Latar Belakang
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkanseringkali
oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 atau
di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih. Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi
fungsimotorik volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi
motorik volunter .
Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000orang di Amerika
Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini
lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera(Suzanne C.
Smeltzer,2001;2220). Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angkakejadian angka
kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla
spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di
bandingkan pada wanita karenaolahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi
belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan
dengan perubahan hormonal (menopause)
Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss
pada
L 2 - 3 membutuhkan
perhatian
lebih
diantaranya
dalam
pemenuhan
kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga
beresiko mengalami komplikasicedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena
profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic.
ANATOMI
Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke
selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara lain : 7 buah tulang servikal, 12
buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale
merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk
jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam
susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang
belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut.
Spinal Cord atau Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat.
Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang
disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah conus terminalis serabutserabut bukan syaraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat.
Terdapat 31 pasang syaraf spinal:
a.
Radiks dari segmen C1 sampai C7, meninggalkan kanalis spinalis melalui foramina
intervertebralis yang terletak pada sisi superior atau rostral setiap vertebra. Karena bagian
servikalis mempunyai satu segmen lebih daripada vertebra servikalis, radiks segmen ke-8
meninggalkan kanalis melalui foramina yang terletak antara vertebra servikalis ke-7 dan
torasikus ke-1. Dari sini ke bawah, radiks saraf meninggalkan kanalis melalui foramina yang
lebih bawah.
Antara C4 dan T1, dan juga antara L2 dan S3, diameter medula spinalis membesar.
Intumesensia servikalis dan lumbalis ini terjadi karena radiks dari separuh bawah bagian
servikalis naik ke pleksus brakhialis, mempersarafi ekstrimitas atas, dan yang dari regio lumbosakral membentuk pleksus lumbosakralis, mempersarafi ekstrimitas bawah.
Pembentukan pleksus-pleksus ini menyebabkan serat-serat dari setiap pasang radiks
bercabang menjadi saraf-saraf perifer yang berbeda; dengan kata lain, setiap saraf perifer dibuat
dari serat beberapa radiks segmental yang berdekatan. Ke arah perifer dari saraf, serat saraf
aferen berasal dari satu radiks dorsalis yang bergabung dan mensuplai daerah segmen tertentu
dari kulit, disebut dermatom atau daerah dermatomik.
Dermatom berjumlah sebanyak radiks segmental. Dermatom-dermatom letaknya saling
tumpang tindih satu sama lain, sehingga hilangnya satu radiks saja sulit untuk dideteksi. Harus
terjadi hilangnya beberapa radiks yang berdekatan supaya dapat timbul hilangnya sensorik dari
karakter segmental. Dermatom berhubungan dengan berbagai segmen radiks medula spinalis,
sehingga mempunyai nilai diagnostik yang besar dalam menentukan tingkat ketinggian dari
kerusakan medula spinalis.
Patofisiologi
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu
lintas, kecelakakan olah raga, mengakibatkan patah tulang belakang; paling banyak cervicalis
dan lumbalis. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi,
sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang,
laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, blok syaraf parasimpatis pelepasan
mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan
hipoksemia syok spinal gangguan fungsi rektum, kandung kemih. Gangguan kebutuhan
gangguan rasa nyaman, nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia,
gangguan eliminasi.
Sebuah kejadian patofisiologis yang kompleks yang berhubungan dengan radikal bebas,
edema vasogenic, dan aliran darah diubah rekening untuk pemburukan klinis. Oksigenasi
normal, perfusi, dan asam-basa keseimbangan yang diperlukan untuk mencegah memburuknya
cedera sumsum tulang belakang.
Cedera tulang belakang dapat dipertahankan melalui mekanisme yang berbeda, dengan 3
kelainan umum berikut yang menyebabkan kerusakan jaringan:
1. Penghancuran dari trauma langsung
2. Kompresi oleh fragmen tulang, hematoma, atau bahan disk yang
3. Iskemia dari kerusakan atau pelampiasan pada arteri spinalis
Edema bisa terjadi setelah salah satu jenis kerusakan.
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung dan tidak
langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas pada tulang belakang
adalah penyebab cedera pada medula spinalis secara tidak langsung. Apabila trauma terjadi
dibawah segmen cervical dan medula spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan
berakibat terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot yang dsarafi dengan manifestasi
kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua
anggota gerak bawah serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi persarafan yang
terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan sensoris pada regio yang disarafi oleh segmen
yang cedera tersebut.
Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :
1. Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah level lesi.
2. Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di bawah
level lesi.
3. Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak fungsional.
4. Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan fungsional.
5. Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit neurologisnya.
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat
trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya
yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologi (Sjamsuhidayat, 1997).
Spinal Cord Injury (SCI) adalah cedera yang terjadi karena trauma sumsum tulang
belakang atau tekanan pada sumsum tulang belakang karena kecelakaan yang dapat
mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi baik sementara atau permanen di motorik
normal, indera, atau fungsi otonom serta berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi).
Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sesuatu (seperti: tulang, disk, atau benda asing)
masuk atau mengenai spinal dan merusakkan spinal cord atau suplai darah (AACN, Marianne
Chulay, 2005 : 487).
B. Klasifikasi Spinal Cord Injury
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional Medical
Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan standart
internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi ini
berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak negara
karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhemsif. Skala kerusakan menurut ASIA/
IMSOP Grade A Komplit Tidak ada fungsi motorik/ sensorik yg diinervasi oleh segmen sakral 45 Grade B Inkomlpit Fungsi sensorik tapi bukan motorik dibawah tingkat lesi dan menjalar
sampai segmen sakral (S4-5). Grade C Inkomlpit Gangguan fungsi motorik di bawah tingkat lesi
dan mayoritas otot-otot penting dibawah tingkat lesi memiliki nilai kurang dari 3. Grade D
Inkomlpit Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan meyoritas otot-otot penting
memiliki nilai lebih dari 3. Grade E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.Terdapat 5 sindrom utama
cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu :
(1) Central Cord Syndrome,
(2) Anterior Cord Syndrome,
(3) Brown Sequard Syndrome,
(4) Cauda Equina Syndrome, dan
(5) Conus Medullaris Syndrome.
Lee menambahkan lagi sebuah sindrom inkomplet yang sangat jarang terjadi yaitu
Posterior Cord Syndrome.
Central Cord Syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah cedera hiperekstensi. Sering terjadi
pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervicalis. Predileksi lesi yang paling
sering adalah medula spinalis segmen servikal, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus
tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat
penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau
material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis yang paling rentan adalah bagian dengan
vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord Syndrome, bagian yang
paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang
ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera. Sebagian
besar kasus Central Cord Syndrome menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada
T2, yang mengindikasikan adanya edema.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen pada
ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya
lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai
disabilitas neurologik permanent. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering
adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medula spinalis C6 dengan ciri
LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus dilaporkan disabilitas permanen
yang unilateral.
Cauda Equina Syndrome disebabkan oleh berbagai penyempitan dari kanalis spinalis
yang menekan radiks saraf dibawah korda spinalis. Beberapa penyebab yang sering dilaporkan
adalah Luka trauma, herniasi diskus, stenosis spinal, inflamasi, kondisi infeksi dan massa.
Nama Sindroma
Central cord syndrome
Cedera pada posisi sentral dan sebagian pada daerah lateral.
Dapat sering terjadi pada daerah servikal
Menyebar ke daerah sacral. Kelemahan otot ekstremitas atas dan ekstremitas bawah jarang
terjadi pada ekstremitas bawah
Brown- Sequard Syndrome
Anterior dan posterior hemisection dari medulla spinalis atau cedera akan menghasilkan medulla
spinalis unilateral
Kehilangan ipsilateral proprioseptiv dan kehilangan fungsi motorik.
Anterior cord syndrome
Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis
Kehilangan funsgsi motorik dan sensorik secara komplit.
Posterior cord syndrome
Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis
Kerusakan proprioseptiv diskriminasi dan getaran. Funsgis motor juga terganggu
Cauda equine syndrome
Kerusakan pada saraf lumbal atau sacral samapi ujung medulla spinalis
Kerusakan sensori dan lumpuh flaccid pada ekstremitas bawah dan kontrol berkemih dan
defekasi.
Sedangkan secara lebih spesifik lagi, Holdsworth membuat klasifikasi Spinal Cord Injury
(SCI) sebagai berikut :
1. Cedera Fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya
dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan mengakibatkan wedge
fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
2. Cedera Fleksi-Rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang
juga terdapat pada prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi
fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan
cedera yang paling tidak stabil.
3. Cedera Ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan
herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi,
maka cedera ini masih tergolong stabil. Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan
pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture. Cedera robek langsung (direct
shearing) biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada
punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur
ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan
cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera
kompresi korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan
cedera yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice
injury), dan burst fracture hebat.
4. Cedera Stabil Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum ditemukan
dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan
penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istirahat total di
tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia
simpatik. Jika baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan.
Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang
berkepanjangan tidak lazim ditemukan.
5. Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit
neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien dapat diberikan berupa analgetik dan korset.
6. Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial yang terdiri dari 2 jenis : (1) protrusi
diskuske dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien
muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra kedalam tulang berpori yang
lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi yang dapat
diberikan berupa analgetik, istirahat ditempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk
beberapa minggu. Meskipun fraktura ledakan agak stabil, keterlibatan neurologik dapat
terjadikarena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi
radiologik yang lebih pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik, pasien ditangani
dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala akut menghilang. Direkomendasikan juga
untuk menggunakan brace atau jaket gips untuk menyokong vertebra yang dapat digunakan
selama 3 atau 4 bulan. Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari
kanalisneuralis. Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang
kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi.
7. Cedera Tidak Stabil Rotasi-Fleksi
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra
yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus ditangani dengan
hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi
pada daerah transisional T10 sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari
gangguan neurologik. Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan),
dekompresi dengan memindahkan unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan
berbagai alat metalik diindikasikan.
8. Fraktura Potong
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah. Pedikel
atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah toraks, mengakibatkan
paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi
gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura
iniditangani seperti pada cedera fleksi-rotasi.
9. Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman.
Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah
direkomendasikan.
diafragma mungkin diperlukan untuk mengatur orang-orang yang bernapas dalam kasus ini. Efek
lain dari SCI mungkin termasuk tekanan darah rendah postural (Hipotensi postural),
ketidakmampuan untuk mengatur tekanan darah dengan efektif, kontrol penurunan suhu tubuh
(poikilothermic), ketidakmampuan untuk berkeringat di bawah tingkat cedera, dan rasa sakit
kronis.
MANIFESTASI KLINIS
- nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
- paraplegia
- tingkat neurologik
- paralisis sensorik motorik total
- kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
- penurunan keringat dan tonus vasomoto
- penurunan fungsi pernafasan
- gagal nafas
PEMERIKSAN DIAGNOSTIK
Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah
dilakukan traksi atau operasi
CT Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya tidak jelas
atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan
dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma,
atelektasis)
Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal
khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan
gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
Tanda dan Gejala Paraplegi Akibat Spinal Cord Injury
a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan
sel-sel saraf pada medula spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid
paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medula spinalis yang
cedera. Pada awal kejadian akan mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah
kejadian sampai beberapa hari bahkan sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai
dengan hilangnya reflek dan flacid. Apabila lesi terjadi di mid thorakal maka gangguan
refleknya lebih sedikit tetapi apabila terjadi di lumbal beberapa otot-otot anggota gerak
bawah akan mengalami flacid paralisis (Bromley, 1991). Masa spinal shock berlangsung
beberapa jam bahkan sampai 6 minggu kemudian akan berangsur - angsur pulih dan menjadi
spastik. Cedera pada medula spinalis pada level atas bisa pula flacid karena disertai
kerusakan vaskuler yang dapat menyebabkan matinya sel sel saraf
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain
dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel
yang ada di saraf pusat mengalami gangguan.(Crosbie,1993). Selain itu kulit dibawah level
kerusakan akan mengalami anaesthes, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Efek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera medula spinalis, derajat
kerusakan medula spinalis, dan waktu setelah terjadinya injury. Paralisis bladder terjadi pada
hari-hari pertama setelah injury selama periode spinal shock. Seluruh reflek bladder dan
aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif
incontinensia.
Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitakan kontraksi otot polos
sigmoid dan rectum serta relaksasii otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan
rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang
berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid
dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid
dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja
didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter,
karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua
kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut
dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah
dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan
(Sidharta, 1999).
d. Gangguan fungsi seksual
Th7, Th8 perlu mendapatkan pengawasan khusus biasanya oleh rumah sakit sampai
proses kehamilan.
e. Autonomic desrefleksia
Autonomic desrefleksia adalah reflek vaskuler yang terjadi akibat respon stimulus
dari bladder, bowel atau organ dalam lain dibawah level cedera yang tinggi, fisioterapi harus
tanggap terhadap tanda-tanda terjadinya autonomic desrefleksia antara lain 1) keluar banyak
keringat pada kepala, leher, dan bahu, 2) naiknya tekanan darah, 3) HR rendah, 4) pusing
atau sakit kepala. Overdistension akibat terhambatnya kateter dapat meningkatkan aktifitas
dari reflek ini jika tidak cepat ditanggulangi dapat menyebabkan pendarahan pada otak,
bahkan kematian. Dapat juga disebabkan oleh spasme yang kuat dan akibat perubahan pasisi
yang tiba-tiba, seperti saat tilting table.
Pengobatan Cedera Spinal Cord
Perawatan dimulai dengan personel gawat darurat medis yang membuat evaluasi awal
dan melumpuhkan pasien untuk transportasi. Perawatan medis segera dalam 8 jam pertama
setelah cedera adalah penting untuk pemulihan pasien. Saat ini ada banyak pengetahuan lebih
besar tentang bergerak dan penanganan pasien cedera tulang belakang. Salah teknik yang
digunakan pada tahap ini bisa memperburuk cedera jauh.
Bila cedera terjadi dan untuk periode waktu sesudahnya, sumsum tulang belakang
merespon dengan pembengkakan. Pengobatan dimulai dengan obat steroid, ini dapat diberikan di
tempat kejadian oleh Dokter ambulans udara atau paramedis terlatih. Obat ini mengurangi
peradangan di daerah luka dan membantu untuk mencegah kerusakan lebih lanjut untuk
membran sel yang dapat menyebabkan kematian saraf. Hemat saraf dari kerusakan lebih lanjut
dan kematian adalah sangat penting.
Cedera setiap pasien adalah unik. Beberapa pasien memerlukan operasi untuk
menstabilkan tulang belakang, memperbaiki misalignment kotor, atau untuk menghapus kabel
jaringan menyebabkan atau kompresi saraf. Spinal stabilisasi sering membantu untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut. Beberapa pasien mungkin ditempatkan dalam traksi dan tulang belakang
diperbolehkan untuk menyembuhkan secara alami. Setiap cedera yang unik seperti program
pengobatan cedera posting yang berikut.
Tergantung pada keadaan, ketika pembedahan diperlukan, dapat dilakukan dalam 8 jam
setelah cedera. Pembedahan dapat dipertimbangkan jika sumsum tulang belakang dikompresi
dan ketika tulang belakang memerlukan stabilisasi. Dokter bedah memutuskan prosedur yang
akan memberikan manfaat terbesar bagi pasien.
Jaringan yang berbeda dan struktur tulang vertebra termasuk sejajar dari kekuatan cedera,
herniated disc, atau hematoma dapat menyebabkan kompresi sumsum tulang belakang. Sebuah
tulang belakang tidak stabil mungkin memerlukan instrumentasi tulang belakang dan fusi untuk
membangun dalam dukungan.
Instrumentasi tulang belakang dan fusi dapat digunakan untuk memberikan stabilitas
permanen ke kolom tulang belakang. Ini prosedur yang benar, bergabung, dan memantapkan
tingkat di mana elemen tulang belakang telah rusak atau dihapus (misalnya disc hernia)
Instrumentasi menggunakan perangkat keras yang dirancang medis seperti batang, bar,
kabel dan sekrup. Instrumentasi dikombinasikan dengan fusi (cangkok tulang) untuk secara
permanen bergabung dua atau lebih tulang belakang.
pengobatan berfokus pada perawatan suportif dan rehabilitasi. Anggota keluarga, perawat, atau
wali dilatih khusus memberikan perawatan suportif. Perawatan ini mungkin termasuk membantu
pasien mandi, berpakaian, mengubah posisi untuk mencegah luka baring, dan bantuan lainnya.
Rehabilitasi sering mencakup terapi fisik, terapi okupasi, dan konseling bagi dukungan
emosional. Setiap program dirancang untuk memenuhi kebutuhan unik pasien. Layanan mungkin
awalnya diberikan ketika pasien dirawat di rumah sakit atau pada unit spesialis cedera tulang
belakang. Setelah rawat inap, beberapa pasien yang dirawat di sebuah fasilitas rehabilitasi.
Pasien lain dapat melanjutkan rehabilitasi secara rawat jalan dan / atau di rumah.
Program fisioterapi (PT) dapat memfasilitasi pemulihan kekuatan otot, fleksibilitas,
meningkatkan mobilitas, koordinasi, dan mempertahankan fungsi tubuh melalui latihan. Pijat,
hidroterapi, dan perawatan lain dapat membantu untuk meredakan nyeri.
Terapi Okupasi (PL) mengajarkan pasien bagaimana menghadapi kehidupan sehari-hari.
PL mendorong kemerdekaan dengan membantu pasien dengan tugas-tugas sehari-hari seperti
berpakaian, persiapan mandi, makanan, pergi ke toilet, dan kegiatan lain sehari-hari.
Pidato dan terapi bahasa dapat dimasukkan. Keterampilan ini menyeberang ke tempat
kerja, membantu pasien mengembangkan potensi penuh mereka. Ini mungkin termasuk mengajar
pasien bagaimana menggunakan otot-otot yang berbeda untuk menyelesaikan tugas-tugas seperti
menulis.
Kadang-kadang lebih dari dukungan dari keluarga dan teman-teman yang dibutuhkan
untuk mengatasi cedera tulang belakang
Penatalaksanaan Fisioterapi
Diagnosis Fisioterapi
1. Impairment : - nyeri pada daerah insisi
- penurunan kekuatan otot-otot tungkai
- potensial terjadinya atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai
- menurunnya ROM tungkai
- gangguan sensasi
- gangguan fungsi kontrol bladder dan bowel
2. Functional Limitation : - gangguan seperti miring, duduk, dan berdiri serta gangguan
aktifitas berjalan.
3. Disability : - pasien tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaannya sehari-hari.
Tujuan Fisioterapi
1. Mengurangi nyeri
2. Meningkatkan kekuatan otot-otot tungkai
3. Mencegah atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai
4. Meningkatkan ROM tungkai
5. Merangsang dan mengembalikan rasa sensasi
6. Mengembalikan ke ADL yang mandiri
Tahap pertama pembelajaran keseimbangan duduk yang baik, memperkuat otot dan
transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu untuk rehabilitasi tersisa untuk
mengambil tempat di Unit Luka Spinal. Hanya suatu unit khusus dengan tim multi-disiplin dapat
mengajarkan sejumlah besar keterampilan yang tersisa diperlukan untuk hidup mandiri. Tingkat
independensi pasien dapat mencapai tergantung pada banyak faktor seperti tingkat dari cedera
tulang belakang, usia orang, setiap co-ada kondisi medis dan motivasi dan dukungan keluarga.
Tingkat
Kemampuan
Tujuan Fungsional
Pernapasan: Tergantung pada ventilator
atau implan untuk mengendalikan
pernapasan.
Komunikasi: Berbicara kadang sulit, sangat
terbatas atau tidak mungkin. Jika
kemampuan berbicara yang terbatas,
komunikasi dapat dilakukan secara
independen dengan tongkat mulut dan
teknologi bantu seperti komputer untuk
pidato atau mengetik. Komunikasi verbal
yang efektif memungkinkan individu dengan
SCI untuk mengarahkan perawat dalam
kegiatan sehari-hari orang tersebut, seperti
mandi, berpakaian, kebersihan pribadi,
mentransfer serta kandung kemih dan usus
manajemen.
Tugas sehari-hari: Teknologi Assistive
memungkinkan untuk kemerdekaan dalam
tugas-tugas seperti halaman berubah,
dengan menggunakan telepon dan lampu
operasi dan peralatan.
Mobilitas: Dapat mengoperasikan sebuah
kursi roda listrik dengan menggunakan
bahu mereka.
C5
khusus.
memperpanjang pergelangan
tangan.
C7
dengan kemampuan
ditambahkan untuk
meluruskan / nya siku.
alami.
manajemen.
Mobilitas: Menggunakan kursi roda manual.
Dapat mentransfer secara independen.
T7-
T12
meningkat.
cedera, ada berbagai tingkat berjalan dengan perangkat yang lebih sedikit
pengembalian sukarela
kandung kemih, usus dan
fungsi seksual.
Prognosis
Prognosis pada kasus paraplegi ini tergantung pada level cedera dan klasifikasi spinal
cord injuri dan prognosis ini dilihat dari segi quo ad vitam (mengenai hidup metinya penderita),
segi quo ad sanam (mengenai penyembuhan), segi quo ad cosmetican (ditinjau dari kosmetik)
dan segi quo ad fungsionam (ditinjau dari segi aktifitas fungsional). Sehingga prognosis yang
terjadi kemungkinan baik, dubia (ragu-ragu) dan jelek. Dubia dibagi menjadi 2 yaitu ragu-ragu
kearah baik (dubia ad bonam) dan dubia kearah jelek (dubia ad malam). Secara garis besar
prognosis dari paraplegi akibat cedera medula spinalis adalah jelek karena medula spinalis
merupakan salah satu susunan saraf pusat dan bila mengalami kerusakan akan terjadi kecacatan
yang permanen.
Komplikasi
Komplikasi yang sering muncul pada kasus paraplegi adalah antara lain :
a. Chest complication
Istirahat ditempat tidur mengakibatkan gangguan tahanan mekanik akibat dari
penurunan seluruh dan pengurangan pengembangan otot-otot intercostal, diafragma, dan
abdominal saat pernafasan supinasi. Sendi kostovertebral dan kostokondral serta otot-otot
abdominal bisa jadi terfiksasi dalam proses okspirasi. Sehingga menyebabkan penurunan
inspirasi maksimal dan berakibat pada penuruan kapasitas pernafasan vital dan fungsional.
Hal ini menyebabkan perbedaan regional dalam rasio vertilasi /perfusi di daerah yang
kontilasinya buruk serta daerah yang perfusinya berlebihan dan pirauarterio venosa. Jika
terjadi peningkatan kebutuhan metabolisme maka terjadilah hipoksia. Fungsi mukosiliaris
juga terganggu maka sekresi mukus mengumpul pada bronkioli saluran nafas yang
tergantung, sehingga menimbulkan atelektasis dan pneumonia hipostatik
b. Deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru
Pasien paraplegi beresiko tinggi mengalami DVT. (Garrison, 1995). DVT ditandai
dengan adanya pembengkakan pada kaki, eritema dan suhu yang cenderung rendah. Sering
ditemukan oleh fisioterapis ketika melakukan pemeriksaaan gerak pasif pada salah satu atau
kedua anggota gerak bawah. Jika DVT positif maka latihan dihentikan sampai diberikan anti
koagulan sehingga sistem vaskuler menjadi stabil kembali. Jika DVT tidak terdiagnosis maka
perlu diperhatikan terjadinya emboli yang biasanya terjadi pada hari ke 10 40
c. Pressure sore
Pressure sore disebut juga ulcus decubitus, disebabkan karena lamanya penekanan
yang menyebabkan iskemik kemudian nekrosis pada jaringan lunak diatas tonjolan-tonjolan
tulang seperti sacrum, iscium, trocanthor, dan tumit. Pembengkakan, malnutrisi, anemia,
hipoalbuminemia dan kelumpuhan merupakan faktor-faktor pedukung
d. Spastisitas
Setelah cedera tulang belakang sel-sel saraf di bawah tingkat cedera menjadi terputus
dari otak. Setelah periode perubahan kejutan tulang belakang terjadi pada sel-sel saraf yang
mengontrol aktivitas otot. Kelenturan adalah berlebihan dari refleks normal yang terjadi
ketika tubuh dirangsang dengan cara tertentu. Setelah cedera tulang belakang, ketika saraf
bawah cedera menjadi terputus dari yang di atas, tanggapan ini menjadi dibesar-besarkan.
Kejang otot, atau kekejangan, dapat terjadi setiap saat tubuh dirangsang bawah
cedera. Hal ini terutama terlihat ketika otot-otot yang meregang atau ketika ada sesuatu yang
menjengkelkan tubuh bawah cedera. Nyeri, peregangan, atau sensasi lain dari tubuh
ditransmisikan ke sumsum tulang belakang. Karena diskoneksi, sensasi ini akan
menyebabkan otot untuk kontrak atau kejang.
Hampir segala sesuatu dapat memicu kekejangan. Beberapa hal, bagaimanapun, dapat
membuat kelenturan lebih dari masalah. Infeksi kandung kemih atau infeksi ginjal seringkali
akan menyebabkan kekejangan untuk meningkatkan banyak. Sebuah kerusakan kulit juga
akan meningkat kejang. Pada seseorang yang tidak melakukan latihan rentang gerak teratur,
otot dan sendi menjadi kurang fleksibel dan hampir setiap stimulasi ringan dapat
menyebabkan kekejangan parah.
Beberapa kekejangan selalu dapat hadir. Cara terbaik untuk mengelola atau
mengurangi kejang yang berlebihan adalah dengan melakukan berbagai program harian
olahraga gerak. Menghindari situasi seperti infeksi kandung kemih, kerusakan kulit, atau luka
pada kaki dan kaki juga akan mengurangi kekejangan. Ada tiga obat utama yang digunakan
untuk mengobati kejang-kejang, baclofen, Valium, dan Dantrium. Semua memiliki beberapa
efek samping dan tidak sepenuhnya menghilangkan spastisitas.
Ada beberapa manfaat bagi kelenturan. Hal ini dapat berfungsi sebagai mekanisme
peringatan untuk mengidentifikasi rasa sakit atau masalah di daerah di mana tidak ada
sensasi ada. Banyak orang tahu kapan infeksi saluran kemih akan datang oleh peningkatan
kejang otot. Kelenturan juga membantu untuk mempertahankan ukuran otot dan kekuatan
tulang. Ini tidak menggantikan berjalan, tapi itu tidak membantu untuk beberapa derajat
dalam mencegah osteoporosis. Kelenturan membantu menjaga sirkulasi dalam kaum kiri. TI
dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas fungsional tertentu seperti melakukan transfer
atau berjalan dengan kawat gigi. Untuk alasan ini, pengobatan biasanya dimulai hanya ketika
kelenturan mengganggu tidur atau batas kapasitas fungsional individu.
e. Kontraktur
Kontraktur adalah hilangnya jangkauan gerak suatu sendi. Hal ini merupakan akibat
dari hilangnya fleksibilitas jaringan lunak yang dikarenakan imobilisasi. Timbulnya
kontraktur merupakan salah satu kecacatan yang paling parah karena berpengaruh besar pada
hasil akhir fungsional dan rehabilitasi
f. Osteoporosis dan fraktur
Dalam pembentukan tulang dan penyerapan kalsium pada tulang sangat dipengaruhi
oleh rangsangan dari tumpuan berat badan, gravitasi, dan kontraksi otot. Pada kondisi
paraplegi karena adanya kelumpuhan maka rangsangan tersebut tidak terjadi sehingga
berpotensi timbulnya osteoporisis dan bila berkepanjangan dapat menyebabkan atrofi tulang.
Osteoporosis dapat menyebabkan fraktur kompresi pada corpus vertebra dan tulang panjang
penumpu berat badan hanya dengan trauma kecil serta mempermudah pasien untuk
mengalami fraktur panggul
g. Heterotopic ossification
Heteroptopic ossification merupakan pembentukan tulang pada jaringan lunak,
biasanya terjadi pada sendi besar seperti hip dan knee. Umumnya baru diketahui satu hingga
empat bulan setelah cedera dan lebih sering terjadi pada cedera komplit. Patogenesisnya
tidak jelas.
Juga disebut, atelektasis atau aspirasi. Pasien dengan cedera tulang belakang di atas
tingkat T4 cedera berada pada risiko untuk mengembangkan pembatasan dalam fungsi
pernapasan, penyakit paru-paru disebut terbatas. Hal ini terjadi lima sampai 10 tahun setelah
cedera sumsum tulang belakang dan dapat menjadi progresif di alam. Individu tunadaksa
sebagai bagian dari rutinitas perawatan kesehatan pemeliharaan harus memiliki studi fungsi
paru pada tahunan atau setiap-lain-tahun interval antara lima dan 10 tahun pasca cedera.
Sebagai
pengobatan
medis
dari
cedera
sumsum
tulang
belakang-individu
terus
Apley, Graham, dkk. 1995. Buku ajar ortopedi dan fraktur system apley edisi ke 7. Jakarta:
Penerbit Widya Medika
Braddom, Randall. 2007. physical medicine & rehabilitation third edition . USA : penerbit
Saunders Elsevier.
Ester, Monica. 2010. Diagnosis Keperawatan definisi dan klasifikasi 2009-2011/editor. Jakarta :
EGC.
Luckman, J. and Sorensens R.C. 1993. Medical Surgical Nursing a Psychophysiologic approach,
Ed : 4. Philadelphia ; WB, Souders Company.
REFERAT
SPINAL CORD INJURY
Disusun Oleh :
Samtim Adhi
H2A008039