Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP

OSTEOPOROSIS

Pembimbing :

dr. Ni Komang SDU., Sp.S

Oleh :

Mayrza Setiawan 2009.04.0.0151

Sukma Effendi 2009.04.0.0152

Stefanus Cipta Widjaja 2010.04.0.0150

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA

2016
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP

OSTEOPOROSIS

Oleh :

Mayrza Setiawan 2009.04.0.0151

Sukma Effendi 2010.04.0.0152

Stefanus Cipta Widjaja 2010.04.0.0150

Pembimbing,

dr. Ni Komang SDU., Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
judul “Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Osteoporosis”
dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Lakesla RSAL Dr Ramelan
Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang
bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, kami mengucapkan terima kasih
kepada dr. Ni Komang SDU., Sp.S selaku pembimbing.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, Januari 2016

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB II OSTEOPOROSIS ........................................................................ 3
2.1 Anatomi dan Histologi Tulang ................................................ 3
2.2 Definisi Osteoporosis.............................................................. 8
2.3 Epidemiologi ........................................................................... 9
2.4 Etiologi ................................................................................... 9
2.5 Faktor Resiko..........................................................................10
2.6 Klasifikasi................................................................................11
2.7 Patogenesis............................................................................13
2.8 Manifestasi Klinis....................................................................15
2.9 Diagnosis................................................................................15
2.10 Penatalaksanaan..................................................................17
2.11 Pencegahan..........................................................................17
BAB III TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK...............................................19
3.1 Terapi Oksigen Hiperbarik......................................................19
3.1.1 Pengertian............................................................................19
3.1.2 Hyperbaric Chamber ...........................................................20
3.1.3 Hukum Fisika dalam Terapi Hiperbarik...............................20
3.1.4 Mekanisme Kerja dan Manfaat Terapi Oksigen Hiperbarik.23
3.1.5 Indikasi Oksigen Hiperbarik.................................................24
3.1.6 Kontraindikasi Oksigen Hiperbarik.......................................25
3.1.7 Komplikasi............................................................................25
BAB IV PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP
OSTEOPOROSIS.................................................................... 28
4.1 Terapi Oksigen Hiperbarik...................................................... 28
4.2 Mekanisme Hiperbarik Oksigen pada Osteoporosis.............. 28
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 29

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Kesehatan hiperbarik, khususnya terapi oksigen hiperbarik (HBO),


di negara-negara maju telah berkembang dengan pesat. Terapi ini telah
dipakai untuk menanggulangi bermacam penyakit, baik penyakit akibat
penyelaman maupun penyakit bukan penyelaman. Terapi oksigen
hiperbarik pada beberapa penyakit dapat sebagai terapi utama maupun
terapi tambahan. Namun tidak boleh dilupakan, meskipun banyak
keuntungan yang diperoleh penderita, cara ini juga mengandung resiko.
Sebab itu, terapi oksigen hiperbarik harus dilaksanakan secara hati-hati
sesuai dengan prosedur yang berlaku, sehingga mencapai hasil yang
maksimal dengan resiko minimal (Mahdi, Sasongko, Siswanto, et al,
2013).
Terapi oksigen hiperbarik (HBO) adalah terapi yang menggunakan
oksigen 100% pada tekanan yang lebih tinggi dari tekana atmosfer.
Pasien akan menghirup oksigen 100% secara bertahap bersamaan
dengan peningkatan tekanan menjadi lebih dari 1 atmosfer absolute.
Mekanisme utama dari perbaikan kondisi patologis diperkirakan adalah
peningkatan konsentrasi oksigen jaringan. Selain itu, juga telah ditemukan
bahwa HBO mengubah beberapa kondisi fisiologis lainnya seperti respon
imun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa HBO memiliki efek pada
respon imun in vitro atau in vivo (Murphy, et al, 1975; Babior, 1978; Jacob,
et al 1978, Warren, et al, 1978).
Osteoporosis adalah suatu penyakit tulang yang ditandai dengan
adanya penurunan masa tulang dan perubahan struktur pada jaringan
tulang yang menyebabkan kerentanan tulang meningkat disertai
kecenderungan terjadinya fraktur, terutama pada proksimal femur, tulang
belakang dan tulang radius. Kata osteoporosis berasal dari bahasa Yunani
yang artinya ‘tulang’ dan ‘lubang’, menunjukkan pada kita bahwa tulang
yang terkena menjadi berlubang-lubang pada strukturnya. Meskipun
ukuran tulang ini tetap sama dan dari luar tampak normal, kecuali pada

1
vertebra yang hancur, sebenarnya bahan tulang sudah berkurang di
dalam komposisinya. Ini membuat tulang menjadi rapuh dan mudah patah
(Lane,2003). Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan
laki-laki dan merupakan problem pada wanita pascamenopause. Di
Amerika pada tahun 1995 patah tulang akibat osteoporosis menduduki
peringkat 1 dibanding penyakit lain, jumlah 1,5 juta pertahun dengan
patah tulang vertebra terbanyak (750 ribu),hip(250 ribu), wrist(250 ribu),
fraktur lain ( 250 ribu) (Lane,2003).

Gejala terjadinya osteoporosis oleh karena berkurangnya massa


tulang dan tulang menjadi rapuh baru disadari setelah timbul dampak
seperti: nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata, nyeri timbul
mendadak, sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang, nyeri
berkurang pada saat istirahat di tempat tidur, nyeri ringan pada saat
bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan aktivitas, dan deformitas
vertebra thorakalis sehingga terjadi penurunan tinggi badan
(Sinnathamby, 2010).

Terapi HBO berhubungan dengan pemberian oksigen 100% pada


tekanan diatas tekan normal (1ata). Terdapat efek beruapa vasokontriksi.
HBO menurunkan edema jaringan. Efek yang paling cepat adalah
penekanan dari edema, penurunan tekanan interosseous, perbaikan dari
venous drainage, dan secara cepat memperbaiki microcirculation. Karena
pad TOH (Transient Osteoporosis of Hip) tanda-tanda awal yang paling
banyak ditemukan adalah bone marrow edema, HBO terapi dianggap
dapat memberikan hasil yang dapat memuaskan.

2
BAB 2
OSTEOPOROSIS

2.1. Anatomi dan Histologi Tulang

Tulang merupakan suatu struktur jaringan yang tersusun oleh sel


dan didominasi oleh matriks kolagen ekstraselular. Lapisan luar dari
tulang disebut korteks (substantia compacta), dan bagian dalam yang
berongga disebut trabekula tulang (substantia spongiosa), kedua lapisan
ini dibungkus oleh periosteum.

Gambar 2.1 Tulang (Cummings, 2003)

Fungsi tulang di dalam tubuh:


 Memberikan bentuk pada tubuh dan menopang tubuh.
 Menyimpan dan melepaskan beberapa jenis mineral yang
dibutuhkan tubuh seperti kalsium, fosfat, magnesium, dan sodium
saat dibutuhkan oleh tubuh
 Sumsum tulang memproduksi dan menyimpan sel – sel darah
 Melindungi organ-organ dalam tubuh dan pergerakan tubuh

Secara mikroskopis tulang memiliki susunan yg lamelar yaitu matrik


tulang tersusun berlapis-lapis. Tulang kompakta tersusun atas osteon

3
(system haversian). Sistem haversian merupakan suatu system yang
memiliki kanal vaskuler dan dikelilingi lamellar konsentris yang terdapat
pada tulang kompak. Pada lamella, terdapat lacuna yang berisi osteosit.

4
Gambar 2.2 Tulang (Cummings, 2003)

Pada tulang terdapat empat jenis sel

1. Osteoprogenitor
Seperti jaringan ikat lain, tulang semula berkembang dari
mesenkim embrional yang memiliki potensi perkembangan
sangat luas, menghasilkan fibroblast, sel lemak, otot, dan
sebagainya. Sel osteoprogenitor ini tetap ada semasa
kehidupan pasca lahir dan ditemukan pada atau dekat semua
permukaan bebas tulang: dalam osteum, lapis dalam
periosteum, dan pada trabekel tulang rawan mengapur pada
metafisis tulang tumbuh.
Sel ini paling aktif selama pertumbuhan tulang namun
diaktifkan kembali semasa kehidupan dewasa pada pemulihan
fraktur tulang dan bentuk cedara lainnya.

2. Osteoblast
Osteoblast berhubungan dengan pembentukan tulang,
kaya alkaline phosphatase dan dapat merespon produksi
maupun mineralisasi matriks. Pada akhir siklus remodelling,
osteoblast tetap berada di permukaan tulang baru, atau masuk
ke dalam matriks sebagai  osteocyte.
3. Osteocyte
Osteocyte berada di lakunare, fungsinya belum jelas.
Diduga di bawah pengaruh parathyroid hormon (PTH) berperan
pada resorbsi tulang (osteocytic osteolysis) dan transportasi ion
kalsium. Osteocyte sensitif terhadap stimulus mekanik dan
meneruskan rangsang (tekanan dan regangan) ini kepada
osteoblast.
4. Osteoclast

5
Osteoclast adalah mediator utama resorbsi tulang,
dibentuk oleh prekursor monosit di sumsum tulang dan bergerak
ke permukaan tulang oleh stimulus kemotaksis. Dengan
meresorbsi matriks akan meninggalkan cekungan di permukaan
tulang yang disebut Lakuna Howship.

Gambar 2.3 Histologi Tulang

Tulang secara periodik dan konstan memperbaharui diri melalui


suatu proses yang disebut remodeling. Remodeling tulang merupakan
suatu proses aktif dan dinamik yang mengandalkan pada keseimbangan
yang benar antara penyerapan tulang oleh osteoklas, yang dirangsang
oleh parathyroid hormone, dan deposisi tulang oleh osteoblas. Tulang
dibentuk oleh sel yang bersifat osteogenik yaitu

Osteoblas, yang merupakan sel pembentuk tulang, dan berfungsi


mensintesis jaringan kolagen dan komponen organic matriks. Osteoblas
dirangsang oleh hormone pertumbuhan, dan pada perkembangan
selanjutnya menjadi osteosit, yang merupakan sel tulang dewasa.

6
Gambar 2.4 Proses Remodeling Tulang

Osteoblas dan osteoklas, keduanya sama-sama berasal dari sum-


sum tulang. Osteoblas berasal dari sel stroma, yang merupakan suatu
jenis sel jaringan ikat di sum-sum tulang, sementara osteoklas merupakan
hasil diferensiasi dari makrofag. Osteoblas menghasilkan 2 signal kimiawi
yang mempengaruhi aktivitas dan perkembangan osteoklas, yaitu RANK
Ligand, dan Osteoprotegerin (OPG). Selain itu, osteoblas juga
menghasilkan M-CSF (Makrofag-Colony stimulating factor).
RANK Ligand meningkatkan aktivitas osteoklas. RANK Ligand
bersama dengan M-CSF mengikat RANK (Receptors Activated NF – κB)
yang terletak dipermukaan makrofag, dan kemudian menginduksi
diferensiasi makrofag menjadi osteoklas dan mempertahankannya dengan
cara menekan apoptosis
Osteopretegerin (OPG) memiliki efek yang berlawanan dengan
RANK Ligand, yaitu menekan aktivitas osteoklas. OPG bekerja dengan
mengikat RANK Ligand, sehingga tidak dapat berikatan dengan RANK
reseptor. Hal tersebut menyebabkan pembentukan matriks oleh osteoblas
meningkat, sementara penghancuran oleh osteoklas terhambat.

7
Gambar 2.5 Fisiologi
Pembentukan Tulang (Cummings, 2003)

2.2. Definisi Osteoporosis

Osteoporosis adalah suatu penyakit tulang yang ditandai dengan


adanya penurunan masa tulang dan perubahan struktur pada jaringan
tulang yang menyebabkan kerentanan tulang meningkat disertai
kecenderungan terjadinya fraktur, terutama pada proksimal femur, tulang
belakang dan tulang radius. Kata osteoporosis berasal dari bahasa Yunani
yang artinya ‘tulang’ dan ‘lubang’, menunjukkan pada kita bahwa tulang
yang terkena menjadi berlubang-lubang pada strukturnya. Meskipun
ukuran tulang ini tetap sama dan dari luar tampak normal, kecuali pada

8
vertebra yang hancur, sebenarnya bahan tulang sudah berkurang di
dalam komposisinya. Ini membuat tulang menjadi rapuh dan mudah patah
(Lane,2003).

2.3. Epidemiologi
Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki
dan merupakan problem pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di
klinik menjadi penting karena problem fraktur tulang, baik fraktur yang
disertai trauma yang jelas maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai
trauma yang jelas.
Di Amerika pada tahun 1995 patah tulang akibat osteoporosis
menduduki peringkat 1 dibanding penyakit lain, jumlah 1,5 juta pertahun
dengan patah tulang vertebra terbanyak (750 ribu),hip(250 ribu), wrist(250
ribu), fraktur lain ( 250 ribu) (Lane,2003).

2.4. Etiologi

Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu pembentukan massa


puncak tulang selama masa pertumbuhan dan meningkatnya
pengurangan masa tulang setelah menopause. Massa tulang meningkat
secara konstan dan mencapai puncak sampai usia 40 tahun, pada wanita
lebih muda sekitar 30-35 tahun. walaupun demikian tulang yang hidup
tidak pernah beristirahat dan akan selalu mengadakan remodelling dan
memperbarui cadangan mineralnya sepanjang garis beban mekanik.
Faktor pengatur formasi dan resorpsi tulang dilaksanakan melalui 2
proses yang selalu berada dalam keadaan seimbang dan disebut
coupling. Proses coupling ini memungkinkan aktivitas formasi tulang
sebanding dengan aktivitas resorpsi tulang. Proses ini berlangsung 12
minggu pada orang muda dan 16-20 minggu pada usia menengah atau
lanjut. Proses remodelling dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor
lokal yang menyebabkan terjadinya satu rangkaian kejadian pada konsep
Activation - Resorption - Formation (ARF). Proses ini dipengaruhi oleh
protein mitogenik yang berasal dari tulang yang merangsang preosteoblas
supaya membelah menjadi osteoblas akibat adanya aktivitas resorpsi oleh

9
osteoklas. Faktor lain yang mempengaruhi proses remodelling adalah
faktor hormonal. Proses remodelling akan ditingkatkan oleh hormon
paratiroid, hormon pertumbuhan. Sedang yang menghambat proses
remodelling adalah kalsitonin, estrogen dan glukokortikoid. Proses-proses
yang mengganggu remodelling tulang inilah yang menyebabkan
osteoporosis (Sinnathamby, 2010).

Selain gangguan pada proses remodelling tulang, faktor lainnya


adalah pengaturan metabolisme kalsium dan fosfat. Walaupun terdapat
variasi asupan kalsium yang besar, tubuh tetap memelihara konsentrasi
kalsium serum pada kadar yang tetap. Pengaturan homeostasis kalsium
serum pada kadar yang tetap. Pengaturan homeostasis kalsium serum
dikontrol oleh organ tulang, ginjal dan iusus melalui pengaturan paratiroid
hormon (PTH), hormon kalsitonin, kalsitriol dan penurunan fosfat serum.
Faktor lain yang berperan adalah hormon tiroid, glukokortikoid dan insulin,
vitamin C dan inhibitor mineralisasi tulang (pirofosfat dan pH darah).
Pertukaran kalsium sebesar 1.000 mg/ harinya antara tulang dan cairan
ekstraseluler dapat bersifat kinetik melalui fase formasi dan resorpsi
tulang yang lambat. Absorpsi kalsium dari gastrointestinal yang efisien
tergantung pada asupan kalsium harian, status vitamin D dan umur.
Didalam darah absorpsi tergantung kadar protein tubuh, yaitu albumin,
karena 50% kalsium yang diserap oleh tubuh terikat oleh albumin, 40%
dalam bentuk kompleks sitrat dan 10% terikat fosfat (Sinnathamby, 2010).

2.5. Faktor Resiko


1. Usia
Tiap peningkatan 1 dekade, resiko meningkat 1,4-1,8
2. Genetik
 Etnis (Kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia)
 Seks (wanita > pria)
 Riwayat keluarga
3. Lingkungan, dan lainnya
 Defisiensi kalsium

10
 Aktivitas fisik kurang
 Obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin,
siklosporin)
 Merokok, alkohol
 Resiko terjatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan,
licin, gangguan penglihatan)
 Hormonal dan penyakit kronik
o Defisiensi estrogen, androgen
o Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer,
hiperkortisolisme
o Penyakit kronik (sirosis hepatis, gangguan ginjal,
gastrektomi)
 Sifat fisik tulang
o Densitas (massa)
o Ukuran dan geometri
o Mikroarsitektur
o Komposisi
4. Faktor resiko fraktur panggul yaitu :
a. Penurunan respons protektif
 Kelainan neuromuscular
 Gangguan penglihatan
 Gangguan keseimbangan
b. Peningkatan fragilitas tulang
 Densitas massa tulang rendah
 Hiperparatiroidisme
c. Gangguan penyediaan energi
 Malabsorbsi (Lane,2003)

2.6. Klasifikasi Osteoporosis
1. Osteoporosis Primer

11
a. Osteoporosis primer tipe 1 adalah osteoporosis pasca
menopause. Pada masa menopause, fungsi ovarium
menurun sehingga produksi hormon estrogen dan
progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam
proses mineralisasi tulang dan menghambat resorpsi tulang
serta pembentukan osteoklas melalui produksi sitokin.
Ketika kadar hormon estrogen darah menurun, proses
pengeroposan tulang dan pembentukan mengalami
ketidakseimbangan. Pengeroposan tulang menjadi lebih
dominan (Wirakusumah, 2007)
b. Osteoporosis primer tipe II adalah osteoporosis senilis
yang biasanya terjadi lebih dari usia 50 tahun. Osteoporosis
terjadi akibat dari kekurangan kalsium berhubungan
dengan makin bertambahnya usia (Hortono, 2000).
c. Tipe III adalah osteoporosis idiopatik merupakan
osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahiu.
Osteoporosis ini sering menyerang wanita dan pria
yang masih dalam usia muda yang relative jauh lebih
muda (Hortono, 2000).
2. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder terjadi karena adanya penyakit
tertentu yang dapat mempengaruhi kepadatan massa tulang dan
gaya hidup yang tidak dapat mempengaruhi kepadatan massa
tulang dan gaya hidup yang tidak sehat. Faktor pencetus dominan
osteoporosis sekunder adalah seperti dibawah
(Wirakusumah,2007) :
a. Penyakit endokrin : tiroid, hiperparatiroid, hipogonadisme
b. Penyakit saluran cerna yang menyebabkan absorbsi gizi
kalsium, fosfor,vitamin D terganggu
c. Penyakit kegansan (kanker)
d. Konsumsi obat-obatan seperti kortikosteroid

12
e. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang
olahraga.

2.7. Patogenesis

Pembentukan ulang tulang adalah suatu proses yang terus


menerus. Pada osteoporosis, massa tulang berkurang, yang menunjukkan
bahwa laju resorpsi tulang pasti melebihi laju pembentukan tulang.
Pembentukan tulang lebih banyak terjadi pada korteks (Sinnathamby,
2010).

1) Proses Remodelling Tulang dan Homeostasis Kalsium


Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang
terdiri dari substansi organik (30%) dan substansi mineral yang
paling banyak terdiri dari kristal hidroksiapatit (95%) serta sejumlah
mineral lainnya (5%) seperti Mg, Na, K, F, Cl, Sr dan Pb. Substansi
organik terdiri dari sel tulang (2%) seperti osteoblas, osteoklas dan
matriks tulang (98%) terdiri dari kolagen tipe I (95%) dan protein
nonkolagen (5%) seperti osteokalsin, osteonektin, proteoglikan
tulang, protein morfogenik tulang, proteolipid tulang dan
fosfoprotein tulang.
tanpa matriks tulang yang berfungsi sebagai perancah,
proses mineralisasi tulang tidak mungkin dapat berlangsung.
Matriks tulang merupakan makromolekul yang sangat bersifat
anionik dan berperan penting dalam proses kalsifikasi dan fiksasi
kristal hidroksi apatit pada serabut kolagen. Matriks tulang tersusun
sepanjang garis dan beban mekanik sesuai dengan hukum Wolf,
yaitu setiap perubahan fungsi tulang akan diikuti oleh perubahan
tertentu yang menetap pada arsitektur internal dan penyesuaian
eksternal sesuai dengan hukum matematika. Dengan kata lain,
hukum Wolf dapat diartikan sebagai bentuk akan selalu mengikuti
fungsi (Sinnathamby, 2010).

13
2) Patogenesis Osteoporosis Primer
Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat,
terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga insiden
fraktur, terutama fraktur vetebra dan radius distal meningkat.
Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh
bone marrow stromal cells dan sel - sel mononuklear, seperti IL-1,
IL-6 dan TNF-α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas,
dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause
akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga
aktivitas osteoklas meningkat.
Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat
menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita
menopause, sehingga osteoorosis akan semakin berat/ Pada
menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium
serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma,
meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga
meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar
kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat
pada menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi,
sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik (Sinnathamby, 2010).
3) Patogenesis Osteoporosis Sekunder
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang
spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar
58%. Pada dekade ke 8 dan 9 kehidupannya, terjadi
ketidakseimbangan remodelling tulang, dimana resorpsi tulang
meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun.
Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan
mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur.
Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan
pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan
vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorbsi dan paparan sinar
matahari yang rendah. Defisiensi vitamin K juga akan

14
menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi
protein misalnya osteokasin. Penurunan kadar estradiol dibawah
40pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis, karena
laki-laki tidak pernah mengalami menopause (penurunan kadar
esterogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang
besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan
bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun
sedangkan SHBG akan meningkatkan pengikatan esterogen dan
testosteron membentuk kompleks yang inaktif.
Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan
massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan
(merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama). Resiko fraktur
yang juga harus diperhatikan adalah resiko terjatuh yang lebih
tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini
berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan
keseimbangan dan stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai
yang licin atau tidak rata (Sinnathamby, 2010).

2.8. Manifestasi Klinik


Mengungkapkan gejala terjadinya osteoporosis agak sulit untuk
dilakukan sebab penyakit osteoporosis terjadi secara diam-diam.
Berkurangnya massa tulang dan tulang menjadi rapuh baru
disadari setelah timbul dampak seperti (Sinnathamby, 2010) :
a. Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata.
b. Nyeri timbul mendadak.
c. Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang.
d. Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur.
e. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika
melakukan aktivitas.
f. Deformitas vertebra thorakalis  Penurunan tinggi badan

15
2.9. Diagnosis

Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai, karena


tidak ada rasa nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau
osteoporosis lanjut. Khususnya pada wanita-wanita menopause dan
pasca menopause, rasa nyeri di daerah tulang dan sendi dihubungkan
dengan adanya nyeri akibat defisiensi estrogen. Masalah rasa nyeri
jaringan lunak (wallaca tahun 1981) yang menyatakan rasa nyeri timbul
setelah bekerja, memakai baju, pekerjaan rumah tangga, taman dll. Jadi
secara anamnesa mendiagnosis osteoporosis hanya dari tanda sekunder
yang menunjang terjadinya osteoporosis seperti (Hortono, 2000) :

1. Tinggi badan yang makin menurun


2. Obat-obatan yang diminum
3. Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi,
klimakterium.
4. Jumlah kehamilan dan menyusui
5. Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi
6. Apakah sering beraktivitas di luar rumah, sering mendapat paparan
matahari cukup
7. Apakah sering minum susu, asupan kalsium lainnya
8. Apakah sering merokok, minum alkohol

Pemeriksaan Fisik

Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita
osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan penderita osteoporosis,
deformitas tulang, nyeri spinal. Penderita dengan osteoporosis sering
menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi badan
(Hortono, 2000).

Pemeriksaan Radiologi

Gambaran radiologi yang khas pada osteoporosis adalah penipisan


korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada

16
tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra
(Hortono, 2000).

Pemeriksaan Densitas Massa Tulang (Densitometri)

Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan


resiko fraktur untuk menilai hasil pemeriksaan densitometri tulang,
digunakan kriteria kelompok kerja WHO, yaitu:

1. Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai


densitas massa tulang orang dewasa muda (T-score)
2. Osteopenia bisa densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD
dari T-score
3. Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau
kurang
4. Osteoporosis berat yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur.

2.10. Penatalaksanaan

Terapi pada osteoporosis harus mempertimbangkan 2 hal, yaitu


terapi pencegahan yang pada umumnya bertujuan untuk menghambat
hilangnya massa tulang. Dengan cara yaitu memperhatikan faktor
makanan, latihan fisik (senam pencegahan osteoporosis), pola hidup yang
aktif dan paparan sinar ultra violet. Selain itu juga menghindari obat-
obatan dan jenis makanan yang merupakan faktor resiko osteoporosis
seperti alkohol, kafein, diuretika, sedatif, kortikosteroid.

Selain pencegahan, tujuan terapi osteoporosis adalah


meningkatkan massa tulang dengan melakukan pemberian obat-obatan
antara lain hormon pengganti (estrogen dan progesterone dosis rendah).
Kalsitriol, kalsitonin, bifosfat, reloxifene, dan nutrisi seperti kalsium serta
senam beban. Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila
terjadi fraktur, terutama bila terjadi fraktur panggul.

17
2.11. Pencegahan

Pencegahan osteoporosis meliputi (Hortono, 2000):

1. Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dengan


mengkonsumsi kalsium yang cukup
Mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yangcukup sangat
efektif, terutama sebelum tercapainya kepadatan tulang maksimal
(sekitar umur 30 tahun). Minum 2 gelas susu dan tambahan vitamin
D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang pada wanita
setengah baya yang sebelumnya tidak mendapatkan cukup
kalsium.
2. Melakukan olah raga dengan beban
Olahraga beban (misalnya berjalan dan menaiki tangga)
akan meningkatkan kepadatan tulang.
3. Mengkonsumsi obat (untuk beberapa orang tertentu)
Estrogen membantu mempertahankan tulang pada wanita
dan sering diminum bersamaan dengan progesteron. Terapi sulih
estrogen paling efektif dimulai dalam 4-6 tahun setelah menopause,
tetapi jika baru dimulai lebih dari 6 tahun setelah menopause,
masih bisa memperlambat kerapuhan tulang dan mengurangi
resiko patah tulang. Raloksifen merupakan obat menyerupai
estrogen yang baru, yang mungkin kurang efektif daripada estrogen
dalam mencegah kerapuhan tulang, tetapi tidak memiliki efek
terhadap payudara atau rahim. Untuk mencegah osteoporosis,
bifosfonat (contohnya alendronat), bisa digunakan sendiri atau
bersamaan dengan terapi sulih hormon.

18
BAB 3
TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK

3.1. Terapi Hiperbarik Oksigen


3.1.1 Pengertian
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang
masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih
dari 1 Atmosfer (Atm) terhadap tubuh dan aplikasinya untuk
pengobatan (Hariyanto et al, 2009).

Kesehatan hiperbarik, khususnya terapi oksigen hiperbarik


merupakan terapi yang sudah banyak digunakan untuk penyakit
penyelaman maupun penyakit bukan penyelaman baik sebagai
terapi utama maupun terapi tambahan (Hariyanto et al, 2009).

Yang dimaksud dengan terapi oksigen hiperbarik adalah


tindakan pengobatan dimana pasien menghirup oksigen murni
(100%) secara berkala ketika menyelam atau di dalam ruang udara
yang bertekanan tinggi (RUBT) dengan tekanan lebih besar
daripada 1 ATA ( Atmosfir Absolut) (Gill dan Bell, 2004; Hariyanto
et al, 2009).

Tekanan 1 atmosfer (760 mmHg) adalah tekanan udara


yang dialami oleh semua benda, termasuk manusia, diatas
permukaan laut, bersifat tetap dari semua jurusan dan berada
dalam keseimbangan (Hariyanto et al, 2009).

Meskipun banyak keuntungan dari terapi oksigen hiperbarik


yang dapat diperoleh, cara ini pun juga mengandung resiko. Sebab
itu terapi oksigen harus dilaksanakan secara hati-hati sesuai
prosedur yang berlaku, sehingga mencapai hasil yang maksimal
dengan resiko minimal (Hariyanto et al, 2009).

19
3.1.2 Hyperbarik chamber
Terapi oksigen hiperbarik pada suatu ruang hiperbarik
(hyperbaric chamber) yang dibedakan menjadi 2, yaitu:

- Monoplace : pengobatan satu penderita


- Multiplace : pengobatan untuk beberapa penderita pada
waktu bersamaan dengan bantuan masker tiap pasiennya
Pasien dalam suatu ruangan menghisap oksigen 100%
bertekanan tinggi > 1 ATA. Tiap terapi diberikan selama 2-3 ATA,
menghasilkan 6 ml oksigen terlarut dalam 100 ml plasma, dan
durasi rata-rata terapi 60-90 menit. Jumlah terapi bergantung dari
jenis penyakit. Untuk akut sekitar 3-5 kali dan untuk kasus kronik
bisa mencapai 50-60 kali. Dosis yang digunakan pada perawatan
tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman untuk pasien dan
mempunyai efek imunosupresif (Adityo, 2015).

Gambar 3.1 Hiperbarik Chamber

3.1.3 Hukum- Hukum Fisika dalam Terapi Hiperbarik


Penggunaan oksigen hiperbarik menerapkan berbagai hukum
fisika. Prinsip-prinsip hukum fisika seperti hukum Boyle, Dalton, dan Henry
digunakan sebagai dasar dalam terapi oksigen hiperbarik.
a. Hukum Boyle

20
Hukum Boyle menjelaskan tentang hubungan tekanan gas dan
volume gas. Tekanan gas berbanding terbalik dengan volume gas. Bila
tekanan semakin besar maka volume akan semakin kecil. Prinsip ini
digunakan pada kasus-kasus penyakit dekompresi dan emboli gas. Pada
penyakit dekompresi, terjadi gelembung-gelembung nitrogen (nitrogen
bubbles) sehingga terjadi penyumbatan pembuluh darah akibat
gelembung ini. Pada jaringan-jaringan juga terbentuk gelembung nitrogen
sehingga timbul nyeri pada jaringan, secara klinis tampak pada
persendian. Emboli gas adalah gelembung gas yang berjalan di pembuluh
darah, dan bila mencapai pembuluh darah kecil akan menyumbat
pembuluh darah. Penyumbatan pembuluh darah pada otak berakibat
stroke, pada jantung berakibat penyakit jantung koroner, pada ginjal
menjadi gagal ginjal akut, pada paru menjadi gagal napas. Volume
gelembung gas baik nitrogen ataupun gas lainnya dapat mengecil bila
dalam lingkungan dengan tekanan atmosfer yang lebih tinggi. Terapi
oksigen hiperbarik dapat memperkecil ukuran atau volume gelembung gas
sehingga terhindar dari masalah penyumbatan pembuluh darah.
Gelembung gas tersebut secara perlahan akan dimetabolisme atau
dibuang dari tubuh melalui pernapasan (wash out) (Medicinfo, 2014).

Gambar 3.2 Hukum Boyle

b. Hukum Dalton
Hukum Dalton menjelaskan tentang konsentrasi gas sebanding
dengan tekanan parsial gas tersebut. Bila tekanan gas semakin tinggi

21
maka konsentrasi gas tersebut juga semakin tinggi. Dengan memakai
oksigen 100%, dan tekanan lebih dari 1 ATA maka kadar oksigen di dalam
tubuh akan meningkat. Kebutuhan oksigen dapat tercukupi sehingga
seolah-olah tubuh tidak membutuhkan Hb untuk suplai oksigen ke seluruh
tubuh. Hal ini sangat bermanfaat pada kasus-kasus perdarahan masif,
anemia, thalasemia, atau kelainan sel darah merah. Pada kasus geriatri,
para lansia mengalami kekurangan oksigen sebab fungsi paru yang
menurun, pembuluh darah yang kurang baik (aterosclerosis), kekentalan
darah meningkat, sehingga terjadi gangguan pada organ-organ. Terapi
oksigen hiperbarik bermanfaat untuk para lansia dalam mengembalikan
kadar oksigen tubuh sehingga regenerasi sel dan jaringan menjadi lebih
baik (Medicinfo, 2014).

Gambar 3.3 Hukum Dalton


c. Hukum Henry
Hukum Henry menjelaskan tentang pengaruh tekanan gas pada
kelarutan gas dalam cairan. Dengan pemberian tekanan yang lebih tinggi
maka kelarutan gas akan semakin tinggi. Prinsip ini dipakai pada kasus
pembengkakan jaringan, penyumbatan pembuluh darah. Kasus patah
tulang atau dislokasi sendi mengakibatkan pembengkakan jaringan
sehingga oksigen dari pembuluh darah nadi tidak mampu mencapai sel-
sel. Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan kelarutan oksigen sehingga
mampu mencapai sel-sel. Dengan peningkatan sampai 3 ATA maka
kemampuan difusi oksigen menjadi 4 kali bila dibandingkan pada tekanan

22
1 ATA. Hal ini dapat menyelamatkan jaringan supaya tetap hidup
(Medicinfo, 2014).

Gambar 3.4. Hukum Henry

3.1.4 Mekanisme Kerja dan manfaat Terapi Oksigen Hiperbarik


Pasien akan dimasukkan ke dalam sebuah chamber bertekanan
udara dua hingga tiga kali lebih tinggi dari tekanan udara atmosfer normal
sambil diberikan pernapasan oksigen murni (100%) selama satu hingga
dua jam. Selama proses terapi pasien diperbolehkan untuk membaca,
minum, atau makan untuk menghindari trauma pada telinga akibat
tingginya tekanan udara.
Terapi oksigen hiperbarik dapat menimbulkan efek terapi melalui berbagai
mekanisme seperti:
a. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh,
bahkan pada aliran darah yang berkurang
b. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk
meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang
c. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti
Closteridium perfingens (penyebab penyakit gas gangren)
d. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) antara lain
bakteri E. coli dan Pseudomonassp. yang umumnya ditemukan
pada luka-luka mengganas.

23
e. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin.
f. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan
hidup.
g. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi
20 menit pada penyakit keracunan gas CO
h. Dapat mempercepat proses penyembuhan pada pengobatan medis
konvensional
i. Meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu
j. Memperbaiki fungsi ereksi pada pria penderita diabetes (laporan
para ahli hiperbarik di Amerika Serikat pada tahun 1960)
k. Meningkatkan sensitivitas sel terhadap radiasi
l. menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen yang
menjaga elastisitas kulit
badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup
meningkat, tidur lebih enak dan pulas (Oktaria, 2014).

3.1.5 Indikasi Oksigen Hiperbarik


Kelainan atau penyakit yang merupakan indikasi terapi oksigen
hiperbarik diklasifikasikan menurut kategorisasi yang dibuat oleh The
Committee of Hyperbaric Oxygenation of the Undersea and Hyperbaric
Medical Society ialah sebagai berikut :

a. Luka yang tidak sembuh-sembuh, skin graft


b. Cedera karena kecelakaan , compartmen syndrome, trauma
iskemik
c. Gas gangren / infeksi clostridial myonecrosis
d. Operasi plastik dan rekronstruktif
e. Infeksi jaringan lunak yang nekrotik
f. Orthopedi : non union bone, bone graft, osteoradionecrosis
g. Penyakit vaskular perifer : syok, iskemik myocardial, operasi
jantung
h. Neurologi : stroke, multiple sklerosis, migrain, cerebral edem,
multi infark dementia

24
i. Hematology : anemia karena banyak kehilangan darah
j. Opthalmology : penyempitan arteri centralis
k. Gastrointestinal : gastric ulcer, hepatitis
l. Sudden deafness
m. Emboli gas atau udara
n. Decompression sickness
o. Keracunan karbon monoksida, cyanida, hidrogen sulfida
Lung disease : absess paru, emboli pulmo (Jain, 2009).

3.1.6 Kontraindikasi Oksigen Hiperbarik


Kontraindikasi absolut : Pneumothorak yang tidak di terapi
Kontraindikasi relatif :
a. Mempunyai riwayat pneumothorak spontan
b. Sinusitis berat
c. Infeksi pernafasan atas
d. Dalam foto thorak terdapat lesi paru yang asymtomatik
e. Demam tinggi yang tidak terkontrol (> 39)
f. Mempunyai riwayat operasi telinga atau thorak
g. Congenital spherocytosis
h. Kelainan darah
i. Kejang
j. Riwayat neuritis optik atau sudden blindness
k. Infeksi telinga tengah
l. Kehamilan
m. Penggunaan nikotin
n. Claustrofobia
Emfisema dengan retensi CO2 (Jain, 2009).

3.1.7 Komplikasi
Ketika digunakan dalam protokol standar tekanan yang tidak
melebihi 3 ATA ( 300 kPa ) dan durasi pengobatan kurang dari 120 menit,
terapi oksigen hiperbarik aman. Efek samping yang paling umum adalah:

25
a. Barotrauma telinga
Sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menyamakan
tekanan di kedua sisi membran timpani akibat tuba eustachius tertutup.
Barotrauma telinga tengah dan sinus dapat dicegah dengan teknik
ekualisasi, dan otitis media dapat dicegah dengan pseudoephidrine.
Barotrauma telinga dalam sangat jarang, tapi jika membran timpani
ruptur dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, tinnitus
dan vertigo.

b. Barotrauma paru
Pneumotoraks dan emboli udara lebih berbahaya pada terapi
ini. komplikasi akibat robek di pembuluh darah paru karena perubahan
tekanan, tapi jarang terjadi.

c. Barotrauma dental
Menyebabkan nyeri pada gigi yang berlubang akibat penekanan
saraf.

d. Toksisitas oksigen
Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas selama lima
menit udara biasa di ruang udara bertekanan tinggi untuk setiap 30
menit oksigen . Hal ini memungkinkan antioksidan untuk menetralisir
radikal oksigen bebas yang terbentuk selama terapi.

e. Gangguan neurologis
Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat tingginya kadar
O2.

f. Fibroplasia retrolental
Tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan
penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bayi prematur
secara teori dapat terjadi fibroplasia retrolental.

g. Katarak

26
Komplikasi ini jarang terjadi. Menyebabkan pandangan
berkabut.

h. Transientmiopia reversibel
Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terapi HBO berkepanjangan
yang menyebabkan perubahan bentuk/deformitas dari lensa. (Gill dan
Bell, 2004).

27
BAB 4

PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP


OSTEOPOROSIS

4.1 Terapi Hiperbarik Oksigen

Terapi oksigen hiperbarik adalah tindakan pengobatan dimana


pasien menghirup oksigen murni (100%) secara berkala ketika menyelam
atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) dengan
tekanan lebih besar daripada 1 ATA (Na, 2014).

4.2 Mekanisme Hiperbarik Oksigen Pada Osteoporosis

Terapi HBO berhubungan dengan pemberian oksigen 100% pada


tekanan diatas tekan normal (1ata). Terdapat efek beruapa vasokontriksi.
HBO menurunkan edema jaringan. Efek yang paling cepat adalah
penekanan dari edema, penurunan tekanan interosseous, perbaikan dari
venous drainage, dan secara cepat memperbaiki microcirculation. Karena
pad TOH ( Transient Osteoporosis of Hip) tanda-tanda awal yang paling
banyak ditemukan adalah bone marrow edema, HBO terapi dianggap
dapat memberikan hasil yang dapat memuaskan.

4.3 Hubungan hyperbaric pada osteogenesis

Pada kondisi metabolik dengan nilai oksigen yang normal dan juga
kondisi yang seimbang osteoblast dan osteoclast akan berada jumlah
yang sama. Tetapi apabila terjadi hypoxia (karena iskemia, masalah
anatomi, fungsi, atau karena metabolisme yang tidak stabil. Berdasarkan
hubungan antara oksigen dan ossifikasi tulang, ossifikasi tulang
berdasarkan 2 proses, sintesis dari organic matriks oleh osteoblast,
langsung diikuti oleh kalsifikasi pada matriks oleh osteoclast. Tulang
tumbuh berdasarkan peran dari kedua proses tersebut. Kedua proses
tersebut membutuhkan jumlah oksigen yang mencukupi. Hypoksia mudah
terjadi pada jaringan tulang dibandingkan jaringan yang lain, sedangkan
vascular regenerasi lebih sulit di tulang dari pada jaringan lainnya. Pada

28
saat kandungan oksigen menurun, kerja dari osteoblast tidak dapat
maksimal, sedangkan hal tersebut tidak mempengaruhi kerja dari
osteoclast, sehingga terjadi ketidak seimbangan dari kedua proses
tersebut. Adanya hiperoksidasi sendiri membuat suplai oksigen menuju ke
tulang kembali baik, sehingga terjadi keseimbangan pada jumlah
osteoblast dan osteoclast.

29
DAFTAR PUSTAKA

Adityo Wibowo, 2015, Oksigen Hiperbarik : Terapi Percepatan


Penyembuhan Luka, volume 5 number 9, Universitas Lampung,
<http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/juke/article/viewFile/645/649>

Gill AL 2004 Hyperbaric oxygen: its uses, mechanisms of action and


outcomes http://qjmed.oxfordjournals.org/content/97/7/385.2.full

Hariyanto et al, 2009, Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik,


LAKESLA, Surabaya

Hortono, M, 2000. Mencegah dan mengatasi Osteoporosis. Puspa Swara.


Jakarta.

Jain K.K. 2009. Textbook of Hiperbaric Medicine, Edisi 5.

Lane NE. 2003. Osteoporosis. Jakarta. Raja Grafindo Persada

Medicinfo. 2014. Hukum Fisika Dalam Terapi Oksigen Hiperbarik. Dikuti


dari:
http://indonesianhbot.blogspot.com/2012/05/hukum-fisika-dalam-
terapi- oksigen.html

Oktaria, Salma. 2014. Terapi Oksigen Hiperbarik, Perhimpunan


Kesehatan Hiperbarik Indonesia.Dikutip dari:
http://pkhi.blogspot.com/p/artikel.html

Sinnathamby, Hemanath. 2010. Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan


Sikap Terhadap Osteoporosis Dan Asupan Kalsium Pada Wanita
Premenopause Di Kecamatan Medan Selayang Ii. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

30
Sudoyo, Setiyohardi, Alwi, Smadibrata, setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI.

Wirakusumah, E.S., 2007. Mencegah Osteoporosis Lengkar Dengan 39


Jus dan 38 Resep. Available at url :http://books.google.co.id/books?
id=voPEmYEwjXwC&pg=PA1&dq=osteoporosis#PPP1M1.[Diskes 10 Juni
2011]

31

Anda mungkin juga menyukai