EPILEPSI IDIOPATIK
Oleh
Ayu Anisa
1608437644
Pembimbing
STATUS PASIEN
Nama koass Ayu Anisa
NIM 1608437644
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Tn. Y
Umur 39 tahun
Jenis kelamin Laki-laki
Alamat Jl. Soekarno Hatta Kota Dumai
Agama Islam
Status perkawinan Kawin
Pekerjaan Petani
Tanggal masuk RS 28 Februari 2018
Medical record 98 0x xx
II. ANAMNESIS
Auto & Alloanamnesis 02 Maret 2018
Keluhan utama
Kejang berulang sejak ± 1 bulan SMRS.
1
Kejang terjadi mendadak, kejang seperti kaku dan kelonjotan pada seluruh
anggota gerak, mata melirik keatas, tampak pucat dan berkeringat, lidah tidak
tergigit dan tidak keluar busa dari mulut. Pada saat kejang pasien dalam keadaan
berbaring dan tidak sadarkan diri, setelah kejang pasien langsung tertidur. Ketika
pasien bangun, pasien tampak kebingungan selama beberapa saat kemudian
kembali sadar dan dapat kembali berkomunikasi seperti biasa. Sebelum
mengalami kejang pasien sering merasa nyeri pada seluruh bagian kepala
terutama dalam 1 bulan terakhir.
Tidak ada keluhan mual atau muntah, tidak ada kelemahan anggota gerak,
tidak ada demam, tidak sedang terpengaruh obat atau alkohol. Kemudian pasien
berobat ke RSUD Dumai dan akhirnya dirujuk ke RSUD AA untuk melakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
2
Resume anamnesis
Tn. Y, usia 39 tahun, datang ke RSUD Arifin Achmad dengan keluhan
kejang berulang 8 kali, selama ± 5 menit, interval antar kejang lebih dari 24 jam.
Kejang terjadi mendadak, saat sedang istirahat, tidak sadarkan diri, pasien tiba-
tiba kejang seperti kaku dan kelonjotan pada seluruh anggota gerak, mata melirik
keatas, pucat dan berkeringat. Sebelum kejang, ada nyeri pada seluruh bagian
kepala terutama dalam 1 bulan terakhir. Riwayat kejang sebelumnya pada usia 1
tahun 6 bulan dan usia 7 tahun dengan kejang yang sama seperti yang dirasakan 1
bulan terakhir ini.
B. Status neurologik
1) Kesadaran : Komposmentis Kooperatif , GCS 15(E4M6V5)
2) Fungsi luhur : Tidak terganggu
3) Kaku kuduk : Tidak Ditemukan
4) Saraf kranial
1. N. I (Olfactorius)
Kanan Kiri Keterangan
Daya pembau Normal Normal Normal
3
2. N. II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal Normal
Pengenalan warna Normal Normal
3. N. III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis (-) (-)
Pupil
Normal
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran ∅2 mm ∅2 mm
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Normal Normal
Refleks pupil
Normal
Langsung (+) (+)
Tidak langsung (+) (+)
4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Normal Normal Normal
5. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Normal Normal
Sensibilitas Normal Normal Normal
Refleks kornea (+) (+)
6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Normal Normal
Strabismus (-) (-) Normal
4
Deviasi (-) (-)
7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Tic (-) (-)
Motorik
Mengerutkan dahi Normal Normal
Mengangkat alis Normal Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Sudut mulut Normal Normal
Lipatan nasolabial Normal Normal
Kanan Kiri Keterangan
Daya perasa Normal Normal
Normal
Tanda chvostek (-) (-)
8. N. VIII (Akustikus)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran Normal Normal Normal
9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus faring Normal Normal
Daya perasa Normal Normal Normal
Refleks muntah Normal Normal
10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus faring Normal Normal
Normal
Dysfonia (-) (-)
5
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Normal Normal
Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
6
V. SISTEM SENSORIK
Kanan Kiri Keterangan
Raba Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Normal
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Proprioseptif Normal Normal
VI. REFLEKS
Kanan Kiri Keterangan
Refleks Fisiologis
Biseps (+) (+) Normal
Triseps (+) (+)
Kanan Kiri Keterangan
Refleks fisiologis
KPR (+) (+) Normal
APR (+) (+)
Refleks patologis
Babinski (-) (-)
Chaddock (-) (-) Refleks patologis
Hoffman-Tromer (-) (-) dan primitif tidak
Refleks primitif ditemukan
Palmomental (-) (-)
Snout (-) (-)
7
SISTEM OTONOM
Miksi : normal
Defekasi : normal
X. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis : Epilepsi idiopatik
Diagnosis topik : Intrakranial
8
Diagnosis etiologi : Idiopatik
Diagnosis banding : Epilepsi simptomatik
XII. TATALAKSANA
Umum :
Airway management
Nasal canul oksigen 2-4 liter/menit
Tirah baring
Khusus :
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Anti konvulsan : Phenitoin 2x100 mg per IV
Gastric protector : Injeksi ranitidin 2 x 50 mg
9
Fungsi Hati (01 Maret 2018)
- SGOT : 9 U/L
- SGPT : 20 U/L
CT Scan kepala tanpa kontras ( 01 Maret 2018)
Hasil :
Dalam batas normal.
Tidak ditemukan massa
atau perdarahan dalam
CT Scan ini.
XV. FOLLOW-UP
10
- Koordinasi : normal
- Otonom : normal
- Refleks fisiologis : + +
+ +
- Refleks patologis : tidak ditemukan
A : Epilepsi idiopatik
P : IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Phenitoin 2x100 mg per IV
Injeksi ranitidin 2 x 50 mg
11
Tanggal 04 Maret 2018
S : kejang (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-)
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : CM, GCS 15
Tekanan darah : 110/70 mmHg Respirasi : 20x/menit
Frekuensi nadi : 88x/menit Suhu : 36,3oC
Status generalis dalam batas normal
Status neurologis
- N. cranialis : normal
- Motorik : 5 5
5 5
- Sensorik : normal
- Koordinasi : tidak dilakukan
- Otonom : normal
- Refleks fisiologis : + +
+ +
- Refleks patologis : tidak ditemukan
A : Epilepsi idiopatik
P : IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Phenitoin 2x100 mg per IV
Injeksi ranitidin 2 x 50 mg
Pasien direncanakan pulang
12
DISKUSI
Definisi
Definisi operasional:
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan:
1. Minimal 2 bangkitan tanpa provokasi/bangkitan refleks dengan jarak antar
bangkitan lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi/bangkitan refleks dengan lemungkinan
besar berulang (misalkan bangkitan dengan riwayat stroke, infeksi otak,
cedera kepala, tumor otak, dysplasia kortikal fokal, terdapat gelombang
epileptogenik pada EEG).1
Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut
sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang
fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua,
yaitu :3
13
e. Tumor (Neoplasma) e. kejang fotosensitif
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis
Patofisiologi
Serangan epilepsi disebabkan adanya proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi gangguan fungsi neuron.
Neurotransmiter eksitasi yaitu glutamat, aspartat dan asetilkolin, sedangkan
neurotransmiter inhibisi yang paling dikenal adalah gamma amino butyric acid
(GABA) dan glisin. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai
potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan
mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan
listrik.4
Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi. Kejang dapat dipicu oleh
eksitasi ataupun inhibisi pada sel saraf. Glutamat yang dilepaskan dari
terminal presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat yang disebut
reseptor inotropik glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe
yaitu NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan non-NMDA (kainate dan
amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxasole propionic acid atau AMPA). Ikatan
glutamat dengan reseptor non-NMDA akan menghasilkan neurotransmisi
eksitasi tipe cepat yang disebut excitatory postsynaptic potential (EPSP).
Sementara itu, ikatan glutamat dengan reseptor NMDA akan
menghasilkan tipe EPSP yang lebih lambat.4
Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi. Neurotransmitter inhibisi
primer pada otak adalah GABA. GABA yang dilepaskan akan berikatan
dengan reseptor GABAA dan menyebabkan masuknya ion Cl- ke dalam
sel neuron. Masuknya ion Cl ini akan meningkatkan muatan negatif dalam
neuron postsinaps dan mengakibatkan hiperpolarisasi, perubahan pada
potensial membran ini disebut inhibitory postsinaptic potential (IPSP).
Reseptor GABAB terletak pada terminal presinaptik dan membran
postsinaptik.
14
Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik maka reseptor
GABAB akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan cetusan
elektrik sel saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan
mengakibatkan eksitasi dan mencetuskan epilepsi.4
Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan secara sistematis dengan 3 langkah, yaitu:
1. Langkah pertama, melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus,
diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang
diperoleh dari anamnesis yang mencakup autoanamnesis maupun
alloanamnesis berupa:
a. Jenis kejang
b. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
bangkitan
c. Gejala sebelum, selama dan sesudah kejang
d. Ada penyakit lain yang disertai serangan, maupun riwayat penyakit
neurologis, riwayat penyakit psikiatri maupun penyakit sistemik
yang mungkin jadi penyebab.
e. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
bayi atau anak
f. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi
g. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
h. Riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dan lain-lain
j. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologi lain, penyakit
psikiatrik atau iskemik
15
Dengan gejala motorik
Dengan gejala somatosensorik
Dengan gejala otonom
Dengan gejala psikis.
b. Bangkitan parsial kompleks
Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder.
Parsial sederhana yang menjadi umum,
Parsial kompleks menjadi umum
Parsial sederhana yang menjadi kompleks lalu menjadi umum.
2. Bangkitan umum
a. Bangkitan lena (absence). Ciri khas serangan lena adalah durasi
singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering,
terkadang disertai gerakan klonik padamata, dagu dan bibir.
b. Bangkitan mioklonik yaitu kejang mioklonik adalah kontraksi
mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah,
batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat
berulang atau tunggal.
c. Bangkitan tonik merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan
ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola
mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh.
Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat
bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan
pupil dilatasi.
d. Bangkitan atonik yaitu berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara
fragmentasi hanya kepala jatuh kedepan atau lengan jatuh tergantung
atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh.
e. Bangkitan klonik. Pada tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya
terjadi kejang kelojotan.
16
f. Bangkitan tonik-klonik yaitu suatu kejang yang diawali dengan tonik,
sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik.
17
menentukan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan
tertentu dapat membantu menentukan prognosis dan menentukan perlu
atau tidaknya pengobatan dengan OAE.
Pemeriksaan CT scan dan MRI, meningkatkan kemampuan dalam
mendeteksi lesi epileptogenik diotak. Dengan MRI beresolusi tinggi
berbagai macam lesi patologi dapat terdiagnosis secara non invasif,
misalnya nesial temporal sklerosis, glioma, ganglioma, malformasi
kavernosus, DNET. Ditemukanya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi
pada epilepsi yang refrakter terhadsap OAE.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan hemtologik mencakup hemoglobin, leukosit,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit. Pemeriksaan
ini dilakukan pada awal pengobatan beberapa bulan kemudian
diulang bila timbul gejala klinik dan rutin setiap tahun sekali.
Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai
steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien.
Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan ini timbul lagi, atau bila
timbul gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau saat
melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat fisiologi pada tubuh
pasien.8,10
Tatalaksana
Terapi pendahuluan
Yang dimaksud dengan terapi pendahuluan adalah pemberian satu obat anti
epilepsi (OAE) pilihan utama sesuai bentuk bangkitan/kejang epileptik dari dosis
awal sampai tercapai dosis rumatan.1,2
Tujuan terapi
Bebas bangkitan, tanpa efek samping obat anti epilepsi.1,2
18
Prinsip terapi pada pasien epilepsi antara lain :11,12,13
1. OAE diberikan apabila :
- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan.
- Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari.
- Terdapat minimal 2 bangkitan dalam satu tahun.
- Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan.
- Pasien dan keluarga sudah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
obat.
2. Terapi dimulai dengan mono terapi, penggunaan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
19
Tipe obat antiepileptik
Pemilihan OAE berdasarkan tipe kejang epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE,
profil farmakologi dan interaksi antara OAE.5
Bangkitan Bangkitan
Bangkitan Bangkitan Bangkitan
OAE umum tonik
fokal lena Mioklonik
Phenytoin + (A) sekunder
+ (A) klonik
+ (C) - -
Carbamazepine + (A) + (A) + (C) - -
Valproic acid + (B) + (B) + (C) + (A) +(D)
Phenobarbital + (C) + (C) + (C) 0 +
Gabapentin + (C) + (C) + (D) 0 -
Lamotrigine + (C) + (C) + (C) + (A) +/-
Topiramate + (C) + (C) + (C) + (D)
Zonisamide + (A) + (A) + + +
Levetiracetam + (A) + (A) + (D) + +
Oxcarbamazepine + (C) + (C) + (C) - -
Clonazepam + (C) - - - -
Tingkat kepercayaan :
A: efektif sebagai monoterapi
B: sangat mungkin efektif sebagai monoterapi
C: mungkin efektif sebagai monoterapi
D: berpotensi efektif sebagai monoterapi
20
DASAR DIAGNOSIS
21
Hal ini disebabkan karena pada epilepsi adanya penyakit yang
mencetuskan seperti cedera kepala, riwayat infeksi SSP, riwayat stroke
dan lain-lain. Sedangkan epilepsi idiopatik tidak dipengaruhi oleh penyakit
lainnya, tidak terdapat defisit neurologis dan tidak ada lesi yang ditemukan
pada gambaran CT scan.
6. Penatalaksanaan dasar
Airway management : untuk mempertahankan jalan nafas terutama
pada saat kejang terjadi
Nasal canul oksigen 2-4 L/menit : untuk mempertahankan
oksigenasi ke jaringan
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm : untuk mempertahankan kondisi
euvolemik
Phenitoin 2 x 100 mg per IV : untuk mengatasi kejang dan sebagai
pilihan utama dalam terapi anti konvulsan
Injeksi ranitidin : untuk mencegah efek samping dari penggunaan
fenitoin pada lambung yang mengalami ulkus peptikum
22
DAFTAR PUSTAKA
4. Shih, T., 2007, Epilepsy and Seizures, dalam Brust, John C., (Ed.), Lange
Medical Book: Current Diagnosis and Treatment in Neurology, 35-62,
McGraw-Hill Companies, Inc., Amerika.
23
12. Chen DK, So YT, Fisher RS. For the Therapeutics and Technology
Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Use
of serum prolactin in diagnosing epileptic seizures: report of the
Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American
Academy of Neurology. Neurology. 2005; 65:668–75.
13. Price AS, Wilson ML. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
AlihBahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC. 2006, hlm: 292 – 9.
24