Anda di halaman 1dari 25

Case Report

EPILEPSI IDIOPATIK

Oleh

Ayu Anisa

1608437644

Pembimbing

dr. Yossi Maryanti, Sp.S, M.Biomed

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2018
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS RIAU
FAKULTAS KEDOKTERAN
BAGIAN SARAF
Sekretariat : Gedung Kelas 03, RSUD Arifin Achmad Lantai 04
Jl. Mustika, Telp. 0761-7894000, Email :saraffkur@gmail.com

STATUS PASIEN
Nama koass Ayu Anisa

NIM 1608437644

Pembimbing dr. Yossi Maryanti, Sp.S, M.Biomed

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Tn. Y
Umur 39 tahun
Jenis kelamin Laki-laki
Alamat Jl. Soekarno Hatta Kota Dumai
Agama Islam
Status perkawinan Kawin
Pekerjaan Petani
Tanggal masuk RS 28 Februari 2018
Medical record 98 0x xx

II. ANAMNESIS
Auto & Alloanamnesis 02 Maret 2018

Keluhan utama
Kejang berulang sejak ± 1 bulan SMRS.

Riwayat penyakit sekarang


Sejak ± 1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS), pasien mengeluhkan
kejang berulang sebanyak 8 kali, kejang dialami biasanya berlangsung selama ± 5
menit, interval antar kejang lebih dari 24 jam.

1
Kejang terjadi mendadak, kejang seperti kaku dan kelonjotan pada seluruh
anggota gerak, mata melirik keatas, tampak pucat dan berkeringat, lidah tidak
tergigit dan tidak keluar busa dari mulut. Pada saat kejang pasien dalam keadaan
berbaring dan tidak sadarkan diri, setelah kejang pasien langsung tertidur. Ketika
pasien bangun, pasien tampak kebingungan selama beberapa saat kemudian
kembali sadar dan dapat kembali berkomunikasi seperti biasa. Sebelum
mengalami kejang pasien sering merasa nyeri pada seluruh bagian kepala
terutama dalam 1 bulan terakhir.
Tidak ada keluhan mual atau muntah, tidak ada kelemahan anggota gerak,
tidak ada demam, tidak sedang terpengaruh obat atau alkohol. Kemudian pasien
berobat ke RSUD Dumai dan akhirnya dirujuk ke RSUD AA untuk melakukan
pemeriksaan lebih lanjut.

Riwayat penyakit dahulu


- Riwayat kejang sebelumnya pada usia 1 tahun 6 bulan dan usia 7 tahun dengan
kejang yang sama seperti yang dirasakan 1 bulan terakhir ini.
- Riwayat trauma kepala (-)
- Riwayat stroke (-)
- Riwayat kejang demam (-)
- Riwayat tumor otak (-)
- Riwayat penyakit metabolik (-)
- Riwayat terapi epilepsi sebelumnya (-)
- Riwayat persalinan tidak ada masalah
- Riwayat tumbuh kembang tidak terganggu

Riwayat penyakit keluarga


- Riwayat kejang atau epilepsi dalam keluarga (-)
- Riwayat stroke (-)
- Riwayat tumor otak (-)

2
Resume anamnesis
Tn. Y, usia 39 tahun, datang ke RSUD Arifin Achmad dengan keluhan
kejang berulang 8 kali, selama ± 5 menit, interval antar kejang lebih dari 24 jam.
Kejang terjadi mendadak, saat sedang istirahat, tidak sadarkan diri, pasien tiba-
tiba kejang seperti kaku dan kelonjotan pada seluruh anggota gerak, mata melirik
keatas, pucat dan berkeringat. Sebelum kejang, ada nyeri pada seluruh bagian
kepala terutama dalam 1 bulan terakhir. Riwayat kejang sebelumnya pada usia 1
tahun 6 bulan dan usia 7 tahun dengan kejang yang sama seperti yang dirasakan 1
bulan terakhir ini.

III. PEMERIKSAAN FISIK (02 Maret 2018)


A. Keadaan umum
Tekanan darah : kanan : 120/80 mmHg, kiri :120/80 mmHg
Denyut nadi : kanan : 92x/menit, teratur
kiri : 92x/menit, teratur
Jantung : HR : 90x/menit, irama regular, murmur (-)
Paru : respirasi : 20x/menit, tipe torako-abdominal
Status gizi : tinggi badan : 165 cm
berat badan : 60 kg
IMT : 22,03 kg/m2 (normoweight)
Lain-lain : suhu tubuh : 36,5oC

B. Status neurologik
1) Kesadaran : Komposmentis Kooperatif , GCS 15(E4M6V5)
2) Fungsi luhur : Tidak terganggu
3) Kaku kuduk : Tidak Ditemukan
4) Saraf kranial
1. N. I (Olfactorius)
Kanan Kiri Keterangan
Daya pembau Normal Normal Normal

3
2. N. II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal Normal
Pengenalan warna Normal Normal
3. N. III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis (-) (-)
Pupil
Normal
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran ∅2 mm ∅2 mm
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Normal Normal
Refleks pupil
Normal
Langsung (+) (+)
Tidak langsung (+) (+)

4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Normal Normal Normal

5. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Normal Normal
Sensibilitas Normal Normal Normal
Refleks kornea (+) (+)

6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Normal Normal
Strabismus (-) (-) Normal

4
Deviasi (-) (-)

7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Tic (-) (-)
Motorik
Mengerutkan dahi Normal Normal
Mengangkat alis Normal Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Sudut mulut Normal Normal
Lipatan nasolabial Normal Normal
Kanan Kiri Keterangan
Daya perasa Normal Normal
Normal
Tanda chvostek (-) (-)

8. N. VIII (Akustikus)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran Normal Normal Normal

9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus faring Normal Normal
Daya perasa Normal Normal Normal
Refleks muntah Normal Normal

10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus faring Normal Normal
Normal
Dysfonia (-) (-)

5
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Normal Normal
Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi

12. N. XII (Hipoglossus)


Kanan Kiri Keterangan
Motorik Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Normal
Tremor (-) (-)
Disartri (-)

IV. SISTEM MOTORIK


Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan
Distal 5 5
Proksimal 5 5
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Ger. Involunter (-) (-)
Normal
Ekstremitas bawah
Kekuatan
Distal 5 5
Proksimal 5 5
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Ger. Involunter (-) (-)
Badan
Trofi Eutrofi Eutrofi Normal
Ger. involunter (-) (-)

6
V. SISTEM SENSORIK
Kanan Kiri Keterangan
Raba Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Normal
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Proprioseptif Normal Normal

VI. REFLEKS
Kanan Kiri Keterangan
Refleks Fisiologis
Biseps (+) (+) Normal
Triseps (+) (+)
Kanan Kiri Keterangan
Refleks fisiologis
KPR (+) (+) Normal
APR (+) (+)
Refleks patologis
Babinski (-) (-)
Chaddock (-) (-) Refleks patologis
Hoffman-Tromer (-) (-) dan primitif tidak
Refleks primitif ditemukan
Palmomental (-) (-)
Snout (-) (-)

VII. FUNGSI KOORDINASI


Kanan Kiri Keterangan
Tes telunjuk-hidung Normal Normal
Tes tumit-lutut Normal Normal
Gait Normal Normal Normal
Tandem Normal Normal
Romberg Normal Normal

7
SISTEM OTONOM
Miksi : normal
Defekasi : normal

VIII. PEMERIKSAAN KHUSUS / LAIN


a. Laseque : Tidak terbatas
b. Kernig : Tidak terbatas
c. Patrick : (-/-)
d. Kontrapatrick : (-/-)
e. Valsava test : (-)
f. Brudzinski : (-/-)

IX. RESUME PEMERIKSAAN


Keadaan umum
Kesadaran : Komposmentis, GCS E4M6V5
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Pernafasan : 20x/menit
Fungsi luhur : Normal
Rangsang meningeal : Tidak ditemukan
Saraf kranial : Normal
Motorik : Normal
Sensorik : Normal
Koordinasi : Normal
Otonom : Normal
Refleks
Fisiologis : (+/+)
Patologis : (-/-)

X. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis : Epilepsi idiopatik
Diagnosis topik : Intrakranial

8
Diagnosis etiologi : Idiopatik
Diagnosis banding : Epilepsi simptomatik

XI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Elektrolit
- MRI kepala
- EEG

XII. TATALAKSANA
Umum :
 Airway management
 Nasal canul oksigen 2-4 liter/menit
 Tirah baring
Khusus :
 IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
 Anti konvulsan : Phenitoin 2x100 mg per IV
 Gastric protector : Injeksi ranitidin 2 x 50 mg

XIII. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah rutin (28 Februari 2018)
- Hb : 14,2 gr/dl - WBC : 10. 900/𝜇l
- Ht : 39 % - PLT : 204.000/𝜇
Kadar gula darah : 126 mg/dl
Fungsi ginjal (28 Februari 2018)
- Ureum : 33 mg/dl
- Creatinin : 0,8 mg/dl
Profil lipid (01 Maret 2018)
- LDL : 94,2 mg/dL
- HDL : 48 mg/dL
- Kolesterol : 153 mg/dL
- Trigliserida : 54 mg/dL

9
Fungsi Hati (01 Maret 2018)
- SGOT : 9 U/L
- SGPT : 20 U/L
CT Scan kepala tanpa kontras ( 01 Maret 2018)

Hasil :
Dalam batas normal.
Tidak ditemukan massa
atau perdarahan dalam
CT Scan ini.

XIV. DIAGNOSIS AKHIR


Epilepsi idiopatik

XV. FOLLOW-UP

Tanggal 02 Maret 2018


S : kejang sebanyak 1 kali, mual (-), muntah (-), nyeri kepala berkurang
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : CM, GCS 15
Tekanan darah : 110/70 mmHg Respirasi : 20x/menit
Frekuensi nadi : 92x/menit Suhu : 36,6oC
Status generalis dalam batas normal
Status neurologis
- N. cranialis : normal
- Motorik : 5 5
5 5
- Sensorik : normal

10
- Koordinasi : normal
- Otonom : normal
- Refleks fisiologis : + +
+ +
- Refleks patologis : tidak ditemukan
A : Epilepsi idiopatik
P : IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Phenitoin 2x100 mg per IV
Injeksi ranitidin 2 x 50 mg

Tanggal 03 Maret 2018


S : kejang (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala berkurang
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : CM, GCS 15
Tekanan darah : 120/80 mmHg Respirasi : 20x/menit
Frekuensi nadi : 88x/menit Suhu : 36,3oC
Status generalis dalam batas normal
Status neurologis
- N. cranialis : normal
- Motorik : 5 5
5 5
- Sensorik : normal
- Koordinasi : normal
- Otonom : normal
- Refleks fisiologis : + +
+ +
- Refleks patologis : tidak ditemukan
A : Epilepsi idiopatik
P : IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Phenitoin 2x100 mg per IV
Injeksi ranitidin 2 x 50 mg

11
Tanggal 04 Maret 2018
S : kejang (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-)
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : CM, GCS 15
Tekanan darah : 110/70 mmHg Respirasi : 20x/menit
Frekuensi nadi : 88x/menit Suhu : 36,3oC
Status generalis dalam batas normal

Status neurologis
- N. cranialis : normal
- Motorik : 5 5
5 5
- Sensorik : normal
- Koordinasi : tidak dilakukan
- Otonom : normal
- Refleks fisiologis : + +
+ +
- Refleks patologis : tidak ditemukan
A : Epilepsi idiopatik
P : IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Phenitoin 2x100 mg per IV
Injeksi ranitidin 2 x 50 mg
Pasien direncanakan pulang

12
DISKUSI

Definisi
Definisi operasional:
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan:
1. Minimal 2 bangkitan tanpa provokasi/bangkitan refleks dengan jarak antar
bangkitan lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi/bangkitan refleks dengan lemungkinan
besar berulang (misalkan bangkitan dengan riwayat stroke, infeksi otak,
cedera kepala, tumor otak, dysplasia kortikal fokal, terdapat gelombang
epileptogenik pada EEG).1

Bangkitan refleks adalah:


Kondisi dimana kejang/bangkitan dapat diprovokasi oleh stimulus eksternal
maupun internal yang selalu serupa (stereotipik), dapat berupa melihat kilatan
cahaya, membca buku, mendengar lagu, makan, sikat gigi, buang air kecil dan
lain-lain.2

Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut
sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang
fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua,
yaitu :3

Kejang Fokal Kejang Umum

a. Trauma kepala a. penyakit metabolik


b. Stroke b. reaksi obat
c. Infeksi c. idiopatik
d. Malformasi vaskuler d. faktor genetik

13
e. Tumor (Neoplasma) e. kejang fotosensitif
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis

Patofisiologi
Serangan epilepsi disebabkan adanya proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi gangguan fungsi neuron.
Neurotransmiter eksitasi yaitu glutamat, aspartat dan asetilkolin, sedangkan
neurotransmiter inhibisi yang paling dikenal adalah gamma amino butyric acid
(GABA) dan glisin. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai
potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan
mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan
listrik.4
 Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi. Kejang dapat dipicu oleh
eksitasi ataupun inhibisi pada sel saraf. Glutamat yang dilepaskan dari
terminal presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat yang disebut
reseptor inotropik glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe
yaitu NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan non-NMDA (kainate dan
amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxasole propionic acid atau AMPA). Ikatan
glutamat dengan reseptor non-NMDA akan menghasilkan neurotransmisi
eksitasi tipe cepat yang disebut excitatory postsynaptic potential (EPSP).
Sementara itu, ikatan glutamat dengan reseptor NMDA akan
menghasilkan tipe EPSP yang lebih lambat.4
 Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi. Neurotransmitter inhibisi
primer pada otak adalah GABA. GABA yang dilepaskan akan berikatan
dengan reseptor GABAA dan menyebabkan masuknya ion Cl- ke dalam
sel neuron. Masuknya ion Cl ini akan meningkatkan muatan negatif dalam
neuron postsinaps dan mengakibatkan hiperpolarisasi, perubahan pada
potensial membran ini disebut inhibitory postsinaptic potential (IPSP).
Reseptor GABAB terletak pada terminal presinaptik dan membran
postsinaptik.

14
Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik maka reseptor
GABAB akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan cetusan
elektrik sel saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan
mengakibatkan eksitasi dan mencetuskan epilepsi.4

Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan secara sistematis dengan 3 langkah, yaitu:
1. Langkah pertama, melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus,
diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang
diperoleh dari anamnesis yang mencakup autoanamnesis maupun
alloanamnesis berupa:
a. Jenis kejang
b. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
bangkitan
c. Gejala sebelum, selama dan sesudah kejang
d. Ada penyakit lain yang disertai serangan, maupun riwayat penyakit
neurologis, riwayat penyakit psikiatri maupun penyakit sistemik
yang mungkin jadi penyebab.
e. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
bayi atau anak
f. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi
g. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
h. Riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dan lain-lain
j. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologi lain, penyakit
psikiatrik atau iskemik

2. Langkah kedua yaitu untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan


memperhatikan klasifikasi ILAE. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe
bangkitan epilepsi, antara lain : 6,2,7,8,9
1. Bangkitan parsial/ fokal
a. Bangkitan parsial sederhana

15
 Dengan gejala motorik
 Dengan gejala somatosensorik
 Dengan gejala otonom
 Dengan gejala psikis.
b. Bangkitan parsial kompleks
 Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
 Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder.
 Parsial sederhana yang menjadi umum,
 Parsial kompleks menjadi umum
 Parsial sederhana yang menjadi kompleks lalu menjadi umum.
2. Bangkitan umum
a. Bangkitan lena (absence). Ciri khas serangan lena adalah durasi
singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering,
terkadang disertai gerakan klonik padamata, dagu dan bibir.
b. Bangkitan mioklonik yaitu kejang mioklonik adalah kontraksi
mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah,
batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat
berulang atau tunggal.
c. Bangkitan tonik merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan
ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola
mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh.
Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat
bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan
pupil dilatasi.
d. Bangkitan atonik yaitu berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara
fragmentasi hanya kepala jatuh kedepan atau lengan jatuh tergantung
atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh.
e. Bangkitan klonik. Pada tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya
terjadi kejang kelojotan.

16
f. Bangkitan tonik-klonik yaitu suatu kejang yang diawali dengan tonik,
sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik.

3. Bangkitan tidak terklasifikasi


Langkah ketiga, menentukan etiologi epilepsi. Menurut ILAE 1989,
etiologi epilepsi dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
- Idiopatik
Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
- Kriptogenik
Dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui.
- Simtomatik
Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak,
misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.6,2,7,8,9
Setelah dilakukan anamnesis, penegakan diagnosis epilepsi dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa pemeriksaan fisik
umum dan pemeriksaan neurologi.8,10
1. Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis
Pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau
sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang,
kelainan pada kulit, kanker dan defisit neurologik fokal atau difus. Hasil
yang diperoleh dari pemeriksaan neurologi sangat tergantung dari interval
antara saat dilakukanya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
Penegakan diagnosis selanjutnya dengan melakukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila memungkinkan
pemeriksaan ini mencakup :
 Pemeriksaan electro encepalography (EEG), rekaman EEG merupakan
pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan.
Pemeriksaan EEG akan membantu menunjukan diagnosis dan membantu

17
menentukan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan
tertentu dapat membantu menentukan prognosis dan menentukan perlu
atau tidaknya pengobatan dengan OAE.
 Pemeriksaan CT scan dan MRI, meningkatkan kemampuan dalam
mendeteksi lesi epileptogenik diotak. Dengan MRI beresolusi tinggi
berbagai macam lesi patologi dapat terdiagnosis secara non invasif,
misalnya nesial temporal sklerosis, glioma, ganglioma, malformasi
kavernosus, DNET. Ditemukanya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi
pada epilepsi yang refrakter terhadsap OAE.
 Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan hemtologik mencakup hemoglobin, leukosit,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit. Pemeriksaan
ini dilakukan pada awal pengobatan beberapa bulan kemudian
diulang bila timbul gejala klinik dan rutin setiap tahun sekali.
 Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai
steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien.
Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan ini timbul lagi, atau bila
timbul gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau saat
melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat fisiologi pada tubuh
pasien.8,10

Tatalaksana
Terapi pendahuluan
Yang dimaksud dengan terapi pendahuluan adalah pemberian satu obat anti
epilepsi (OAE) pilihan utama sesuai bentuk bangkitan/kejang epileptik dari dosis
awal sampai tercapai dosis rumatan.1,2

Tujuan terapi
Bebas bangkitan, tanpa efek samping obat anti epilepsi.1,2

18
Prinsip terapi pada pasien epilepsi antara lain :11,12,13
1. OAE diberikan apabila :
- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan.
- Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari.
- Terdapat minimal 2 bangkitan dalam satu tahun.
- Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan.
- Pasien dan keluarga sudah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
obat.
2. Terapi dimulai dengan mono terapi, penggunaan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Indikasi menghentikan obat pada pasien epilepsi antara lain :


- Secara klinis : bebas bangkitan selama 2 tahun
- Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu s/d 6 bulan)
- Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan
kembali dengan dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol
bangkitan.11,12,13

19
Tipe obat antiepileptik
Pemilihan OAE berdasarkan tipe kejang epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE,
profil farmakologi dan interaksi antara OAE.5

Bangkitan Bangkitan
Bangkitan Bangkitan Bangkitan
OAE umum tonik
fokal lena Mioklonik
Phenytoin + (A) sekunder
+ (A) klonik
+ (C) - -
Carbamazepine + (A) + (A) + (C) - -
Valproic acid + (B) + (B) + (C) + (A) +(D)
Phenobarbital + (C) + (C) + (C) 0 +
Gabapentin + (C) + (C) + (D) 0 -
Lamotrigine + (C) + (C) + (C) + (A) +/-
Topiramate + (C) + (C) + (C) + (D)
Zonisamide + (A) + (A) + + +
Levetiracetam + (A) + (A) + (D) + +
Oxcarbamazepine + (C) + (C) + (C) - -
Clonazepam + (C) - - - -

Tingkat kepercayaan :
A: efektif sebagai monoterapi
B: sangat mungkin efektif sebagai monoterapi
C: mungkin efektif sebagai monoterapi
D: berpotensi efektif sebagai monoterapi

20
DASAR DIAGNOSIS

1. Diagnosis klinis : Epilepsi idiopatik


Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditemukan :
 Kejang lebih dari 8 kali
 Durasi kejang ± 5 menit
 Ketika kejang terjadi, pasien tidak sadar, saat sedang istirahat
 Interval antar kejang lebih dari 24 jam
 Kaku dan kelonjotan pada seluruh anggota gerak
 Mata melihat keatas
 Nyeri pada seluruh bagian kepala sejak 1 bulan terakhir
 Riwayat kejang sebelumnya
Epilepsi yang dialami pasien ini termasuk dalam epilepsi idiopatik karena
pada pasien tidak didapatkan adanya kelainan struktural pada otak dan
defisit neurologis. Dari hasil pemeriksaan fisik dan neurologis yang
dilakukan pada pasien tidak didapatkan hasil yang menunjukkan adanya
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi maupun tanda-tanda defisit
neurologi.
2. Diagnosis topik : Intrakranial
Dari gejala dan tanda pasien ditemukan kejang tonik-klonik umum, tidak
sadarkan diri, nyeri pada seluruh bagian kepala, riwayat kejang yang sama
sebelumnya, berarti hal ini menunjukkan adanya suatu proses di
intrakranial.
3. Dasar etiologi : Idiopatik
Epilepsi yang terjadi pada pasien ini terjadi karena adanya disfungsi otak
akibat gangguan dari penghantaran impuls listrik di otak dan sebelumnya
pasien juga sudah pernah mengalami epilepsi yang sama bukan karena
penyakit lain.
4. Diagnosis banding : Epilepsi simptomatik
Diagnosis banding pada kasus ini adalah epilepsi simptomatik, karena
gejala pasien ini mirip dengan epilepsi idiopatik tetapi pada epilepsi
simptomatik terdapat defisit neurologis dan lesi struktural.

21
Hal ini disebabkan karena pada epilepsi adanya penyakit yang
mencetuskan seperti cedera kepala, riwayat infeksi SSP, riwayat stroke
dan lain-lain. Sedangkan epilepsi idiopatik tidak dipengaruhi oleh penyakit
lainnya, tidak terdapat defisit neurologis dan tidak ada lesi yang ditemukan
pada gambaran CT scan.

5. Pemeriksaan dasar yang mendukung diagnosis


 Laboratorium : untuk mengetahui faktor resiko terdapatnya infeksi
dan mengetahui kondisi umum pasien.
 MRI kepala : untuk mencari abnormalitas pada otak.
 EEG : untuk menunjukan diagnosis dan membantu menentukan jenis
bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat
membantu menentukan prognosis dan menentukan perlu atau tidaknya
pengobatan dengan OAE.

6. Penatalaksanaan dasar
 Airway management : untuk mempertahankan jalan nafas terutama
pada saat kejang terjadi
 Nasal canul oksigen 2-4 L/menit : untuk mempertahankan
oksigenasi ke jaringan
 IVFD NaCl 0,9% 20 tpm : untuk mempertahankan kondisi
euvolemik
 Phenitoin 2 x 100 mg per IV : untuk mengatasi kejang dan sebagai
pilihan utama dalam terapi anti konvulsan
 Injeksi ranitidin : untuk mencegah efek samping dari penggunaan
fenitoin pada lambung yang mengalami ulkus peptikum

22
DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSSI. Pedoman dan tatalaksana epilepsi. Jakarta. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. 2016.

2. International League Against Epilepsy and International Bureau for


Epilepsy. Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy. Geneva.
International League Against Epilepsy and International Bureau for
Epilepsy. 2005.

3. Robert F, Maslah S. Etiologies of Seizures. In: Overview of Epilepsy. 3rd


ed. Stanford Neurology. 2010: 8-10.

4. Shih, T., 2007, Epilepsy and Seizures, dalam Brust, John C., (Ed.), Lange
Medical Book: Current Diagnosis and Treatment in Neurology, 35-62,
McGraw-Hill Companies, Inc., Amerika.

5. Kusumastuti k, gunadharma s, kustiowati e, pedoman tatalaksana epilepsi


untuk dokter umum. Kelompok studi epilepsi perhimpunan dokter
spesialis saraf Indonesia (perdossi). Airlangga university press. 2016.

6. Oguni H. Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia. 2004, 48(8):13-


16.

7. Ahmed Z, Spencer S.S. An Approach to the Evaluation of Patient for


Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal.2004, 103(1):49-55.

8. Nesbitt V, Kirkpatrick M, Pearson G. Risk and causes of death in children


with a seizure disorder. Dev Med Child Neurol. 2012, 54:612-7.

9. Sirven J.I, Ozuna J. Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatric. 2005,


60(10):30-35.

10. McGonigal A, Oto M, Russell AJC, Greene J, Duncan R. Outpatient video


EEG recording in the diagnosis of non epileptic seizures: a randomised
controlled trial of simple suggestion techniques. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2002;72:549–51.

11. Enjel J. Introduction : What is Epilepsy. Epilepsy a comprehensive


textbook 2ndEd. Vol one. USA; 2008.

23
12. Chen DK, So YT, Fisher RS. For the Therapeutics and Technology
Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Use
of serum prolactin in diagnosing epileptic seizures: report of the
Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American
Academy of Neurology. Neurology. 2005; 65:668–75.

13. Price AS, Wilson ML. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
AlihBahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC. 2006, hlm: 292 – 9.

24

Anda mungkin juga menyukai