Anda di halaman 1dari 4

Stres oksidatif adalah suatu kondisi, dimana produksi radikal bebas melebihi dari jumlah antioksidan dalam

tubuh.1 Kondisi yang tidak seimbang ini sangat potensial menyebabkan kerusakan sel pada semua organ
tubuh. Menurut Blokhina dkk.2 dan Esti3 terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif
yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen diantaranya aktivitas fisik berat, stres psikologi,
inflamasi, kanker dan kematian sel. Sedangkan faktor eksogen diantaranya konsumsi makanan (protein,
karbohidrat, lemak, alkohol, kopi), polutan udara (asap rokok, asap kendaraan), obatobatan, radiasi dan
absorban kulit (insektisida, DDT) (Yunarsa & Adiatmika, 2018).

Manusia dan hewan membutuhkan oksigen untuk mendapatkan energi dan air. Secara normal diperkirakan,
dua sampai lima persen oksigen yang dikonsumsi selama respirasi tidak direduksi secara sempurna menjadi
air dan energi dalam proses rantai transport elektron di mitokondria. Hal ini menyebabkan terbentuknya
radikal bebas yang lebih dikenal sebagai reactive oxygen species (ROS). Reactive Oxygen Species (ROS)
yang awal terbentuk adalah anion superoksida. Menurut Kevin dkk.4 Reactive Oxygen Species adalah
metabolit molekul oksigen yang mempunyai reaktivitas tinggi bila dibandingkan dengan oksigen. (Yunarsa &
Adiatmika, 2018).

Tubuh secara normal memiliki mekanisme pertahanan alami berupa enzim antioksidan intrasel dalam usaha
untuk mengatasi ROS. Adapun enzim antioksidan intrasel tersebut yaitu superoxide dismustase (SOD),
glutation peroksidase (GPx) dan Catalase (Cat). Ketiga enzim tersebut tersebar di dalam jaringan tubuh dan
organ seperti hati,ginjal, jantung, limpa dan lain lain dengan jumlah yang berbeda.5 (Yunarsa & Adiatmika,
2018).

Kondisi aktivitas fisik berat dikaitkan dengan terjadi peningkatan ROS karena di dalam tubuh terjadi
peningkatan aktivitas metabolisme di berbagai organ tubuh termasuk di hati. Selama aktivitas fisik berat
konsumsi oksigen oleh seluruh tubuh meningkat 10-20 kali lipat dibanding dalam keadaan istirahat dan aliran
oksigen ke dalam berbagai organ juga meningkat, bahkan pada otot aktif dapat meningkat sampai 100-200
kali lipat.6 Sehingga ROS yang terbentuk meningkat secara drastis dan kadar enzim antioksidan juga
mengalami perubahan dalam rangka untuk menanggulangi dan menetralkan kelebihan ROS yang terbentuk.
(Yunarsa & Adiatmika, 2018).

Jika keadaan ini berlangsung terus-menerus maka tubuh berada dalam keadaan stres oksidatif, sehingga
berimplikasi pada berbagai kondisi patologis seperti kerusakan sel pada organ seperti hati, ginjal, jantung,
limpa, dan lain sebagainya. Kerusakan ini dapat berakhir pada kematian sel, gangguan fungsi organ, dan
mempercepat penyakit degeneratif seperti kanker, gangguan sistem imun, dan proses penuaan dini.4 (Yunarsa
& Adiatmika, 2018).
Efek dari radikal bebas atau ROS jika tidak segera ditangani dengan baik akan menjadi masalah serius dalam
bidang kesehataan yang berdampak pada pembiayaan kesehatan dan kualitas sumber daya manusia. Oleh
karena itu pada penelitian ini akan diamati pengaruh aktivitas fisik berat terhadap kadar SOD pada organ hati,
sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan akibat ROS. (Yunarsa & Adiatmika, 2018).

Efek penghambatan pada enzim asetilkolinesterase akan menimbulkan penumpukan asetilkolin dalam tubuh,
sehingga asetilkolin akan menstimulasi pembentukan nitric oxide (NO) (Zhao et al., 2015; Qodar et al., 2019).
Kadar NO yang tidak terkontrol akan menimbulkan penurunan kadar glutathione (GSH) yang berfungsi
sebagai antioksidan alami dalam tubuh, sehingga menimbulkan kondisi stres oksidatif dan memicu
pembentukan senyawa dan ion radikal (Barnett & Buxton, 2017; Qodar et al., 2019). Senyawa dan ion radikal
yang diproduksi dikombinasikan dengan sifat diazoxon yang prooksidan dapat menimbulkan kerusakan
jaringan ginjal yang lebih luas melalui mekanisme lipid peroksidasi (Qodar et al., 2019).
Menurut Klein (2008) kolinesterase merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme
asetilkolin pada sinaps setelah asetilkolin dilepaskan oleh neuron presinaptik. Adanya inhibisi kolinesterase
akan menyebabkan asetilkolin tertimbun di sinaps sehingga terjadi stimulasi yang terus menerus pada reseptor
post sinaptik. asetilkolin yang dibentuk pada seluruh sistem saraf akan menimbulkan manifestasi klinis yang
jelas pada saraf otonom (Anggraini & Pratiwi, 2018).
Menurut Costa (2008) manifestasi klinis inhibisi kolinesterase pada ganglion simpatis akan meningkatkan
rangsangan simpatis berupa midriasis, hipertensi dan takikardia. Inhibisi kolinesterase pada ganglion
parasimpatis akan menghasilkan peningkatan rangsangan saraf parasimpatis dengan manifestasi klinis miosis,
hipersalivasi dan bradikardi. Organofosfat merupakan pestisida yang memiliki efek irreversibel dalam
menginhibisi kolinesterase dengan membentuk phosporilated enzyme (enzyme-OP-complex) (Klaassen,
2008; Anggraini & Pratiwi, 2018).
Intoksikasi akan berhenti bila ada reaktivasi kompleks CheA-OP dengan proses yang lambat (Dermawan,
2013; Anggraini & Pratiwi, 2018). Enzim glutation peroksidase (GPX) sangat berperan dalam mengaktifan
kembali enzim kolinesterase melalui beberapa proses yaitu: (1) Pengaktifan AMP siklik yang pada akhirnya
akan mengaktifkan kolinesterase secara langsung; (2) Menyeimbangkan NADP dan NADPH pada jalur
glikolisis aerobik di dalam eritrosit sehingga mencegah eritrosit dari kerusakan, kerusakaneritrosit dapat
menurunkan produksi kolinesterase darah; (Fukami & Shishido, 1979; Anggraini & Pratiwi, 2018) (3) Sebagai
antioksidan untuk melindungi sel termasuk eritrosit dari kerusakan akibat radikal bebas; (Casida & Quistad,
2004; Anggraini & Pratiwi, 2018) (4) Sebagai kofaktor proses oksidasi dealkilasi ikatan organofosfat dengan
kolinesterase darah; (5) Penambahan Selenium akan meningkatkan konsentrasi GPX yang selanjutnya akan
meningkatkan konsentrasi enzim kolinesterase darah (Mehdi et al., 2013; Anggraini & Pratiwi, 2018).
Senyawa dan ion radikal yang diproduksi dikombinasikan dengan sifat pestisida dapat
menimbulkan kerusakan jaringan ginjal yang lebih luas melalui mekanisme lipid peroksidasi (Qodar et
al., 2019).
Glutathione Peroksidase (GPX) merupakan nama umum dari keluarga enzim dengan aktivitas
peroksidase yang berperan dalam melindungi organisme dari bahaya stres oksidatif. Fungsi biokimiawi
dari GPX adalah menurunkan hidroperoksidasi lipid dan menurunkan hidrogen peroksida bebas untuk
diubah menjadi air. Peroksidasi lipid merupakan kerusakan dari lipid yang disebabkan reaksi oksidasi
pada ikatan rangkap rantai karbon. Sejumlah besar radikal bebas yang merupakan sumber kerusakan
dihasilkan selama proses peroksidasi lipid. Membran lipid merupakan bagian yang mudah terkena proses
peroksidasi lipid dengan akibat kerusakan membran sel yang akan diikuti oleh kerusakan organorgan lain
dalam sel seperti: mitokondria, retikulum endoplasma, lisosom dan peroksisom (Wibowo, 2013).
Enzim glutation peroksidase (GPX) sangat berperan dalam mengaktifan kembali enzim
kolinesterase melalui beberapa proses yaitu:
(1) Pengaktifan AMP siklik yang pada akhirnya akan mengaktifkan kolinesterase secara langsung
(Anggraini & Pratiwi, 2018);
(2) Menyeimbangkan NADP dan NADPH pada jalur glikolisis aerobik di dalam eritrosit sehingga
mencegah eritrosit dari kerusakan, kerusakaneritrosit dapat menurunkan produksi kolinesterase darah
(Fukami & Shishido, 1979; Anggraini & Pratiwi, 2018);
(3) Sebagai antioksidan untuk melindungi sel termasuk eritrosit dari kerusakan akibat radikal bebas
(Casida & Quistad, 2004; Anggraini & Pratiwi, 2018),
(4) Sebagai kofaktor proses oksidasi dealkilasi ikatan organofosfat dengan kolinesterase darah
(Anggraini & Pratiwi, 2018);
(5) Penambahan Selenium akan meningkatkan konsentrasi GPX yang selanjutnya akan meningkatkan
konsentrasi enzim kolinesterase darah (Mehdi et al., 2013; Anggraini & Pratiwi, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, D. I. and Pratiwi, A., 2018. Vitamin C dan Selenium ( Se ): Pencegah Keracunan Pestisida.
Journal Agromedicine (on-line), 5: 503–507. Available from: URL:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/download/1992/pdf.
Barnett, S. D. and Buxton, I. L. O., 2017. The Role of S-nitrosoglutathione reductase (GSNOR) in Human
Disease and Therapy. Critical Reviews in Biochemistry and Molecular Biology (on-line), 52: 340–354.
Available from: URL:
https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/10409238.2017.1304353?needAccess=true.
Casida, J. E. and Quistad, G. B., 2004. Organophosphate Toxicology: Safety Aspects of
Nonacetylcholinesterase Secondary Targets. Chemical Research in Toxicology (on-line), 17: 983–998.
Available from: URL:
https://cfpub.epa.gov/ncer_abstracts/index.cfm/fuseaction/display.files/fileID/13730.
Dermawan, B., 2013. Hubungan Antara Aktivitas Asetilkolinesterase Darah Dengan Tekanan Darah Petani
Yang Terpapar Organofosfat. Semarang: Universitas Diponegoro. Available from: URL:
http://eprints.undip.ac.id/43736/.
Klaassen, C. D., 2008. Casarett and Doull’s Toxicology: The Basic Science of Poisons (7th Editio). New
York: McGraw-Hil. Available from: URL:
https://jawaidzai.files.wordpress.com/2013/09/casarett_and_doull__s_toxicology-
the_basic_science_of_poisons_7th_edition_2008.pdf.
Mehdi, Y., Hornick, J. L., Istasse, L. and Dufrasne, I., 2013. Selenium in The Environment, Metabolism and
Involvement in Body Functions. Molecules Journal (on-line), 18: 3292–3311. Available from: URL:
https://res.mdpi.com/d_attachment/molecules/molecules-18-03292/article_deploy/molecules-18-
03292.pdf.
Qodar, T. S., Dwi Wisudanti, D. and Munawaroh Aziz, A., 2019. Efek Pemberian Tepung Kedelai terhadap
Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Wistar yang Diinduksi Diazinon. eJournal Kedokteran Indonesia
(on-line), 7. Available from: URL: http://journal.ui.ac.id/index.php/eJKI/article/download/10287/pdf.
Yunarsa, I. P. P. A. and Adiatmika, I. P. G., 2018. Kadar Antioksidan Superoksida Dismutase (SOD) Hati
Tikus Pada Aktivitas Fisik Berat. E-Journal Medika Udayana (on-line), 7: 143–147. Available from:
URL: https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/38730/23484.
Zhao, Y., Vanhoutte, P. M. and Leung, S. W. S., 2015. Vascular Nitric Oxide: Beyond eNOS. Journal of
Pharmacological Sciences (on-line), 129: 83–94. Available from: URL:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jphs.2015.09.002.

Anda mungkin juga menyukai