Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat jarang,
kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama
periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan rata-
rata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun
dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. (Sudadi, Sri Rahardjo,
Adi Hidayat, 2017)
Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam,
5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di
Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah
usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan
penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3:1
dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana
terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada
usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena
terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan
kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. GBS biasanya
mempunyai prognosa yang baik yaitu sekitar 80% tetapi sekitar 15% nya mempunyai
gejala sisa/ defisit neurologis.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic
polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious
Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain
Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre
Syndrome.

B. RUMUSAN MASALAH
1
1. Apa itu Guillain Barre Syndrome?
2. Bagaimana etiologi Guillain Barre Syndrome?
3. Seperti apa patofisiologi Guillain Barre Syndrome?
4. Bagaimana Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome?
5. Apa saja diagnosa banding Guillain Barre Syndrome?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome?
7. Apa saja komplikasi Guillain Barre Syndrome?
8. Bagaimana penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome?

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit Guillain Barre
Syndrome.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui Pengertian Guillain Barre Syndrome
b. Untuk mengetahui Etiologi Guillain Barre Syndrome
c. Untuk mengetahui Patofisiologi Guillain Barre Syndrom
d. Untuk mengetahui Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome
e. Untuk mengetahui Diagnosa banding Guillain Barre Syndrome
f. Untuk mengetahui Pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome
g. Untuk mengetahui Komplikasi Guillain Barre Syndrome
h. Untuk mengetahui Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Guillan Bare Syndrome adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan
akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch,
GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi
secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks, dan nervus kranialis. (Sudadi, Sri Rahardjo, Adi Hidayat, 2017)
2
Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:
1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS
yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS.
Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi
dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS
yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan
terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat
antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina;
menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko.
Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf
perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan
cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering
ditemukan pada AMAN.
4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga
menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik
dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak
sempurna.
5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;
dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan
kardiovaskular dan disritmia.
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks
Babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan
relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons,
midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE
cukup baik.

B. ETIOLOGI
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB menurut Kurniawan
(2013), antara lain:
1. Infeksi : Misal radang tenggorokan atau radang lainnya.
3
2. Iinfeksi Virus : Misal Measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B,
Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola,
hepatitis inf, coxakie)
3. Infeksi Lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa, Brucellosis,
Campylobacter Jejuni pada enteritis .
4. Vaksinasi : Rabies, Swine flu
5. Pembedahan
6. Penyakit sistematik:
a) Keganasan; Hodgkin’s Disease, Carcinoma,Lymphoma.
b) Systemic lupus erythematosus
c) Tiroiditis
d) Penyakit Addison
7. Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas.

GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%-80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal. Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus
dengan Campylobacter Jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih
berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan
dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang terbentuk terhadap
kuman ini bisa juga menyerang myelin.
Pada dasarnya guillain barre adalah “Self Limited” atau bisa timbuh dengan
sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang
meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat bantu
nafasnya.

Telah diketahui bahwa infeksi Salmonela Thyposa juga dapat menyebabkan GBS.
Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih
diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di mana demam tifoid masih merupakan
penyakit menular yang besar.

Tabel 1: Jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab GBS

4
C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. (Kurniawan, 2013)
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan
jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang
paling sering adalah infeksi virus.
1. Teori-teori Imun
Faktor humoral (antibodi terhadap gangliosid)-respon seluler (aktivasi
makrofag). Berbagai laporan melaporkan adanya antibodi terhadap glikolipid,
termasuk GM1, GQ1b, berbagai gangliosid lain, seluruh komponen membran akson
Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi monosit perivaskuler endoneurial dan
demielinasi multifocal. Saraf-saraf tepi dapat terkena dari radiks sampai akhiran
saraf distal (poliradikuloneuropati).
Gullain Barre Syndrome diduga juga disebabkan oleh kelainan system imun
lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody
mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang
berubah responya terhadap antigen.Limfosit yang berubah responnya menarik
makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga
selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target
potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris
terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh
karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu
setyelah proses keradangan terjadi. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari

5
myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit
autoimun.

2. Peran Imunitas Seluler


Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan
memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu
limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi
interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi
molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam
membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan
makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein
myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
Sumber lain mengatakan ,infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri maupun
virus, dan antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi
diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi
proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada
beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus
dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh
mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi
tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri
berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan
kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin.
Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh
antigen tersebut.
6
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk
merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari
seluruh bagian tubuh.

3. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah
infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya
berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin
disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung
myelin dari sel schwan dan akson.
Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre
Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada
saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung
(distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan
(anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf
bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin
yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang
lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).
Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya
hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan
mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS mengalami
gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari
hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga
menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk diantaranya nervus
vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena itu, bila
saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja

7
terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin saja terserang,
misalnnya saraf ke-XI.
Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian
bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi
lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret',
hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi, seperti
lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan
otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus
hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi
kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.
Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga
akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala
naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat
yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya
adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka.
Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri
mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan.
Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan sensorik.
Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, 'terbakar', tebal, atau nyeri. Pola
penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama dengan gangguan motorik.
Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu ke waktu (Fredericks et all 1996).
Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi
gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot
pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh
karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru
tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun, dan
bisa menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru,
pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien
dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan
menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu,
akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga
makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.
Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu. Sehingga
tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau 'flushing', yaitu muka
memerah secara mendadak. Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu

8
maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi
sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.

Gambar 1: Sistem imunopathologi saraf pada SGB 4

Kasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia.

9
Gambar 2: Skema klasifikasi SGB
D. TANDA DAN GEJALA
Menurut Kowalak (2017) Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami
satu kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti
spontan untuk kemudian pulih kembali.Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi
3 fase:
1. Fase Progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir
klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko
kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta
gejala.

2. Fase Plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.

3. Fase Penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang

10
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya
bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius yaitu
disfungsi saraf otonom.termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan dismotilitas
Gastrointestinal.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
1. Gejala Utama:
- Terjadinya kelemahan yang progresif.
- Hiporefleksi
2. Gejala Tambahan:
a. Ciri-ciri klinis:
- Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
- Relatif simetris
- Gejala gangguan sensibilitas ringan
- Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf
otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot
menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler
atau saraf otak lain
- Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
- Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dan gejala vasomotor.
- Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
- Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial.
- Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
- Varian:
a. Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala.
11
b. Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
- Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
d. Gejala yang menyingkirkan diagnosis.
- Kelemahan yang sifatnya asimetri
- Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
- Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
- Gejala sensoris yang nyata

Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari
anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal,
kelemahan otot trunkal, bulbar dan otot pernafasan juga terjadi.Kelemahan terjadi akut
dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas. Penyebaran
hiporefleksia menjadi gambaran utama, pasien GBS biasanya berkembang dari
kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau faringeal. Kelemahan
diaframa sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien GBS inap
membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau orofaringeal.
1. Puncak defisit dicapai 4 minggu
2. Recovery biasanya dimulai 2-4minggu
3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa parasthesi, baal atau sensasi sejenis
4. Gangguan Nn cranialis: facial drop, diplopia disartria, disfagia (N. VII, VI, III, V,
IX, dan X)
5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai

Menurut Maria Belladonna terdapat beberapa tanda abnormalitas


a. Abnormalitas Motorik (kelemahan)
Mengikuti gejala sensorik, khas: mulai dari tungkai, ascenden ke lengan-
10% dimulai dengan kelemahan lengan-Walaupun jarang, kelemahan bisa
dimulai dari wajah (cervical-pharyngeal-brachial) Kelemahan wajah terjadi
pada setidaknya 50% pasien dan biasanya bilateral-Refleks: hilang/pada
sebagian besar kasus.
12
b. Abnormalitas Sensorik
Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan, glove & stocking
sensation, simetris, tak jelas batasnya-Nyeri bisa berupa mialgia otot panggul,
nyeri radikuler, manifes sebagai sensasi terbakar, kesemutan, tersetrum - Ataksia
sensorik krn proprioseptif terganggu-Variasi : parestesi wajah & trunkus.
c. Disfungsi Otonom
1) Hipertensi - Hipotensi - Sinus takikardi / bradikardi
2) Aritmia jantung - Ileus - Refleks vagal
3) Retensi urine

Gambar 2: fase perjalan klinis


Fase-fase serangan GBS Maria Belladonna
1. Fase Prodromal
Fase sebelum gejala klinis muncul.
2. Fase Laten
a. Waktu antara timbul infeksi/ prodromal yang
b. Mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinis.
c. Lama : 1 – 28 hari, rata-rata 9 hari
3. Fase Progresif
a. Fase defisit neurologis (+)
b. Beberapa hari - 4 mgg, jarang > 8 mgg.
c. Dimulai dari onset (mulai tjd kelumpuhan yg
d. Bertambah berat sampai maksimal

13
e. Perburukan > 8 minggu disebut› chronic inflammatory-demyelinating
polyradiculoneuropathy (CIDP)
4. Fase Plateau
a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap.
b. Fase pendek :2 hr, >> 3 mg, jrg > 7 mg
5. Fase Penyembuhan
a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik
b. Beberapa bulan

Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului
parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin
pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Tabel 2: Gejala klinis GBS

GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas
yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refelks fisiologis akan
menurun dan kemudian menghilang sama sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya
dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif , dalam hitungan jam,

14
hari maupun minggu,ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris
ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid.
Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial diplegia.
Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan 20 % pasien
memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. Anak anak biasanya menjadi mudah
terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan, tidak
mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia .
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.
Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada
extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi.
Terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada
lebih dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan
cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam
berkeringat.Hipertensi terjadi pada 10-30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30
% dari pasien.Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara,dan yang paling sering ( 50% ) adalah bilateral
facial palsy.Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan
untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred
visions).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Disosiasi sitoalbumin.
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa peningkatan dari
sel < 10 limposit/mm3 - Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu bernilai 5
Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV, membantu menegakkan etiologi.
a. Antibodi glicolipid
b. Antibodi GMI
2. EMG
a. Gambaran poliradikuloneuropati
b. Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis
motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer.

15
c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal.
3. Ro: CT atau MRI
Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.
4. Cairan serebrospinal (CSS).
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya
jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan
hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS
normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di
saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat
tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak
berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di
bawah 10 leukosit mononuclear/mm.
5. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG).
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi
saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi
distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan
bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya
KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60%
normal.EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset
gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat
hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas
yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase
penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita
menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya
KHS dan denervasi EMG.
6. Pemeriksaan Darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia
jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal,
sementara anemia bukanlah salah satu gejala.Dapat dijumpai respon

16
hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin
IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan
adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang
karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
7. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus takikardia. Gelombang
T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS
kadang dijumpai, namun tidak sering.
8. Tes Fungsi Respirasi
(pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya insufisiensi
respiratorik yang sedang berjalan (impending).
9. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada
fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama
dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat
Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung
saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi
pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel
radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh
limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.

F. KOMPLIKASI
1. Paralisis menetap
2. Gagal nafas
3. Hipotensi
4. Tromboembolisme
5. Pneumonia
6. Aritmia Jantung
7. Ileus
8. Aspirasi
9. Retensi urin
10. Problem psikiatrik
11. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.
12. Kelumpuhan otot pernafasan.
13. Dekubitus

17
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka
waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan
biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Baik pasien
maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk
mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung
selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar
pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa.tetapi lebih
sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal
GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator.
Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi
ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS.gangguan lain
yang signifikan adalah ileus dinamik, hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa
bronchial.

G. PENATALAKSANAAN
1. Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,
yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang
unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang
pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum
kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah
mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien
membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan
pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua problem
menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem
muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan
penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional.
Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi, penatalaksanaannya
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya sulit memisahkan
satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha memisahkan
penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan penguraian
problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya, pemberian fisioterapi
tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
18
2. Medikamentosa
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan
observasi tanda tanda vital.Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab
paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam.
Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan
vasoaktive juga harus disiapkan .Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat
hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.Pasien dengan progresivitas
cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. Namun ada pihak yang
mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga.
Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang
terjadi maupun mempercepat penyembuhan.
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya
paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif
untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Regimen
standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan albumine
sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat dan
septikemia adalah kontraindikasi dari PE .
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis
0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg
tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan
PE atau IVIg. Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan
dan fleksibilitas otot setelah paralisa. Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk
mencegah terjadinya trombosis .
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).
a. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
19
b. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).
c. Pengobatan imunosupresan:
1) Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
 6 merkaptopurin (6-MP)
 azathioprine
 cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala. 2
3) Terapi fisik: - alih baring
 latihan ROM dini u/ cegah kontraktur
 Hidroterapi
4) Supportif: profilaksis DVT (heparin s.c).
5) Analgesik
Analgesic ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk
meringankan nyeri ringan, namun tidak untuk nyeri yang sangat,penelitian
random control trial mendukung penggunaan gabapentin atau
carbamazepine pada ruang ICU pada perawatan SGB fase akut. Analgesic
narkotik dapat digunakan untuk nyeri dalam, namun harus melakukan
monitor secara hati-hati kepada efeksamping denervasi otonomik.terapi
ajuvan dengan tricyclic antidepressant, tramadol, gabapentin,
carbamazepine, atau mexilitene dapat ditambahkan untuk penatalaksanaan
nyeri neuropatik jangka panjang.

20
Pengobatan fase akut termasuk program penguatan isometric,
isotonic, isokinetic, dan manual serta latihan secara progresif. Rehabilitasi
harus difokuskan untuk posisi limbus, posture, orthotics,dan nutrisi yang
sesuai.

3. Pemulihan
1. 80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan
2. 15% pulih sempurna
3. 65% pulih dengan defisit neurologis ringan yg tak pengaruhi ADL
4. 5-10% mengalami kelamahan motorik menetap
5. Pada pasien dengan kelemahan motorik menetap, pemulihan dapat
berlangsung >2 tahun
6. Mortalitas: 3-5%
7. Relaps: 2-10%
8. Perburukan: 6% menjadi CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy) 4
4. Prognosis
Faktor yang mempengaruhi buruknya prognostik:
1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot
2. Umur tua
3. Kebutuhan dukungan ventilator
4. Perjalanan penyakit progresif & berat.
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95%
terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan
keadaan antara lain:
a. pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun

21
BAB III
PEMBAHASAN

A. PENGUMPULAN DATA
1. Identitas Klien
Nama : An. “ R ”
Usia : 9 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tgl. Masuk : 20 November 2019
Tgl. Pengkajian : 20 November 2019
Diagnosa Medis : Guillan Barres Syndrom (GBS)
Alamat : Kp. Kobat RT/005 RW/006

2. Identitas Orang Tua


a. Ayah b. Ibu
Nama : Tn. “ L “ Nama : Ny. “ S “
Usia : 41 tahun Usia : 38 tahun
Pendidkan : SMA Pendidkan : SMA
Pekerjaan : Buruh pabrik Pekerjaan : IRT
Agama : Islam Agama : Islam
22
Suku : Betawi Suku : Jawa
Alamat : Kp. Kobat Alamat : Kp. Kobat

B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Keluhan Utama
Esktermitas lemas, awal mula hanya tangan yang lemas kemudian menjalar
ke kaki, tidak bisa berjalan karna sekujur tubuh lemas, kepala pusing.
2. Keluhan Saat Ini
Tubuh lemas, sesak nafas, banyak sekret dan pusing.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kehamilan dan persalinan
- Riwatat Antenatal : Tidak ada masalah saat masa kehamilan
- Riwayat Intranatal : Tidak ada masalah saat masa melahirkan
- Riwayat Post Natal : Lahir secara normal dengan BB: 2600 gr
b. Riwayat Tumbuh Kembang
- Riwayat pertumbuhan : An.R tumbuh normal sesuai
dengan usianya

- Riwayat perkembangan : An.R perkembangan normal


- Kemandirian dalan bergaul : An.R terbilang mandiri saat
berjalan, anaknya periang

- Motorik halus : Baik


- Motorik kasar : Baik
- Kognitif dan bahasa : Baik
- Riwayat nutrisi : Tidak ada
- Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada
c. Riwayat imunisasi dan KB :
No. Jenis Imunisasi Waktu Pemberian Reaksi Klien
1. BCG Umur 6 bln sekali Panas
2. DPT (I,II,III) Umur 5 bln inter 5 mg Panas
3. POLIO (I,II,III,IV) Tidak diketahui Tidak diketahui
4. CAMPAK Tidak diketahui Panas
5. HEPATITIS Tidak diketahui Panas

23
d. Genogram

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Klien

: Tinggal
serumah

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum : Lemah
b. Pengukuran antropometri
- Tinggi Badan : 135 cm
- BB sebelum sakit : 37 kg
- BB saat ini :34 kg
1. Sistem Penglihatan
- Posisi mata : Simetris
- Kelopak mata : Normal
- Gerakan bola mata : Normal
- Konjungtiva : Anemis
- Kornea : Normal
- Sklera : Aniterik
- Pupil : Isokor
2. Sistem Pendengaran
- Daun telinga : Normal
- Karakteristik serumen (warna, konsistensi, bau): Tidak ada
- Kondisi telinga : Normal
- Cairan dari telinga : Tidak ada
24
- Perasaan penuh ditelinga: Tidak
- Tinitus : Tidak
- Fungsi pendengaran : Normal
- Pemakaian alat bantu : Tidak
3. Sistem Wicara
- Kesulitan gangguan wicara: Tidak
4. Sistem Pernapasan
- Jalan nafas : Tampak ada sputum, lendir kental
- Pernapasan : Tampak sesak saat melakukan aktivias ringan,
dada simetris tidak ada jejas atau tanda-tanda trauma, terdengar suara
ronchi di lapang paru +/+, saat dialkukan perkusi suara pekak pada lapang
paru +/+
- Menggunakan otot bantu penapasan : Klien menggunakan otot bantu
nafas
- Frekuensi : 39 x/ menit
- Irama : Nafas cepat
- Kedalaman : Nafas dalam
- Batuk : Klien tidak batuk
- Sputum : Sputum berwarna putih
- Konsistensi : Kental dan susah dikeluarkan
- Terdapat Darah : Tidak terdapat darah
5. Sistem Kardiovaskuler
a. Sirkulasi Peripher
- Nadi : 98x/menit, irama teratur, denyut nadi lemah
- Tekanan darah : 80/60 mmHg
- Distensi vena jugularis: Tidak tampak pembesaran vena jugularis -/-
- Temperatur kulit : Teraba dingin
- Warna kulit : Tampak pucat
- Pengisian kapiler : >2 detik
- Edema : Tidak ada edema di ekstremitas atas dan bawah
6. Sistem Syaraf Pusat
- Kesadaran : Composmentis
- Pupil : Ukuran pupil 2/2, pupil isokor
- Reaksi terhadap cahaya : +/+

25
- Glasgow coma scale (GCS) : E 4 M 2 V 2
- Peningkatan tekanan intrakranal: Ya, klien sempat kejang saat dirumah
sebelum di bawa ke RS dan kejang 2x selama dirawat di RS, terjadi
kelumpuhan pada ekstremitas bawah (kaki kanan dan kiri).
7. Sistem Pencernaan
a. Keadaan mulut :
- Gigi : Tampak ada caries
- Lidah : Tampak Kotor
b. Nafsu makan : Nafsu makan kurang, tidak ada mual
c. Kebiasaan BAB : 2 hari sekali, konsistensi lembek, warna hitam,
bau khas
d. Bising usus : 20x/ menit
e. Abdomen : Baik, tidak ada kembung dan asites
8. Sistem Urogenital
- Pola berkemih normal : sehari 5x ganti diapers perhari
- Warna : Kuning jernih
- Keadaan genetalia : Tidak dikaji
9. Sistem Muskuloskeletal
a. Klien kesulitan dalam pergerakan di ekstremitas bawah, kaki lemas
b. Klien mengaakan sakit pada sendi-sendi kaki dan tangannya
c. Tonus otot hipotoni (lemah)
10. Sistem Kekebalan Tubuh
a. Suhu : 36°C
b. Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
c. BB sebelum sakit : 37 kg
d. BB sebelum sakit : 34 kg

D. POLA KESEHATAN SEHARI-HARI


Di Rumah Di Rumah Sakit

26
1. Pola Nutrisi
a. Makan
Frekuensi makan 3x sehari 3x sehari via NGT
Nafsu makan Baik Kurang baik
Jenis makanan Nasi, lauk pauk Susu
Makanan tidak disukai Tidak ada Tidak ada
Makanan disukai Suka semua Suka semua
Makanan pantangan Tidak ada Tidak ada
b. Minum
Frekuensi minum ± 1500 cc/hari ± 350cc/hari
Nafsu minum Baik Kurang baik
Jenis minuman Air putih, minuman Air putih, susu
berasa
Minuman tidak disukai Tidak ada Tidak ada
Minuman disukai Tidak ada Tidak ada
Minuman pantangan Tidak ada Tidak ada

2. Eliminasi
a. BAB 1x/hari 2 hari sekali
Frekuensi Pagi Pagi
Waktu Kuning kecoklatan Kuning
Warna Khas Khas
Bau Lembek Cair
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Keluhan Tidak ada Tidak ada
Pemakaian laktasif
b. BAK ± 3-5 x sehari ± 4x ganti diapers
Frekuensi Kuning jernih Kuning jernih
Warna Tidak ada Tidak ada
Keluhan yg berhubungan
dengan BAK
3. Personal Hygiene
a. Mandi 1x sehari Hanya di lap
Frekuensi Iya pakai Tidak pakai
Pemakaian sabun
27
6. Alergi : Tidak ada alergi terhadap makanan, obat dll
7. Aspek Psikologi : An.R selalu menolak saat diberikan tindakan medis seperti
makan seperti NGT, Nebulizer, karena merasa tidak
nyaman
8. Aspek Sosial : An. R sebelum sakit selalu aktif dan cerita, banyak teman, dan
saat sakit klien terlihat pendiam dan tidak semangat karna lemas

akan ekstremitasnya.

9. Askep Spiritual : An. R masih susah saat disuruh ibadah 5 waktu


10. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium:

DHF Kimia Klinik

Leukosit : 18,7 rb/Ul GDS : 143 mg/dL


Hemoglobin : 14.0 g/Dl Elektrolit
Hematokrit : 42,8 % Na : 130 mmol/L
Trombosit : 444 ribu/Ul Ka : 5,0 mmol/L
Cl : 104 mmol/L

11. Terapi Obat


- Ventolin 3x1 mg
- Ceftriaxone 2x1 mg
12. Informasi Lain
Keluarga mengatakan sebelum dibawa ke Rumah sakit, An. R masih sempat
sekolah dan bermain dengan teman-temannya, saat malam hari An. R kejang-kejang
dan kesadarannya menurun, kaki dan tangannya lemas tidak mampu digerakan saat
di Rumah Sakit.

ANALISA DATA

DATA ETIOLOGI MASALAH


DS :

- Ibu klien mengatakan Benda asing dalam jalan nafas Bersihan jalan
anaknya sesak nafas, dahak (sekret) nafas tidak efektif

28
susah dikeluarkan dan
banyak
DO :

- Klien tampak sesak nafas,


RR 39x/menit
- Suara nafas klien terdengar
ronchi di lapang paru +/+

DS : Ketidakmampuan Menelan Defisit Nutrisi

- Ibu klien mengatakan


anaknya tidak mau makan
karena sakit untuk menelan
DO :

- Klien tampak terpasang


NGT, post pemasangan
intubasi
- BB sebelum sakit : 37 kg
- BB saat sakit : 34 kg

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d Benda asing dalam jalan nafas (sekret)
2. Defisit Nutrisi b.d ketidakmampuan menelan
RENCANA KEPERAWATAN

Diagnosa
No Tujuan Rencana tindakan Rasional
Keperawatan
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan 1. Monitor pola nafas 1. Untuk mengetahui tanda-
nafas tidak efektif tindakan kep. 3 x tanda adanya dispnea.
b.d Benda asing 24 jam bersihan 2. Monitor bunyi nafas 2. Suara nafas tambahan
dalam jalan nafas jalan nafas tambahan dapat menghambat pola
29
(sekret) meningkat dg KH: nafas
3. Beri posisi semifowler 3. Memberikan rasa nyaman
- Produksi
dan mengurangi rasa sesak
sputum
4. Lakukan suction 4. Mengurangi penumpukan
menurun
sekret.
- Dispnea
5. Berikan oksigen 5. Membantu mengurangi
menurun
beban paru-paru untuk
- Pola nafas
memenuhi oksigen.
membaik

2 Defisit Nutrisi b.d Setelah dilakukan 1. Identifikasi status nutrisi 1. Mengetahui status nutrisi
ketidakmampuan tindakan kep. 2. Monitor asupan nutrisi 2. Mengetahui seberapa
menelan selama 3 x 24 jam banyak asupan yang klien
status nutrisi makan
membaik dg KH: 3. Identifikasi perubahan 3. Memantau perubahan
berat badan berat badan
- Kekuatan otot
4. Hentikan pemberian 4. Jika klien sudah mampu
menelan
makanan melalui selang menerima makanan
meningkat
ngt jika asupan oral dapat melalui oral lepas ngt
- Membran
ditoleransi
mukosa
5. Kolaborasi dengan ahli 5. Diit sesuai dengan
membaik
gizi untuk diit yang tepat kebutuhan pasien
- BB tidak
bagi pasien
menurun

CATATAN PERKEMBANGAN

Tgl. DX IMPLEMENTASI EVALUASI


20/11/ I 1. Memonitor pola nafas S : Ibu An.R mengatakan anaknya masih sesak
2019 2. Memonitor bunyi nafas dan dahaknya masih banyak
tambahan O : Tampak sesak, suara nafas ronki (+)
3. Memberi posisi semifowler RR: 39x/menit Suhu: 36°C
4. Melakukan suction Nadi: 98x/menit TD: 80/60 mmHg

30
5. Memberikan oksigen -Terpasang O2 nasal kanul 2L/menit
A : Bersihan jalan nafas tidak efektif belum
teratasi
P : Lanjutkan intervensi
- Pertahankan O2
- Lakukan suction
- Beri posisi semi fowler

II 1. Mengidentifikasi status S: -
nutrisi O: -Klien tampak gelisah, terlihat ingin
2. Memonitor asupan nutrisi melepaskan NGTnya
3. Mengidentifikasi perubahan -Diit susu: 360cc/hari
berat badan -BB sebelum sakit: 37 kg
4. Menghentikan pemberian -BB saat sakit: 34 kg
makanan melalui selang ngt A: Defisit nutrisi belum teratasi
jika asupan oral dapat P: Lanjutkan intervensi
ditoleransi - Monitor asupan nutrisi
5. Mengkolaborasi dengan ahli - Identifikasi perubahan BB
gizi untuk diit yang tepat - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk diit
bagi pasien yang tepat

21/11/ I 1. Memonitor pola nafas S : Ibu An.R mengatakan sesak anaknya sudah
2019 2. Memonitor bunyi nafas berkurang
tambahan O : -Tampak lebih tenang, produksi sputum
3. Memberikan posisi berkurang
semifowler RR: 34x/menit Suhu: 36°C
4. Melakukan suction Nadi: 96x/menit TD: 90/70 mmHg
5. Memberikan oksigen -Terpasang O2 nasal kanul 2L/menit
A : Bersihan jalan nafas tidak efektif teratasi
sebagian
P : Lanjutkan intervensi
- Monitor pola nafas
- Pertahankan O2
- Lakukan suction

31
- Beri posisi semi fowler

II 1. Mengidentifikasi status S: -
nutrisi O: -Klien tampak lebih tenang
2. Memonitor asupan nutrisi -Diit susu: 360cc/hari
3. Mengidentifikasi perubahan -Tidak ada penurunan berat badan 34 kg
berat badan A: Defisit nutrisi teratasi sebagian
4. Menghentikan pemberian P: Lanjutkan intervensi
makanan melalui selang ngt - Monitor asupan nutrisi
jika asupan oral dapat - Identifikasi perubahan BB
ditoleransi - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk diit
5. Mengkolaborasi dengan ahli yang tepat
gizi untuk diit yang tepat
bagi pasien

22/11/ I 1. Memonitor pola nafas S : Ibu An.R mengatakan anaknya sudah tidak
2019 2. Memonitor bunyi nafas sesak lagi
tambahan O : -Klien tampak sudah tidak memakai O2 lagi
3. Memberikan posisi -Dispnea menurun
semifowler -Pola nafas membaik
4. Melakukan suction RR: 32x/menit Suhu: 36°C
5. Memberikan oksigen Nadi: 90x/menit TD: 90/60 mmHg
A : Bersihan jalan nafas tidak efektif teratasi
P : Lanjutkan intervensi
- Monitor pola nafas
- Beri posisi semi fowler

II 1. Mengidentifikasi status S: -
nutrisi O: - Klien tampak lebih tenang
2. Memonitor asupan nutrisi -Diit susu: 360cc/hari
3. Mengidentifikasi perubahan -Tidak ada penurunan berat badan 34 kg
berat badan A: Defisit nutrisi teratasi
4. Menghentikan pemberian P: Lanjutkan intervensi

32
makanan melalui selang ngt - Monitor asupan nutrisi
jika asupan oral dapat - Identifikasi perubahan BB
ditoleransi - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk diit
5. Mengkolaborasi dengan ahli yang tepat bagi pasien
gizi untuk diit yang tepat
bagi pasien

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Guillain Bare Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan kelemahan
motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya
bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik,
prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan
umur pasien.
GBS merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian yang
cukup tinggi. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator
spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12% tidak dapat
33
berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul 20 % pasien
akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.
Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan paling
efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala GBS sehingga
dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin. Penegakan diagnosis lebih dini akan
memberikan prognosis yang lebih baik.

B. KRITIK
Makalah ini masih belum cukup sempurna dan masih ada banyak kesalahan
sehingga kami mohon kritik dan saran yang membangun guna untuk menyempurnakan
makalah kami yang selanjutnya.

C. SARAN
Berusaha dan selalu bekerja sama akan membawa kita menuju keberhasilan
dalam menyelesaikan masalah dan mengerjakan tugas.serta melakukan tugas dengan
penuh tanggung jawab akan membuat kita semakin menjadi dewasa dan mandiri

34

Anda mungkin juga menyukai