),
Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%) dan Jawa Timur (28,3%).4
Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 dan 2013 didapatkan insiden terjadinya ISPA di
Indonesia tidak jauh berbeda, yakni 25,5% pada tahun 2007 dan 25,0% pada tahun 2013.
Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun
sebesar 25,8%. Sedangkan menurut jenis kelamin, tidak didapatkan perbedaan bermakna
antara laki-laki dan perempuan⁴
2.4 Patofisiologi
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil. Patogenesis tonsilitis episode
tunggal masih belum jelas. Diperkirakan akibat obstruksi kripta tonsil, sehingga
mengakibatkan terjadi multiplikasi bakteri patogen yang dalam jumlah kecil dalam kripta
tonsil yang normal. Pendapat lain patogenesis terjadinya infeksi pada tonsil berhubungan
erat dengan lokasi maupun fungsi tonsil sebagai pertahanan tubuh terdepan. Antigen baik
inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil sehingga terjadi
perlawanan tubuh dan kemudian terbentuk fokus infeksi. Peradangan akut pada saluran
nafas atas disebabkan oleh virus seperti adenovirus, virus Epstein Barr, influenza, para
influenza, herpes simpleks, virus papiloma. Peradangan oleh virus yang tumbuh di
membran mukosa kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Keadaan ini akan semakin berat
jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan virus sebelumnya.5
Terjadinya tonsilitis dimulai saat bakteri masuk ke tonsil melalui kripte – kriptenya,
secara aerogen (melalui hidung, droplet yang mengandung bakteri terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus ke tonsil), maupun secara foodvorn yaitu melalui mulut
bersama makanan. Infeksi bakteri dari virus ini yang menyebabkan tonsilitis. Kuman
menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial
mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning
yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang
6
terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak
detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris.5
Tonsilitis yang disebabkan oleh bakteri disebut peradangan lokal primer. Setelah
terjadi serangan tonsilitis ini, tonsil akan benar-benar sembuh atau tidak dapat kembali
sehat seperti semula. Penyembuhan yang tidak sempurna akan menyebabkan
peradangan ringanpada tonsil. Apabila keadaan ini menetap atau berulang, bakteri
patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi peradangan yang kronis. Tonsilitis
kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau subklinis
yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau degenerasi
fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil
akibat pembentukan sikatrik yang kronis.5
Brook dan Gober seperti dikutip oleh Hammouda menjelaskan tonsillitis kronis
adalah suatu kondisi yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat
infeksi tonsil yang berulang. Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil
mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi
penurunan integritas epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil.
Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil.
Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun pada
tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam
kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil.5
7
2.5 Diagnosis
a. Gejala klinis
Gejala klinis tonsilitis secara umum seperti, nyeri tenggorokan, nyeri
menelan, malaise, demam, bengkak pada daerah submandibular, nafsu makan
menurun, nyeri kepala, dan rasa nyeri di telinga. Gejala – gejala tersebut
tergantung pada jenis tonsilitis yang dialami dan tingkat keparahannya. Tonsilitis
kronis dapat juga menimbulkan halitosis, obstructive sleep apnea (OSA), tidur
mendengkur, dan penyebararan infeksi ke daerah sekitar tonsil. Tonsilitis kronis
biasanya timbul akibat pengobatan yang tidak adekuat ataupun karena tonsilitis
akut yang rekuren dan tidak ditangani hingga selesai.6
8
Derajat 4: Tonsil tampak membesar sampai melewati linea mediana
b. Tonsilitis Bakterial
9
Tonsilitis bacterial dapat disebabkan karena streptokokus grup A β-hemolitikus yang
dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, streptokokus viridian dan streptokokus
piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi
radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus.
Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas.
Detritus ini akan mengisi kripta dan tampak sebagai bercak kuning. Bentuk tonsilitis
akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis fosikularis, bila bercak detritus ini
menjadi satu dan membentuk alur – alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak
detritus ini dapat melebar hingga membentuk membrane semu. Masa inkubasi sekitar
2 – 4 hari. Gejala yang biasanya timbul adalah nyeri tenggorokan, nyeri menelan,
demam tinggi, malaise, arthralgia, dan kemungkinan otalgia. Pada pemeriksaan
didapatkan tonsil membengkak, hiperemis dan tampak detritus berbentuk folikel,
lakuna atau tertutup oleh membran semu. Tonsilitis bakterial memerlukan pengobatan
antibiotik spektrum lebar, antipiretik dan obat kumur.9
2. Tonsilitis membranosa
a. Tonsilitis difteri
Penyebab tonsilitis difteri adalah Coryne bacterium diphteriae, kuman yang termasuk
gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring.
Pada kenyatannya tidak semua orang yang terinfeksi bakteri ini akan menjadi sakit.
Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang terhadap bakteri
10
ini. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2 – 5 tahun, tetapi hal tersebut tidak menyangkal kejadian
pada orang dewasa. Gejala umum seperti, kenaikan suhu tubuh, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal
akan menunjukan tonsil membengkak ditutupi oleh bercak putih kotor yang makin
lama meluas dan membentuk membrane semu. Membran semu ini dapat menyebar
ke palatum molle, faring, uvula, laring, trakea dan bronkus. Gejala akibat eksotoksin
yang dikeluarkan bakteri ini dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh pada
jantung dari miokarditis hingga decompensation cordis, selain jantung dapat
menyerang saraf kranial hingga menyebabkan kelumpuhan dan parese otot palatum
dan otot – otot pernafasan lainnya. Diagnosis ini ditegakan berdasarkan pemeriksaan
kultur bakteri ditemukannya Corynebacterium diphteriae.9
b. Tonsilitis septik
Tonsilitis septik disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu
sapi sehingga pada saat konsumsi susu tersebut, bakteri akan kontak langsung dan
menginfeksi tonsil. Tonsilitis ini sudah jarang ditemukan lagi karena susu sapi di
Indonesia sudah dimasak dahulu dengan cara pasteurisasi sehingga bakteri akan
mati9
c. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang di dapatkan
pada penderita dengan higenitas mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. Gejala
yang dialami biasanya demam hingga 39oC, nyeri kepala, badan lemah, kadang –
11
kadang terdapat gangguan pencernaan, rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi
yang mudah berdarah. Pada pemeriksaan akan dapat ditemukan mukosa mulut dan
faring yang hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding
faring, gusi serta prosesus alveolaris, halitosis dan kelenjar sub mandibular yang
membesar9
d. Penyakit kelainan darah
Tonsilitis membranosa dapat merupakan tanda pertama dari penyakit – penyakit
kelainan darah, seperti leukemia akut, angina agranulositosis, dan infeksi
mononucleosis. Gejala pada penyakit kelainan darah biasanya ditemukan ulkus, tanda
radang tonsil, pembesaran kelenjar limfa, dan pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan kelainan darah.9
3. Tonsilitis Kronis
Tonsilitis kronis terjadi akibat tonsilitis akut yang berulang terus menerus. Penyebab
utama terjadinya tonsilitis kronis sama dengan etiologi pada tonsilitis akut, antara lain
virus dan bakteri. Pada penderita tonsilitis kronis terdapat beberapa faktor
predisposisi, seperti rangsangan menahun dari rokok, jenis makanan yang memicu
peradangan, higenitas mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Bakteri penyebabnya sama dengan
tonsilitis akut, tetapi pada beberapa kasus kuman dapat berubah menjadi kuman
golongan Gram negatif.
Proses radang yang berulang akan menyebabkan jaringan limfoid tergantikan oleh
jaringan parut yang mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinis
kripta ini terisi oleh dedritus. Hal ini terjadi terus menerus hingga menembus kapsul
tosil dan akhirnya menimbulkan perleketan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris.
Pada anak - anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.
Gejala dan tanda pada tonsilitis kronis biasanya tampak tonsil yang membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripta terisi oleh dedritus,
rasa mengganjal di tenggorokan, dan halitosis.10
2.7 Tatalaksana
Secara medikamentosa, tatalaksana terbaik adalah sesuai dengan jenis infeksi
tonsilitis itu sendiri. Apabila tonsilitis karena bakteri maka sebaiknya diberikan antibiotik
spektrum luas seperti golongan penisilin dan eritromisin. Untuk mengatasi gejala – gejala
12
tambahan lainnya dapat diberikan antipiretik dan obat kumur untuk menjaga higenitas mulut
dengan baik. Pada tonsilitis karena virus, tidak perlu pengobatan antibiotik melainkan hanya
perlu istirahat yang cukup, minum air putih yang banyak dan pemberian analgetika jika
diperlukan. Seperti yang kita tahu bahwa tonsilitis karena virus sifatnya adalah self limiting
disease. Pemberian antivirus pada kasus berat perlu diberikan untuk mencegah terjadinya
komplikasi lebih lanjut. 11
Tatalaksana lain dapat dilakukan dengan jalur operasi, yaitu tonsilektomi. Tonsilektomi
dilakukan apabila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan nafas atau
kecurigaan keganasan. Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of
Otolaryngology, Head and Neck Surgery12 :
• Indikasi absolut Tonsilektomi:
1) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardio-pulmoner.
2) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.
3) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
4) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
(suspek penyakit keganasan)
• Indikasi relatif Tonsilektomi :
1) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik
adekuat.
2) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi
medis.
3) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten.
Teknik koblasi
Koblasi adalah jenis ablasi frekuensi radio. Di sini energi frekuensi radio dilewatkan melalui
natrium klorida isotonik dan menghasilkan medan plasma. Dengan koblasi, media
dipisahkan menjadi ion natrium bebas, yang menyebabkan penghancuran ikatan antar sel
dan dengan demikian terjadi disosiasi jaringan. Reaksi ini dicapai pada suhu antara 60 dan
70°C (dibandingkan dengan 400 hingga 600 °C dalam elektrokauter). Kehadiran garam
isotonik irigasi yang dingin membantu membatasi jumlah panas yang dialirkan ke struktur
sekitarnya. Koblasi ditemukan pada tahun 1999 dan disetujui oleh FDA pada tahun 2001 18,
setelah itu banyak artikel yang pro maupun kontra terhadap teknik ini karena hasil yang
tidak memuaskan maupun biaya yang besar.19
15
Gambar 2. 9 Prosedur tonsilektomi dengan koblasi19
2.9 Komplikasi
Komplikasi tersering dari operasi tonsilektomi adalah perdarahan yaitu primer dan
sekunder. Perdarahan primer sering disebabkan oleh hemostasis intraoperatif yang tidak
mencukupi, perdarahan sekunder sering dikaitkan dengan penolakan permukaan luka dan
16
degenerasi fibrinogen selama penyembuhan luka yang ditentukan oleh teknik bedah yang
digunakan untuk tonsilektomi
17
dan puncaknya pada hari ke-4 pasca operasi.
Pada teknik UHS rata-rata lama kembalinya fungsi menjadi normal sekitar 11
hari. Penggunaan teknik UHS untuk tonsilektomi juga memberikan hasil
kecepatan kesembuhan dan nyeri yang berkurang dibandingkan dengan bedah
laser. 16
Pengawasan orang tua berkontribusi langsung terhadap tingkat kepatuhan yang tinggi,
karena anak-anak memiliki kebebasan asupan makanan yang lebih sedikit setelah operasi
amandel daripada orang dewasa. Selain itu, dapat diasumsikan bahwa anak-anak
menderita penyakit penyerta yang lebih sedikit daripada orang dewasa. Asumsi ini juga
menunjukkan bahwa usia merupakan faktor risiko yang signifikan untuk perdarahan pasca-
tonsilektomi, karena pasien yang lebih tua lebih sering memiliki riwayat tonsilitis kronis dan
diizinkan lebih banyak kebebasan asupan makanan pasca operasi. Akibatnya, hal ini dapat
menyebabkan peningkatan risiko perdarahan sekunder akibat trauma makanan, seperti
yang ditunjukkan oleh peningkatan insiden perdarahan antara hari ke 5 dan 12, periode
ketika makan meningkat saat odynophagia berkurang.
18
4. BAB III
PENUTUP
Tonsilitis kronis, adalah suatu keradangan tonsil yang berulang yang timbul
akibat pengobatan tidak adekuat ataupun karena tonsilitis akut yang rekuren dan
tidak ditangani hingga selesai. Gejalanya ditandai dengan nyeri tenggorokan, nyeri
menelan, malaise, demam, disertai dengan pembesaran tonsil yang dapat
menimbulkan obstructive sleep apnea (OSA), tidur mendengkur, dan penyebararan
infeksi ke daerah sekitar tonsil.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan tonsilitis kronik dapat
dilakukan dengan tonsilektomi atas indikasi medis pasien. Pemilihan dari teknik
operasi, dapat didasarkan atas komplikasi perdarahan yang terjadi. Dari hasil
penelitian, dinyatakan teknik operasi dengan ultrasonic scalpel dapat menghasilkan
perdarahan paling sedikit terutama jika dibandingkan dengan teknik konvensional.
Selain itu, teknik UHS juga memberikan hasil kecepatan kesembuhan dan nyeri yang
berkurang dibandingkan dengan bedah laser.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Masters KG, Zezoff D, Lasrado S. Anatomy, Head and Neck, Tonsils. [Updated 2022
Jul 19]. In: StatPearls [Internet].
2. Georgalas C, Tolley N, Narula A. Tonsillitis. BMJ Clin Evid. 2014; 2014: 0503.
3. Okoye EL, Obiweluozor CJ, Uba BO, Odunukwe FN. Epidemiological Survey of
Tonsillitis Caused By Streptococcus pyogenes among Children in Awka Metropolis
(A Case Study of Hospitals in Awka Community, Anambra State). 2016; 11(3):54-58.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI. Riset Kesehatan
Dasar. 2013.
20
14. Info kesehatan THT – Bedah kepala leher. 2012. Available at :
https://thtkl.wordpress.com/2012/11/27/mengenal-bermacam-macam-teknik-
operasi-amandel/
15. Parmod Jain, Matthew Ward, Hasnaa Ismail-Koch, Vishnu Sunkaraneni, and Rami
J. Salib. Guillotine vs Dissection Tonsillectomy: A Prospective Study.
Otolaryngology–Head and Neck Surgery 2017. 143(2) : 258-P259
16. .Sood, S., Corbridge, R., Powles, J., Bates, G., & Newbegin, C. J. (2001).
Effectiveness of the ultrasonic harmonic scalpel for tonsillectomy. Ear, nose & throat
journal, 80(8), 514-518.
17. Mösges R, Hellmich M, Allekotte S, Albrecht K, Böhm M. Hemorrhage rate after
coblation tonsillectomy: a meta-analysis of published trials. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2011 Jun;268(6):807-16. doi: 10.1007/s00405-011-1535-9. Epub
2011 Mar 4. PMID: 21373898; PMCID: PMC3087106.
18. Khan A.R. A Retrospective Comparative Study Of Postoperative Bleeding After
Coblation Tonsillectomy Versus Noncoblation Tonsillectomy In North Indian
Population. International Journal Of Otorhinolaryngology And Head And Neck
Surgery.February 2023. 9(2) :161
19. Basu S, Sengupta A, Dubey AB, Sengupta A. Harmonic Scalpel Versus Coblation
Tonsillectomy A Comparative Study. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2019
Dec;71(4):498-503. doi: 10.1007/s12070-019-01679-x. Epub 2019 Jun 18. PMID:
31750110; PMCID: PMC6838272
21