PENDAHULUAN
1
trauma spinal dapat ditunda dengan aman, terutama bila terjadi instabilitas
sistemik seperti hipotensi dan respirasi yang tidak adekuat.3
1.2. Tujuan
Referat ini dibuat untuk memenuhi syarat dalam kepaniteraan klinik
senior pada Departemen Neurologi RSUD M. Natsir Kota Solok.
Untuk mengetahui dan memahami tentang cedera medula spinalis.
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi Penulis
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan referat ini
adalah untuk menambah pengetahuan bagi penulis tentang cedera medulla
spinalis terutama mengenai penegakan diagnosa dan penatalaksanaan
penyakit tersebut.
1.3.2. Bagi Pembaca
1. Dapat meningkatkan pengetahuan tentang cedera medula spinalis
2. Dapat meningkatkan pengetahuan tentang penegakan diagnosa dan
penatalaksanaan bagi teman sejawat.
3. Membantu memberikan informasi tambahan pada pembaca mengenai
cedera medulla spinalis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
2.1.1. Anatomi Columna Vertebralis
Fungsi dari columna vertebralis sebagai pendukung badan yang kokoh dan
sekaligus bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan tulang rawan cakram
intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan
membongkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan
yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat,
dan dengan demikian otak dan sumsum belakang terlindung terhadap goncangan.
Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk
otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan
dan memberi kaitan pada iga.5
3
Gambar1. Anatomi Collumna vertebralis1
4
2.1.2. Anatomi medula spinalis
5
Gambar 4. Segmen – Segmen Medula spinalis4
6
Gambar 5. Segmen – segmen Medula spinalis3
Medula spinalis berawal dari ujung bawah medula oblongata di foramen
magnum. Pada dewasa biasanya berakhir di sekitar tulang L1 berakhir menjadi
konus medularis. Selanjutnya akan berlanjut menjadi kauda equina yang lebih
tahan terhadap cedera. Piamater berlanjut ke caudal dari puncak conus medullaris
sebagai filum terminalis sampai ke segmen pertama vertebrae coccygeus. Pia-
arachnoid dan duramater berlanjut sampai setinggi V.sakralis ke 2, ditempat ini
bersatu dengan filum terminalis. Subarachnoid space dengan cairan cerebrospinal
meluas sampai vertebra sakralis ke 2.4
Pada penampang transversal medula spinalis, dapat dijumpai substansia
alba (putih) yang mengelilingi substansia grisea (kelabu) berbentuk seperti kupu-
kupu atau huruf H dikenal dengan istilah gray matter. Area ini mengandung
badan sel neuron beserta percabangan dendritnya. Di area ini terdapat banyak
serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler-
kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area ini berwarna menjadi lebih
gelap. Gray matter dapat dibagi kedalam 10 lamina atau 4 bagian, yaitu :4,5
1. Kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik, terdiri
atas lamina VIII, IX, dan bagian dari lamina VII.
7
2. Kornu posterior/ventralis, yang membawa serat-serat saraf sensorik,
terdiri atas lamina I-IV.
3. Kornu intermedium, yang membawa serat-serat asosiasi, terdiri atas
lamina VII.
4. Kornu lateral, merupakan bagian dari kornu intermedium yang terdapat
pada segmen torakal dan lumbal yangmembawa serat saraf simpatis.
8
setinggi intumesensia servikal dan lumbosakral mensarafi anggota gerak atas dan
bawah. Segmen torakal dan lumbal atas mempunyai substansia grisea yang relatif
sedikit, oleh karena mensarafi daerah torak dan abdomen.5
9
Gambar 8. Dermatom Saraf Spinal4
b. Radiks ventralis (motorik)4
Terdiri dari serabut saraf eferen (motorik) yang badan selnya
terletak di dalam substansia grisea melalui radiks motorik dan saraf
spinal menuju otot dan kelenjar tubuh.3
Pada bagian distal terdiri dari empat ramus :
ramus dorsal : otot-otot intrinsik punggung
ramus ventral : otot leher, dada, abdomen, ekstremitas
ramus komunikans : truncus sympaticus
ramus mening rekuren : selaput menings
Ramus ventral saraf spinal akan membentuk pleksus yang akan
menjadi tempat asal saraf perifer.
10
Gambar 9. Ramus Ventral Saraf Spinal4
Perjalanan serabut saraf dalam medula spinalis terbagi menjadi dua jalur,
jalur desenden dan asenden.1
Jalur desenden terdiri dari:
a. Traktus kortikospinalis lateralis
b. Traktus kortikospinalis anterior
c. Traktus vestibulospinalis
d. Traktus rubrospinalis
e. Traktus retikulospinalis
f. Traktus tektospinalis
g. Fasikulus longitudinalis medianus
Jalur Asenden terdiri dari:
a. Sistem kolumna vertebralis
b. Traktus spinothalamikus
c. Traktus spinocerebellaris dorsalis
d. Traktus spinocerebellaris ventralis
e. Traktus spinoretikularis.
11
Gambar 10. Traktus Medula Spinalis
2.2.1. Definisi
Cedera medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian. Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan
sebagai cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan
perubahan fungsional, baik secara sementara maupun permanen, pada fungsi
motorik, sensorik, atau otonom.6
2.2.2. Epidemiologi
Tingkat insidensi di Indonesia per tahun mencapai 40 kasus baru per 1 juta
penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per
tahun. Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan
cedera medulla spinalis yang masih bertahan hidup di Indonesia.
12
Berdasarkan usia, penderita cedera medula spinalis traumatik banyak
dijumpai pada golongan usia produktif, 21- 40 tahun, yaitu sebesar 45.4%, dengan
mekanisme cedera pada golongan usia ini sebagian besar adalah karena resiko
yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera
yang berhubungan dengan rekreasi (seperti diving). Cedera ini umumnya
melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28 tahun.
Hampir seluruh pasien cedera medulla spinalis (80,6%) adalah pria
(perbandingan rasio pria: wanita yaitu 4:1). Tingkat mortalitas yang tinggi (50%)
pada cedera medula spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal,
sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang masih bertahan hidup dan dilarikan
ke rumah sakit adalah 16%. Tingkat harapan hidup pada pasien dengan cedera
medulla spinalis menurun secara drastis apabila dibandingkan pada populasi
normal dan tingkat mortalitas jauh lebih tinggi tahun pertama, apabila
dibandingkan di tahun-tahun berikutnya.7
2.2.3. Etiologi
Cedera medula spinalis karena trauma mengenai laki – laki lebih banyak
daripada wanita, dan resiko mayoritas tejati pada usia dewasa dengan rentang usia
15 – 30 tahun karena adanya hobi yang beresiko.
13
Kecelakaan kendaraan menyumbang 2.644 (39,08%) dari cedera medulla
spinalis, yang menempati urutan pertama dalam penyebab cedera medulla
spinalis. Jatuh menyumbang 1.999 (29,54%) dari cedera medulla spinalis, yang
menempati urutan ke-2 dalam penyebab cedera medulla spinalis. Tindakan
kekerasan menyumbang 975 (14,41%) dari cedera medulla spinalis, yang
menunjukkan sepertiga penyebab cedera medulla spinalis. Kegiatan olahraga dan
rekreasi menyumbang 568 (8,39%) dari cedera medulla spinalis, yang menempati
urutan ke-4 dalam penyebab cedera medulla spinalis. 580 (8,57%) dari cedera
medulla spinalis adalah akibat dari penyebab lain.9
Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah
servikal (level C5-C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis.
Mekanisme cedera umumnya merupakan aspek utama yang menentukan lokasi
cedera medulla spinalis, contohnya motor vehicle accident (MVA) atau
kecelakaan lalu lintas umumnya melibatkan cedera daerah servikal (akibat
hiperekstensi dan hiperfleksi), jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung
bagian yang terjatuh menumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki
14
menumpu melibatkan daerah thoracolumbar akibat fraktur kompresi atau burst
fracture, jatuh di tangga dimana leher menumpu tangga melibatkan hiperekstensi
leher dan cedera servikal), jatuh dengan bokong menumpu tanah melibatkan
daerah lumbar).10
Cedera pada medulla spinalis dapat terjadi secara mandiri, namun
seringkali tulang belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan karena
trauma yang dialami. Hal penting yang perlu diketahui adalah walaupun derajat
kerusakan kolumna vertebralis yang parah umumnya menyebabkan cedera
medulla spinalis yang serius, namun hubungan tersebut tidak selalu terjadi.
Kerusakan minor dari kolumna vertebralis umumnya tidak menyebabkan defisit
neurologis, namun tetap mungkin menyebabkan defisit neurologis yang serius.
Seperti telah disinggung pada paragraf sebelumnya, mekanisme cedera selain
dapat menentukan tingkat cedera medulla spinalis, juga menentukan jenis cedera
pada kolumna vertebralis. Trauma dapat menyebabkan cedera pada medulla
spinalis melalui kompresi langsung dari tulang, ligamen atau diskus, hematoma,
gangguan perfusi dan atau traksi.10
Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat
diklasifikasikan menjadi fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni
(dengan frekuensi relatif 3:1:1). Ketiga tipe dari cedera tersebut terjadi melalui
mekanisme yang serupa, antara lain kompresi vertikal dengan anterofleksi (cedera
fleksi) atau dengan retrofleksi (cedera hiperekstensi). Pada cedera fleksi, kepala
tertunduk secara tajam ketika gaya diberikan. Kedua vertebra servikal yang
bersangkutan akan mengalami stres maksimum dan batas anteroinferior dari
korpus vertebra yang berada diatas akan terdorong kebawah (kadang terbelah
menjadi dua). Fragmen posterior dari korpus vertebra yang mengalami fraktur
akan terdorong kebelakang dan memberikan kompresi pada medulla spinalis (tear
drop fracture). Mekanisme cedera ini merupakan jenis yang paling sering pada
daerah servikal dan umumnya melibatkan daerah C5/C6 (terjadi
subluksasi/dislokasi). Seringkali, terdapat robekan dari interspinous dan posterior
longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera ini tidak stabil. Cedera
yang lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya menyebabkan dislokasi. Cedera
15
medulla spinalis terjadi akibat kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya
kerusakan langsung atau vaskular.10
Gambar 12. Mekanisme Cedera Fleksi dan Dislokasi dari C5-C6 dengan Robekan
pada Interspinous dan Posterior longitudinal ligaments, Kapsul Facet, dan Diskus
Intervertebralis Posterior.
16
Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertikal dengan posisi kepala
ekstensi (retrofleksi). Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan
pedikel) dari vertebra servikalis bagian tengah (C4-C6), dimana dapat terjadi
fraktur unilateral, bilateral, dan robekan dari ligamen anterior. Cedera
hiperekstensi dari medulla spinalis umumnya terjadi tanpa terlihat adanya
kerusakan vertebra atau misalignment dari vertebra, walaupun begitu, cedera
medulla spinalis yang terjadi dapat menjadi serius dan permanen. Cedera tersebut
dapat terjadi akibat penonjolan ligamentum flavum atau dislokasi vertebra yang
sementara karena robekan ligamen (ketika di-xray atau CT-scan alignment sudah
kembali normal). Walaupun, penggunaan CT-scan dan x-ray tulang belakang
lateral dapat digunakan untuk melihat cedera tulang belakang (perlu dilakukan
fleksi dan ekstensi dari leher), adanya robekan dan penonjolan ligamen dari
dislokasi vertebra dapat dilihat dengan menggunakan MRI. Selain itu, cedera
medulla spinalis yang terjadi dapat diakibatkan oleh central cervical cord
syndrome. Cedera dengan mekanisme ini umumnya melibatkan orang tua dan
pasien dengan spinal canal stenosis.10
17
Gambar Mekanisme cedera hiperekstensi.
18
Gambar Cedera kompresi.
b. Patofisiologi molekuler
19
retropulsi dari fragmen tulang yang memberikan kompresi pada medulla spinalis
(tear drop fracture), fraktur-dislokasi, dan ruptur diskus akut. Mekanisme kedua
yaitu benturan dengan kompresi sementara yang contohnya terjadi pada cedera
hiperekstensi di individu dengan penyakit degenerasi servikal. Distraksi yaitu
regangan kuat yang terjadi pada medulla spinalis akibat gaya fleksi, ekstensi,
rotasi atau dislokasi yang menyebabkan (dapat menyebabkan gangguan perfusi)
merupakan mekanisme ketiga.
Cedera distraksi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera
medulla spinalis tanpa ditemukan adanya kelainan pada pencitraan radiologi.
Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan oleh cedera karena
roket, luka karena senapan api, dislokasi dari fragmen tulang yang tajam, dan
distraksi hebat. Laserasi dapat menyebabkan transection total sampai cedera
minor. Seluruh mekanisme cedera primer menyebabkan kerusakan pada
substansia kelabu bagian sentral, tanpa kerusakan substansia alba (bagian perifer).
Adanya kecenderungan cedera pada bagian substansia kelabu dispekulasikan
merupakan akibat konsistensi yang lebih lunak dan adanya pembuluh darah yang
lebih banyak. Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pembuluh darah
(microhemorrhage) dalam hitungan menit awal pascatrauma sampai beberapa jam
kedepan yang berlanjut mengakibatkan iskemia dan hipoksia medulla
spinalis. Kerusakan terjadi akibat dari kebutuhan metabolisme yang tinggi dari
medulla spinalis. Selain pembuluh darah, neuron juga mengalami kerusakan
(ruptur akson dan membran sel neuron) dan transmisinya terganggu akibat adanya
edema pada daerah cedera. Edema hebat medulla spinalis terjadi dalam hitungan
menit awal dan nantinya berlanjut menyebabkan iskemia cedera
sekunder. Substansia kelabu mengalami kerusakan ireversibel dalam 1 jam
pertama setelah cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam setelah cedera.11
Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera
medulla spinalis. Mekanisme cedera sekunder, meliputi shok neurogenik,
gangguan vaskular berupa perdarahan dan iskemia-reperfusi, eksitotoksisitas,
kerusakan sekunder akibat kalsium, gangguan cairan-elektrolit, cedera
imunologis, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya.11
20
Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya shok neurogenik.
Terdapat beberapa interpretasi dari definisi shok ini, namun dalam literatur
umumnya didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang inadekuat akibat parese
serius pada vasomotor (yang berakibat gangguan keseimbangan dari vasodilasi
dan vasokontriksi pada arteriole dan venules). Neurogenik shok merupakan akibat
dari shok spinal yang merupakan manifestasi dari cedera medulla spinalis. Cedera
primer menyebabkan peningkatan ion potassium pada rongga ekstraselular
sehingga mengakibatkan hilangnya aktivitas somatik, refleks, dan autonomik
dibawah level kerusakan tersebut. Shok neurogenik disebabkan karena hilangnya
tonus simpatis yang berakibat munculnya bradikardia, hipotensi dengan
penurunan resistensi perifer dan cardiac output. Shok ini umumnya
bermanifestasi antara 4-6 jam setelah cedera diatas level T6 terjadi. Shok spinal
dan neurogenik merupakan kondisi sementara yang dapat bertahan antara 48 jam
sampai 6 minggu pascacedera (sangat bervariasi).11
2.2.5 Klasifikasi12,13,14
Lesi pada medulla spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas :
a) Paraplegia : suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik
karena kerusakan pada segmen torako-lumbo-sakral.
b) Quadriplegia : suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik
karena kerusakan pada segmen servikal.
Sedangkan lesi medulla spinalis berdasarkan spesifik level, terdiri atas :
21
intrinsik lengan (-)
22
4. Disfungsi spinkter
23
Gambar Potongan Melintang Medulla Spinalis: (a) central cord syndrome,
(b) anterior cord syndrome, (c) brown sequard syndrome, dan (d) posterior
cord syndrome
2.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan utama : kelemahan pada ekstremitas, tanyakan lama keluhan
Kaji keluhan kelemahan : lokasi kelemahan, paraplegi/ quadriplegi,
tiba-tiba atau perlahan, semakin parah atau tidak, timbul setelah maka
atau tidak, obat-obatan yang digunakan untuk mengurangi gejala, serta
hasil pengobatan.
Kaji keluhan tambahan, nyeri (lokasi, terus-menerus atau hilang timbul,
penjalaran, kapan nyeri bertambah dan berkurang), adanya kesemutan,
sesak, nyeri perut, keluhan buang air kecil, keluhan buang air besar.
24
Tanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami gejala yang sama,
kegiatan sehari-hari (angkat benda berat), pola BAK dan BAB sebelum
sakit.
Riwayat penyakit dahulu : riwayat trauma sebelumnya, riwayat
kelainan tulang belakang, riwayat DM, hipertensi, alergi, low back pain,
osteoporosis, osteoartritis, riwayat TB.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan awal : penilaian kondisi jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi darah
Inspeksi : edema anggota gerak, atrofi otot, warna, dan kondisi kulit
sekitarnya, kemampuan beraktivitas, alat bantu yang digunakan untuk
beraktivitas, serta posisi pasien
Palpasi : temperatur, edema, spasme
Pemeriksaan fungsi gerak : fungsi gerak aktif dan gerak isometrik. Pada
pemeriksaan ini umumnya ditemukan adanya rasa nyeri, keterbatasan
gerak, kelamahan otot dan sebagainya
Pemeriksaan fungsional : kemampuan pasien dalam beraktivitas, baik
posisi miring kanan kiri, perpindahan dari tidur ke duduk dan
sebaliknya.
Kekuatan otot : manual muscle testing (MMT)
ROM (range of motion) : menggunakan goniometer dan dituliskan
dengan metode ISOM (International Standard of Measurement)
Pemeriksaan nyeri dengan VAS
Pemeriksaan sensorik
Pemeriksaan motorik
Kriteria Diagnosis
Memenuhi kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan imaging
(rontgen tulang belakang dan MRI tulang belakang)
c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : pemeriksaan darah lengkap, ureum, kreatinin, SGOT,
SGPT, kultur darah, elektrolit, gula darah 2jam PP, gula darah puasa,
hemostasis lengkap, prokalsitonin, albumin, analisa gas darah.
25
Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek
krusial dalam mendiagnosis cedera spinal. Plain x-ray posisi lateral dan
anteroposterior merupakan pemeriksaan yang fundamental untuk
mendiagnosis cedera spinal, sedangkan pemeriksaan CT dan MRI dapat
digunakan untuk evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih
superior dibandingkan plain x-ray karena dapat melihat dari potongan
sagittal, koronal, atau potongan lainnya sesuai dengan keinginan.
Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-ray tetap memberikan
gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi.
Pemeriksaan MRI yang normal memperbolehkan dilepasnya collar
support dan mobilisasi dini, hal ini dikarenakan MRI servikal dapat
memperlihatkan setiap cedera pada daerah servikal dari medulla
spinalis, kompresi dari radiks, herniasi diskus, dan cedera pada
ligament dan jaringan lunak.
26
pra-rumah sakit dengan di rumah sakit adalah tindakan imobilisasi dari tulang
belakang serta memindahkan pasien ke unit gawat darurat (UGD) rumah sakit.
Diperkirakan sampai 25% dari CMS mengalami perburukan setelah
trauma terjadi, baik ketika dalam perjalanan ke rumah sakit atau dalam
penanganan awal (4% diakibatkan karena tidak adanya tindakan imobilisasi yang
adekuat). Mobilisasi dengan perhatian khusus dan penggunaan teknik tertentu
sangat krusial pada pasien CMS karena dapat memperburuk cedera yang dialami
pasien. Posisi netral (anatomis), stabilisasi dengan rigid collar ditambah dengan
karung pasir (sandbags) atau bolster di kedua sisi leher dan wajah, spinal board,
penggunaan metode log-roll dan spinal lift untuk memindahkan pasien dengan
minimum 4 penolong merupakan teknik-teknik untuk imobilisasi tulang belakang
agar tidak mengalami cedera lebih lanjut. Tindakan imobilisasi terus
dipertahankan sampai pasien terbukti tidak mengalami CMS. Dalam literatur,
umumnya apabila MRI sudah menyatakan tidak ada kelainan pada daerah tulang
belakang maka penggunaan collar sudah dapat dilepas.
Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda
vital yang ada merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali
menemukan pasien trauma, kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat
untuk melihat gejala dan tanda klinis untuk CMS. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, pasien dengan CMS dapat mengalami respiratory
insufficiency akibat dari lesi CMS yang tinggi (parese nervus phrenikus) dan syok
neurogenik yang menyebabkan hipotensi sehingga tatalaksana awal untuk
mencegah kerusakan sekunder akibat hipoksia dan hipotensi tersebut harus
dideteksi dan ditangani secara cepat dan adekuat. Intubasi harus dilakukan bila
memang dibutuhkan, tidak hanya untuk memberikan oksigenasi yang adekuat,
tetapi juga untuk mempertahankan patensi jalan napas. Pada pasien CMS yang
tidak stabil membutuhkan dokter atau paramedis yang berpengalaman dalam
teknik intubasi orotrakeal tanpa melakukan tindakan hiperekstensi dari leher
karena tindakan tersebut dapat memperparah CMS dan menyebabkan
kematian. Adanya penemuan dari tekanan sistolik dibawah 90 mmHg dan
bradikardia (nadi dibawah 60 kali/menit) menandakan terjadinya syok neurogenik
(hipovolemik bila takikardia). Syok neurogenik diatasi dengan pemasangan dua
27
IV line large bore (16-18 G), pemberian cairan isotonis, penggunaan vasopressor
(norepinefrin) dan atropine untuk meningkatkan nadi.
b. Penanganan di rumah sakit
Penanganan di rumah sakit mencakup seluruh sistem yang mungkin
mengalami komplikasi dari CMS, yaitu mulai dari sistem respiratorik,
kardiovaskular, urologi, gastrointestinal, kulit, sampai tindakan reduksi baik non-
operatif maupun operatif.
Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit umumnya sama,
yaitu ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan
sekunder. Apabila pada saat diterima di rumah sakit belum dilakukan tindakan
imobilisasi tulang belakang, maka tindakan awal yang harus dilakukan adalah
tindakan imobilisasi. Hal yang berbeda dengan penanganan pra-rumah sakit
adalah pada pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara lengkap (apabila
tanda-tanda vital ABC sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap
dilakukan sesuai International Standards for Neurological Classification of
Spinal Cord Injury revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat
pemeriksaan neurologis awal dapat ditentukan level ketinggian lesi, lesi komplit
atau inkomplit, dan ada-tidaknya fase shok spinal. Pemeriksaan radiologi
kemudian dilakukan untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan terjadinya
CMS.
Berikut langkah-langkah penatalaksanaan dari CMS :
1. Lakukan tindakan segera pada cedera medulla spinalis. Tujuannya adalah
mencegah kerusakan lebih lanjut pada medulla spinalis. Sebagian cedera
medulla spinalis diperburuk oleh penanganan yang kurang tepat, efek
hipotensi atau hipoksia pada jaringan saraf yang terganggu.
a. Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan
b. Beri bantal, guling atau bantal pasir pada sisi pasien untuk
mencegahpergeseran.
c. Tutupi dengan selimut untuk menghindari kehilangan panas badan.
d. Pindahkan pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas
penanganan kasus cedera medulla spinalis
2. Perawatan khusus.
28
a. Komosio medula spinalis : fraktur atau dislokasi tidak stabil harus
disingkirkan. Jika pemulihan sempurna pengobatan tidak
diperlukan
b. Kontusio/ transeksi/ kompresi medula spinalis.
3. Kortikosteroid:
a. Metil prednisolon 30 mg/kgBB bolus intravena selama 15 menit
dilanjutkan dengan 5,4 mg/kgBB/jam, 45 menit. Setelah bolus,
selama 23 jam hasil optimal bila pemberian dilakukan < 8 jam
onset
b. Deksametason ( dosis : 16-48 mg/hari), tambahkan profilaksis stres
ulkus : antasid/antagonis H2
4. Tindakan operasi diindikasikan pada :
a. Reduksi terbuka pada dislokasi
b. Fraktur servikal dengan lesi parsial medulla spinalis.
c. Cedera terbuka dengan benda asing/tulang dalam kanalis spinalis
d. Lesi parsial medula spinalis dengan perdarahan yang progresif
5. Perawatan umum.
a. Perawatan vesika urinaria dan fungsi defekasi
b. Perawatan kulit/dekubitus
c. Nutrisi yang adekuat
d. Kontrol nyeri : analgetik, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS),
dll.
6. Fisioterapi, terapi vokasional, dan psikoterapi sangat penting terutama
pada pasien yang mengalami skuele neurologis berat dan permanen.
2.2.8 Komplikasi15
1. Neurogenik shock
2. Hipoksia
3. Instabilitas spinal
4. Ileus paralitik
5. Infeksi saluran kemih
6. Kontraktur
7. Dekubitus
29
8. Konstipasi
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Cedera medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian. Mekanisme cedera, antara lain cedera fleksi, hiperekstensi, dan
kompresi. Diagnosis dari CMS dilakukan secara pemeriksaan klinis dan evaluasi
radiologis. Penanganan cedera medulla spinalis, dimulai pada saat evaluasi awal,
dimana terjaminnya jalan nafas menjadi prioritas utama, oksigenasi dan ventilasi
yang adekuat, dan dilanjutkan dengan terapi untuk mencegah ataupun mengatasi
komplikasi yang terjadi. Tujuan penanganan medis pada cedera medulla spinalis
adalah keselamatan hidup serta meminimalkan kerusakan neurologis akibat cedera
maupun komplikasinya.
30
DAFTAR PUSTAKA
31
13. Ridvan A. Assessment of Spinal Cord Injury-History: Deparment of
medicine dan rehabilitation liv hospital. Turkey ; ASIA ; 2015
14. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives.
Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical
Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord
Medicine. Vol. 31. 2006.
15. Hurlbert RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An
Inappropriate Standard of Care. J Neurosurg (Spine). 2000;93: 1-7
32