OSTEOPOROSIS
Pembimbing :
Oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
SURABAYA
2016
LEMBAR PENGESAHAN
OSTEOPOROSIS
Oleh :
Pembimbing,
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
judul “Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Osteoporosis”
dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Lakesla RSAL Dr Ramelan
Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang
bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, kami mengucapkan terima kasih
kepada dr. Ni Komang SDU., Sp.S selaku pembimbing.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB II OSTEOPOROSIS ........................................................................ 3
2.1 Anatomi dan Histologi Tulang ................................................ 3
2.2 Definisi Osteoporosis.............................................................. 8
2.3 Epidemiologi ........................................................................... 9
2.4 Etiologi ................................................................................... 9
2.5 Faktor Resiko..........................................................................10
2.6 Klasifikasi................................................................................11
2.7 Patogenesis............................................................................13
2.8 Manifestasi Klinis....................................................................15
2.9 Diagnosis................................................................................15
2.10 Penatalaksanaan..................................................................17
2.11 Pencegahan..........................................................................17
BAB III TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK...............................................19
3.1 Terapi Oksigen Hiperbarik......................................................19
3.1.1 Pengertian............................................................................19
3.1.2 Hyperbaric Chamber ...........................................................20
3.1.3 Hukum Fisika dalam Terapi Hiperbarik...............................20
3.1.4 Mekanisme Kerja dan Manfaat Terapi Oksigen Hiperbarik.23
3.1.5 Indikasi Oksigen Hiperbarik.................................................24
3.1.6 Kontraindikasi Oksigen Hiperbarik.......................................25
3.1.7 Komplikasi............................................................................25
BAB IV PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP
OSTEOPOROSIS.................................................................... 28
4.1 Terapi Oksigen Hiperbarik...................................................... 28
4.2 Mekanisme Hiperbarik Oksigen pada Osteoporosis.............. 28
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 29
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
vertebra yang hancur, sebenarnya bahan tulang sudah berkurang di
dalam komposisinya. Ini membuat tulang menjadi rapuh dan mudah patah
(Lane,2003). Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan
laki-laki dan merupakan problem pada wanita pascamenopause. Di
Amerika pada tahun 1995 patah tulang akibat osteoporosis menduduki
peringkat 1 dibanding penyakit lain, jumlah 1,5 juta pertahun dengan
patah tulang vertebra terbanyak (750 ribu),hip(250 ribu), wrist(250 ribu),
fraktur lain ( 250 ribu) (Lane,2003).
2
BAB 2
OSTEOPOROSIS
3
(system haversian). Sistem haversian merupakan suatu system yang
memiliki kanal vaskuler dan dikelilingi lamellar konsentris yang terdapat
pada tulang kompak. Pada lamella, terdapat lacuna yang berisi osteosit.
4
Gambar 2.2 Tulang (Cummings, 2003)
1. Osteoprogenitor
Seperti jaringan ikat lain, tulang semula berkembang dari
mesenkim embrional yang memiliki potensi perkembangan
sangat luas, menghasilkan fibroblast, sel lemak, otot, dan
sebagainya. Sel osteoprogenitor ini tetap ada semasa
kehidupan pasca lahir dan ditemukan pada atau dekat semua
permukaan bebas tulang: dalam osteum, lapis dalam
periosteum, dan pada trabekel tulang rawan mengapur pada
metafisis tulang tumbuh.
Sel ini paling aktif selama pertumbuhan tulang namun
diaktifkan kembali semasa kehidupan dewasa pada pemulihan
fraktur tulang dan bentuk cedara lainnya.
2. Osteoblast
Osteoblast berhubungan dengan pembentukan tulang,
kaya alkaline phosphatase dan dapat merespon produksi
maupun mineralisasi matriks. Pada akhir siklus remodelling,
osteoblast tetap berada di permukaan tulang baru, atau masuk
ke dalam matriks sebagai osteocyte.
3. Osteocyte
Osteocyte berada di lakunare, fungsinya belum jelas.
Diduga di bawah pengaruh parathyroid hormon (PTH) berperan
pada resorbsi tulang (osteocytic osteolysis) dan transportasi ion
kalsium. Osteocyte sensitif terhadap stimulus mekanik dan
meneruskan rangsang (tekanan dan regangan) ini kepada
osteoblast.
4. Osteoclast
5
Osteoclast adalah mediator utama resorbsi tulang,
dibentuk oleh prekursor monosit di sumsum tulang dan bergerak
ke permukaan tulang oleh stimulus kemotaksis. Dengan
meresorbsi matriks akan meninggalkan cekungan di permukaan
tulang yang disebut Lakuna Howship.
6
Gambar 2.4 Proses Remodeling Tulang
7
Gambar 2.5 Fisiologi
Pembentukan Tulang (Cummings, 2003)
8
vertebra yang hancur, sebenarnya bahan tulang sudah berkurang di
dalam komposisinya. Ini membuat tulang menjadi rapuh dan mudah patah
(Lane,2003).
2.3. Epidemiologi
Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki
dan merupakan problem pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di
klinik menjadi penting karena problem fraktur tulang, baik fraktur yang
disertai trauma yang jelas maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai
trauma yang jelas.
Di Amerika pada tahun 1995 patah tulang akibat osteoporosis
menduduki peringkat 1 dibanding penyakit lain, jumlah 1,5 juta pertahun
dengan patah tulang vertebra terbanyak (750 ribu),hip(250 ribu), wrist(250
ribu), fraktur lain ( 250 ribu) (Lane,2003).
2.4. Etiologi
9
osteoklas. Faktor lain yang mempengaruhi proses remodelling adalah
faktor hormonal. Proses remodelling akan ditingkatkan oleh hormon
paratiroid, hormon pertumbuhan. Sedang yang menghambat proses
remodelling adalah kalsitonin, estrogen dan glukokortikoid. Proses-proses
yang mengganggu remodelling tulang inilah yang menyebabkan
osteoporosis (Sinnathamby, 2010).
10
Aktivitas fisik kurang
Obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin,
siklosporin)
Merokok, alkohol
Resiko terjatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan,
licin, gangguan penglihatan)
Hormonal dan penyakit kronik
o Defisiensi estrogen, androgen
o Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer,
hiperkortisolisme
o Penyakit kronik (sirosis hepatis, gangguan ginjal,
gastrektomi)
Sifat fisik tulang
o Densitas (massa)
o Ukuran dan geometri
o Mikroarsitektur
o Komposisi
4. Faktor resiko fraktur panggul yaitu :
a. Penurunan respons protektif
Kelainan neuromuscular
Gangguan penglihatan
Gangguan keseimbangan
b. Peningkatan fragilitas tulang
Densitas massa tulang rendah
Hiperparatiroidisme
c. Gangguan penyediaan energi
Malabsorbsi (Lane,2003)
2.6. Klasifikasi Osteoporosis
1. Osteoporosis Primer
11
a. Osteoporosis primer tipe 1 adalah osteoporosis pasca
menopause. Pada masa menopause, fungsi ovarium
menurun sehingga produksi hormon estrogen dan
progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam
proses mineralisasi tulang dan menghambat resorpsi tulang
serta pembentukan osteoklas melalui produksi sitokin.
Ketika kadar hormon estrogen darah menurun, proses
pengeroposan tulang dan pembentukan mengalami
ketidakseimbangan. Pengeroposan tulang menjadi lebih
dominan (Wirakusumah, 2007)
b. Osteoporosis primer tipe II adalah osteoporosis senilis
yang biasanya terjadi lebih dari usia 50 tahun. Osteoporosis
terjadi akibat dari kekurangan kalsium berhubungan
dengan makin bertambahnya usia (Hortono, 2000).
c. Tipe III adalah osteoporosis idiopatik merupakan
osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahiu.
Osteoporosis ini sering menyerang wanita dan pria
yang masih dalam usia muda yang relative jauh lebih
muda (Hortono, 2000).
2. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder terjadi karena adanya penyakit
tertentu yang dapat mempengaruhi kepadatan massa tulang dan
gaya hidup yang tidak dapat mempengaruhi kepadatan massa
tulang dan gaya hidup yang tidak sehat. Faktor pencetus dominan
osteoporosis sekunder adalah seperti dibawah
(Wirakusumah,2007) :
a. Penyakit endokrin : tiroid, hiperparatiroid, hipogonadisme
b. Penyakit saluran cerna yang menyebabkan absorbsi gizi
kalsium, fosfor,vitamin D terganggu
c. Penyakit kegansan (kanker)
d. Konsumsi obat-obatan seperti kortikosteroid
12
e. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang
olahraga.
2.7. Patogenesis
13
2) Patogenesis Osteoporosis Primer
Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat,
terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga insiden
fraktur, terutama fraktur vetebra dan radius distal meningkat.
Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh
bone marrow stromal cells dan sel - sel mononuklear, seperti IL-1,
IL-6 dan TNF-α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas,
dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause
akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga
aktivitas osteoklas meningkat.
Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat
menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita
menopause, sehingga osteoorosis akan semakin berat/ Pada
menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium
serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma,
meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga
meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar
kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat
pada menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi,
sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik (Sinnathamby, 2010).
3) Patogenesis Osteoporosis Sekunder
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang
spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar
58%. Pada dekade ke 8 dan 9 kehidupannya, terjadi
ketidakseimbangan remodelling tulang, dimana resorpsi tulang
meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun.
Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan
mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur.
Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan
pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan
vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorbsi dan paparan sinar
matahari yang rendah. Defisiensi vitamin K juga akan
14
menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi
protein misalnya osteokasin. Penurunan kadar estradiol dibawah
40pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis, karena
laki-laki tidak pernah mengalami menopause (penurunan kadar
esterogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang
besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan
bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun
sedangkan SHBG akan meningkatkan pengikatan esterogen dan
testosteron membentuk kompleks yang inaktif.
Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan
massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan
(merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama). Resiko fraktur
yang juga harus diperhatikan adalah resiko terjatuh yang lebih
tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini
berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan
keseimbangan dan stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai
yang licin atau tidak rata (Sinnathamby, 2010).
15
2.9. Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita
osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan penderita osteoporosis,
deformitas tulang, nyeri spinal. Penderita dengan osteoporosis sering
menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi badan
(Hortono, 2000).
Pemeriksaan Radiologi
16
tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra
(Hortono, 2000).
2.10. Penatalaksanaan
17
2.11. Pencegahan
18
BAB 3
TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK
19
3.1.2 Hyperbarik chamber
Terapi oksigen hiperbarik pada suatu ruang hiperbarik
(hyperbaric chamber) yang dibedakan menjadi 2, yaitu:
20
Hukum Boyle menjelaskan tentang hubungan tekanan gas dan
volume gas. Tekanan gas berbanding terbalik dengan volume gas. Bila
tekanan semakin besar maka volume akan semakin kecil. Prinsip ini
digunakan pada kasus-kasus penyakit dekompresi dan emboli gas. Pada
penyakit dekompresi, terjadi gelembung-gelembung nitrogen (nitrogen
bubbles) sehingga terjadi penyumbatan pembuluh darah akibat
gelembung ini. Pada jaringan-jaringan juga terbentuk gelembung nitrogen
sehingga timbul nyeri pada jaringan, secara klinis tampak pada
persendian. Emboli gas adalah gelembung gas yang berjalan di pembuluh
darah, dan bila mencapai pembuluh darah kecil akan menyumbat
pembuluh darah. Penyumbatan pembuluh darah pada otak berakibat
stroke, pada jantung berakibat penyakit jantung koroner, pada ginjal
menjadi gagal ginjal akut, pada paru menjadi gagal napas. Volume
gelembung gas baik nitrogen ataupun gas lainnya dapat mengecil bila
dalam lingkungan dengan tekanan atmosfer yang lebih tinggi. Terapi
oksigen hiperbarik dapat memperkecil ukuran atau volume gelembung gas
sehingga terhindar dari masalah penyumbatan pembuluh darah.
Gelembung gas tersebut secara perlahan akan dimetabolisme atau
dibuang dari tubuh melalui pernapasan (wash out) (Medicinfo, 2014).
b. Hukum Dalton
Hukum Dalton menjelaskan tentang konsentrasi gas sebanding
dengan tekanan parsial gas tersebut. Bila tekanan gas semakin tinggi
21
maka konsentrasi gas tersebut juga semakin tinggi. Dengan memakai
oksigen 100%, dan tekanan lebih dari 1 ATA maka kadar oksigen di dalam
tubuh akan meningkat. Kebutuhan oksigen dapat tercukupi sehingga
seolah-olah tubuh tidak membutuhkan Hb untuk suplai oksigen ke seluruh
tubuh. Hal ini sangat bermanfaat pada kasus-kasus perdarahan masif,
anemia, thalasemia, atau kelainan sel darah merah. Pada kasus geriatri,
para lansia mengalami kekurangan oksigen sebab fungsi paru yang
menurun, pembuluh darah yang kurang baik (aterosclerosis), kekentalan
darah meningkat, sehingga terjadi gangguan pada organ-organ. Terapi
oksigen hiperbarik bermanfaat untuk para lansia dalam mengembalikan
kadar oksigen tubuh sehingga regenerasi sel dan jaringan menjadi lebih
baik (Medicinfo, 2014).
22
1 ATA. Hal ini dapat menyelamatkan jaringan supaya tetap hidup
(Medicinfo, 2014).
23
e. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin.
f. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan
hidup.
g. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi
20 menit pada penyakit keracunan gas CO
h. Dapat mempercepat proses penyembuhan pada pengobatan medis
konvensional
i. Meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu
j. Memperbaiki fungsi ereksi pada pria penderita diabetes (laporan
para ahli hiperbarik di Amerika Serikat pada tahun 1960)
k. Meningkatkan sensitivitas sel terhadap radiasi
l. menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen yang
menjaga elastisitas kulit
badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup
meningkat, tidur lebih enak dan pulas (Oktaria, 2014).
24
i. Hematology : anemia karena banyak kehilangan darah
j. Opthalmology : penyempitan arteri centralis
k. Gastrointestinal : gastric ulcer, hepatitis
l. Sudden deafness
m. Emboli gas atau udara
n. Decompression sickness
o. Keracunan karbon monoksida, cyanida, hidrogen sulfida
Lung disease : absess paru, emboli pulmo (Jain, 2009).
3.1.7 Komplikasi
Ketika digunakan dalam protokol standar tekanan yang tidak
melebihi 3 ATA ( 300 kPa ) dan durasi pengobatan kurang dari 120 menit,
terapi oksigen hiperbarik aman. Efek samping yang paling umum adalah:
25
a. Barotrauma telinga
Sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menyamakan
tekanan di kedua sisi membran timpani akibat tuba eustachius tertutup.
Barotrauma telinga tengah dan sinus dapat dicegah dengan teknik
ekualisasi, dan otitis media dapat dicegah dengan pseudoephidrine.
Barotrauma telinga dalam sangat jarang, tapi jika membran timpani
ruptur dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, tinnitus
dan vertigo.
b. Barotrauma paru
Pneumotoraks dan emboli udara lebih berbahaya pada terapi
ini. komplikasi akibat robek di pembuluh darah paru karena perubahan
tekanan, tapi jarang terjadi.
c. Barotrauma dental
Menyebabkan nyeri pada gigi yang berlubang akibat penekanan
saraf.
d. Toksisitas oksigen
Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas selama lima
menit udara biasa di ruang udara bertekanan tinggi untuk setiap 30
menit oksigen . Hal ini memungkinkan antioksidan untuk menetralisir
radikal oksigen bebas yang terbentuk selama terapi.
e. Gangguan neurologis
Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat tingginya kadar
O2.
f. Fibroplasia retrolental
Tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan
penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bayi prematur
secara teori dapat terjadi fibroplasia retrolental.
g. Katarak
26
Komplikasi ini jarang terjadi. Menyebabkan pandangan
berkabut.
h. Transientmiopia reversibel
Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terapi HBO berkepanjangan
yang menyebabkan perubahan bentuk/deformitas dari lensa. (Gill dan
Bell, 2004).
27
BAB 4
Pada kondisi metabolik dengan nilai oksigen yang normal dan juga
kondisi yang seimbang osteoblast dan osteoclast akan berada jumlah
yang sama. Tetapi apabila terjadi hypoxia (karena iskemia, masalah
anatomi, fungsi, atau karena metabolisme yang tidak stabil. Berdasarkan
hubungan antara oksigen dan ossifikasi tulang, ossifikasi tulang
berdasarkan 2 proses, sintesis dari organic matriks oleh osteoblast,
langsung diikuti oleh kalsifikasi pada matriks oleh osteoclast. Tulang
tumbuh berdasarkan peran dari kedua proses tersebut. Kedua proses
tersebut membutuhkan jumlah oksigen yang mencukupi. Hypoksia mudah
terjadi pada jaringan tulang dibandingkan jaringan yang lain, sedangkan
vascular regenerasi lebih sulit di tulang dari pada jaringan lainnya. Pada
28
saat kandungan oksigen menurun, kerja dari osteoblast tidak dapat
maksimal, sedangkan hal tersebut tidak mempengaruhi kerja dari
osteoclast, sehingga terjadi ketidak seimbangan dari kedua proses
tersebut. Adanya hiperoksidasi sendiri membuat suplai oksigen menuju ke
tulang kembali baik, sehingga terjadi keseimbangan pada jumlah
osteoblast dan osteoclast.
29
DAFTAR PUSTAKA
30
Sudoyo, Setiyohardi, Alwi, Smadibrata, setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI.
31