Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

Elektrodiagnosis pada Guillain Barre Syndrom (GBS)

Oleh

Nani Mi’rajiah, S.Ked

1830912320118

Pembimbing

dr. Hj. Lily Runtuwene, Sp.S

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FK UNLAM-RSUD PENDIDIKAN ULIN
BANJARMASIN

Juni, 2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

BAB II. PEMBAHASAN ............................................................................. 2

A. Definisi .......................................................................................... 2

B. Epidemiologi ................................................................................. 3

C. Etiologi .......................................................................................... 7

D. Klasifikasi .................................................................................... 10

E. Patofisiologi ................................................................................. 12

F.Manifestasi Klinis ......................................................................... 15

G. Diagnosis ..................................................................................... 18

H. Tatalaksana .................................................................................. 23

I. Komplikasi dan Prognosis ............................................................ 27

BAB III. PENUTUP ................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 30

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Guillain Barre Syndrom adalah kumpulan gejala yang dimanifestasikan

sebagai inflamasi poliradikuloneuropati akut yang menyebabkan kelemahan dan

berkurangnya refleks. Guillain Barre Syndrom adalah penyebab utama paralisis

flaksid akut. Sekitar 1/3 penderita Guillain Barre Syndrom harus ditempatkan pada

ICU karena gagal nafas. Penegakan diagnosis Guillain Barre Syndrom didapatkan

dari klinis, riwayat penyakit, dan elektrodiagnosis.1

Penyakit Guillain Barre Syndrom sudah ada sejak tahun 1859. Nama Guillain

Barre diambil dari dua ilmuan Perancis, Guillain dan Barre yang menemukan dua

orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh

setelah menerima perawatan medis. Guillain Barre Syndrom termasuk penyakit

langka dan terjadi hanya 1 atau 2 kasus per 100,000 di dunia tiap tahunnya.2

Saat ini, elektrodiagnosis memiliki peran penting dalam diagnosis,

klasifikasi subtipe, dan dalam menetapkan prognosis Guillain-Barre Syndrome.

Pemeriksaan EMG dapat memberikan hasil yang normal pada fase akut, dan baru

menunjukkan hasil yang abnormal pada minggu ke 3-4. Hasil yang abnormal dari

pemeriksaan konduksi saraf, memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang

tinggi pada pemeriksaan GBS.3

1
BAB II

GUILLAIN BARRE SYNDROM

A. Definisi

Guillain Barre Syndrom (GBS) merupakan kumpulan gejala kelemahan

pada anggota gerak dan kadang-kadang dengan sedikit kesemutan pada lengan atau

tungkai, disertai menurunnya refleks. Selain itu, kelumpuhan dapat juga terjadi di

otot-otot penggerak bola mata sehingga penderita melihat satu objek menjadi dua

yang dapat disertai gangguan koordinasi anggota gerak.1

Guillain Barre Syndrom adalah kumpulan gejala klinis yang

bermanifestasi pada poliradiculoneuropati inflammatory akut dimana sistem

kekebalan tubuh seseorang menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan

kelemahan otot, apabila parah dapat mengakibatkan kelumpuhan.1,2,5

Guillain Barre Syndrom adalah penyakit postinfeksi akut saraf perifer dan

akar saraf. Dua pertiga pasien melaporkan gejala infeksi pernapasan dan infeksi

saluran pencernaan sebelum terjadinya Guillain Barre Syndrom. Jenis infeksi yang

dominan adalah infeksi Campylobacter jejuni, dan infeksi lainnya seperti infeksi

cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, Mycoplasma pneumonia, dan Haemophilus

influenzae. Bermacam-macam tipe infeksi yang mendahului Guillain Barre

Syndrom berpengaruh terhadap manifestasi klinis dan prognosisnya. Akan tetapi,

rata-rata pasien Guillain Barre Syndrom tidak mengetahui jenis infeksi yang

mendahului penyakitnya.6

2
3

Guillain Barre Syndrom jarang terjadi akan tetapi Guillain Barre Syndrom

adalah sindrom autoimun serius yang menyerang saraf perifer, yang menyebabkan

paralisis yang progresif. Infeksi memicu autoantibodi menyerang gangliosida yang

terdapat pada membran sel saraf, yang menyebabkan infeksi pernapasan dan

pencernaan sebelum gejala neurologis maupun kelemahan motorik muncul.7

Kriteria diagnosis untuk Guillain Barre Syndrome adalah sifatnya yang

progresif, kelemahannya relatif simetris dengan penurunan atau bahkan hilangnya

refleks fisiologis. Untk diagnosis, gejala harus mencapai maksimal empat minggu

sejak onset dan semua penyebab lain yang memungkinkan harus disingkirkan.

Sindrom ini memiliki beberapa subtipe dan acute inflammatory demyelinating

polyradiculopathy (AIDP) adalah subtipe yang paling sering terjadi di Amerika

Serikat.8

B. Epidemiologi

Data tahunan Amerika Serikat menunjukkan insiden Guillain Barre

Syndrom adalah 1,2 - 3 per 100.000 penduduk, menjadikan Guillain Barre

Syndrom penyebab utama paralisis flaksid akut di Amerika Serikat. Perbandingan

dengan usia, semakin bertambahnya usia seseorang, semakin meningkatkan angka

kejadian Guillain Barre Syndrom di Amerika Serikat dengan peningkatan 1,5 kasus

per 100.000 populasi pada penduduk dengan usia kurang dari 15 tahun dan

puncaknya pada 8,6 kasus per 100.000 populasi pada penduduk dengan usia 70-79

tahun. Tentara militer Amerika Serikat juga beresiko tinggi terkena Guillain Barre
4

Syndrom dibandingkan dengan penduduk biasa karena tingginya angka infeksi

gastroenteritis yang signifikan dengan tingginya angka Guillain Barre Syndrom.5

Studi epidemiologi Jepang mengindikasikan bahwa negara Jepang

dibandingkan dengan Amerika Utara dan Eropa, persentase kejadian Guillain Barre

Syndrom meningkat bersamaan dengan meningkatnya infeksi oleh C. jejuni, dan

berkurang dengan infeksi Citomegalovirus. 69% kasus di Dhaka, Bangladesh telah

terbukti secara klinis bersamaan dengan infeksi C. jejuni.2

Perbandingan pria dan wanita yang terkena Guillain Barre Syndrom adalah

1,5:1, dimana pada pria lebih sering terljadi di usia tua. Dan menurut studi dari

Swedia, angka kejadian Guillain Barre Syndrom berkurang selama kehamillan dan

meningkat sesudah melahirkan. Sedangkan berdasarkan usia, Guillain Barre

Syndrom dapat terjadi pada semua usia. Dan di Amerika Serikat, puncak usia

tertinggi kejadian Guillain Barre Syndrom pada remaja dewasa pada usia 15 - 35

tahun, dan tertinggi kedua pada usia 50 - 75 tahun. Angka terendah adalah pada usia

bayi infan.5,6

Tingkat mortalitas Guillain Barre Syndrom rata-rata 5% dan 20% pasien

biasanya akan memiliki disabilitas yang signifikan. insiden Guillain Barre

Syndrom di Eropa adalah 1,2 - 1,9 kasus per 100.000, dimana di seluruh dunia,

insidennya adalah sebesar 0,6 - 4 kasus per 100.000. Laki - laki 1,5 kali lebih sering

terkena Guillain Barre Syndrom dibandingkan dengan perempuan, dan insidennya

meningkat seiring dengan peningkatan usia dari 1 per 100.000 di usia kurang dari

30 tahun dan meningkat 4 kasus per 100.000 di usia lebih dari 75 tahun.7,9
5

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi Guillain Barre

Syndrom belum banyak. Insiden terbanyak di Indonesia adalah pada dekade I, II,

III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir

sama. Penelitian di Bandung mengungkapkan bahwa perbandingan laki-laki dan

wanita 3:1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April

sampai dengan Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.2

Sekitar dua per tiga kasus Guillain Barre Syndrom pasti didahului infeksi

sebelumnya kurang lebih 6 minggu sebelum gejala Guillain Barre Syndrom muncul.

Infeksi yang sering menyerang yaitu infeksi pernapasan dan pencernaan. Meskipun

organisme penyebab infeksi tidak selalu dapat dideteksi, organisme yang sering

dikaitkan dengan Guillain Barre Syndrom adalah Epstein-Barr virus, Mycoplasma

pneumoniae, Campylobacter jejuni, dan cytomegalovirus. Selain itu, vaksinasi

sebelumnya juga dapat memicu terjadinya Guillain Barre Syndrom. Vaksinasi yang

menginduksi Guillain Barre Syndrom pertama kali ditemukan pada tahun 1976,

dimana saat itu sedang musim vaksinasi influenza. Dan secara statistik terjadi

peningkatan insiden Guillain Barre Syndrom 6 - 8 minggu setelahnya. Selain it,

pembedahan dan trauma kepala juga dipercayai dapat mencetus terjadinya Guillain

Barre Syndrom. Hipotesis yang diberikan yaitu pembedahan dan trauma kepala

dapat mengubah imunitas selular maupun humoral.8,9

C. Etiologi

Etiologi Guillain Barre Syndrom sampai saat ini masih belum diketahui

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit

yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya Guillain Barre
6

Syndrom, antara lain:Infeksi, vaksinasi,pembedahan, penyakit sistematik, seperti

keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis, penyakit Addison, serta

kehamilan atau dalam masa nifas.2,10

GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi

kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1

sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran

pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.10,11

Infeksi Definite Probable Possible


Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella- Zoster Measles
Zika Virus4 Vaccinia/Smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Typhoid Borreila B
jejuni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria
Tabel 1. Infeksi akut berhubungan dengan Guillain-Barre Syndrome 10,12

Guillain Barre Syndrom dianggap sebagai postinfeksi, penyakit yang

dimediasi oleh imun yang menargetkan saraf perifer. Dua pertiga penderita

melaporkan adanya infeksi bakteri maupun virus sebelum munculnya gejala

neurologis. Infeksi pernapasan adalah yang paling sering. Beberapa vaksin dan
7

penyakit sistemik lainnya sering juga dihubungkan dengan kejadian Guillain Barre

Syndrom.5

a. C. Jenuni: pada beberapa penelitian, C. jejuni adalah patogen yang paling

sering dikaitkan dengan kejadian Guillain Barre Syndrom. Penelitian di

Jerman menyatakan bahwa 32% pasien mempunyai infeksi C jejuni,

sedangkan penelitian di China Utara menunjukkan bahwa tingkat infeksi C

jejuni sebesar 60%. Virulensi C jejuni dipercaya memiliki antigen spesifik

pada kapsulnya yang mempunyai kesamaan dengan sel saraf. Respon imun

yang melawan langsung kapsul lipopolisakarida memproduksi antibodi yang

bereaksi terhadap myelin dan menyebabkan dimyelinasi.5

b. Cytomegalovirus (CMV) adalah nfeksi kedua yang paling sering setelah C

jejuni. Penelitian dari Jerman menyatakan bahwa Cytomegalovirus 13%

menyebabkan Guillain Barre Syndrom. Infeksi CMV menginfeksi saluran

nafas atas, pneumonia, dan penyakit seperti flu yang tidak spesifik lainnya.

Guillain Barre Syndrom yang didahului infeksi CMV sering mengeluhkan

keluhan yang berkaitan dengan sensoris dan nervus kranialis.5

c. Infeksi lainnya seperti Epstein-Barr virus(EBV), Mycoplasma pneumoniae,

dan virus varicella-zoster. Dan juga pada pasien yang terinfeksi HIV.5

d. Vaksin: vaksin yang dapat menyebabkan Guillain Barre Syndrom adalah

vaksinasi influenza, vaksin hepatitis, dan vaksin meningococcal conjugate.9

e. Obat-obatan5

f. Pembedahan, trauma, dan kehamilan: pembedahan dan trauma kepala

dipercaya dapat mengubah imunitas selular dan humoral seseorang. Trauma


8

kepala yang disebabkan oleh kecelakaan maupun pemedahan dapat

menyebabkan menurunnya imunitas dan memproduksi antibodi antimyelin.

Pembedahan dan trauma kepala juga dapat mengaktivasi proses laten yang

berefek pada sistem imun.9

D. Klasifikasi

Sindroma Guillain Barre diklasifikasikan sebagai berikut:13

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy

Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)

adalah jenis paling umum ditemukan pada GBS, yang juga cocok dengan

gejala asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah

kelemahan anggota gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang

paling umum terlibat adalah nervus facialis. Penelitian telah menunjukkan

bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi

segmental makrofag.

2. Acute Motor Axonal Neuropathy

Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas

GBS epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65%

dari pasien GBS merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok

anak-anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai

dengan kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan

kegagalan pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang

baik. Sepertiga dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi


9

mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron

spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron motorik.

3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy

Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut

yang berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan

motorik. Pasien biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan

pemulihan lebih buruk dari AMAN.

4. Miller Fisher Syndrome

Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia,

dan oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan

bulbar palsy mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua

menunjukkan IgG auto antibodi terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan

imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI,

dan dorsal root ganglia.

5. Acute Neuropatic panautonomic

Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada

GBS. Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan

tingkat kematian tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait

disritmia. Gangguan berkeringat, kurangnya pembentukan air mata, mual,

disfaga, sembelit dengan obat pencahar atau bergantian dengan diare sering

terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan,

kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom
10

termasuk ortostatik ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan

dengan intoleransi ortostatik, serta disfungsi pencernaan.

6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)

Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari GBS. Hal ini ditandai dengan onset

akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky

sign. Perjalanan penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons,

dan medula. BEE meskipun presentasi awal parah biasanya memiliki

prognosis baik. MRI memainkan peran penting dalam diagnosis BEE.

Sebagian besar pasien BEE telah dikaitkan dengan GBS aksonal, dengan

indikasi bahwa dua gangguan yang erat terkait dan membentuk spectrum

lanjutan.13

E. Patofisiologi

GBS adalah penyakit postinfeksi, penyakit yang dimediasi oleh imun.

Mekanisme imun seluler dan humoral memegang peranan penting dalam

perkembangan penyakitnya. Kebanyakan pasien mengalami infeksi di awal minggu

sebelum onset GBS. Kebanyakan agen penyebab infeksi tersebut menginduksi

produksi antibodi yang menyerang gangliosida spesifik dan glikolipid, seperti GM1

dan GD1b, yang berada pada myelin sistem saraf perifer. Ikatan antibodi dalam

sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan

mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun

belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab

adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya
11

lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.

Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,

mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1.

Kebanyakan patogen yang diketahui menyebabkan GBS masuk ke tubuh

melalui mukosa atau epitel usus. Respon imun innate mengakibatkan penyerapan

patogen oleh antigen presenting cells (APC) yang immatur. Setelah bermigrasi ke

nodus limpatikus, APC yang berdiferensiasi dan matur dapat menghadirkan peptida

pada molekul MHC kelas II dan mengaktivasi sel T CD4 yang mengenali antigen

dari patogen infeksius. Sel B juga diaktivasi oleh sel Th2 yang baru. Hal tersebut

memproduksi sel yang dimediasi oleh humoral yang respon terhadap patogen.

Dua per tiga kasus GBS berhubungan dengan infeksi akut sebelumnya yang

disebabkan oleh beberapa spesie bakteri dan virus. Campylobacter jejuni,

cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus

influenza, dan Varicella-zoster virus telah ditemukan pada serum pasien setelah

onset GBS. Pada kasus infeksi C. jejuni, antibodi diproduksi, mengaktivasi sistem

komplemen dan fagositosis bakteri. Untuk kasus yang jarang, antibodi yang

diproduksi melawan antigen C. jejuni dan juga mengikat gangliosida jaringan saraf,

menyebabkan aktivasi komplemen dan kerusakan oleh fagosit. Hal inilah yang

menyebabkan kerusakan jaringan saraf perifer, yang mengakibatkan kerusakan

axon dan demyelinisasi.14-17

Mekanisme yang paling sering untuk penyakit autoimun adalah molecular

mimicry. Molecular mimicry adalah situasi dimana patogen dan host memiliki

antigen yang identik, yang menginduksi antibodi dan respon sel imun T yang
12

reaktif silang. Ada lebih dari satu cara respon imun bisa menjadi reaktif silang.

Patogen dan host bisa mempunyai homolog atau asam amino identik, atau reseptor

sel B dan sel T bisa mengenali peptida non homolog.18,19

Mekanisme Guillain Barre Syndromdipercayai sebagai neuropati

inflammatory yang berdasar pada persilangan antara antigen neural dan antibodi

yang diinduksi oleh infeksi yang spesifik. Organisme infeksius, seperti C. jejuni,

mengekspresikan lipooligosakarida pada dinding bakteri yang sama dengan

gangliosida. Peniruan molekul ini membentuk antibodi antigangliosida yang

menyerang saraf. Antibodi spesifik yang distimulasi dan area target pada saraf yang

dapat menjelaskan beberapa perbedaan subtipe dari Guillain Barre Syndrom.

Kurang dari 1 per seribu pasien dengan infeksi C. jejuni dapat berkembang menjadi

Guillain Barre Syndrom, menunjukkan bahwa faktor host memegang peranan

penting pada terjadinya Guillain Barre Syndrom. Akan tetapi, belum ada penelitian

yang mengedintifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Guillain

Barre Syndrom.8

Guillain Barre Syndrom dapat menyebabkan gejala melalui area multifokal

dari infiltrasi sel mononuklear pada saraf perifer. Lokasi dan keberatan inflamasi

menunjukkan klinis yang ditampakkan. Pada poliradikuloneuropati demyelinating

inflammatori akut, myelin utama rusak, dimana neuropati akson motor akut, nodus

ranvier ditargetkan.9

F. Manifestasi Klinis

1. Kondisi yang memicu atau yang mendahukui


13

Gejala yang paling sering dilaporkan sebelum onset Guillain Barre Syndrome

adalah demam, batuk, nyeri tenggorokan dan gejala respiratori atas lainnya. Infeksi

Epstein-Barr virus yang mendahului Guillain Barre Syndrome dapat menimbulkan

gejala yang lebih ringan. Gejala gastrointestinal lebih dapat menimbulkan subtipe

acute motor atau acute motor-sensory axonal neuropathy (AMAN atau AMSAN)

yang mana penyembuhannya lebih lambat dan resiko lebih tinggi disabilitas

berulang.8

2. Manifestasi Klinis

1)Kelemahan

Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan

simetris secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena terlebih

dahulu sebelum tungkai atas. Pasien merasakan kelemahan pada kakinya yang

dimanifestasikan sebagai “rubbery legs” atau tungkai yang seperti ikat

pinggang, dengan atau tanpa hilang rasa atau rasa kesemutan. Otot-otot

proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh,

bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot

pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut

dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat

berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan

ventilasi.10

2)Keterlibatan saraf kranial

Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan GBS. Saraf

kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum


14

mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy

Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada

pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan

tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari GBS adalah unik karena

subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial.10

3)Perubahan Sensorik

Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan

sensori cenderung minimal dan variabel.7 Kebanyakan pasien mengeluh

parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering

mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung

jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar

pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis,

sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.10

4)Nyeri

Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GBS, 89% pasien

melaporkan nyeri yang disebabkan GBS pada beberapa waktu selama

perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu,

punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit

gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut.

Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama

perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa

terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di

ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan


15

tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa

dialami oleh sebagian pasien dengan GBS adalah sebagai berikut; Myalgic,

nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya,

tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).10

5)Perubahan otonom

Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis

dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan GBS. Perubahan otonom

dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing,

Hipertensi paroksimal, Hipotensi ortostatik, Anhidrosis dan / atau diaphoresis

Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan

dismotilitas usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien

dengan kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah.10

6)Pernapasan

Empat puluh persen pasien GBS cenderung memiliki kelemahan pernafasan

atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai

berikut; Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel.

Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada

hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit

mereka.9

G. Diagnosis

GBS lebih dikenal sebagai sindrom daripada penyakit karena belum jelas

agen penyebab spesifik dari penyakit GBS ini. Beberapa penyakit yang mempunyai
16

gejala yang mirip dengan gejala yang ditemukan pada GBS. Diagnosis GBS bisa

jadi sulit dan memberikan banyak diagnosis banding, dan diperlukan beberapa

pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pasti GBS.20

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

penunjang untuk menyingkirkan diagnosis-diagnosis lainnya. Diagnosis Guillain

Barre Syndrome tergantung pada pemeriksaan neurologis yang menunjukkan

kelemahan motorik yang simetris dan penurunan refleks otot. Perubahan spesifik

pada cairan serebrospinal dan konduksi saraf secara spesifik dapat mendukung

diagnosis. Lumbal pungsi dan tes neurofisiologi harus dilakukan secara benar pada

pasien suspek Guillain Barre Syndrome. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan

untuk menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan diagnosis lain.8

1) Anamnesis

Kelemahan biasanya didahului riwayat infeksi non spesifik saluran

pencernaan atau saluran pernafasan 10 hari yang lalu atau infeksi bakteri seperti

Campylobacter jejuni, Mycoplasma pneumonia.Memakan makanan yang masih

mentah, meminum susu yang sudah kadaluwarsa, dan air minum yang

terkontaminasi oleh baketri. West Nile virus juga dapat menyerupai GBS, namun

lebih sering menyerupai polio.Guillain-Barré syndrome juga dapat terjadi karena

riwayat vaksin, seperti vaksin rabies, influenza, poliomyelitis.21

Gejala tambahan seperti kebas dan berkurangnya/hilangnya sensasi nyeri

suhu dan raba, diikuti oleh gejala kelemahan otot. Terkadang berhubungan dengan

nyeri pada daerah leher, punggung, dan pantat. Kelemahan biasanya dimulai pada

ekstremitas bawah dan terjadi secara progresif naik ke atas, dimulai dari
17

ekstremitas bawah, anggota bagian paha, tubuh dan sampai ke bagian otot-otot

pada daerah kepala, atau biasa disebut sebagai“Landry ascending

paralysis”.Kelemahan otot mengenai anggota tubuh secara simetris, namun 9%

kasus ditemukan kelemahan yang asimetris. Onset timbulnya gejala secara

berangsur angsur dan terjadi progresifitas dalam waktu hari-minggu.fase

plateaudalam 1-28 hari . Khusus untuk kasus dengan onset yang terjadi secara

tiba-tiba, nyeri tekan dan nyeri pada otot sering terjadi pada fase inisiasi.

Kelumpuhan bisa mengakibatkan anak tidak bisa berjalan dan terparahnya

kelumpuhan pada ke-empat ekstremitas (tetraplegia). Maksimal kelemahan

berlangsung selama 4 minggu saat munculnya gejala pertama kali, lalu

berangsur-angsur akan mengalami penurunan.Dysphagia dan kelemahan otot

wajah kadang merupakan tanda tanda awal gagal nafas. Pada fase ini pasien

mempunyai risiko aspirasi karena paralisis dari otot-otot kerongkongan.21,22

2) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan neurologis lengkap, dari pemeriksaan motoric dan sensorik

serta pemeriksaan nervus cranialis wajib dilakukan. Pada pemeriksaan motorik

biasanya didapatkan kelemahan otot dan penurunan fungsi sensorik, menurun atau

hilangnya sensasi rasa nyeri/suhu dan raba getar. Pada pemeriksaan fisik biasanya

ditemukan tendon reflex yang menurun atau menghilang. Gangguan fungsi otonom

dapat mempengaruhi tekanan darah berupa hipotensi postural, bradycardia atau

tachycardia.21,22

3) Kriteria diagnosis
18

Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of

Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:11

Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

 Terjadinya kelemahan motorik yang progresif pada lebih dari satu ekstremitas.

Keparahan bervariasi, mulai dari kelemahan minimal pada tungkai dengan atau

tanpa ataksia ringan, hingga paralisis total pada keempat ekstremitas dan

batang tubuh, paralisis bulbar dan fasial, dan oftalmuplegia eksternal.

 Hiporefleksi hingga arefleksia. Arefleksia universal adalah batasan yang

diharapkan, namun distal arefleksia dengan hiporefleksbisep dan lutut definit

juga boleh digunakan apabila gejala lain mendukung.

Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis Guillain Barre Syndrom

a. Ciri-ciri klinis

 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal

dalam 4 minggu. 50% mencapai puncak dalam 2 minggu. 80% dalam 3

minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

 Relatif simetris.

 Gejala gangguan sensibilitas ringan

 Gejala saraf kranial kurang lebih 50% terjadi parese N VI dan sering

bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah

dan otot-otot menelan, kadang <5% kasus neuropati dimulai dari otot

ekstraokuler atau saraf otak lain


19

 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat

memanjang sampai beberapa bulan

 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi

dengan gejala vasomotor

 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa

 Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkata

pada LP serial

 Jumlah sel CSS <10MN/mm3

 Varian:

- Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa

 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya

kecepatan hantar kurang 60% dari normal.8

4) Diagnosis Banding

Untuk menegakkan diagnosis GBS, perlu dilakukan menyingkirkan

kemungkinan diagnosis lain yang dapat menyebabkan kelemahan otot yang bersifat

akut, seperti mielitis tranversadanpoliomyelitis.


20

Guillain-Bare Myelitis tranversa Poliomyelitis


Syndrome

Onset Jam – Minggu Jam – 4 Hari 24-48 jam dari


onset sampai
paralisis

Demam saat Jarang Mungkin ada Hampir selalu


lemah

Kelemahan Simetris Simetris Asimetris

Progresifitas Ascending - Descending

Tonus otot Menurun Menurun saat akut Menurun

Refleks Hilang Early : -, Late : +++ Menurun/hilang


tendon

Sensorik Kebas, seperti Anastesi Eks.bawah Myalgia, tdk ada


kesemutan pada defisit sensorik
telapak kaki/tngn

Lesi VII, IX,X,XI,XII Tidak ada Terkadang


N.Cranialis

Respiratory Pada kasus berat Terkadang Terkadang


insuffisiensi

Gangguan Pada kasus berat Ada Sangat jarang


otonom

Gangguan 30% kasus, 1-3 hari Ada saat fase awal Sangat jarang
berkemih sifatnya menetap
21

CSF Analysis Albumin-Cytologic Normal / Peningkatan


dissociation ( <10 Pleocytosis Limfosit 10-200 /
sel/mL, tidak mL
pernah >50 sel/mL)

NCV (mgg Penurunankonduksi, Normal Abnormal, 2 mgg


ke-3) penurunan,amplitudo pertama normal
motoric

Diagnostic NCV MRI-Spine Feses

Tabel 2.2 Diagnosis banding Guillain-Bare Syndrome.23

5) Pemeriksaan penunjang

A. Elektrodiagnosis

Temuan elektrofisiologis serial pada pasien dengan antibodi

antiganglioside. Tiga hari setelah timbulnya sindrom Guillain-Barré,

elektrofisiologi menunjukkan pada saraf peroneum sangat berkurang potensi aksi

otot majemuk amplitudo (CMAP) dengan latensi motorik distal (DML) meningkat

menjadi 200% dan 211% dari batas atas normal (ULN). Kecepatan konduksi

motorik di peroneal kiri adalah 65% dari batas bawah normal (LLN), dan rasio

antara amplitudo CMAP proksimal dan distal (prox / dist CMAP) adalah 0,5 di

peroneal kanan dan 0,6 di ulnar kanan. Pada hari ke 11, amplitudo CMAP distal

meningkat sebesar 227-575%, tetapi DML tetap 160% dari ULN, dan CV adalah

52% LLN di saraf peroneum kanan. Proximal / distal CMAP dikurangi menjadi 0,3

di sebelah kanan dan 0,2 di saraf peroneal kiri. Pengurangan amplitudo abnormal

CMAP distal dan proksimal dan kecepatan konduksi dinormalisasi dalam 40 hari
22

tanpa perkembangan dispersi temporal CMAP, tetapi DML pada saraf peroneum

masih sedikit lama. Pada hari ke 3, konduksi sensor antidromik pada saraf median

dan ulnaris normal (53 dan 54 m / s) dan amplitudo potensial aksi sensorik (SAP)

sedikit berkurang, SAP sural ortodromik sural tidak dapat direkam. Pada hari ke 40,

amplitudo SAP median meningkat 207%, dan SAP sural dapat direkam dengan

amplitudo dan kecepatan (kiri 43 m / dtk, 41 m / dtk) dalam kisaran normal.24


23

Pemeriksaan EMG dapat memberikan hasil yang normal pada fase akut, dan

baru menunjukkan hasil yang abnormal pada minggu ke 3-4. Hasil yang abnormal

dari pemeriksaan konduksi saraf, memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang

tinggi pada pemeriksaan GBS. Pada pemeriksaan ENMG terlihat KHS meningkat,

H reflex memanjang  poliradiculopathy.24

B. Pemeriksaan LCS

Pemeriksaan LCS dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Peningkatan

lebih dari 2x baseline dengan kadar glukosa yang normal dan tidak ditemukan

adanya pleocytosis. Sejumlah 10 white blood cells/mm3 dapat ditemukan. Kultur

bakteri negatif dan kultur virus terkadang pada kasus yang jarang didapatkan virus

spesifik yang terisolasi. Terpisahnya antara protein didalam LCS dan kurangnya

respon sel merupakan nilai diagnostic untuk pasien Guillain-Barré syndrome. MRI

pada medula spinalis dapat diindikasikan untuk menyingkirkan diagnosis banding

seperti penebalan pada cauda equina.21,22

C. Pemeriksaan Lain

Serologi test Campylobacter danHelicobacter dapat membantu

menentukan penyebabnya, namun bukan merupakan pengobatan utama.

Pemeriksaan feses jarang postif karena infeksi biasanya hanya bertahan selama 3

hari saja.21,22

H. Tatalaksana

Kebanyakan pasien dengan Guillain Barre Syndrom dapat pulih sendiri.

Akan tetapi, karena gejala yang tidak dapat diprediksi dan potensi kematian serta
24

kecacatan yang signifikan, semua pasien dengan Guillain Barre Syndrome harus di

rawat inap dan ditatalaksana dengan multidisiplin. Sebenarnaya tidak ada

pengobatan yang dapat menyembuhkan GBS. Tujuan dari terapi adalah untuk

meminimalkan keparahan penyakit dan untuk membantu pasien pulih. Pengobatan

GBS bisa dibagi teknik menjadi intensive care, bantuan pernapasan dan terapi

spesifik untuk mengembalikan kerusakan saraf. Pengobatannya meliputi:

a. Dosis tinggi imunoglobulin

b. Terapi fisik untuk meningkatkan fleksibilitas otot dan kekuatannya, dan

c. Plasmaperesis yaitu proses dimana darah diambil dari tubuh dan sel darah

putih dan merah dipisahkan dari plasma dan kemudian dikembalikan ke dalam

tubuh.8,9,25

1. Tatalaksana simptomatik

Guidelines konsensus merekomendasikan antikoagulan subkutan dan

mengurangi kompresi untuk pasien yang rawat inap untuk mengurangi resiko

trombosis vena. Pasien juga perlu diawasi untuk kelainan otonomnya, termasuk

perubahan tekanan darah, pulsasi nadi (terutama bradikardi), pernapasan, disfungsi

usus dan kandung kemih. Hal yang membahayakan respiratori dapat terjadi secara

cepat terlebih pada pasien dengan progresifitas gejala yang cepat, bulbar palsy, dan

kelemahan ekstremitas atas dan gejala otonom. Evaluasi mengunyah dan menelan

perlu dilakukan pada pasien dengan kelemahan fasial dan orofaring karena resiko

aspirasi. Pasien dengan imobilisasi lama perlu diperhatikan juga untuk mencegah

komplikasi dari imobilisasi lama.18


25

Pasien Guillain Barre Syndrome juga sering mengeluhkan nyeri neurotik

maupun nosiseptif, serta tingkat nyeri yang dilaporkan adalah sedang berat. NSAID

atau opioid tidak dapat meredakan nyeri dan opioid dapat memperberat gejala

gangguan otonom, yaitu konstipasi. Sebuah studi mengatakan bahwa penambahan

analgesik pada pasien Guillain Barre Syndrome, gabapentin atau carbamazepin

dapat berpengaruh pada pasien Guillain Barre Syndrome di intensive care unit.

Pemberian antidepresan trisiklik, tramadol, gabapentin, atau carbamazepin jangka

panjang berpengaruh bagi pasien dengan nyeri kronik.19,26

Pasien dengan GBS harus melakukan latihan penguatan selama fase akut,

dan rehabilitasi harus direncanakan untuk memulihkan mobilitas dan fungsi otot.

Sampai 80% pasien mengalami kelelahan yang persisten dan berat setelah fase

penyembuhan. Derajat fatigue tidak sesuai dengan keparahan penyakit, durasi

kecacatan, ataupun usia pasien. Belum ada obat farmakologis yang terbukti dapat

berpengaruh untuk fatigue.20

2. Terapi etiologis

Tatalaksana spesifik untuk mempercepat pemulihan dan atau memperbaiki

gejala menargetkan respon imun yang rusak pada GBS. Membersihkan kompleks

sirkulasi imun melalun plasma exchange telah terbukti dapat mempercepat waktu

pemulihan untuk dapat berjalan kembali, kebutuhan ventilasi, durasi ventilasi, dan

mengembalikan kekuatan otot setelah setahun dibandingkan dengan plasebo.

Berdasarkan guidelines evedence-based terbaru, plasma exchange efektif dan harus

digunakan untuk AIDP yang ringan - berat. Respon yang optimal didapatkan
26

setelah pemberian plasma exchange selama 7 hari dari onset, meskipun adapula

yang mendapatkan perubahan setelah 30 hari pasca onset.8,25,26

Terapi Intravena Imunoglobulin (IVIG) telah menunjukkan dapat

mempercepat pemulihan pada pasien dewasa dan anak-anak dibandingkan dengan

hanya pemberian terapi suportif. Dosis tipikalnya adalah 400 mg/kgBB per hari

selama 5 hari, meskipun beberapa penelitian menyatakan bahwa totalnya 2 g/kgBB

per hari selama 2 hari itu efektif. Terapi IVIG lebih mudah ditangani daripada

plasma exchange dan komplikasinya juga lebih rendah. Terapi IVIG harus dimulai

2 minggu sejak onset gejala muncul, dan harus dipertimbangkan bagi pasien yang

tidak rawat jalan. Beberapa studi plasma exchange diikuti oleh IVIG tidak

memberikan efek yang lebih dibandingkan dengan monoterapi. Sekuensial terapi

tidak direkomendasikan.8,9

Gambar 2.1. Guillain Barre syndrome, fluktuasi pengobatan

Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk tatalaksana GBS. Dari

berbagai penelitian didapatkan bahwa tidak ada perbedaan mortalitas dan

disabilitas yang signifikan antara pasien yang diberikan kortikosteroid dengan yang
27

diberikan plasebo. Bahakan terdapat penelitian yang menyatakan bahwa pemulihan

dengan kortikosteroid lebih rendah setelah 4 minggu diterapi dibandingkan dengan

pasien yang tidak di terapi.27,29

Berdasarkan PERDOSSI, tatalaksana yang diberikan untuk penderita GBS

adalah:

 Pemberian IVIG 0,4 gram/kg BB/hari selama 5 hari plasma exchange


digunakan sebagai lini pertama pengobatan (Level A)

 Pemberian IVIG memiliki efek samping yang lebih sedikit, sehingga lebih
banyak dipilih (Level B)

 Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG memiliki manfaat


singkat (Level C)

 Pada anak-anak pemberian IVIG lebih direkomendasi (Level C)

 Pemberian IVIG pada kasus yang relaps tetap harus dipertimbangkan


(GPP/Good Practice Point)

 Tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan derajat kelemahan dan disabilitas


pasien.1

I. Komplikasi dan Prognosis

Meskipun dengan terapi, sekitar 3 persen pasien GBS meninggal dunia.

Median lama rawat inap adalah 7 hari, dan 25% pasien membutuhkan intubasi dan

ventilasi mekanik. Prognosis lebih buruk pada pasien yang tua, dengan gejala yang

berat, dan pasien dengan gejala yang sangat cepat. Masalah neurologis terjadi pada

20% pasien, dimana setengah dari pasien tersebut mengalami kecacatan.


28

Faktor-faktor yang mempengaruhi lama disabilitas adalah berkurangnya respon

motorik, terdapat diare sebelumnya, keterlibatan axon, infeksi Campylobacter

jejuni atau cytomegalovirus, tidak bisa berjalan dalam 14 hari, usia tua, gejala yang

berlangsung cepat, dan keparahan gejala di fase puncak.7,8

Menurut PERDOSSI, prognosis GBS adalah sebagai berikut:

 Ad vitam : dubia ad bonam

 Ad Sanationam : Dubia ad bonam

 Ad fungsionam : dubia ad bonam.1


BAB III

PENUTUP

Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit dimana sistem kekebalan

tubuh seseorang menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot,

dan apabila parah dapat mengakibatkan kelumpuhan. Sindrom Guillain Barre

merupakan kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak dan kadang-kadang

dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai menurunnya refleks.

Pemeriksaan EMG dapat memberikan hasil yang normal pada fase akut, dan

baru menunjukkan hasil yang abnormal pada minggu ke 3-4. Hasil yang abnormal

dari pemeriksaan konduksi saraf, memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang

tinggi pada pemeriksaan GBS. Pada pemeriksaan ENMG terlihat KHS meningkat,

H reflex memanjang.

Prognosis GBS adalah baik yaitu sekitar 80% tetapi sekitar 15% nya

mempunyai gejala sisa/defisit neurologis. Mortalitas GBS berkisar 1-18% dan

20-30% pasien dengan gagal nafas dan memerlukan alat bantu nafas mekanik.

Hampir 70% pasien didapati mempunyai gangguan sistem saraf otonom (aritmia

jantung, dan peningkatan tekanan darah bahkan sampai terjadinya krisis hipertensi

pada sebagian kasus).

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Indonesia, P. D. S. S. (2016). Panduan praktik klinis neurologi.Jakarta:


Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

2. Departemen Kesehatan Indonesia. 2015. Sindrom Guillain Barre. Jakarta,


Indonesia.

3. World Health Organization. Assesment and management of guillain-bare


syndrome in the content of zika virus infection. WHO. 2016

4. Archanna BN, Arun BT, Girish BK, Umamaheswara GSR, Shivaji R.


Mortality in mechanically ventilated patients of guillain bare syndrome. Ann
Indian Acad Neuronal. 2011: 14(4); 262-266

5. Ho, T. W., Mishu, B., Li, C. Y., Gao, C. Y., Cornblath, D. R., Griffin, J.
W., ... & McKhann, G. M. (1995). Guillain-Barre syndrome in northern
China Relationship to Campylobacter jejuni infection and anti-glycolipid
antibodies. Brain, 118(3), 597-605.

6. van den Berg, B., van der Eijk, A. A., Pas, S. D., Hunter, J. G., Madden, R.
G., Tio-Gillen, A. P., ... & Jacobs, B. C. (2014). Guillain-Barre syndrome
associated with preceding hepatitis E virus infection. Neurology, 82(6),
491-497.

7. Barbi, L., Coelho, A. V. C., Alencar, L. C. A. D., & Crovella, S. (2018).


Prevalence of Guillain-Barré syndrome among Zika virus infected cases: a
systematic review and meta-analysis. Brazilian Journal of Infectious
Diseases, 22(2), 137-141.

8. Walling, A. D., & Dickson, G. (2013). Guillain-Barré Syndrome.American


family physician, 87(3).

9. Pithadia, A. B., & Kakadia, N. (2010). Guillain-Barré syndrome (GBS).


Pharmacological reports, 62(2), 220-232.

10. Dr Iskandar J, Guillain Barre Syndrome. Universitas Sumatera Utara ; 2005

11. Japardi, I. S. K. A. N. D. A. R., & Bedah, B. (2002). Sindroma Guillain-Barre.


Medan: Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.

12. Salehiomran MR, Nikkhah A, Mahdavi M. Prognosis of Guillain-Barré


syndrome in Children. Iran J Child Neurol.Spring 2016; 10(2):38-41.

30
31

13. Pons Linda, Veronique M, Dorothie V, Etienne J, Fabienne B. A new


observation of an atypical severe variant of the guillain bare syndrome in a
child: remaining challenges for diagnosis, nosologic classification, and
therapeuctic course. Child Neurology Open. 2015: 1(1); 1-5

14. Rees JH, Gregson NA, Hughes RA: Anti-ganglioside GM1 antibodies in
Guillain-Barré syndrome and their relationship to Campylobacter jejuni
infection. Ann Neurol, 1995, 38, 809–816.

15. Janeway, CA, Travers P, Walport M, Shlomchik MJ: Immunobiology, The


immune system in health and disease, 6th edn. Garland Publishing, New York,
2005.

16. Koga M, Gilbert M, Takahashi M, Li J, Koike S, Hirata K, Yuki N:


Comprehensive analysis of bacterial risk factors for the development of
Guillain-Barré syndrome after Campylobacter jejuni infection. J Infect Dis,
2006,193, 547–555.

17. Shahar E: Current therapeutic options in severe Guillain- Barré syndrome.


Clin Neuropharmacol, 2006, 29, 45–51.

18. Yuki N: Carbohydrate mimicry, a new paradigm of autoimmunediseases.


Curr Opin Immunol, 2005, 17, 577–582.

19. Ang CW, Yuki N, Jacobs BC: Rapidly progressive, predominantly motor
Guillain-Barré syndrome with anti- GalNAc-GD1a antibodies. Neurology,
1999, 53, 2122–2127.

20. Asbury AK, Cornblath DR: Assessment of current diagnostic criteria for
Guillain-Barré syndrome. Ann Neurol, 1990, 27, S21–S24.

21. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JW, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. Ed 20. 2015.Chapter 616; 3010-3013.

22. Rodbool J, Marie CY, Bianca VDB, et all. Diagnosis of guillain-bare


syndrome in children and validation of the brighton criteria. J Neurol. 2017:
264(2); 856-861.

23. Sunit CH, Naveen S, Ravi S, Pratibha S. Approach to a child with acute
flaccid paralysis. Indian J Pediatric. 2012; 79(10): 1351-1357.

24. Gordon PH, Wilbourn AJ. Early Electrodiagnostic Findings in Guillain Barre
Syndrome. JAMA Neurology. 2011; 58(6) : 913-917
32

25. Lin, J. H., Tu, K. H., Chang, C. H., Chen, Y. C., Tian, Y. C., Yu, C. C., ... &
Chang, M. Y. (2015). Prognostic factors and complication rates for
double-filtration plasmapheresis in patients with Guillain–Barré
syndrome. Transfusion and Apheresis Science, 52(1), 78-83.

26. Meulstee J, van der Meche FG: Electrodiagnostic criteria for polyneuropathy
and demyelination, application in 135 patients with Guillain-Barré syndrome.
Dutch Guillain-Barré Study Group. J Neurol Neurosurg Psychiatry, 1995, 59,
482–486.

27. Hayes KC, Hull TC, Delaney GA: Elevated serum titers of proinflammatory
cytokines and CNS autoantibodies in patients with chronic spinal cord injury.
Neurotrauma, 2002, 19, 753–761.

28. van Doorn, P. A. (2013). Diagnosis, treatment and prognosis of


Guillain-Barré syndrome (GBS). La Presse Médicale, 42(6), e193-e201.

29. Misawa, S., Kuwabara, S., Sato, Y., Yamaguchi, N., Nagashima, K.,
Katayama, K., ...& Yokota, T. (2018). Safety and efficacy of eculizumab in
Guillain-Barré syndrome: a multicentre, double-blind, randomised phase 2
trial. The Lancet Neurology, 17(6), 519-529.

Anda mungkin juga menyukai