Anda di halaman 1dari 23

CASE REPORT

Glaukoma

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Ida Nugrahani, Sp.M

Diajukan Oleh :
Yustin Eka Putri, S.Ked
J510185072

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UMS RSUD KARANGANYAR
2018
Case Report
glaukoma
OLEH:

Yustin Eka Putri, S.Ked. J510185072

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Pada hari ,tanggal ,

Pembimbing:
dr. Ida Nugrahani, Sp.M ( )
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. AS
Usia : 59 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Mojogedang
Tanggal Masuk : 01 Desember 2018

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan di Poliklinik Mata RSUD Karanganyar
 Keluhan Utama : pasien merasa pandangan mata kanan dan kiri kabur
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli Mata RSUD Karanganyar dengan keluhan pandangan mata
kanan dan kiri kabur. Pandangan mata kabur dirasa sejak 1 bulan yang lalu, keluhan
dirasakan terus-menerus. Keluhan mata merah (-), nrocos (-), pandangan silau (-),
terasa gatal (-), mata terasa mengganjal (-), kotoran mata (-), nyeri kepala (-).

 Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat penyakit mata : disangkal
Riwayat memakai kacamata : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat Hipertensi : diakui
Riwayat DM : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat menggunakan kacamata : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Aktifitas : Normoaktif
Kooperatif : Kooperatif
Status Gizi : Cukup

Status opthalmologi
Normal
OCULUS DEXTRA OCULUS SINISTRA
OCULUS SINISTRA

No. Pemeriksaan OD OS
1. Visus 4/60 6/60
2 Koreksi - -
3. Palpebra Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Nyeri Tekan (-) Nyeri Tekan (-)
Blefarospasme(-) Blefarospasme(-)
Lagoftalmus (+) Lagoftalmus (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Entropion (-) Entropion (-)
Lesi Kulit (-) Lesi Kulit (-)

4. Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)


Anemis (-) Anemis (-)
Infiltrat (-) Infiltrat (-)
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)
Injeksi Konjungtiva Injeksi Konjungtiva
(-) (-)
5. Sklera :
- Warna Putih Putih
- injeksi sklera Tidak ada Tidak ada
- Nodul Tidak ada Tidak ada
6. Kornea :
- Kejernihan Jernih Jernih
- limbus Jernih Jernih
- permukaan Rata, menegkilat Rata, mengkilat
- sensibilitas Normal Normal
- arcus senillis (-) (-)
6. COA :
- isi jernih jernih
- Kedalaman Cukup Cukup
Iris :
- Warna Warna Hitam Warna Hitam
- bentuk Bulat Bulat
- sinekia anterior Tidak ada Tidak ada
8. Pupil :
- Bentuk Bulat Bulat
- ukuran 3mm 3mm
- tempat central central
- reflek direk (+) (+)
- reflek indirek (+) (+)
9. Lensa :
- Ada/tidak Ada Ada
- kejernihan Jernih Jernih
- letak Central Central
10. Funduskopi: Dilakukan Dilakukan
- papil berbatas tegas berbatas tegas
- arteri/vena 2:3 2:3
- C/D ratio 0,5 0,7
- reflek macula (+) cemerlang (+) cemerlang
- Retina darah (-), eksudat (-) darah (-), eksudat (-)

D. DIAGNOSIS KERJA
Glaukoma ODS
E. PENATALAKSANAAN
- Cendo Timol eye drop 0,5% 2x1 tetes ODS
- Glauseta tab 2x1
F. PROGNOSIS ODS
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad visam : dubia ad bonam
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad cosmeticam : bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Glaukoma adalah kerusakan nervus optikus yang bersifat progresif yang

disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokular. Sebagai akibatnya akan terjadi

gangguan lapang pandang.

II. Epidemiologi

Berdasarkan data WHO tahun 2010, diperkirakan sebanyak 3,2 juta orang

mengalami kebutaan akibat glaukoma. di Amerika Serikat sekitar 80.000 penduduk

menderita kebutaan akibat glaucoma. Di Indonesia sendiri glaukoma menjadi

penyebab kebutaan no 2 setelah katarak.

III. Patofisiologi

Terdapat tiga factor penting yang menentukan tekanan bola mata, yaitu:

1. jumlah produksi akuos oleh badan siliar

2. tahanan aliran akuos humor yang melalui system trabecular meshwork-

kanalis schlem

3. level dari tekanan vena episklera

Fisiologi humor aquos

pengeluaran humor aquos terbagi menjadi 2 jalur, yaitu sebagian besar melalui

sistem vena dan sebagian kecil melalui otot ciliaris. Pada sistem vena, humor aquos

diproduksi oleh prosesus ciliaris masuk melewati kamera okuli posterior menuju

kamera okuli anterior melalui pupil. Setelah melewati kamera okuli anterior cairan

humor aquos menuju trabekula meshwork ke angulus iridokornealis dan menuju kanalis

Schlemm yang akhirnya masuk ke sistem vena. Aliran humor aquos akan melewati
jaringan trabekulum sekitar 90 %. Sedangkan sebagian kecil humor aquos keluar dari

mata melalui otot siliaris menuju ruang suprakoroid untuk selanjutnya keluar melalui

sklera atau saraf maupun pembuluh darah. Jalur ini disebut juga jalur uveosklera (10-

15%).

Tekanan bola mata yang umum dianggap normal adalah 10-21 mmHg. Pada

banyak kasus peningkatan bola mata dapat disebabkan oleh peningkatan resistensi

aliran akuos humor. Beberapa faktor risiko dapat menyertai perkembangan suatu

glaukoma termasuk riwayat keluarga, usia, jenis kelamin, ras, genetik, variasi

diurnal, olahraga, obat-obatan.

Proses kerusakan papil saraf optik (cupping) akibat tekanan intra okuli yang

tinggi atau gangguan vaskular ini akan bertambah luas seiring dengan terus

berlangsungnya kerusakan jaringan sehingga skotoma pada lapangan pandang

makin bertambah luas. Pada akhirnya terjadi penyempitan lapangan pandang dari

ringan sampai berat.


Glaucomatous optic neuropathy adalah tanda dari semua bentuk glaukoma.

cupping glaucomatous awal terdiri dari hilangnya akson-akson, pembuluh darah dan

sel glia. Perkembangan glaucomatous optic neuropathy merupakan hasil dari

berbagai variasi faktor, baik instriksi maupun ekstrinsik. Kenaikan TIO memegang

peranan utama terhadap perkembangan glaucomatous optic neuropathy.

Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan perkembangan glaucomatous optic

neuropathy, teori mekanik dan iskemik. Teori mekanik menekankan pentingnya

kompresi langsung serat-serat akson dan struktur pendukung nervus optikus anterior,

dengan distorsi lempeng lamina kribrosa dan interupsi aliran aksoplasmik, yang

berakibat pada kematian sel ganglion retina (RGCs). Teori iskemik fokus pada

perkembangan potensial iskemik intraneural akibat penurunan perfusi nervus atau

proses instrinsik pada nervus optikus. Gangguan autoregulasi pembuluh darah

mungkin menurunkan perfusi dan mengakibatkan gangguan saraf. Pembuluh darah

optik secara normal meningkat atau menurunkan tekanannya memelihara aliran

darah konstan, tidak tergantung TIO dan variasi tekanan darah.

Pemikiran terbaru tentang glaucomatous optic neuropathy mengatakan bahwa

kedua faktor mekanik dan pembuluh darah mungkin berperan terhadap kerusakan.

Glaukoma adalah seperti suatu kelainan family heterogen dan kematian sel ganglion

terlihat pada glaucomatous optic neuropathy yang bermediasi oleh banyak faktor.

IV. Klasifikasi

Klasifikasi glaucoma :

1. glaucoma primer

a. glaucoma primer sudut terbuka

b. glaucoma primer sudut tertutup

2. glaucoma sekunder
3. glaucoma kongenital

4. glaucoma absolut

1. a. Glaukoma Primer Sudut Terbuka

Glaukoma sudut terbuka primer terdapat kecenderungan familial yang kuat.

Gambaran patologi utama berupa proses degeneratif trabekular meshwork

sehingga dapat mengakibatkan penurunan drainase humor aquos yang

menyebabkan peningkatan takanan intraokuler. Pada 99% penderita glaukoma

primer sudut terbuka terdapat hambatan pengeluaran humor aquos pada sistem

trabekulum dan kanalis schlemm

b. Glaukoma primer sudut tertutup

Glaukoma sudut tertutup primer terjadi pada mata dengan predisposisi anatomis

tanpa ada kelainan lainnya. Adanya peningkatan tekanan intraokuler karena

sumbatan aliran keluar humor aquos akibat oklusi trabekular meshwork oleh iris

perifer
2. Glaukoma sekunder

Peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma sekunder merupakan

manifestasi dari penyakit lain dapat berupa peradangan, trauma bola mata dan

paling sering disebabkan oleh uveitis

3. Glaukoma kongenital

Glaukoma kongenital biasanya sudah ada sejak lahir dan terjadi akibat

gangguan perkembangan pada saluran humor aquos. Glaukoma kongenital

seringkali diturunkan. Pada glaukoma kongenital sering dijumpai adanya epifora

dapat juga berupa fotofobia serta peningkatan tekanan intraokuler. Glaukoma

kongenital terbagi atas glaukoma kongenital primer (kelainan pada sudut kamera

okuli anterior), anomali perkembangan segmen anterior, dan kelainan lain (dapat

berupa aniridia, sindrom Lowe, sindom Sturge-Weber dan rubela kongenital)

4. Glaukoma absolut

Merupakan stadium akhir dari glaucoma dimana sudah terjadi kebutaan total

akibat tekanan bola mata. pada glaucoma absolut, kornea terlihat keruh, bilik mata

dangkal, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit.


V. Penilaian Glaukoma

1. Tonometri

Tonometri merupakan suatu pengukuran tekanan intraokuler yang

menggunakan alat berupa tonometer. Faktor yang dapat mempengaruhi biasnya

penilaian tergantung pada ketebalan kornea masing-masing individu. Semakin

tebal kornea pasien maka tekanan intraokuler yang di hasilkan cenderung tinggi,

begitu pula sebaliknya, semakin tipis kornea pasien tekanan intraokuler bola

mata juga rendah.

Tonometer yang banyak digunakan adalah tonometer Schiotz karena

cukup sederhana, praktis, mudah dibawa, relatif murah, kalibrasi alat mudah

dan tanpa komponen elektrik. Penilaian tekanan intraokuler normal berkisar 10-

22 mmHg. Pada usia lanjut rentang tekanan normal lebih tinggi yaitu sampai 24

mmHg.

2. Penilaian diskus optikus

cup-disc-ratio membandingkan diameter dari “cup” dengan total

diameter dari luas diskus optikus. jika “cup” mengisi area diskus optikus sebesar

1/10, maka rasionya adalah 0,1. jika “cup” mengisi 7/10 dari diskus optikus,

rasonya menjadi 0,7. rasio CDR normal adalah 0,3.


3. Pemeriksaan lapang pandang

Gangguan lapangan pandang pada glaukoma dapat mengenai 30 derajat

lapangan pandang bagian central. Cara pemeriksaan lapangan pandang dapat

menggunakan automated perimeter.

4. Gonioskopi

Gonioskopi merupakan pemeriksaan dengan alat yang menggunakan

lensa khusus untuk melihat aliran keluarnya humor aquos. Fungsi dari

gonioskopi secara diagnostik dapat membantu mengidentifikasi sudut yang

abnormal dan menilai lebar sudut kamera okuli anterior.

VI. Pemeriksaan Penunjang

VII. Penegakan Diagnosis

VIII. Tatalaksana

Orbita berbentuk seperti buah pear dengan dengan kanalis optikus diibaratkan sebagai

tangkainya. Puncaknya di posterior dibentuk oleh foramen optikum dan basisnya di bagian

anterior dibentuk oleh margo orbita. Lebar margo orbita 45 mm dengan tinggi 35 mm.

Kedalaman orbita pada orang dewasa kurang lebih 40-45 mm sampai ke apex. Dinding medial

dari mata kanan dan kiri sejajar. Dinding lateralnya dari mata kanan tegak lurus terhadap

dinding lateral mata kiri. Pertumbuhan penuh dicapai pada umur 18-20 tahun dengan volume

orbita dewasa ±30cc. Bola mata hanya menempati sekitar 1/5 bagian ruangannya. Lemak dan

otot menempati bagian terbesarnya. Otot-otot mata terdiri dari m. rektus superior, m. rektus

inferior, m.rektus lateralis, m. rektus medialis, m. obliqus inferior, m. obliqus superior. 2

Orbita dibentuk oleh tulang-tulang, terdiri dari : 2

Bagian atap orbita:

1. os frontalis

2. os sphenoidalis
Bagian dinding medial orbita :

1. os maksilaris

2. os lakrimalis

3. os sphenoidalis

4. os ethmoidalis

5. lamina papyracea hubungan ke os sphenoidalis (dinding ini paling tipis)

Bagian dinding lantai orbita:

1. os maksilaris

2. os zigomatikum

3. os palatinum

Bagian dinding lateral orbita :

1. os zigomatikum

2. os sphenoidalis

3. os frontalis

Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah, saraf, yang masuk ke

dalam mata, yang terdiri dari: 3

1. Foramen optikum yang dilalui oleh n. Optikus, a. Oftalmika.

2. Fissura orbitalis superior yang dialalui oleh n. Lakrimalis, n. Frontalis, n. Trochlearis,

v. Oftalmika, n. Occulomotorius, n. Nasosiliaris, serta serabut saraf simpatik.

3. Fissura orbitalis inferior yang dilalui nervus, vena dan arteri infraorbitalis.
Gambar 1. Anatomi orbita 2

ABNORMALITAS ORBITA

Evaluasi abnormalitas orbita harus dapat membedakan orbital dari lesi periorbital dan

intraokular. Perbedaan ini dapat mengarahkan kepada sebuah diagnosis. Evaluasi dimulai dari

anamnesis dan pemeriksaan untuk membimbing ke arah diagnosa dan terapi. Pada

abnormalitas orbita penting untuk ditanyakan riwayat 6 P, yaitu : 4

1. Pain, kemungkinan merupakan tanda dari adanya inflamasi dan infeksi, perdarahan

orbita, tumor glandula lakrimalis maligna, invasi dari karsinoma nasopharyngeal, atau

adanya metastase.

2. Proptosis, biasanya diindikasikan dengan adanya massa di belakang bola mata.

Penonjolan axial disebabkan karena lesi-lesi pada intrakonal. Sedangkan penonjolan

nonaxial disebabkan lesi ekstrakonal.

Pada bilateral proptosis biasanya terjadi karena Grave’s disease, lymphoma, vasculitis,

pseudotumor, tumor metastatik, carotid cavernous fistula, cavernous sinus trombosis,

leukemia, dan neuroblastoma.


3. Progression, progresivitas lesi dapat dijadikan indikasi diagnostik. Lesi dengan onset

hari sampai dengan minggu biasanya disebabkan idiopathic orbital inflammatory

disease, cellulitis, hemorrhage, thrombhophlebitis, rhabdomyosarcoma, thyroid

ophthalmopathy, neuroblastoma, tumor metastatik, atau granulocytic sarcoma.

Sedangkan pada onset bulan sampai dengan tahun biasanya disebabkan dermoid, tumor

benigna, tumor neurogenic, hemangioma kavernosa, lymphoma, histicyioma fibrosa,

osteoma.

4. Palpation, pada massa di belakang orbita tidak dapat teraba.

5. Pulsation, pulsasi tanpa adanya bruits kemungkinan disebabkan adanya

neurofibromatosis atau meningoencephalokel, atau mungkin akibat dari operasi

pengangkatan atap orbital. Pulsasi dengan atau tanpa bruits, dapat disebabkan karena

carotid cavernous fistula, dural arteriovenous fistulas, dan orbital arteriovenous fistulas.

6. Periorbital changes, yang berhubungan dengan lesi orbital biasanya terlihat adanya

retraksi palpebra, kelainan vaskular pada palpebra, lesi eczematous pada palpebra,

ekimosis palpebra, edema pada palpebra inferior, dan kelainan lainnya.

Yang akan dibahas pada referat ini adalah proptosis. Proptosis dideskripsikan sebagai

penonjolan bola mata yang abnormal, dan disebabkan oleh lesi retrobulbar, atau pada

kasus yang jarang, karena orbita yang dangkal. Proptosis yang asimetris dapat dideteksi

dengan inspeksi mata pasien dari arah depan bawah (Worm’s eye view) atau dari arah

samping. 4
Gambar 2. Posisi Worm’s eye view 3

PEMERIKSAAN PROPTOSIS

A. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis harus dilakukan secara lengkap sehingga dapat dikelola dengan

tepat. Ada beberapa tahap pemeriksaan : 1

a. Tahap Pemeriksaan Medis

Tahap ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu ;

1. Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit dapat membantu menduga penyebab proptosis. Dari

anamnesis dapat ditanyakan adanya riwayat trauma atau penambahan

proptosis saat pasien membungkuk (mengarah ke proptosis akibat

malformasi arteri vena), onset lama atau tiba-tiba (pada infeksi), kemudian
ditanyakan tanda-tanda infeksi lain seperti adanya panas badan meningkat,

atau adanya penyakit sinusitis atau abses gigi. Dapat ditanyakan juga tanda-

tanda penyakit tiroid, seperti tremor, sifat gelisah yang berlebihan,

berkeringat banyak atau adanya penglihatan ganda.

Bila dari pertanyaan ini tidak didapat jawaban, maka dapat diarahkan pada

penyakit tumor, kemungkinan tumor retrobulber. Anamnesis yang penting

untuk tumor adalah

i. Onset, karena umumnya proptosis terjadi lebih lambat pada tumor

jinak dan cepat pada tumor ganas.

ii. Umur, dapat menentukan jenis tumor, yaitu tumor anak-anak dan

tumor dewasa

iii. Tajam penglihatan penderita, apakah menurun bersamaan dengan

terjadinya proptosis atau tidak. Jika bersamaan, dapat diduga tumor

terletak di daerah apex atau saraf optik.

iv. Adanya tanda klinis lain tumor ganas seperti rasa sakit, atau berat

badan menurun

v. Riwayat penyakit keganasan di organ lain, untuk mengetahui

kemungkinan metastase.

2. Pemeriksaan Mata

Pemeriksaan mata secara teliti sangat diperlukan,antara lain pada visus,

adanya penurunan visus dapat dicurigai adanya tumor di intrakonal.

Perhatikan pula perubahan pada struktur organ lainnya, seperti

palpebra(jaringan parut, retraksi palpebra atau perdarahan), konjungtiva,

kornea(erosi akibat penonjolan bola mata yang menyebabkan lagoftalmus),


kamera okuli anterior, iris(nevi, neovaskularisasi), pupil (reflek pupil),

fundus(atrofi papil atau edema papil, striae retina). Pemeriksaan dapat

dilanjutkan pada otot bola mata, lapang pandang dan tekanan intraokular.

3. Pemeriksaan Orbita

i. Pengukuran Proptosis, untuk mengetahui derajat proptosis dengan

membandingkan ukuran kedua mata.

Normalnya nilai penonjolan tidak melebihi 20 mm atau beda

kedua mata tidak lebih dari 3 mm. Pengukuran dilakukan dengan

eksoftalmometer Hertel.

Gambar 3. Pemeriksaan dengan Eksoftalmometer Hertel 5

ii. Posisi proptosis, perlu diketahui karena letak tumor biasanya sesuai

dengan jaringan yang berada di orbita. Ada 2 jenis posisi, yaitu

sentrik dan eksentrik. Posisi sentrik biasanya disebabkan tumor yang

berada di konus. Sedangkan posisi eksentrik harus dilihat dari arah

terdorongnya bola mata untuk memperkirakan tumor.

iii. Palpasi, dinilai konsistensi tumor, pergerakan dari dasarnya, adanya

rasa nyeri pada penekanan, serta permukaan tumor.

iv. Pulsasi dan bruits.


v. Ocular movement, gerakan okular mungkin terbatas pada arah

tertentu oleh karena adanya massa atau proses inflamasi.

B. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Primer

a. Computed Tomography, adalah teknik fotografi yang menggambarkan satu

lapisan tubuh pada suatu kedalaman tertentu, dan dapat digunakan untuk

merekonstruksi setiap bagian dan setiap potongan. Gambar orbital dapat

diperoleh pada potongan aksial, yaitu sejajar dengan saraf optik.

Pada potongan koronal, akan menunjukkan mata, saraf optik, dan otot luar mata,

sedangkan pada potongan sagital, sejajar dengan nasal septum. 1,4

b. MRI (Magnetic Resonance Imaging), adalah suatu alat pemeriksaan yang

bersifat non invasif, karena tidak menggunakan radiasi ionisasi, sehingga tidak

menimbulkan efek biologik. Pada dasarnya, MRI merupakan interaksi dari 3

komponen, yaitu atomic nuclei possessing, gelombang radiofrekuensi dan

bidang magnetik. Setiap jaringan orbita memiliki parameter resonansi magnet

yang berbeda-beda, yang kemudian ditangkap menjadi data, lalu diubah

menjadi gambar oleh komputer. Kelebihan MRI adalah tidak menggunakan

sinar X, gambar yang terjadi lebih rinci, dan dapat menghitung biokimia

jaringan, dan relatif jarang menimbulkan kerusakan jaringan. 1,4

c. Ultrasonografi Orbita (USG Orbita), biasanya digunakan untuk pemeriksaan

pasien dengan kelainan orbita. Ukuran, bentuk dan posisi dari jaringan normal

dan abnormal dapat diketahui dengan teknik ultrasound. Gambaran 2 dimensi

jaringan dapat dilihat dengan B scan Ultrasonography. Pada A scan,

gambarannya hanya satu dimensi dari jaringan lunak orbita, ditandai dengan

spike yang bervariasi dari panjang dan tingginya tergantung dari karakteristik
tiap jaringan. Untuk Doppler ultrasonography, dapat memberikan informasi

khusus mengenai aliran darah (misalnya, kecepatan dan arah aliran darah pada

pasien dengan penyakit vaskular oklusi pembuluh darah atau kelainan lain yang

terkait dengan peningkatan aliran darah). Tetapi kekurangan dari

ultrasonography adalah keterbatasan dalam menilai lesi di osterior orbita

(karena redaman suara) atau sinus atau ruang intrakranial (karena suara tidak

dapat melewati udara atau tulang). 1,4

2. Pemeriksaan Sekunder

Pemeriksaan sekunder biasanya dilakukan dengan indikasi, pada kasus-kasus

tertentu. Termasuk dalam pemeriksaan sekunder adalah venography,

arteriography, serta CT dan MR angiography. 1,4

a. Venography, digunakan untuk menilai kelainan varises dan sinus kavernosus

dengan menyuntikkan kontras di vena frontal atau vena angularis. Karena aliran

darah akan menghasilkan sinyal kosong pada MRI, abnormalitas vena yang

lebih besar dan strukturnya dapat divisualisasikan dengan baik pada MR

venography. Pada beberapa malformasi pembuluh darah orbitocranial atau

fistula, paling baik diakses melalui vena oftalmika superior. 1,4

b. Arteriography, adalah gold standard untuk mendiagnosa kelainan arteri seperti

aneurisma dan malformasi arteri-vena. Kateter retrograde pada pembuluh darah

cerebral dilakukan lewat arteri femoralis. Namun, dapat terjadi komplikasi

neurologis dan pembuluh darah karena teknik pemasangan kateter dan suntikan

pewarna radiopak ke dalam sistem arteri, tes ini digunakan untuk pasien dengan

probabilitas tinggi dengan lesi. Pemeriksaan ini dianjurkan bila terdapat

kesulitan membedakan massa dengan kelainan vaskular. Indikasi arteriografi


harus benar-nbenar terseleksi pada penderita terutama pada penderita dngan lesi

intrakranial atau lesi arterial seperti aneurisma. 1,4


c.
CT dan MR Angiography, pemeriksaan ini memungkinkan untuk pemeriksa

dalam mendapatkan gambaran tentang arteri-vena malformasi, aneurysma, dan

arteriovenous fistula, tetapi disertai resiko dan ketidaknyamanan pasien dengan

pemasangan kateter intravaskular dan penyuntikan material kontras. MR

angiography kurang sensitif dibanding dengan direct angiography untuk

mengidentifikasi carotid atau dural cavernous sinus fistula.


d.
Saat memutuskan untuk melakukan pemeriksaan, ahli mata sebaiknya

berdiskusi dengan ahli radiologi tentang suspek lesi dan menentukan

pemeriksaan imaging yang terbaik untuk pasien. 1,4

3. Patologi

Pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan penunjang akhir yang

menentukan diagnosis, spesimen jaringan didapatkan dari tindakan orbitotomi

untuk mengambil lesi tersebut. Cara pemeriksaan yang bisa digunakan adalah

frozen section. Frozen section adalah sarana untuk menegakkan diagnosis

histopatologik dengan cepat, saat penderita masih di kamar bedah. Cara ini dipakai

pada pengelolaan proses keganasan, yang memungkinkan ahli bedah melanjutkan

tindakan bedahnya atau terapi definitif lain yang diperlukan. Indikasi frozen section

yang spesifik adalah: 1,4

1. Menentukan jenis penyakit, apakah tumor tersebut hanya merupakan suatu

peradangan atau neoplasma. Bila tumor merupakan neoplasma, potong beku

menentukan tumor jinak atau ganas

2. Identifikasi jaringan
3. Menentukan luas penyakit, menetapkan batas sayatan atau menetapkan ada

tidaknya metastasis di dalam kelenjar limfe

4. Menentukan apakah jaringan biopsi sudah adekuat

DAFTAR PUSTAKA

1. Moeloek NF, Usman TA. Pandangan Umum dan Penatalaksanaan Tumor Orbita.

Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta. 1992.

2. Liesegang TJ, Deutsch TA, Grand GM. Fundamentals and Principles of

ophthalmology. Edition 2010-2011. Section 2. The Foundation of the American

Academy of Ophthalmology. 2010

3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Indonesia. Balai Penerbit

FKUI, Jakarta. 2004

4. Liesegang TJ, Deutsch TA, Grand GM. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System. Edition

2010-2011. Section 7. The Foundation of the American Academy of Ophthalmology.

2010

5. Kanski JJ, Bowling B. Cinical Ophthalmology : A Systemic Approach. Seventh

Edition. Elsevier Saunders, London, New York. 2011

Anda mungkin juga menyukai