Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom conus medullaris (SCM) merupakan kumpulan gejala


sebagai akibat dari kompresi conus medullaris dan menunjukkan ciri-
ciri lesi UMN serta bersifat bilateral. Lesi kompresi pada conus
medullaris dapat bersumber dari trauma, neoplasma, herniasi nukleus
pulposus, dan infeksi spinal. 11

Sindrom conus medullaris merupakan bagian dari manifestasi dari trauma


medulla spinalis. Trauma medula spinalis meliputi kerusakan medula spinalis
disebabkan oleh trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan
gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan
refleks, baik komplit ataupun inkomplit. Trauma medula spinalis merupakan
penyebab kematian dan kecacatan pada era modern, dengan 8.000-10.000 kasus
per tahun pada populasi penduduk USA dan membawa dampak ekonomi yang
tidak sedikit pada sistem kesehatan dan asuransi di USA12.

Insidensi terjadinya sindrom conus medullaris sangat jarang,


dengan perbandingan sekitar 1 penderita sindrom conus medullaris
dari 33.000 100.000 orang. Bentuk trauma medulla spinalis yang
lebih dikenal adalah sindrom cauda equina, yang memiliki gejala klinis
sangat menyerupai sindrom conus medullaris tetapi lesi yang muncul
merupakan lesi LMN dan biasanya unilateral. Walaupun insidensi
sangat jarang, sindrom conus medullaris harus tetap dipertimbangkan
sebagai diagnosis banding terutama pada penderita yang
mengeluhkan nyeri punggung bagian bawah (low back pain) yang
disertai keluhan neurologis, terutama gangguan berkemih. Sampai
saat ini masih sangat jarang ditemukan pembahasan khusus
mengenai sindrom conus medullaris ini sendiri, oleh karena itu perlu
diperbanyak dan pembahasan mengenai penatalaksanaan sindrom
conus medullaris.11

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sindrom conus medullaris (SCM) merupakan kumpulan gejala
yang terdiri dari low back pain, ishchialgia, kelemahan motorik
ekstremitas inferior, saddle anestesia, dan hilangnya fungsi viseral,
sebagai akibat dari kompresi conus medullaris dan menunjukkan ciri-ciri
lesi UMN serta bersifat bilateral.11
B. Epidemiologi
Epidemiologi dari sindrom conus medullaris masih belum
diketahui secara pasti, karena masih sangat sedikit penelitian
mengenai penyakit tersebut. 14
Penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2004
menunjukkan bahwa terdapat 4 orang penderita sindrom conus
medullaris pada setiap 100.000 penduduk. Insidensi terjadinya
sindrom conus medullaris sangat jarang, dengan perbandingan
sekitar 1 penderita sindrom conus medullaris dari 33.000
100.000 orang. Bentuk trauma medulla spinalis yang lebih
dikenal adalah sindrom cauda equina, yang memiliki gejala
klinis sangat menyerupai sindrom conus medullaris tetapi lesi
yang muncul merupakan lesi LMN dan biasanya unilateral.
Walaupun insidensi sangat jarang, sindrom conus medullaris
harus tetap dipertimbangkan sebagai diagnosis banding
terutama pada penderita yang mengeluhkan nyeri punggung
bagian bawah (low back pain) yang disertai keluhan neurologis,
terutama gangguan berkemih. Sampai saat ini masih sangat
jarang ditemukan pembahasan khusus mengenai sindrom conus
medullaris ini sendiri.11

C. Anatomi Medula Spinalis

2
Gambar 1. Anatomi Medulla Spinalis

Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan


perpanjangan dari sistem saraf pusat dari otak dan
melengkungi serta dilindungi oleh tulang belakang. Fungsi
utama medulla spinalis adalah transmisi pemasukan
rangsangan antara perifer dan otak.
Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Saraf
Pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di
L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus terminalis

3
atau conus medullaris. Terbentang dibawah cornu terminalis
serabut-serabut bukan saraf yang disebut filum terminale yang
merupakan jaringan ikat. Terdapat 31 pasang saraf spinal; 8
pasang saraf servikal; 12 pasang saraf thorakal; 5 pasang saraf
lumbal; 5 pasang saraf sacral dan 1 pasang saraf coxigeal.
Radiks lumbal dan sacral terkumpul yang disebut dengan Cauda
Equina. Setiap pasangan saraf keluar melalui intervertebral
foramina. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan
ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.
Struktur internal terdapat substansi abu-abu dan substansi
putih. Substansi abu-abu membentuk seperti kupu-kupu
dikelilingi bagian luarnya oleh substansi putih. Terbagi menjadi
bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure dan median
septum yang disebut dengan posterior median septum. Keluar
dari medulla spinalis merupakan akral ventral dan dorsal dari
saraf spinal. Substansi abu-abu mengandung badan sel dan
dendrit dan neuron efferent, akson tak bermyelin, saraf sensoris
dan motorik dan akson terminal dari neuron. Substansi abu-abu
membentuk seperti huruf H dan terdiri dari 3 bagian yaitu:
anterior, posterior dan commisura abu-abu. Bagian posterior
sebagai input/afferent, anterior sebagai output/efferent,
commisura abu-abu untuk refleks silang dan substansi putih
merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.

4
Gambar 2. Anatomi medulla spinalis
Keterangan:
1. Spinal nerve
2. Dorsal root ganglion
3. Dorsal root (sensori)
4. Ventral root (motor)
5. Central canal
6. Grey matter
7. White matter
Peran medulla spinalis :
1. Pusat processing data.
2. Jalur sensoris
3. Sistem piramidal dan ekstra-piramidal.

Anatomi servikal bagian atas (oksiput C1-C2) berbeda dengan


daerah servikal bawah (C3-T1). Selain itu, servikal atas lebih mobil

5
dibandingkan dengan servikal bawah. Servikal 1 atau atlas tidak memiliki
corpus dan processus spinosus.Servikal 1 hanya berupa cincin tulang yang
terdiri atas arcus anterior yang tebal dan arcus posterior yang tipis, dan
massa lateralis pada masing-masing sisinya. Tiap massa lateralis memiliki
permukaan sendi pada aspek atas dan bawahnya. Tulang ini berartikulasi
di atas dengan condylus occipitalis, membentuk articulatio atlanto-
occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Di bawah,
tulang ini berartikulasi dengan C2, membentuk artikulatio atlanto-axialis,
tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala.
Servikal 2 atau axis mengandung processus odontoid yang
menggambarkan penggabungan sisa dari badan atlas. Processus odontoid
ini melekat erat pada aspek posterior dari arcus anterior C1 oleh
ligamentum transversum, yang mengstabilkan sendi atlantoaxial.
Stabilitas dari spinal ditentukan oleh ligamentum antara struktur
tulang. Pada bagian frontal, penonjolan condilus occiput disokong oleh
massa lateralis C2. Pada bagian frontal ini, massa lateralis terlihat
berbentuk baji, runcing di tengah dan pinggirnya lebar. Jika struktur
tulang terganggu dan terutama jika terjadi pergeseran baji ke lateral
menyebabkan instabilitas spinal.
Penonjolan condilus occiput distabilisasi oleh kapsul
occipitoatlantal dan membrana atlantooccipital anterior dan posterior.
Ligamentum nuchae merupakan struktur yang stabil yang berhubungan
dengan kompleks atlantooccipital axial. Membrana tectorium,
ligamentum alar dan apical menghubungkan occiput ke C2.
Ligamentum dentate terdiri dari ligamentum alar dan apical
mengikat permukaan dorsal lateral dari dens dan berjalan oblik ke
permukaan medial dari condilus occipitalis.
Ligamentum transversum berjalan dari permukaan medial dari salah
satu sisi C1 menuju ke sisi lain. Ligamentum ini pada dasarnya membatasi
C2 untuk berotasi disekitar odontoid dalam cincin tertutup tulang. Jika
ligamentum ini ruptur atau jika ada fraktur yang berhubungan dengan

6
odontoid, C1 dapat bergeser dan menyulitkan batang otak dan medulla
spinalis.1,5

D. Etiologi
Sindrom conus medullaris disebabkan oleh penyempitan pada
canalis spinalis yang menekan akar saraf di bawah level medulla spinalis.
Berikut ini merupakan beberapa etiologi dari sindrom conus medullaris.
1. Trauma
Kejadian trauma tembus maupun keadaan traumatik yang
menyebabkan fraktur atau subluksasi dapat menyebabkan
kompresi conus medullaris. Manipulasi spinal yang menyebabkan
subluksasi akan mengakibatkan munculnya SCM. Etiologi trauma
ini merupakan etiologi paling sering pada kasus-kasus SCM.
2. Herniasi diskus
Dari sejumlah pasien yang mengalami herniasi diskus
lumbalis terdapat sekitar 1-16 % yang menunjukkan manifestasi
SCM. 90% herniasi diskus lumbalis terjadi baik pada L4-L5 atau
L5-S1. 70% kasus herniasi diskus yang menyebabkan SCM terjadi
pada pasien dengan riwayat low back pain kronis, dan 30%
berkembang menjadi SCM sebagai gejala pertamanya. Laki-laki
usia dekade 4 dan 5 adalah yang paling rawan terhadap SCM
akibat herniasi diskus. Sebagian besar kasus SCM yang
disebabkan herniasi diskus melibatkan partikel besar dari materi
diskus yang rusak, mengganggu setidaknya sepertiga diameter
canalis spinalis.
3. Stenosis spinalis
Penyempitan canalis spinalis dapat disebabkan oleh
abnormalitas dalam proses perkembangan/degeneratif. Kasus
spondilolistesis dan Pagets disease berat dapat menyebabkan
SCM.
4. Neoplasma
SCM dapat disebabkan oleh neoplasma spinal baik primer
atau metastasis dari prostat atau paru (pada laki-laki) dan payudara

7
atau paru (pada perempuan). Neoplasma ini dapat intratekal
maupun ekstratekal. 60% pasien dengan kedua sindrom ini yang
disebabkan neoplasma spinal mengalami nyeri berat sejak dini.
Dua jenis tumor primer yang paling sering menyebabkan SCM
adalah schwanoma dan ependimoma.
5. Kondisi peradangan
Kondisi peradangan pada medula spinalis yang
berlangsung lama, misalnya Pagets disease dan spondilitis
ankilosa, dapat menyebabkan SCM karena stenosis ataupun
fraktur spinal.
6. Kondisi infeksi
Kondisi infeksi, misalnya abses epidural, dapat
menyebabkan deformitas akar saraf dan medula spinalis. MRI
dapat menampilkan penampakan abnormal akar saraf yang
tertekan ke satu sisi saccus duralis. Gejala secara umum meliputi
nyeri punggung yang berat dan kelemahan motorik yang
berkembang sangat cepat. Penyebab tersering meliputi
tuberculosis, meningitis, herpes simplex, meningovaskular sifilis
dan cytomegalovirus.
7. Penyebab iatrogenik
Komplikasi dari instrumentasi spinal telah dilaporkan
menyebabkan kasus SCM, misalnya pedicle screw dan laminar
hook yang salah tempat. Anestesi spinal yang kontinyu juga telah
dihubungkan sebagai penyebab SCM meskipun jarang.
Kebanyakan penyebab iatrogenik didasari oleh timbulnya
perdarahan atau hematom sehingga mendesak conus medullaris.
E. Klasifikasi

Derajat kerusakan saraf pada SCM dapat diprediksi berdasarkan


gambaran klinis yang muncul. Kompresi ringan seringkali tidak
menimbulkan gejala apaun, kompresi sedang dapat menyebabkan
kelemahan motorik ringan, sedangkan kompresi berat dapat menyebabkan

8
kelemahan motorik yang sangat nyata dan gangguan fungsi miksi-
defekasi. Selain itu, SCM dapat diklasifikasikan menjadi sindrom komplit
dan inkomplit. Pada pasien dengan sindrom inkomplit, yang muncul
hanyalah gangguan sensorik dan motorik tetapi belum menunjukkan
adanya retensio ataupun inkontinensia urin maupun alvi. Perubahan
viseral dapat berupa kesulitan berkemih (straining micturition) atau
mengedan saat berkemih. Pada pasien dengan gangguan yang komplit,
sudah muncul retensi urin maupun alvi tanpa adanya rasa nyeri akibat
gangguan hataran sinyal neurologik viseral. Retensio urin kemudian akan
diikuti oleh inkontinensia urin akibat over load vesica urinaria yang
menampung terlalu banyak urin.
Klasifikasi tingkat keparahan ditegakkan pada saat 72 jam sampai 7
hari setelah trauma berdasarkan Impairment Scale :

Tabel 1. Impairment Scale


GRADE TIPE Gangguan Medula Spinalis ASIA

A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5

B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu


sampai segmen sacral S4-S5

C Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level tapi otot-


otot motorik utama masih punya kekuatan < 3

D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot


motorik utama punya kekuatan > 3

E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

F. Patogenesis

9
Kompresi pada konus medularis menyebabkan terjadinya kongesti dan
dilatasi vena intraradikular dan infiltrasi sel-sel inflamasi sehingga dihasilkan
serotonin. Normalnya, serotonin memiliki efek vasodilatasi pada saraf yang
sehat, namun kompresi kronik pada saraf menyebabkan munculnya efek
vasokonstriksi dari serotonin, sehingga menyebabkan demyelinisasi. Selain itu,
kompresi kronik juga memacu pengeluaran TNF- yang semakin memperparah
kerusakan sel saraf. 5,9
Mekanisme lainnya ialah melalui reaksi autoimun. Kompresi saraf akan
merusak barier saraf-pembuluh darah, sehingga protein dapat masuk ke nervus
spinalis dan menjadi antigen sehingga menyebabkan reaksi autoimun.
Mekanisme ini akan memacu siklus degenerasi saraf Wallerian melalui
pengeluaran TNF- autoimun dan pada akhirnya juga menyebabkan demyelinasi.
5

G. Patofisiologi
Gangguan sensorik dan motorik di ekstremitas inferior yang timbul sangat
berkaitan dengan ketinggian lesi dan dematom dari nervus spinalis yang terkena.
Ketika lesi mengenai konus medularis, kemungkinan besar manifestasi lesi UMN
yang muncul, dan bilateral pada seluruh bagian ekstrimitas, pubis dan
perineum.1,2,9
Serabut nervus spinalis yang keluar dari segmen vertebrae membawa
serabut saraf aferen dan eferen, sehingga manifestasinya pun dapat mengenai
kedua fungsi saraf tersebut. Manifestasi gangguan pada serabut aferen dapat
berupa hipestesi bahkan sampai anestesi. Manifestasi gangguan pada saraf eferen
dapat berupa parestesi, parese atau bahkan kelumpuhan otot-otot dari myotom
nervus spinalis yang terkena. 2,9

10
Gambar 3. Pemetaan Dermatom pada Anterior dan Posterior Tubuh.

Gambar 4. Pemetaan Dermatom di Area Perineal (Saddle Area).

11
Gangguan organ visceral juga dapat terjadi karena inervasi kandung
kemih, bagian distal usus beserta sfingter-sfingter yang terlibat di dalamnya
berasal dari nervus spinalis S2-S4 (nervus splanchnicus pelvicus) yang membawa
serabut saraf aferen dan eferen (parasimpatis) menuju organ-organ tersebut.
Nervus spinalis S2-4 juga membawa serabut saraf somatik (nervus pudendus)
yang berfungsi mengatur relaksasi sfingter uretra eksterna dan sfingter ani
eksterna. 1,2
Nervus splancnicus pelvicus merupakan serabut aferen refleks
pengosongan vesica urinaria dan serabut eferen yang membawa informasi
parasimpatis ke vesica urinaria (VU). Volum urin sebesar 300-400 cc dalam
vesica urinaria dapat merangsang reseptor regang di VU yang kemudian
meneruskan diri sebagai impuls aferen menuju sistem saraf pusat yang kemudian
melakukan pengaturan proses berkemih melalui jalur eferen dengan
mengintegrasikan fungsi otonom (kontraksi m.detrussor vesicae dan relaksasi
sfingter uretra interna) dengan fungsi somatik (relaksasi sfingter uretra eksterna)
1,2,9

Gangguan pada nervus spinalis S2-4 dapat menyebabkan denervasi yang


menyebabkan VU melembek (flaksid) dan melebar, sphinter uretra eksterna tetap
kontraksi sehingga terjadi retensio urin. Namun berangsur-angsur otot VU
kembali aktif dan timbul banyak gelombang kontraksi yang mendorong urin
sehingga menetes melalui uretra. Inkontinensia urin ini juga dapat terjadi secara
spontan ketika VU sudah over load urin, sehingga mendesak sfingter dan menetes
dari uretra (tidak tertahankan). 1,2
Proses pengaturan defekasi juga tidak jauh berbeda dengan miksi karena
dipersarafi pula oleh nervus splanchnicus pelvicus. Impuls aferen terbentuk
ketika terjadi peregangan rectum oleh feses dengan tekanan sekitar 18 mmHg.
Gangguan pada jalur aferen dan atau eferen akan mengganggu proses defekasi
dengan mekanisme yang hamper sama dengan gangguan miksi. Hal ini
menyebabkan terjadinya retensio alvi karena ketidakmampuan pengiriman impuls
aferen dan atau impuls eferen sehingga pasien tidak mampu mengedan.1,2
Respon terhadap rangsangan psikis yang erotik dibawa oleh nervus
spinalis segmen lumbal yang kemudian timbul rangsangan untuk ereksi yang

12
dihantarkan oleh saraf eferen dari nervus splanchnicus pelvicus. Sedangkan pada
saat ejakulasi, jalur aferen sebagian besar merupakan serabut dari reseptor
sentuhan di glans penis yang mencapai medulla spinalis melalui nervus pudendus
internus. Pusat refleks spinal untuk untuk ejakulasi terletak di segmen sakral
bagian atas dan lumbal terbawah. Oleh sebab itu, gangguan pada segmen lumbal-
sakral yang terjadi pada sindroma konus medularis juga dapat menyebabkan
disfungsi ereksi dan ketidakmampuan ejakulasi (impotensi). 1,2

H. Manifestasi Klinis
Gejala yang dikeluhkan pasien dapat diperoleh melalui anamnesis.
Dengan mengetahui gejala pasien, praktisi dapat menentukan penyebab,
kronisitas dan adanya gangguan organ ekskresi dari SKM. Gejala yang dapat
dikeluhkan pasien diantaranya adalah low back pain rekurens dan progresif,
ischialgia unilateral atau bilateral, rasa tebal/kebas di daerah bokong-anus-
kemaluan (saddle anestesi), gangguan buang air besar dan buang air kecil, serta
kelemahan tungkai. 4
Low back pain dapat dibagi menjadi nyeri lokal dan radikular. Nyeri lokal
secara umum merupakan nyeri dalam akibat iritasi jaringan lunak dan corpus
vertebra. Nyeri radikular secara umum adalah nyeri yang tajam dan seperti
ditusuk-tusuk akibat kompresi radiks dorsalis. Nyeri radikular berproyeksi
dengan distribusi sesuai dermatom.
Gangguan organ viseral ditandai dengan gangguan BAK, BAB maupun
ereksi-ejakulasi. Secara khas, manifestasi gangguan buang air kecil dimulai
dengan retensi urin yang kemudian diikuti oleh inkontinensia urin overflow.
Gangguan buang air besar dapat meliputi inkontinensia maupun konstipasi. Perlu
juga digali riwayat trauma seperti jatuh, jatuh dari sepeda motor, sering
mengangkat benda berat dan riwayat operasi tulang belakang sebelumnya, begitu
pula riwayat demam untuk mengetahui kemungkinan etiologi infeksi.4
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengkonfirmasi anamnesis dan
menemukan tanda-tanda lainnya yang mungkin tidak tergali dalam anamnesis.
Saat pemeriksaan fisik dapat ditentukan keluhan unilateral atau bilateral, batas
defisit sensorik (pemeriksaan rangsang raba dan nyeri), derajat kelemahan
motorik ekstremitas inferior, penurunan/peningkatan refleks (peningkatan refleks

13
terjadi apabila lesi di atas vertebrae L1-2), penurunan tonus sfingter ani dan
refleks anal, dan bisa juga memeriksa tes laseque, patrik maupun kontra patrik
untuk memperkirakan letak lesi.5
Manifestasi klinis sindrom kauda equina dan sindrom konus medularis
hampir sama, namun ada beberapa sifat dari tanda dan gejalanya yang berbeda.
Dengan mempertimbangkan ciri-ciri pada SCE atau SCM, para praktisi dapat
memperkirakan topis pasti defisit neurologis sebelum melangkah pada
pemeriksaan penunjang sebagai gold standard. Di bawah ini merupakan tabel
rangkuman perbedaan manifestasi klinis pada SCE dan SCM. 3,4,10

Tabel 1. Perbedaan Manifestasi Klinis SCE dan SCM. 3,4,10


PEMBEDA SINDROM SINDROM
CAUDA EQUINA CONUS MEDULLARIS
Letak lesi vertebrae L2-sacrum L1-L2
Jenis lesi LMN (hipotonus, atrofi) UMN (hipertonus,
spastisitas)
Onset Bertahap Tiba-tiba
Lokasi Lesi Unilateral/bilateral Bilateral
Refleks ekstrimitas Fisiologis normal atau Fisiologi meningkat,
inferior menurun, patologis (-) patologis bisa (+)
Nyeri Berat, asimetris, radikular Sedang-ringan, bilateral dan
di area perineal
Low back pain Ringan-sedang Berat
Gangguan sensorik Saddle anesthetic/parestesi Saddle anesthetic/parestesi
asimetris, biasanya simetris, hipestesi pada
unilateral, hipestesi atau daerah perianal, simetris,
parestesi pada jalur bilateral
dermatom yang terkena,
bisa hipestesi di daerah
pubis
Kekuatan motorik Paraparese sampai flaksid Normal sampai paraparese
paralisis, asimetri, jarang ringan-sedang, simetris,
fasikulasi, sering atrofi hiperrefleks, fasikulasi dapat
terjadi
Impotensi Lebih jarang terjadi, dapat Sering terkena
berupa disfungsi ereksi,
hipestesi area pubis,
ketidakmampuan ejakulasi
Gangguan miksi dan Retensi urin atau alvi, Retensi urin atau alvi,
defekasi muncul di akhir muncul di awal
perkembangan penyakit, perkembangan penyakit,
retensi urin kemudian retensi urin kemudian
berubah menjadi berubah menjadi

14
inkontinensia urin inkontinensia urin
EMG ekstrimitas Gambaran atrofi Sebagian besar normal
inferior

I. Pemeriksaan Penunjang
Selain riwayat lengkap, pemeriksaan fisik, evaluasi neurologis dan analisis
laboratorium dasar (pemeriksaan darah lengkap, GDS, urinalisis), diagnostik
untuk SCM dapat dilihat secara radiologis. 3
1) Rontgen Vertebrae
Foto polos harus dilakukan untuk menemukan perubahan
destruktif, penyempitan ruang diskus atau hilangnya alignment spinal.
Rontgen vertebrae ini merupakan modalitas yang baik untuk menilai
adanya trauma vertebrae, spondilolistesis, skoliosis dan degenerasi diskus,
namun tidak begitu baik dalam memvisualisasikan herniasi diskus dan
kompresi conus medullaris. 4,6
2) Myelografi Lumbal
Myelografi tidak lagi dilakukan secara rutin karena bersifat invasif
dan semakin maraknya penggunanaan MRI. Myelografi dipilih pada
keadaan tertentu dimana MRI menjadi kontraindikasi (misalnya pasien
dengan pacemaker jantung). Obstruksi aliran kontras pada area kompresi
membantu untuk mengkonfirmasi level kondisi patologis yang dicurigai.
4,6

3) CT-scan dengan atau tanpa kontras


CT-scan sering lebih mudah didapatkan daripada myelografi
lumbal. CT-scan memberi detail tambahan tentang densitas dan integritas
tulang yang membantu dalam rencana terapi, khususnya pada kasus tulang
belakang di mana instrumen untuk stabilisasi dibutuhkan setelah agen yang
mengganggu dihilangkan dari regio conus medullaris. CT-scan yang
dilakukan setelah myelografi (CT-myelografi) dapat menunjukkan blok
kontras dan memperjelas kondisi patologis lebih baik dari yang
ditunjukkan dengan CT-scan biasa. 7

Gambar 5. CT Scan
Vertebrae

15
Potongan Sagital (a) dan Axial (b) yang menunjukkan adanya
sindrom Conus Medullaris.
4) MRI
MRI adalah modalitas yang paling membantu untuk diagnosis
kelainan medulla spinalis dan umumnya menjadi tes yang dipilih untuk
membantu dokter dalam mendiagnosis SCM. MRI memberikan gambaran
jaringan lunak, termasuk struktur neuron dan keadaan patologis yang
terjadi. Modalitas ini dapat mengevaluasi penyebab kompresi apakah
tumor, herniasi diskus, hematom, infeksi ataupun yang lainnya. Akan
tetapi, MRI ini kurang membantu dibanding dengan CT-scan dalam
mengevalusi arsitektur tulang dan stabilitas medulla spinalis disamping
perlunya waktu yang cukup lama untuk pasien berbaring ketika dilakukan
MRI. 4,7

Gambar 6. Gambaran MRI pasien


dengan sindroma Connus
Medullaris
J. Tatalaksana
Terapi pada SCM terdiri dari terapi konservatif dan terapi pembedahan.
1) Terapi Konservatif :
Iskemia akar saraf bertanggung jawab menyebabkan nyeri dan
berkurangnya kekuatan motorik yang berhubungan dengan conus medullaris,
sehingga terapi vasodilatasi dapat membantu pada beberapa pasien. Mean
arterial blood pressure (MABP) harus dipertahankan di atas 90 mmHg untuk
memaksimalkan aliran darah ke medula spinalis dan akar saraf. Terapi
dengan lipoprostaglandin E1 dan derivatnya telah dilaporkan efektif dalam
meningkatkan aliran darah ke regio conus medullaris dan mengurangi gejala
nyeri serta kelemahan motorik. Pilihan terapi ini apat diberikan pada pasien
dengan stenosis spinal sedang dengan neurogenic claudication. Tidak ada
keuntungan yang telah dilaporkan pada pasien dengan gejala yang lebih berat
atau pasien dengan gejala radikular. 4,9

16
Pilihan terapi medis lain berguna pada pasien-pasien tertentu, tergantung
penyebab yang mendasari konus medularis. Obat anti inflamasi dan steroid
dapat efektif pada pasien dengan proses inflamasi, termasuk spondilitis
ankilosa. Pasien dengan penyebab agen infeksius harus mendapat terapi
antibiotik yang sesuai. Pasien dengan neoplasma spinal (metastasis) harus
dievaluasi untuk program kemoterapi dan radioterapi.3
Kita harus berhati-hati dalam semua bentuk manajemen medis untuk
konus medularis. Pasien dengan konus medularis dengan gejala saddle
anesthesia dan/atau kelemahan bilateral ekstremitas bawah atau hilangnya
kontrol untuk buang air besar dan buang air kecil harus menjalani terapi
medis awal tidak lebih dari 24 jam. Jika tidak ada perbaikan gejala selama
periode tersebut, dekompresi bedah segera adalah hal yang diperlukan untuk
meminimalkan kesempatan terjadinya kerusakan saraf permanen. Selain itu,
gangguan miksi yang terjadi dapat diatasi sementara dengan pemasangan
kateter, sedangkan gangguan BAB karena menurunnya urgensi defekasi
dapat diatasi dengan evakuasi feses manual. 3,9
2) Terapi Pembedahan
Pada banyak kasus SCM, dekompresi emergensi pada canalis spinalis
merupakan pilihan terapi yang sesuai. Tujuannya adalah untuk mengurangi
tekanan pada saraf di konus medularis dengan menghilangkan agen yang
mengkompresi dan memperluas ruang canalis spinalis. Sindroma conus
medullaris merupakan emergensi bedah dan memerlukan dekompresi dalam
48 jam setelah onset gejala. 3,4
Untuk pasien di mana herniasi diskus merupakan penyebab SCM,
direkomendasikan laminotomi atau laminektomi untuk memungkinkan
dekompresi canalis spinalis. Kemudian, tindakan ini diikuti dengan retraksi
dan discectomy. Beberapa penelitian klinis dan eksperimental telah
menunjukkan data outcome fungsional berdasarkan timing dekompresi
bedah. Oleh sebab itu, sebagian besar peneliti merekomendasikan
dekompresi bedah sesegera mungkin setelah onset gejala untuk menawarkan
kesempatan terbesar dalam perbaikan fungsi neurologis. 3,4

17
K. Prognosis
Para peneliti telah mengusahakan untuk mengidentifikasi kriteria khusus
yang dapat membantu dalam memprediksi prognosis pasien dengan sindrom
konus medularis, yakni :
a) Pasien dengan siatika bilateral telah dilaporkan memiliki prognosis yang
lebih buruk dibandingkan pasien dengan nyeri unilateral.
b) Pasien dengan anestesia perineum komplit lebih mungkin untuk
mengalami paralisis kandung kencing yang permanen.
c) Luasnya defisit sensorik perineum atau saddle telah dilaporkan sebagai
predictor yang terpenting untuk kesembuhan. Pasien dengan defisit
unilateral memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan
defisit bilateral.
d) Wanita dan pasien dengan gangguan buang air besar telah dilaporkan
memiliki outcome pasca operasi yang lebih buruk.
e) Semakin pendek waktu dari onset hingga pengobatan, semakin besar
kemungkinan pengembalian fungsi.
f) Prognosis juga lebih baik pada pasien yang masih dalam tahap retensio
urin daripada pasien yang sudah mengalami inkontinensia urin.
g) Pasien-pasien yang sudah mengalami disfungsi ereksi memiliki prognosis
yang lebih buruk daripada pasien tanpa gangguan ereksi. 3,4

18
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom conus medullaris (SCM) merupakan kumpulan gejala yang


terdiri dari low back pain, ishchialgia, kelemahan motorik ekstremitas inferior,
saddle anestesia, dan hilangnya fungsi viseral, sebagai akibat dari kompresi conus
medullaris. SCM menunjukkan tanda-tanda lesi UMN dan bilateral. Etiologi
SCM yang paling sering ialah trauma, herniasi diskus, stenosis spinalis,
neoplasma, peradangan, infeksi dan iatrogenik.

Manifestasi klinis dapat berupa low back pain rekurens dan progresif,
ischialgia unilateral atau bilateral, rasa tebal/kebas di daerah bokong-anus-
kemaluan (saddle anestesi), gangguan BAK-BAB, impotensi, serta kelemahan
tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah rontgen vertebrae,
myelografi lumbal, CT scan atau MRI. Terapi SCM dapat berupa terapi
konservatif (farmakologis simtomatis dan etiologis) atau terapi pembedahan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Richard S., Neuroanatomi Klinik Edisi 7. Jakarta: EGC; 2009.


2. Ganong, William F., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC;
2008.
3. Bachr, Mathias, Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi, Fisiologi, Tanda
dan Gejala. Jakarta: EGC; 2010.
4. Bicakci, Zafer, Arzu Akyay, Seda Ozturkmen, Asli Celebi, Sebahat
Agladioglu, et al., konus medularis Syndrome and Acute Colonic Pseudo-
Obstruction in Child With Acute Lymphoblastic Leukemia. The Turkish
Journal of Pediatrics. 2011; 53: 579-582.
5. Gardner, Alan; Edward Gardner, Tim Morley., Cauda Equina Syndrome: A
Review of The Current Clinical and Medico-legal Position. European Spine
Journal. 2011; 20:690-697.
6. Tackla, Ryan D., Jeffrey T. Keller, Robert J. Ernst, Chad W. Farley, Robert J.
Bohinski, konus medularis Syndrome after Epidural Steroid Injection: Case
Report. International Journal of Spine Surgery. 2012; 6: 29-33.
7. Silbernagl, S., Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta:
EGC; 2008.
8. Wong, Jessica J., John Dufton, Silvano A. Mior, Spontaneous konus
medularis Infarction in a 79 Year-old Female with Cardiovascular Risk
Factors: Case Report. Journal of Canada Chiropractic Association. 2012;
56(1): 58-65.
9. Dawodu, Segun Toyin, Kirsten A Betchtel, Michael S Beeson, Scott D
Hodges, S Craig Humphreys, James F Kellam. Cauda Equina and Conus
Medullaris Syndromes. America : 2016.
10. Kirshblum S, Anderson K, Krassioukov A, Donovan W. Assessment
and classification of traumatic spinal cord injury. In: Kirshblum S,
Campagnolo DI, eds. Spinal Cord Medicine. Philadelphia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
11. Harrop JS, Hunt GE Jr, Vaccaro AR. Conus medullaris and cauda
equina syndrome as a result of traumatic injuries: management
principles. Neurosurg Focus. 2004
12. Podnar, Simon. Epidemiology of cauda equina and conus
medullaris lessions. 2006

20

Anda mungkin juga menyukai