Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma Guillain-Barre (SGB) mempunyai banyak sinonim, antara lain


polyneuritis akut pasca-infeksi, polineuritis akut toksik, polyneuritis febril,
poli radikulopati dan acute ascending paralysis. Ditandai dengan kelemahan
motorik progresif dan arefleksia. Biasanya juga disertai dengan abnormalitas
fungsi sensorik otonom dan batang otak. Gejala-gejala tersebut biasanya
adalah gejala yang mengikuti demam dan atau penyakit yang disebabkan oleh
virus.
Penjelasan mengenai suatu penyakit ini pertama kali dipublikasikan oleh
Landry pada tahun 1859. Oster menguraikannya lebih detil dengan apa yang ia
sebut sebagai febril polyneuritis pada tahun 1892. Pada tahun 1916, Guillain,
Barre, dan Strohl memperluas deskripsi klinis SGB dan pertama sekali
mengemukakan penilaian melalui cairan serebrospinal (CSF), disosiasi
albinositologik (peningkatan protein CSF terhadap hitung sel CSF normal ).
Penilaian CSF digabungkan dengan gejala-gejala klinis tertentu, akan
mengarah kepada poliradiopati demielinisasi yang membedakannya dengan
poliomyelitis dan neuropati lainnya.
Sistem kekebalan tubuh seharusnya membentengi tubuh dari serangan
virus atau bakteri. Tapi jika sistem kekebalan tubuh malah menjadi musuh dan
menyerang saraf sendiri bisa memicu terjadinya sindrom Guillain Barre yang
mengakibatkan kelumpuhan.
Guillain Barre syndrome adalah gangguan yang jarang terjadi karena
sistem kekebalan tubuh menyerang sistem saraf. Gejala pertama yang
dirasakan adalah kelemahan yang ekstrim dan disertai dengan mati rasa.
Sensasi ini dengan cepat menyebar dan bisa mengakibatkan kelumpuhan
seluruh tubuh. Dalam sindrom Guillain Barre, sistem kekebalan tubuh yang
biasanya hanya menyerang benda asing atau mikroorganisme mulai
menyerang saraf-saraf yang membawa sinyal antara tubuh dan otak.
Akibatnya pelindung saraf (selubung myelin) menjadi rusak dan mengganggu
proses signaling yang menyebabkan kelemahan, mati rasa (baal) atau
kelumpuhan. Penyebab pasti dari penyakit ini belum dapat diketahui, tetapi
seringkali didahului oleh penyakit menular seperti infeksi pernapasan atau flu
perut. Kondisi ini jarang sekali terjadi dan diperkirakan hanya mempengaruhi
1-2 orang per 1.000. Meskipun tidak ada obat yang bisa menyembuhkan, tapi
beberapa perawatan dapat meringankan gejala dan mengurangi penyakitnya2.
Pada beberapa orang gejala mulai terasa di lengan atau wajah dan selama
gangguan berlangsung otot bisa menjadi lemah hingga berkembang pada
kelumpuhan di tungkai, lengan atau gangguan pada otot pernapasan. Contoh
penderita penyakit ini seperti yang dialami Andy Griffith, seorang aktor senior
Hollywood kelahiran 1 Juni 1926. Sebelumnya Andy tidak menyangka dirinya
akan terkena penyakit yang sangat langka. Hingga akhirnya sang dokter
memvonis ia menderita Guillain Barre Syndrome. Andy sebelumnya sudah
merasakan penyakit yang dideritanya agak aneh. Saat tubuhnya dalam kondisi
baik, gejala flu yang dialaminya berganti menjadi rasa sakit yang mengerikan
dan seperti rasa membakar yang memantul ke seluruh tubuh. Selama empat
hari dokter tidak ada yang tahu mengenai penyakit yang diderita Andy.
Setelah melakukan pemeriksaan terhadap tulang belakang, dokter berhasil
menemukan penyakit Andy yaitu ia menderita Guillain Barre Syndrome.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:


a. Menjelaskan tentang pengertian Guillain Barre syndrome.
b. Menjelaskan tentang epidemiologi Guillain Barre syndrome.
c. Menjelaskan tentang etiologi Guillain Barre syndrome
d. Menjelaskan klasifikasi Guillain Barre syndrome
e. Menjelaskan tentang patofisiologis dari Guillain Barre syndrome
f. Menjelaskan tentang pathogenesis dari Guillain Barre syndrome
g. Menjelaskan tentang manifestasi klinis dari Guillain Barre syndrome
h. Menjelaskan tentang pemeriksaan diagnostik Guillain Barre syndrome
i. Menjelaskan tentang penatalaksanaan medis Guillain Barre syndrome
j. Menjelaskan tentang prognosis dari Guillain Barre syndrome
k. Menjelaskan tentang diagnose banding Guillain Barre syndrome
l. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan dari Guillain Barre syndrome

1.3 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang di angkat dari makalah ini adalah:
m. Apa pengertian Guillain Barre syndrome?
n. Bagaimana epidemiologi Guillain Barre syndrome?
o. Apa penyebab atau etiologi dari Guillain Barre syndrome?
p. Apa saja klasifikasi dari Guillain Barre syndrome?
q. Bagaimana patofisiologis dari Guillain Barre syndrome?
r. Apa saja yang menjadi manifestasi klinis dari Guillain Barre syndrome?
s. Apa saja pemeriksaan diagnostik Guillain Barre syndrome?
t. Bagaimana penatalaksanaan medis Guillain Barre syndrome?
u. Bagaimana prognosis dari Guillain Barre syndrome?
v. Apa saja diagnosa banding Guillain Barre syndrome?
w. Bagaimana asuhan keperawatan dari Guillain Barre syndrome?
BAB II
ISI

2.1 Pengertian
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit langka yang
menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat
sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil
nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre),
yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap
kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini
menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua
tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada
manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak
dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang
mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi
usus atau tenggorokan3.
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun neurologis
yang mana penyakit ini timbul dikarenakan sistem kekebalan tubuh menghasilkan
antibodi terhadap saraf, sehingga terjadi kerusakan pada saraf itu sendiri. Kasus
GBS dapat berkembang setelah infeksi (misalnya gangguan sistem pernapasan
atas atau penyakit system pencernaan). Hal ini terjadi ketika tubuh membuat
antibodi untuk melindungi diri melawan invasi bakteri atau virus. Namun, bakteri
dan virus tertentu memiliki penutup protein yang menyerupai beberapa protein
yang normal pada selubung yang membungkus saraf (selubung mielin) sehingga
dapat mengakibatkan sistem kekebalan tubuh menyerang saraf itu sendiri4.
Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom klinik yang penyebabnya
tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan kranial. Paling banyak pasien-
pasien dengan sindrom ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernafasan atau
gastointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan
neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau
pembedahan. Ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun,
dan beberapa proses lain. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus
menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. (Meilin
merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti akson-akson saraf dan
berperan penting dalam transmisi infus saraf)5.

2.2 Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim.
Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan
musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao
Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap
bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara
bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.Insidensi
sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.Terjadi puncak
insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia
dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling
tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic,
1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia
mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-
laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
Aprils/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau5.

2.3 Etiologi
Etiologi dari GBS (Guillain-Barre Syndrome menurut Kenici K, et all
penyakit Sindrom Guillain-Barre dapat dipicu oleh infeksi mikroorganisme
Compylobacter jejuni, Haemophilus influenza, dan Cytomegalovirus. SGB sering
sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal. Sindrom Guillain-Barre paling banyak ditimbulkan oleh
adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum
terjadi serangan penurunan neurologis. Pada bebearapa keadaan dapat terjadi
setelah vaksinasi atau pembedahan6.
Gejala yang dapat ditimbulkan oleh Sindrom Guillain-Barre diantaranya
kelemahan, mati rasa, dansensasi kesemutan di kaki dan tangan yang dapat
menyebabkan kelumpuhan. Kadang-kadang juga dapat mempengaruhi otot
pernapasan5.

2.4 Klasifikasi
GBS diklasifikasikan menjadi dua subtipe utama yaitu demielinasi dan
aksonal. Bentuk demielinasi adalah inflamasi demielinasi polineuropati akut
(Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) yaitu peradangan
dimielinasi yang menyebabkan penyakit pada persarafan. AIDP adalah bentuk
paling umum GBS di Negara-negara Barat dan ditandai oleh demielinasi
segmental saraf perifer. Subtipe lainnya dari GBS adalah degenerasi aksonal
primer, keadaan ini dikenal sebagai neuropati motor aksonal akut (Acute Motor
Axonal Neuropathy (AMAN).AMAN jarang ditemukan di Amerika Utara dan
Eropa, akuntansi hanya sekitar 5% dari total kasus GBS, daripada demielinasi
GBS, tetapi AMAN lebih umum ditemuka di Negara Cina dan Jepang. GBS
aksonal hampir jarang menyebabkan defisit sensorik. Primer aksonal GBS
yangmenyebabkan defisit sensorik disebut Acute motor And Sensory
Axonalneuropathy (AMSAN)6.
2.5 Patofisiologi
Adapun patofisiologi dapat digambarkan pada bagan berikut5:
Faktor-faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset meliputi adanya ISPA,
infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf

Selaput mielin hilang akibat dari respon alergi, respons autoimun, hipoksemia, toksik
kimia, dan insufisiensi vaskular

Proses demielinisasi

Konduksi saltatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi


impuls saraf

Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial

Gangguan fungsi saraf Gangguan saraf perifer dan neuromuskular Disfungsi otonom
kranial: III, IV, V, VI,
VII, IX dan X
Parastesia (kesemutan kebas) Paralisis lengkap, otot Kurang bereaksinya
dan kelemahan otot kaki, pernapasan terkena, sistem saraf simpatis dan
Paralisis pada ocular, yang dapat berkembang ke mengakibatkan insufisiensi parasimpatis, perubahan
wajah dan otot orofaring, ekstremitas atas, batang pernapasan sensori
kesulitan berbicara, tubuh, dan otot wajah
mengunyah dan menelan

Risiko tinggi gagal Gangguan frekuensi


Kelemahan fisik umum, pernapasan (ARDS), jantung dan ritme,
Gangguan pemenuhan paralisis otot wajah penurunan kemampuan perubahan tekanan darah
batuk, peningkatan (hipertensi transien,
nutrisi dan cairan
hipotensi ortostatik), dan
sekresi mukus
gangguan vasomotor.

4. Risiko tinggi defisit Penurunan tonus otot


cairan tubuh Penurunan curah
seluruh tubuh, perubahan
5. Risiko tinggi jantung ke otak dan
estetika wajah jantung
pemenuhan nutrisi
kurang dari
kebutuhan

6. Gangguan 2. Ketidakefektifan bersihan 1. Ketidak efektifan pola 3. Penurunan curah


pemenuhan ADL jalan napas. napas jantung
7. Kerusakan mobilitas
fisik
8. Gangguan konsep Sekresi mukus masuk lebih ke Gagal fungsi pernapasan Penurunan curah
diri (gambaran diri) bawah jalan napas jantung ke ginjal

Risiko tinggi infeksi saluran Koma Penurunan filtrasi


napas bawah dan parenkim paru glomerulus

Pneumonia Kematian Anuria


Akson bemielin mengonduksi implus saraf lebih cepat disbanding akson
tidak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam
selaput (nodus Renvier) tempat kontak langsung antara membrane sel akson
dengan cairan ekstraseluler. Membrane sangat permeable pada nodus tersebut
sehingga konduksi menjadi baik5.
Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat
banyak pada nodus Renvier sehingga implus saraf sepanjang serabut bermielin
dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup
kuat. Kehilangan selaput myelin pada GBS pada konduksi saltatori tidak mungkin
terjadi dan transmisi implus saraf batalkan5.

2.6 Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah7:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,
yang paling sering adalah infeksi virus.
Perjalanan penyakit dalam Guillain-Barre Syndrome (GBS) terdapat
dalam 3 fase, antara lain5:
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi
tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan
mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat.
Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti,
namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi
ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan
fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung,
pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat
dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat
akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan
hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat
diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase
infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan.
Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada
fase infeksi.
Peran Imunitas Seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid danperedaran8.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah
menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan
imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit
T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan
pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF8.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh
aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk
mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen8.

2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari Sindroma Guillain-Barre (SGB) yaitu9:
1. Gejala diawali dengan parestasia dan kelemahan otot kaki
2. Berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah
3. Terserangnya saraf kranial dengan adanya paralisi pada okular, wajah, otot
orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan
4. Disfungsi autonom merupakan komplikasi diantaranya dimanifestasikan oleh
gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi
transien, hipotensi ortostatik), disfungsi gastrointestinal, kelainan usus dan
gangguan vasomotor lainnya yang bervariasi.
5. Terjadinya nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki
6. Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh
7. Terjadinya gejala neurologik yaitu kadang-kadang tampak seperti penyakit flu
ringan dan penyakit ini dikenal sebagai polyneuritis infeksi akut, sekarang
nama ini secara umum telah dikenal dan di duga sebagai reaksi imun yang
salah
8. Terjadinya gejala motorik yaitu biasanya timbul lebih awal daripada gangguan
sensorik. Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer. Otot-otot proksimal dan
distal terganggu dan reflex tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung
biasanya ditemukan. Otot fasial dan otot okuler kadang-kadang terganggu.
Perluasan dan kelemahan otot-otot batang tubuh menuju thoraks akan
mengganggu pernafasan.
Jika tidak diobati, kondisi penderita biasanya mengalami kemunduran
selama beberapa minggu pertama penyakit. Pada kasus yang berjalan cepat
(disebut paralisis Landry) kematian merupakan akibat dari kegagalan pernafasan.
Setelah periode statik, terjadi penyembuhan sedikit demi sedikit dan serangan
ulang dapat terjadi. Serta komplikasi-komplikasi yang lain dapat muncul. Berikut
komplikasi yang dapat ditemui pada GBS10:
 Kesulitan bernapas
 Kontraktur atau cacat sendi
 Deep vein thrombosis
 Risiko infeksi
 Tekanan darah rendah atau tidak stabil
 Kelumpuhan yang permanen
 Pneumonia
 Kerusakan kulit (ulkus)
 Pengisapan makanan atau cairan ke dalam (aspirasi) paru-paru

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangan gejala-gejala klinik dan tidak ada satu pemeriksaan pun yang dapat
memastikan GBS; pemeriksaan tersebut hanay menyingkirkan dugaan gangguan5.
Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya
dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan
adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal5.
Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi implus sepanjang serabut
saraf. Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju
konduksi saraf5.
1. Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis
(peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total
protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan
lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan
menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit
tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di
bawah 10 leukosit mononuclear/mm5.
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok
konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang
dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat
pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah
onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat
hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang
tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan
yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih
panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG5.
3. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia
jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara
anemia bukanlah salah satu gejala5.
4. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat
Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat
demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada
kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang
berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat
infeksi CMV ataupun EBV5,11.
5. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase
QRS kadang dijumpai, namun tidak sering5.
6. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending)5.
7. Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada
fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama
dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat
Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf
motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root,
saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung,
dan organ lainnya5.
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap
sitomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Suatu perubahan respons imun pada
antigen saraf perifer dapat menunjang perkembangan gangguan5.

2.9 Pentalaksanaan Medis


Sindrom Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif. Pasien yang mngalami masalah
pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama.
Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antbiotik ke dalam
sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat
membatasi keadaan yan memburuk dan demielinasi. Diperlukan pemantauan
EKG kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung.
Disritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati
dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat
diberikan untuk menghindari episode brakikardi selama terapi fisik7,12.
Pengobatan SGB terdiri dari 2 komponen, yaitu pengobatan secara suportif
dan terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap merupakan terapi yang utama,
jika pasien sebelumnya melewati fase akut pada penyakit, kebanyakannya akan
mengalami kesembuhan. Bagaimanapun, neuropati dapat memburuk dengan cepat
dan diperlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dalam 24 jam selama
onset gejala. Oleh karena itu, semua pasien SGB harus diterima di Rumah Sakit
untuk diobservasi tertutup untuk kedaruratan system respirasi pasien, disfungsi
kranialis, dan ketidakstabilan system autonom. Disfungsi system saraf autonom
dapat bermanfestasi ; tekanan darah yang berubah-ubah, disritmia,
psudoobstruktif gastrointestinal dan retensi urin. Profilaksis untuk trombosis vena
dalam harus tersedia karena pasien seringkali tidak dapat bergerak selama
beberapa minggu2.
Pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi.
Pasien tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan
intubasi. Penilaian ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk
progresi yang cepat sangat diperlukan. Perkiraan tambahan untuk ventilasi
mekanik selanjutnya adalah2:
Waktu dari onset SGB sampai masuk RS kurang dari 7 hari.
 Ketidaksanggupan untuk mengangkat siku atau kepala dari tampat tidur
 Tidak sanggup berdiri
 Peninggian kadar enzim hati
Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. Terapi psikologis termasuk
memijat dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering merubah posisi
dapat meringankan nyeri. Karbamazepin (tegretol) dan Gabapentin (nerontin)
telah digunakan sebagai tambahan untuk menghilangkan nyeri pada SGB. Pada
pasien dengan paralysis memiliki jiwa yang was-was dan takut. Menenangkan
pasien dan diskusi tentang fase penyakit dan perbaikan dapat membantu
mengurangi stress psikologi3.
Belum ada drug of choice yan tepat untuk SGB. Yang diperlukan adalah
kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat
perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan3.
Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi
otot-otot respirasi harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmapharesis atau
immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmapharesis menggunakan suatu
plasma exchange lebih kurang 20 L (200-250 mL/Kg selama beberapa hari)
secara bermakna menurunkan lama dan beratnya disability pada pasien SGB,
namun beberapa penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari
IVIg5,12.
The Dutch Guillain-Barre Study Group mengemukakan pengobatan
dengan IVIg (400mg/KgBB selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior
dibandingkan dengan plasma exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain
kurang meyakinkan dan mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada
pasien dengan pemberian IVIg dibandingkan plasma exchange5,12.
IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak
diragukan lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah
digunakan, namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga
yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang
juga mahal, namun lebih murah dibandingkan dengan IVIg. Tidak ada studi
tentang keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg dan plasma exchange,
sehingga hanya salah satu terapi saja yang digunakan5,12.
Kerugian plasmapharesis termasuk komplikasinya jarang ditemukan,
seperti sepsis yang diyakini dapat menyebabkan penipisan immunoglobulin. Jika
plasma beku digunakan sebagai cairan pengganti, beresiko untuk mendapatkan
virus seperti hepatitis dan HIV8.
IVIg memiliki efek samping dari terapi. IVIg memperluas volume plasma
juga dapat memicu terjadinya Congestif Heart Failure (CHF) dan Renal
Insuffiensi. Pasien-pasien dapat menjadi demam, myalgia, sakit kepala, mual, dan
muntah, tetapi gejalaseperti influenza dapat sembuh dengan sendirinya. Pasien
juga dapat mnegalami meningitis aseptic, nutropenia, dan hipertensi. Riwayat
alergi sebelumnya terhadap penggunaan IVIg merupakan kontra indikasi
pengobatan3.
Manfaat kortikosteroid untuk SGB masih controversial. Namun demikian,
apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralysis otot-otot respirasi maka
kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid harus
diiringi dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi3.
Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga
telah terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila
didapati keadaan seperti ini. Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan
menelan, maka perlu dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat
memenuhi kebutuhan makanan dan cairan. Latihan dan fisioterapi sangat
diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan5.
2.10 Prognosis
Prognosis akan lebih baik apabila penderita berusia muda, selama sakit
tidak memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan
tidak terjadi kelumpuhan total5.
Sekitar 85% pasien dengan SGB berhasil sembuh dengan penyembuhan
fungsi dalam 6-12 bulan. Penyembuhan maksimal dalam 18 bulan setelah onset,
bagimanapun pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap,
arefleksia, dan parestesia. Sekitar 7-15% pasien memiliki gejala neurologist sisa
yang menetap termasuk bilateral footdrop. Otot tangan instrinsik kebas, sensori
ataxia, dan disestesia. Angka kematian <5% pada pengobatan yang professional.
Penyebab kematian biasanya berupa sindrom distress pernafasan, sepsis, emboli
paru, dan henti jantung5.
Faktor-faktor yang memperberat selama fase akut dari penyakit dapat
memperburuk proses penyembuhan. Faktor-faktor ini yaitu, usia > 60 tahun,
berat, memerlukan pernafasan bantuan. Pada umunya, prognosis yang jelek secara
langsung berhubungan dengan beratnya episode akut dan lambatnya onset pada
pengobatan spesifik5.

2.11 Diagnosa Banding


Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan criteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus
dibedakan dengan keadaan lain, seperti5:
 Peradangan akut/kronis demielinisasi poliradikuloneuropati
 Sindrom, Kauda Equina
 Sindrom Konus Medullaris
 HIV-1 dengan peradangan kronis demielinisasi poliradikulopati
 HIV-1 dengan nyeri polineuropati sensorimotor distal
 HIV-1 dengan mononeuropati multiple
 HIV-1 dengan komplikasi neuromuscular
 HIV-1 dengan poliradikulopati progresif
 HIV-1 dengan mielopati
 Penyakit Lynne
 Myastenia Gravis
 Neuropati toksik
 Keracunan organophospat

2.13 Asuhan Keperawatan


Proses keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian terhadap Sindrom Guillain-Barre meliputi5:
 Keluhan utama
Keluhan utama sering menjadi alasan lien meminta pertolongan kesehatan
berhubungan dengan kelemahan otot bak kelemahan fisik secara umum
maupun lokal seperti melemahnya otot pernapasan.
 Riwayat penyakit sekarang
Faktor penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan
utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan
mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien
Sindrom Guillain-Barre biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan
dengan proses dimielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala-gejala
neurologis diawali dengan prestasia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot
kaki, yang dapat berkembang ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
Kelemahan dapat diikuti dengan paralisis lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien Sindrom Guillain-Barre
dan merupakan komplikasi yang paling berat dari Sindrom Guillain-Barre
adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan
gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi
pernapasan berulang. Disfagia juga dapat muncul pada penyakit Sindrom
Guillain-Barre ini yang lebih mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan
ekstremitas atasah hampir sama seperti keluhan klien stroke. Keluhan lainnya
adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular seperti terjadinya disaritmia
jantung yang diakibatkan oleh gangguan system saraf otonom pada klien
dengan Sindrom Guillain-Barre.
 Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dilami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami ISPA, insfeksi gastrointestinal dan tindakan bedah
Syaraf.
Pengkajian pemakain obat-obatan yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat kartikosteroid, antibiotik dan menilai reaksinya (resistensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensipfnya pengkajian.
Pengkajian riwayat dahulu dapat mendukung pengkajian riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
 Pengkajian psikospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecacatan, cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stress, seperti kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan
perilaku saat stress.
Pemeriksaan Fisik
Klien dengan Sindrom Guillain-Barre biasanya didapatkan suhu tubuh
normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
penurunan curah jantung . peningkatan frekuensi napas berhubungan dengan
peningkatan laju metabolism umum dan adanya infeksi pada system pernapasan
serta akumulasi secret akibat insufisiensi pernapasan. Tekanan darah didapatkan
ortostatsik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien)
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
Pemeriksaan fisik meliputi5:
 B1 (Breathing)
Hasil inspeksi akan didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas meningkat dan yang paling sering
didapatkan pada klien Sindrom Guillain-Barre adalah menurunnya ferkuensi
pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronki pada klien dengan Sindrom Guillain-Barre berhubugan dengan
akumulasi sekret dari infeksi saluran pernapasan.
 B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien Sindrom Guillain-Barre
menunjukkan bradikardi akibat penurunan perfusi perifer. Tekanan darah
didapatkan hipotensi atau hipertensi akibat penurunan reaksi saraf simpatis
dan parasimpatis.
 B3 (Brain)
Pengkajian Brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan system lainnya. Pemeriksaan Brain meliputi:
 Pegkajian Tingkat Kesadaran
Klien dengan Sindrom Guillain-Barre biasanya kesadaran klien
komposmentis. Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka
penialaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat keasadarn klien dan
bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
 Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian fungsi sersebral merupakan pengkajian yang menyangkut
status mental yaitu observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicaram
ekspresi wajah dan aktivitas motorik klien. Klien dengan Sindrom Guillain-
Barre untuk tahap yang lebih lanjutnya disertai penurunan kesadaran biasanya
status mental klien mengalami perubahan.
 Pengkajian Saraf Kranial
Pengkajian saraf cranial meliputi pengkajian saraf kranial I-XII 5:
 Saraf I. Biasanya pada klien Sindrom Guillain-Barre tidak ada kelainan
dari fungsi penciuman.
 Saraf II. Tes ketajaman dan Penglihatan pada kondisi normal.
 Saraf III, IV, dan VI. Penurunan membuka dan menutup kelopak mata
disebut paralisis okuler.
 Saraf V. Klien dengan Sindrom Guillain-Barre didapatkan paralisis pada
otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
 Saraf VII. Persepsi pengecapan dlam batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduksi adan tuli persepsi
 Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah
dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
 Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternkleidomantoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
 Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi paa satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal
 Pengkajian Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada
Sindrom Guillain Barre tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami
kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
 Pengkajian Refleks
Pemeriksaan refleks propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
 Pengkajian Sistem Sensorik
Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
 B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya
volume penegeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung ke ginjal.
 B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan denganpeningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia
dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
 B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan
mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien
lebih banyak dibantu oleh orang lain.

b. Diagnosis keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa utama pasien terdiri dari5:
 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernafasan dan ancaman gagal pernafasan
 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi secret,
kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
 Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
dan konduksi listrik jantung
 Resiko tinggi defisit cairan tubuh berhubungan dengan gangguan pemenuhan
nutrisi dan cairan
 Resiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan
 Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan kerusakan penerima
rangsang sensorik, transmisi sensorik dan integrasi sensori
 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran
 Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis
penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan
actual dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada
harapan
 Kecemasan keluarga berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis
penyakit yang buruk.

Tabel 1. NIC dan NOC


NOC NIC
1. Status Respirasi: Patensi jalan 1. Manajemen Jalan Napas
napas  Buka jalan napas
 Respiratory rate  Posisikan klien untuk potensi
 Irama respirasi ventilasi yang maksimal
 Kedalaman dari inspirasi  Bantuan jalan napas melalui
 Kemampuan untuk mengeluarkan oral atau nasofaring
sekresi  Melakukan fisioterapi dada
 Kecemasan  Mengeluarkan sekresi dengan
 Ketakutan mendorong untuk batuk atau
 Tersedak suction.
 Bunyi napas tambahan  Dorong perlahan; tarik napas
 Terengah-engah dalam; keluarkan; batukkan

 Penggunaan otot bantu  Instruksikan bagaimana cara

 Akumulasi dari sputum batuk yang efektif


 Auskultasi bunyi nafas,
mencatat area yang mengalami
penurunan atau tidak terdapat
ventilasi dan adanya suara
tambahan.
 Gunakan bronkodilator
 Melakukan suction endotrakeal
atau nasotrakeal
 Ajarkan pasien bagaimana cara
menggunakan peresepan inhaler
 Gunakan pengobatan aerosol
 Gunakan pengobatan nebulizer
ultrasonic
 Gunakan udara yang lembab
atau oksigen
 Regulasi pemasukan cairan
untuk keseimbangan cairan
yang optimal
 Posisikan klien untuk
meringankan dispnea
 Monitor status respirasi dan
oksigenisasi
2. Status Respirasi
 Respiratori rate
 Irama pernapasan 2. Pemantauan Respirasi
 Kedalaman inspirasi  Monitor RR, irama pernafasan,
 Auskultasi bunyi napas kedalaman dan usaha bernafas
 Volume tidal  Catat pergerakan dada,
 Kapasitas vital perhatikan kesimetrisannya,
 Saturasi oksigen penggunaan otot aksesoris dan
 Tes fungsi paru rewtraksi otot supra klavikular
 Penggunaan otot aksesoris dan interkostal
 Retraksi dada  Monitor bising nafas, seperti
 Sianosis crowing dan snoring
 Dispnea saat istirahat  Monitor pola nafas : bradipnea,
 Somnolen takipnea, hiperventilasi,

 Diaporesis pernafasn kussmaul, pernafasan

 Gangguan kognitif cheyne-stokes, bioapneostik,

 Akumulasi sputum respirasi biot dan pola ataxic


 Suara napas tambahan  Monitor kelelahan otot
diafragma
 Monitor peningkatan kelelahan,
kecemasan, dan kekurangan
udara.
 Auskultasi bunyi napas, catatan
adanya bunyi tambahan.
 Monitor kapasitas vital,
fev1/fv5c.
3. Keefektivan Pompa Jantung  Gunakan trikmen terapi
 Tekanan darah sistol respirasi (nebulizer).
 Tekanan darah diastol  Monitor sekresi pernapasan
 Denyut nadi perifer pasien.
 Irama jantung
 RR 3. Cardiac Care
 Irama pernapasan  Evaluasi nyeri dada (intensitas,
 Kedalaman inspirasi lokasi, radiasi, durasi)
 Output urin  Monitor frekuensi dan ritme
 Saturasi oksigen jantung
 Fatigue  Auskultasi suara jantung
 Keseimbangan intake dan  Auskultasi paru (bunyi crackles
output selama 24 jam dan bunyi tambahan)
 Disritmia  Monitor status syaraf
 Bunyi jantung abnormal  Monitor intake/output, keluaran
 Angina urin dan berat badan

 Edema perifer  Monitor pemeriksaan EKG

 Edema paru secara berkala

 Asites  Menggunakan 12 lead EKG,

 Intoleran aktivitas jika diperlukan

 Hepatomegali  Monitor fungsi ginjal (mis.


 Ukuran jantung BUN dan CR level), jika
dibutuhkan
 Monitor hasil lab untuk
elektrolit yang mungkin
meningkatkan resiko disritmia
(mis. Serum potassium dan
magnesium)
 Gunakan X-ray dada
 Monitor keefektipan terapi
oksigen
 Monitor factor yang
menentukan penyampaian
oksigen (mis. Pa O2 dan tingkat
hemoglobin dan kardiak output)
 Monitor keefektifan pengobatan

c. Intervensi Keperawatan
Mempertahankan Fungsi Pernapasan. Pasien Sindrom Guillain-Barre
bergantung pada perawat yang mempertahankan dan merawatnya menuju
pemulihan. Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital,
pasien memperlihatkan perkembangan ke arah kemunduran, yang
mengindikasikan ke arah memburuknya kekuatan otot-otot pernapasan. Pasien
berada pada risiko tinggi bila tidak dapat batuk dengan efektif untuk
membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat
menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal napas akut. Terapi fisik dada
dan peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernapasan dan meningkatkan
batu lebih efektif. Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan
bersihan jalan napas7.
Memantau dan Mengatasi Komplikasi Potensial. Pengkajian fungsi
pernapassan dengan interval yang teratur adalah penting karena pernapasan yang
tidak efektif dan adanya kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisispada
otot-otot interkostal dan diafragma yang berkembang dengan cepat. Gagal naps
adalah masalah besar yang menyevbabkan kematian, dimana tercatat cukup tinggi
sekitar 10-25% dari pasien ini. Kapasitas vital pasien dipantau lebih sering dan
dengan interval yang teratur dalam penambahan kecepatan pernapasan dan
kualitas pernapasan, sehingga pernapasan yang tidak efektif dapat diatasi.
Penurunan kapasitats vital dihubungkan dengan kelemahan otot-otot yang
digunakan saat menelan, sehingga hal ini menimbulkan kesukaran saat batuk dan
menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan. Tanda dan gejala
meliputi adanya kesukaran bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan
irregular, menggunakan otot-otot aksesoris, takikardia dan perubahan pola napas7.
Parameter untuk menentukan serangan gagal napas adalah berkembangnya
pengakuan pasien. Intubasi dan penentuan penggunaan mesin ventilasi dapat
dipertimbangkan pada keadaan tidak darurat. Persiapan pasien untuk prosedur ini
dimungkinkan pada situasi ini dan prosedur itu sendiri dapat dilakukan dalam cara
terkontrolyang mengurangi ansietas dan komplikasi. Komplikasi lain yang harus
dikaji dan dipantau pada pasien meliputi disritmia jantung, yang memerlukan
pemantauan EKG, trombosis vena profunda dan emboli paru, adanya ancaman
pada pasien imobilisasi dan paralisis7.
Mengurangi efek imobilitas. Ekstremitas paralisis disokongdengn posisi
fungsional dan memberikan rentang gerak secara pasif paling sedikit dua kali
sehari. Perawat melakukan kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk mencegah
deformitas kontraktur dengan menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati dan
latihan rentang gerak. Trombosis vena profunda dan emboli paru merupakan
ancaman pasien paralisis, yang tidak mampu menggerakkan ekstremitas.
Intervensi keperawatan meliputi memberikan hidrasi yang adekuat, membantu
terapi fisik, menggunakan stoking antiembolisme, dan pemberian obat-obat
antikoagulan yang ditentukan oleh dokter7.
Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi
neuropati, paling sering saraf ulnar dan peroneal. Bantalan dapat ditempatkan di
siku dan kepala fibula untuk mencegah terjadinya masalah ini. Pencegahan
dekubitus adalah tantangan besar bagi perawat. Untuk pasien paralisis, prinsip-
prinsip penatalaksanaan keperawatan pada pasien tidak sadar dapat diberikan
walaupun fungsi kognitif tidak terkena. Bila pemulihan mulai untuk dilakukan,
pasien-pasien ini dapat mengalami hipotensi ortostatik (dari disfungsi autonom)
dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk menolong mereka
mengambil posisi tegak7.
Memberikan Nutrisi Adekuat. Perhatian yang diberikan untuk nutrisi
yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan. Ilius
paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian
ini, makanan intravena dipertimbangkan diberikan oleh dokter dan perawat
memantau bising usus sampai terdengar. Jika pasien tidak mampu menelan,
makanan melalui oral diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati7.
Meningkatkan Komunikasi. Karena paralisis, trakeostomi dan intubasi,
maka pasien tidak mamou berbicara, tertawa atau menangis dan juga tidak dapat
mengekspresikan emosinya. Masalah-masalah ini dipersulit dengan adanya
kebosanan, ketergantungan, isolasi, dan frustasi. Untuk mengmbangkan beberapa
bentuk komunikasi, berupa memahami kata-kata orang lain dengan gerakan bibir
dan menggunakan kartu-kartu gambar, dikombinasikan dengan sistem
mengedipkan mata untuk mengidentifikasi ya atau tidak, dapat dicoba pada pasien
ini. Jika pasien tetap dalam ventilator untuk waktu yang lama, maka dirujuk
kepada ahli terapi bicara-bahasa. Terapi yang mungkin diberikan (televisi, tape
kaset, dan kunjungan keluarga) dapat mengurangi frustasi yang dihadapi7.
Mengurangi Rasa Takut dan Ansietas. Adanya keluarga dan teman-
teman yang dipilih pasien melayani aktivitas dan pengalihan (mis. membaca) akan
menurunkan perasaan terisolasi. Intervensi keperawatan yang dapat membantu
meningkatkan kontrol sensasi pasien (dan dalam menurukan ketakutan pasien)
dengan cara memberikan informasi tentang keadaan pasien, menekankan
penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif,
membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan
respons balik yang positif. Perilaku lingkungan yang diciptakan perawat, terapi
fisik dan okupasi adalah penting. Dengan memberikan asuhan keperawatan ahli,
penjelasan dan keyakinan membantu pasien meningkatkan kontrol terhadap
situasi7.
Pendidikan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah. Banyak
pasien sindroma Gillain-Barre mengalami pemulihan yang sempurna dalam
beberapa minggu atau bulan. Pasien-pasien yang pernah mengalami paralisis total
atau lama mungkin membutuhkan beberapa tipe rehabilitasi yang dilakukan terus
setelah keluar dari rumah sakit. Program yang luas akan bergantung padaa
pengkajian yang dibutuhkan dibuat oleh anggota tim kesehatan. Alternatif
program yang komprehensif bagi pasien jika dikurangi adalah penting dan
dukungan sosial dibatasi untuk program di rumah terhadap terapi fisik dan
okupasi. Fase pemulihan mungkin lama dan akan membutuhkan kesabaran serta
keterlibatan pihak pasien dan keluarga untuk mengembalikan kemampuan
sebelumnya7.

d. Evaluasi
Hasil yang diharapkan meliputi7:
1. Mempertahankan pernapasan efektif dan kebersihan jalan napas:
a. Bunyi napas normal pada auskultasi
b. Memperlihatkan peningkatan fungsi respiratori bertahap
2. Memperlihatkan peningkatan mobilisasi
a. Mampu menggunakan ekstremitas kembali
b. Berpartisipasi dalam program rehabilitasi
3. Memperlihatkan kemampuan menelan
4. Memperlihatkan pemulihan berbicara
5. Meredanya ansietas dan rasa takut
6. Bebas dari komplikasi
a. Bernapas spontan
b. Mengalami kapasitas vital dalam batas normal
c. Menunjukkan gas darah arteri dan oksimetri normal
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Guillain Barre syndrome adalah gangguan yang jarang terjadi karena
sistem kekebalan tubuh menyerang sistem saraf. Gejala pertama yang dirasakan
adalah kelemahan yang ekstrim dan disertai dengan mati rasa. Sensasi ini dengan
cepat menyebar dan bisa mengakibatkan kelumpuhan seluruh tubuh. Dalam
sindrom Guillain Barre, sistem kekebalan tubuh yang biasanya hanya menyerang
benda asing atau mikroorganisme mulai menyerang saraf-saraf yang membawa
sinyal antara tubuh dan otak.
Perjalanan penyakit dalam Guillain-Barre Syndrome (GBS) terdapat
dalam 3 fase, antara lain fase progresif, fase plateau dan fase penyembuhan.
Manifestasi klinis dari Sindroma Guillain-Barre (SGB) yaitu :Gejala diawali
dengan parestasia dan kelemahan otot kaki. Berkembang ke ekstremitas atas,
batang tubuh dan otot wajah. Terserangnya saraf kranial dengan adanya paralisi
pada okular, wajah, otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan.
Disfungsi autonom merupakan komplikasi diantaranya dimanifestasikan oleh
gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi
transien, hipotensi ortostatik), disfungsi gastrointestinal, kelainan usus dan
gangguan vasomotor lainnya yang bervariasi. Terjadinya nyeri berat dan menetap
pada punggung dan daerah kaki. Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh.
Terjadinya gejala neurologik yaitu kadang-kadang tampak seperti penyakit flu
ringan dan penyakit ini dikenal sebagai polyneuritis infeksi akut, sekarang nama
ini secara umum telah dikenal dan di duga sebagai reaksi imun yang salah.
Terjadinya gejala motorik yaitu biasanya timbul lebih awal daripada gangguan
sensorik. Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer. Otot-otot proksimal dan
distal terganggu dan reflex tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung
biasanya ditemukan. Otot fasial dan otot okuler kadang-kadang terganggu.
Perluasan dan kelemahan otot-otot batang tubuh menuju thoraks akan
mengganggu pernafasan.
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul dari penyakit Guillain Barre
syndrome antara lain:
 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernafasan dan ancaman gagal pernafasan
 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi secret,
kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
 Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
dan konduksi listrik jantung
 Resiko tinggi defisit cairan tubuh berhubungan dengan gangguan pemenuhan
nutrisi dan cairan
 Resiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan
 Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan kerusakan penerima
rangsang sensorik, transmisi sensorik dan integrasi sensori
 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran
 Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis
penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan
actual dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada
harapan
 Kecemasan keluarga berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis
penyakit yang buruk.

3.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah:
1. Mahasiswa/mahasiswi dapat menambahkan pengetahuan mengenai Guillain
Barre syndrome dengan membaca literatur yang relevan.
2. Mahasiswa/mahasiswi keperawatan dapat menerapkan asuhan keperawatan
untuk mengatasi Guillain Barre syndrome dalam tatanan praktek
keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press, 2005
2. Howard L, Werner, Levitt LP. Buku Saku Neurologi Edisi Kelima. Jakarta:
EGC, 2001
3. Asnawi CM. Neuropati Kapita Selekta Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1996
4. Ryszard MP, Cassio L, Robert MG, Guillain-Barré Syndrome. JAMA
2011;305(3):319
5. Muttaqin A. Asuhan keperawatan klien dengan Gangguan sistem persyarafan.
Jakarta: Salemba Medika, 2008
6. Kenichi K, Toshio A, and Robert KY. Antiganglioside antibodies and their
pathophysiological effects on Guillain–Barr´e syndrome and related
disorders—A review. Glycobiology 2009;19(7):676–692
7. Smeltzer SC, Bare BG. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth Volume 3. Jakarta: EGC, 2001
8. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar Edisi VIII. Jakarta: Dian
Rakyat, 2000
9. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2007
10. Hughes RA, Wijdicks EF, Barohn R, et al. Practice parameter:
immunotherapy for Guillain-Barre syndrome: report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology.
2003;61(6):736-740
11. Lehman HC, Parastoo J, Eva KK, et all. Autoantibody-Mediated Dysfunction
of Sympathetic Neurons in Guillain-Barre Syndrome. ARCH NEUROL
2010;6(2):203
12. Hughes R, Anthony VS, Jean CR, et all. Immunotherapy for Guillain-Barre
syndrome: asystematicreview. Brain 2007;130:2245-2257

Anda mungkin juga menyukai