Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA KLIEN DENGAN GUILLAIN BARRE


SYNDROME

MATA KULIAH KEPERAWATAN KRITIS

Dosen Pengampu : Ns. Sadaukur Barus.,M.Kep

Disusun Oleh :

Deil Rizky I. R. (C.0105.19.028)

Deis Rimayanti (C.0105.19.004)

Ismi Mauliah (C.0105.19.012)

Khoerunnisa (C.0105.19.013)

Muhammad Rijal (C.0105.19.015)

Rina Maryam (C.0105.19.019)

Siti Julaeha (C.0105.19.021)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKES BUDI LUHUR CIMAHI

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat serta hidayah-Nya
penyusun dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Asuhan Keperawatan kritis
Neurosensori yang membahas mengenai Guillain Barre Syndrome. Penyusun mengucapkan terima
kasih kepada dosen mata kuliah Asuhan Keperawatan kritis Neurosensori atas bimbingan selama
perkuliahan, dan seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya Makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan
untuk perbaikan baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaatdalam bidang keperawatan khususnya bagi proses pembelajaran Riset Keperawatan.

Cimahi, april 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengatar i

Daftar Isi ii

1. Definisi

2. Etiologi

3. Patofisiologi/Pathway

4. Manifestasi Klinis

5. Pengkajian

a. Identitas.

b. Keluhan Utama

c. Riwayat Kesehatan Sekarang

d. Riwayat Kesehatan Dahulu

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

f. Pengkajian Primer

1) Airway

2) Breathing

3) Circulation

4) Disability

5) Exposure

g. Pengkajian Sekunder

1) Pemeriksaan Fisik

2) Data Diagnostik/Penunjang

3) Terapi Medis

4) Terapi Keperawatan

6. Analisa Data
7. Diagnosa Keperawatan Prioritas (SDKI)

DAFTAR PUSTAKA
1. DEFINISI

Sindrom Guillain Barre (GBS) atau dikenali sebagai acute inflammatory demyelinating
polyradiculopathy (AIDP), merupakan jenis neuropati akut yang paling umum dan dapat terjadi
pada semua golongan usia. Kasus terbanyak disebabkan oleh serangan autoimun pada mielin
sarafsaraf motor yang kebanyakan dipicu oleh infeksi. Penyebab infeksi terbanyak yang telah
diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus,Eipstein-Barr virus, Mycoplasma
pneumonia, dan Haemophilus influenza.Penyebab lain GBS yang jarang adalah vaksinasi. Kirakira
dari satu pertiga kasus tidak dapat ditemukan pemicu dari sistem autoimun (Nandar, 2013).

Sindroma Guillain-Barre (GBS) mempunyai karakteristik yaitu disfungsi saraf kranial dan
perifer dengan onset akut. Infeksi virus pada saluran pernafasan ataupun pencernaan, imunisasi,
atau tindakan bedah biasanya seringkali terjadi 5 hari sampai 4 minggu sebelum terjadinya gejala
neurologis. Gejala dan tanda-tanda terjadinya sindroma Guillain-Barre termasuk kelemahan secara
simetris yang cepat dan progresif, hilangnya refleks tendon, diplegia wajah, parese otot orofaring
dan otot pernafasan, dan terganggunya sensasi pada tangan dan kaki. Terjadi perburukan kondisi
dalam beberapa hari hingga 3 minggu, diikuti periode stabil dan perbaikan secara bertahap menjadi
kembali normal atau mendekati fungsi normal. Plasmapharesis atau IVIG yang dilakukan lebih
awal akan mempercepat penyembuhan dan memperkecil angka kejadian kecacatan neurologis
jangka panjang (Nandar, 2013).

Di Amerika Utara dan Eropa, angka polineuropati inflamasi demyelinasi akut terhitung
sebanyak lebih dari 90% adalah GBS. Termasuk GBS adalah neuropati axon motoris akut
(AMAN), neuropati axon motoris dan sensoris akut (AMSAN), sindroma Miller-Fisher, dan
neuropati autonomy dan sensoris akut (Nandar, 2013).

2. ETIOLOGI

Penyebab GBS masih belum diketahui secara lengkap. Ada bukti bahwa dipengaruhi oleh
sistem imun. Terdapat patologi imun dan pasien akan membaik dengan terapi modulasi imun.
Sebuah penyakit dengan gambaran klinis serupa (serupa dalam patologi, elektrofisiologi dan
gangguan CSF) dapat diinduksi pada hewan coba dengan imunisasi saraf tepi utuh, mielin saraf
tepi, atau pada beberapa spesies oleh protein dasar mielin saraf tepi P2 atau galaktoserebrosid.
Sebuah langkah penting pada penyakit autoimun adalah terganggunya self-tolerance dan ada bukti
bahwa hal ini terjadi karena mimikri molekular pada 2 bentuk GBS, AMAN dan sindroma
MillerFisher, dengan reaksi silang epitope antara Campylobacter jejuni dan saraf tepi. Saat GBS
didahului oleh infeksi virus, tidak ada bukti langsung infeksi virus pada saraf tepi maupun radix
saraf (Nandar, 2013)

Organisme penyebab GBS • Epstein-Barr virus


• Mycoplasma pneumonia
• Campylobacter jejuni
• Cytomegalovirus
• HIV
Vaksinasi yang berpotensi menyebabkan GBS • Rabies vaccine • Influenza vaccines
• Oral polio vaccine • Smallpox vaccine
• Diphtheria and tetanus vaccines
• Measles and mumps vaccines
• Hepatitis vaccines

3. PATOFISIOLOGI/PATHWAY

Patofisiologi sindrom ini belum dapat di jelaskan dengan jelas. Namun, salah satu yang
paling banyak di teliti adalah infeksi C. jejuni. Pada infeksi C. jejuni. Antigen pada kapsul bakteri
serupa dengan 30 antigen ganglosida pada selubung mielin saraf, sehingga tubuh membentuk
antibodi yang tidak hanya menyerang pathogen ini, namun juga menyerang dan merusak selubung
mielin saraf. Terjadi infiltrasi limfosit dan fagositosis oleh magrofag. Rusaknya mielin
menyebabkan hantaran saraf terhambat atau tidak terjadi sama sekali sehingga terjadi paralisis.
(Sukman tulus putra dkk , 2014) Patofisiologi Guillain-Barre syndrome (GBS) atau sindrom
Guillain-Barre pada dasarnya muncul setelah proses infeksi, dan dimediasi oleh sistem imun yang
menyebabkan kerusakan saraf perifer. Sistem imun humoral dan selular memegang peranan penting
dalam perjalanan penyakit ini. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi, yaitu antibodi anti
ganglioside, molecular mimicry, aktivasi komplemen, dan faktor host.[4,9,11]

1. Antibodi Anti Ganglioside

Gangliosida banyak tersebar di seluruh saraf perifer, dan berperan penting dalam menjaga
struktur membran sel. Antibodi terhadap gangliosida ditemukan pada sekitar setengah penderita
GBS. Antibodi ini akan menyebabkan gejala, di mana perbedaan tingkat keparahan GBS tergantung
gangliosida yang diserang.[4,9,11]Antibodi anti ganglioside umumnya awal terjadi di ekstremitas
inferior, kemudian menyebar ke atas dan seluruh tubuh. GBS yang parah dapat terjadi di otot-otot
pernafasan sehingga pasien mengalami gagal napas yang berujung kematian.[1-3]

2. Molecular Mimicry dan Reaksi Silang

Molecular mimicry dan reaksi silang dapat ditemukan pada GBS yang didahului oleh infeksi
Campylobacter jejuni, penyebab gastroenteritis. Virulensi C. jejuni disebabkan oleh antigen spesifik
(lipo-oligosakarida) di kapsulnya yang menyerupai struktur karbohidrat pada gangliosida.[4,9,11]

Sistem imun tubuh akan mengalami reaksi silang dan menyerang gangliosida yang akhirnya
akan menyebabkan kerusakan saraf. Tipe gangliosida yang menyerupai antigen kapsul C. jejuni
akan mempengaruhi serta menentukan tingkat keparahan dan jenis subtipe GBS yang
muncul.[4,9,11]

3. Aktivasi Komplemen
Pemeriksaan post-mortem penderita GBS menunjukkan adanya aktivasi komplemen lokal
pada lokasi kerusakan saraf. Adanya aktivasi komplemen akan memperluas tingkat kerusakan saraf
yang diserang oleh antibodi.[4,9,11]

4. Faktor Host

Hanya sekitar 1 dari 1000 pasien yang terinfeksi C. jejuni akan berlanjut menjadi GBS.
Walaupun beberapa kali terjadi peningkatan insiden GBS, tetapi belum pernah terjadi wabah GBS.
Faktor inang mungkin berperan dalam patogenesis, jumlah kerusakan saraf, dan keluaran GBS pada
suatu individu.[4,9,11]
4. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi Klinis Gejala-gejala neurologik diawali dengan parestesia (kesemutan dan


kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ektremitas atas, batang tubuh atau otot
wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang
paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring
dan juga menyebabkan kesukaran bicara, mengunyah, dan menelan. Disfungsi autonom yang sering
terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis
dan parasimpatis, dengan manifestasi gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan
darah, dan gangguan vasomotor lainnya. Keadaan ini juga dapat menyebabkan nyeri berat dan
menetap pada punggung dan daerah kaki. Seringkali pasien menunjukkan adanya kehilangan
sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanya reflex tendon (Smeltzer &
Bare, 2004).

Kebanyakan pasien mencapai puncak kecacatan dalam 10-14 hari. Nervus sensori juga
dapat dipengaruhi tapi lebih sedikit daripada nervus motorik (Copstead & Banasik, 2005). Kriteria
diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

a. Terjadinya kelemahan yang progresif

b. Hiporefleksi

2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS:

1) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50%
mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

2) Relatif simetris

3) Gejala gangguan sensibilitas ringan

4) Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena
khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai
dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain

5) Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai
beberapa bulan.

6) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala vasomotor. 7)
Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:


1) Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial

2) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3 3) Varian:

a) Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

b) Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 9

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa: Perlambatan konduksi saraf bahkan blok
pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

Sedangkan menurut Rachel (2010), gambaran klini dari pasien dengan Guillain Barre Syndrome
adalah:

1. Kelemahan

a. Gambaran klinis klasik kelemahan adalah asenden dan simetris. Anggota tubuh bagian bawah
biasanya terlibat sebelum anggota badan atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal dari
yang lebih distal. Batang tubuh, kelenjar, dan otot pernafasan dapat dipengaruhi juga.

b. Kelemahan berkembang akut selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan bisa berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia yang komplit dengan kegagalan ventilasi. Puncak defisit
dicapai oleh 4 minggu setelah pengembangan awal gejala. Pemulihan biasanya dimulai 2-4 minggu
setelah kemajuan berhenti.

2. Perubahan Sensori

a. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala
sensori sering didahului oleh kelemahan. Kemudian naik dan menjalar kearah distal

b. Gejala sensori biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, temuan kehilangan sensori cenderung
minim dan variabel.

c. Pada studi konduksi saraf (NCS), 58-76% pasien menunjukkan kelainan sensorik

3. Keterlibatan saraf kranial

a. Keterlibatan saraf kranial diamati pada 45-75% pasien dengan GBS. keluhan umum mungkin
termasuk yang berikut:

b. Kelumpuhan pada wajah

c. Diplopias

d. Dysarthria

e. Disfagia
f. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah batang tubuh dan anggota badan
yang terpengaru.

4. Nyeri

a. 89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan GBS di beberapa waktu selama penyakit mereka.
Pada awal presentasi, hampir 50% dari pasien digambarkan sebagai rasa sakit parah dan
menyedihkan.

b. Mekanisme nyeri tidak pasti dan mungkin produk dari beberapa faktor. Nyeri dapat hasil dari
cedera saraf langsung atau dari kelumpuhan dan immobilisasi berkepanjangan.

c. Kebanyakan pasien mengeluh sakit punggung dan kaki, seringkali digambarkan sebagai sakit
atau berdenyut. Mekanisme nyeri dianggap akibat akar saraf meradang. Gejala dysesthetic diamati
pada sekitar 50% pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan
sebagai sensasi terbakar atau kesemutan dan seringkali lebih umum di ekstremitas bawah daripada
ekstremitas atas.

Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas di 5-10% pasien. sindrom nyeri lainnya di GBS meliputi:

1) Keluhan Myalgic, dengan kram dan tenderness otot lokal

2) Nyeri visceral

3) Rasa sakit yang terkait dengan kondisi tidak bergerak (misalnya, palsies tekanan saraf, ulkus
dekubitus)

4) Intensitas nyeri pada masuk berkorelasi buruk dengan cacat neurologis tentang pendaftaran
masuk dan dengan hasil akhir.

5. Perubahan Otonom

a. Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis dapat
diamati pada pasien dengan GBS.

b. Perubahan otonom dapat mencakup hal berikut:

1) Tachycardia

2) Bradikardi

3) Muka kemerahan

4) Hipertensi paroksismal

5) Hipotensi ortostatik
6) Anhidrosis dan / atau diaphoresis

7) Retensi urin dan ileus paralitik juga dapat diamati. Usus dan disfungsi kandung kemih jarang
menyajikan sebagai gejala awal atau berlangsung selama jangka waktu yang signifikan.

8) Dysautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan yang parah dan gagal pernafasan. 9)
Perubahan otonom jarang bertahan pada pasien dengan GBS.

Efek pada respiratori

a. 40% pasien memiliki kelemahan pernapasan atau orofaringeal.

b. Keluhan khas meliputi: 1) Dyspnea 2) Sesak napas 3) Kesulitan menelan 4) Cadel pidato

c. kegagalan ventilasi dengan dukungan pernafasan yang dibutuhkan terjadi pada hingga sepertiga
pasien dalam beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.

5. PENGKAJIAN

a.Identitas

Nama, umur (pada gbs tersering menyerang pada pasien 50 tahun keatas), jenis kelamin
(gbs lebih sering menyerang pasien laki-laki dibandung perempuan), alamat, nama orang tua,
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua.

b.Keluhan Utama

Keluhan utama sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan berhubungan
dengan kelemahan otot, baik kelemahan fisik secara umum maupun lokal seperti melemahnya otot
pernapasan

c.Riwayat Penyakit Sekarang

Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh
atau bertambah buruk. Keluhan tersebut diantaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan
perestasia (kesemutan/kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang pada ekstremitas
atas, batang tubuh, dan otot wajah. Kelemahan dapat diikuti dengan paralisis lengkap. Keluhan
yang paling sering ditemukan pada klien sindrom guillain bare dan merupakan komplikasi yang
paling berat dari sindrom ini adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien
dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.
Disfagia juga dapat muncul pada penyakit sindrom guillain bare ini yang lebih mengarah pada
aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas hampir sama seperti keluhan klien stroke. Keluhan
lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskuler seperti terjadinya disaritmia jantung yang
diakibatkan oleh gangguan sistem saraf otonom pada klien dengan sindrom guillain bare.
d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal dan tindakan bedah syaraf. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering
digunakan klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, antibiotik, dan menilai reaksinya (resistensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat dahulu
dapat mendukung pengkajian riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji
lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya

e. Pengkajian primer

a. Airway

- Adanya tanda-tanda perdarahan jalan napas

- Keberadaan rangsangan obstruksi jalan napas

- Risiko kerusakan hipoksia pada otak ginjal dan jantung

- Spasme laring (sekret atau darah dijalan napas)

b. Breathing

- Kesulitan bernapas

- Suara napas berkurang

- Menurunnya kapasitas vital paru

- Terdengar suara sonor

c. Circulation

- Kulit dan jari terlihat pucat

- Terjadi hipoksia

- Gangguan kesadaran

- Denyut jantung lemah

- Diastolik rendah

d. Disabillity

Dikaji composmentis,apatis,somnolent,supor,koma,nilai GCS : E4M5V6 total GCS 15 , pupil :


isokor/anisokor , reaksi pupil terhadap cahaya : positif/negatit
e. Exposure

Dilakukan pengkajian secara menyeluruh

f. Pengkajian sekunder

1) Pemeriksaan Fisik

- Sistem Pernafasan

Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan yang paling
sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya
fungsi otot – otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi
bunyi napas tambah seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi secret dari
infeksi saluran napas.

-Sistem Kardiovaskular

Pengkajian pada sistem kardiovaskular pada klien GBS menunjukan bradikardia akibat penurunan
fungsi perifer Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau Tekanan Darah (TD) meningkat
(hipertensi transien) akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

- Sistem Neurologi

Pengkajian fungsi serebral Status mental : observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,
ekspresi wajah dan aktifitas motorik klien. Pada klien GBS tahap lanjut disertai dengan penurunan
tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalami perubahan.

Pengkajian saraf kranial Pada saraf kranial klien dengan GBS mengalami beberapa gangguan, yaitu
pada saraf III, IV, VI terjadi penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis
ocular. Pada saraf V, klien mengalami paralisis pada otot wajah sehingga menganggu proses
mengunyah. Pada saraf VII, presepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral. Saraf IX, dan X, klien mengalami paralisis otot orofaring, kesulitan
berbicara, mengunyah dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga menangganggu
pemenuhan nutrisi via oral.

Pengkajian sistem motoric : Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada
GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motoric secara umum
sehingga mengganggu mobilitas fisik.

Pengkajian reflex : Pemeriksaan refleks propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum drajat reflex pada respons normal.
Pengkajian sistem sensorik : Parestesia (kesemutan) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstremitas atas,batang tubuh dan otot wajah. Klien mengalami penurunan
kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.

- Sistem Urigenetal

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume pengeluaran urine,
hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

- Sistem Pencernaan

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Terjadi penurunan
nutrisis karena anoreksia dan kelemahan otot – otot pengunyah serta 42 gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan via oral jadi berkurang

2) Data Diagnostik/penunjang

Pemeriksaan diagnostik Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangan gejala klinis dan tidak ada satu pemeriksaanpun yang dapat memastikan GBS;
pemeriksaan tersebut hanya menyingkirkan dugaan – dugaan. Lumbal pungsi dapat menunjukkan
kadar protein normal pada awalnya dengan kenaikan pada minggu 4-6. Pemeriksaan konduksi saraf
mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Sekitar 25% orang dengan penyakit ini
mempunyai antibodi baik terhadap sitomegalovirus atau virus EpsteinBarr. Telah ditunjukan bahwa
suatu perubahan respon imun pada antigen saraf perifer dapat menunjang perkembangan gangguan.

Pemeriksaan penunjang pada GBS meliputi pemeriksaan pungsi lumbal, elektrodiagnostik,


laboratorium, dan radiologis.

1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) sangat direkomendasikan.


Hasil analisis CSS adalah peningkatan protein (>0,55 g/dL) tanpa peningkatan jumlah leukosit.
Peningkatan konsentrasi protein ini kemungkinan disebabkan inflamasi yang luas pada saraf.
Sedangkan leukosit normal menandakan tidak terjadi infeksi saraf.[1,9]

Konsentrasi protein biasanya normal pada minggu pertama, lalu meningkat pada lebih dari 90%
pasien pada minggu kedua. Konsentrasi protein yang normal pada CSS tidak menyingkirkan
diagnosis GBS, karena hasil analisa CSS yang normal ditemukan pada 10% penderita.[1,9]

2. Pemeriksaan Elektrodiagnostik

Pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan konduksi saraf sangat membantu dalam penegakan
diagnosis GBS. Pemeriksaan EMG dapat memberikan hasil yang normal pada fase akut, dan
menunjukkan hasil yang abnormal pada minggu ke-3 hingga ke-4. Abnormalitas pemeriksaan
konduksi saraf memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada pemeriksaan GBS.[1,9]
3. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologis

Pemeriksaan laboratorium dasar, seperti pemeriksaan darah lengkap dan metabolik dasar,
biasanya akan memberikan hasil yang normal. Namun, pemeriksaan ini tetap dapat dilakukan
untuk menyingkirkan penyebab lain.[1,9]

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dan computed tomography (CT) juga
tidak spesifik untuk penegakan diagnosis GBS. Namun, dapat untuk menyingkirkan diagnosis
lainnya.[1,9]

3) Terapi Medis

Pemberian glukokortikoid tidak memendekkan perjalanan penyakit ataupun memperngaruhi


prognosis. Bantuan nafas mekanik kadang dibutuhkan dan pencegahan terhadap aspirasi makanan
atau isi lambung harus dilakukan jika otot orofaring terganggu. Paparan pada keratitis harus dicegah
pada pasien dengan diplegia wajah. Perawatan kegawatdaruratan pada GBS termasuk monitoring
respirasi dan kardiovaskular secara ketat. Bisa didapatkan indikasi untuk dilakukan intubasi
(Nandar, 2013). Gangguan autonom yang labil dapat menimbulkan komplikasi pada penggunaan
obat-obat vasoaktif dan sedatif. Pada kasus yang berat, kelemahan otot dapat menimbulkan
kegagalan nafas. Sebuah penelitian epidemiologis pada tahun 2008 melaporkan bahwa terdapat 2-
12% mortalitas walaupun sudah dilakukan managemen pada ICU (Nandar, 2013).

Plasma exchange dan imunoglobulin intravena bisa menjadi terapi yang efektif, namun
pasien bisa membutuhkan intubasi dan perawatan intensif yang lebih lama. Setelah keluar rumah
sakit, terapi selama rawat jalan dan terapi lewat aktivitas sehari-hari dapat memberikan perbaikan
pada pasien GBS untuk meningkatkan status fungsional mereka (Nandar, 2013). Sekitar setengah
dari semua pasien penderita GBS mengalami neuropati residual jangka panjang yang
mempengaruhi serabut syaraf bermyelin baik dengan ukuran besar maupun sedang. Secara
keseluruhan, pasien yang menderita GBS cenderung berkurang kualitas hidup maupun fungsi
fisiknya. Pada kasus yang sangat langka, pasien dapat mengalami rekurensi GBS (Nandar, 2013).

4) Terapi keperawatan

pada pasien dengan sindroma Guillain-Barre (GBS) membutuhkan perhatian yang ketat
pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (ABCs). Indikasi pemberian oksigen dan bantuan
pernafasan dapat ditemukan, bersamaan dengan pemasangan infus untuk administrasi intravena.
Petugas medis kegawatdaruratan harus memonitor aritmia jantung dan mentransport pasien dengan
secepat mungkin. Pada departemen kegawatdaruratan (ED), ABCs, IV, oksigen, dan bantuan
pernafasan dapat tetap terindikasi untuk dilanjutkan. Intubasi harus dilakukan pada pasien yang
mengalami kegagalan nafas derajat berapapun. Indikator klinis untuk intubasi pada ED termasuk
hipoksia, fungsi respirasi yang menurun dengan cepat, batuk yang lemah, dan curiga adanya
aspirasi.
Pada umumnya, intubasi terindikasi pada saat Forced vital capacity (FVC) kurang dari 15
ml/kg. Indikasi dilakukannya intubasi adalah cardiac arrest, kehilangan kesadaran,
ketidakseimbangan hemodinamik dengan sistolik < 70 mmhg, paO2 < 45 mmhg walaupun sudah
diberi oksigen. 20 Pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengetahui perubahan tekanan darah,
denyut jantung, dan aritmia. Terapi jarang dibutuhkan untuk takikardia. Atropine direkomendasikan
untuk bradikardi simptomatik. Karena adanya labilitas dari disautonomia, hipertensi paling baik
diterapi dengan agen yang bekerja jangka pendek, seperti beta-blocker jangka pendek atau
nitroprusside. Hipotensi dari diautonomia biasanya merupakan respon yang timbul pada cairan
intravena dan pemposisian supinasi. Pacing secara temporer dapat dibutuhkan pada pasien heart
block derajat dua dan tiga. Konsultasikan dengan spesialis neurologi jika ada ketidakpastian dan
ketidakyakinan dalam diagnosis.

Konsultasikan pada tim ICU untuk evaluasi butuh tidaknya untuk dimasukkan ke ICU.
Keputusan untuk melakukan intubasi pada pasien GBS ditentukan berdasarkan kasus. Seperti
kelainan neuromuskular lain dengan potensi kelemahan diafragmatika, tanda-tanda kolaps
respiratori termasuk takipnea, penggunaan otot-otot tambahan inspirasi, negative inspiratory force
(NIF) kurang dari 20 atau forced vital capacity (FVC) kurang dari 15cc/kg merupakan indikator
untuk melakukan intubasi dan pemberian ventilasi artifisial. Namun demikian, parameter tersebut
tidak dapat digunakan sekiranya adanya kelemahan fasial dan ketidakmampuan untuk melakukan
pengiraan pada instrumen yang digunakan untuk mengukur. Sekresi tidak dapat dikeluarkan dan
resiko aspirasi merupakan indikasi lain untuk intubasi, kelemahan pada tungkai biasanya
merupakan petanda awal bahwa adanya keterlibatan komponen respiratori.

1. ANALISA DATA

DATA ETIOLOGI MASALAH


KEPERAWATAN
Gejalan dan Tanda Mayor : Faktor-faktor predisposisi Pola napas tidak efektif
terjadi 3-3 minggu sebelum
Subjektif : onset meliputi adanya ISPA,
1. Dispnea infeksi gastrointestinal dan
tindakan bedah saraf
Objektif :
1. Penggunaan otot bantu ↓
pernapasan. Selaput mielin hilang akibat
2. Fase ekspirasi memanjang. dari respon alergi, respon
3. Pola napas abnormal (mis. autoimun hipoksemia, toksik
takipnea. bradipnea, kimia,dan insufisiensi vascular
hiperventilasi kussmaul
cheyne-stokes). ↓
Proses dimielinas

Gejala dan Tanda Minor :



Konduksi saltatori tidak
Subjektif : terjadi dan tidak ada transmisi
1. Ortopnea impuls saraf

Objektif : ↓
Gangguan fungsi saraf perifer
1. Pernapasan pursed-lip. dan kranial
2. Pernapasan cuping hidung.
3. Diameter thoraks anterior—
posterior meningkat

Gangguan perifer dan
4. Ventilasi semenit menurun neuromuskular
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Tekanan inspirasi menurun

Resiko tinggi gagal
8. Ekskursi dada berubah
pernapasan(ARDS),penurunan
kemampuan batuk,
peningkatan sekresi mucus


Ketidakefektifan pola nafas

Faktor Risiko : Faktor-faktor predisposisi Resiko tinggi penurunan curah


terjadi 3-3 minggu sebelum jantung
1. Perubahan afterload. onset meliputi adanya ISPA,
2. Perubahan frekuensi infeksi gastrointestinal dan
jantung. tindakan bedah saraf


3. Perubahan irama
jantung.
4. Perubahan Selaput mielin hilang akibat
kontraktilitas. dari respon alergi, respon
5. Perubahan preload. autoimun hipoksemia, toksik
kimia,dan insufisiensi vascular


Proses dimielinasi


Konduksi saltatori tidak
terjadi dan tidak ada transmisi
impuls saraf


Gangguan fungsi saraf perifer
dan kranial

Disfungsi otonom


Disfungsi jantung dan ritme,
perubahan tekanan darah
(Hipertensi transien, hipotensi
ortostatik, dan gangguan
vosomotor)


Penurunan curah jantung ke
otak dan jantung
Faktor Risiko Faktor-faktor predisposisi Resiko deficit nutrisi
terjadi 3-3 minggu sebelum
1. Ketidakmampuan onset meliputi adanya ISPA,
menelan makanan infeksi gastrointestinal dan
2. Ketidakmampuan tindakan bedah saraf
mencerna makanan
3. Ketidakmampuan ↓
mengabsorbsi nutrien Selaput mielin hilang akibat
4. Peningkatan kebutuhan dari respon alergi, respon
metabolisme autoimun hipoksemia, toksik
5. Faktor ekonomi (mis. kimia,dan insufisiensi vascular
finansial tidak
mencukupi)
6. Faktor psikologis (mis.

Proses dimielinasi
stres, keenganan untuk
makan) ↓
Konduksi saltatori tidak
terjadi dan tidak ada transmisi
impuls saraf


Gangguan fungsi saraf perifer
dan kranial


Gangguan fungsi saraf kranial
: III,IV, V, VI, VII IX, dan X


Gangguan pemenuhan nutrisi
dan cairan

Resiko tinggi pemenuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan
Gejala dan Tanda Mayor Gangguan fungsi saraf perifer Gangguan mobilitas fisik
Subjektif dan kranial

1. Mengeluh sulit ↓
menggerakkan Gangguan perifer dan
ekstremitas neuromuscular

Objektif ↓
Kelemahan fisik umum
1. Kekuatan otot paralisis otot wajah
menurun
2. Rentang gerak (ROM)
menurun

Penurunan tonus otot seluruh
tubuh, perubahan estetika
Gejala dan Tanda Minor
wajah
Subjektif ↓
1. Nyeri saat bergerak Kerusakan mobilitas fisik
2. Enggan melakukan
pergerakan
3. Merasa cemas saat
bergerak

Objektif

1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak
terkoordinasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah

Gejala dan Tanda Mayor. Kuran informasi Ansietas



Subjektif. Kesalahan interprestasi

1. Merasa bingung. Kurang pengetahuan
2. Merasa khawatir ↓
dengan akibat. Kecemasan Keluarga
3. Sulit berkonsenstrasi.

Objektif.
1. Tampak gelisah.
2. Tampak tegang.
3. Sulit tidur

Gejala dan Tanda Minor.

Subjektif.

1. Mengeluh pusing.
2. Anoreksia.
3. Palpitasi.
4. Merasa tidak berdaya.

Objektif.

1. Frekuensi napas
meningkat.
2. Frekuensi nadi
meningkat.
3. Tekanan darah
meningkat.
4. Diaforesis.
5. Tremos.
6. Muka tampak pucat.
7. Suara bergetar.
8. Kontak mata buruk.
9. Sering berkemih.
10. Berorientasi pada masa
lalu.
Gejala dan Tanda Mayor Gangguan fungsi saraf perifer Koping individu dan keluarga
Subjektif dan kranial tidak efektif

1. Merasa diabaikan ↓
Gangguan perifer dan
Objektif neuromuscular

2. Tidak
kebutuhan
memenuhi
anggota

Disfungsi otonom
keluarga
3. Tidak toleran
4. Mengabaikan anggota

Disfungsi jantung dan ritme,
keluarga
perubahan tekanan darah
(Hipertensi transien, hipotensi
Subjektif
ortostatik, dan gangguan
vosomotor)

1. Terlalu khawatir
dengan anggota
keluarga Penurunan curah jantung ke
2. Merasa tertekan otak dan jantung
(depresi)

Objektif

Gawat kardiovaskuler
1. Perilaku
(agresi)
menyerang ↓
Prognosis penyakit kurang
2. Perilaku menghasut
baik
(agitasi)
3. Tidak berkomitmen
4. Menunjukan gejala

psikosomatis Kecemasan keluarga
5. Perilaku menolak
6. Perwatan yang
mengabaikan
kebutuhan dasar klien
7. Mengabaikan
perawatan/pengobatan
8. Perilaku bermusuhan
9. Perilaku individualistik
10. Upaya membangun
hidup bermakna
terganggu
11. Perilaku sehat
terganggu
12. Ketergantungan angota
keluarga meningkat
13. Realitas kesehatan
anggota keluarga
terganggu

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1) Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot – otot
pernapasan, dan ancaman gagal napas.

2) Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung
ritme dan irama bradikardia.

3) Resiko deficit nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan asupan yang tidak
adekuat.
4) gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan
kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.

5) Ansietas yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit dan perubahan kesehatan.

6) Koping individu dan keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis penyakit yang
tidak jelas, perubahan peran keluarga, dan status sosioekonomi yang tidak jelas.

3. INTERVENSI

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Pola napas tidak efektif yang Dalam waktu MENEJEMEN JALAN NAPAS (I.
berhubungan dengan 2x24 jam setelah dilakukan 01011)
kelemahan progresif cepat tindakan keperawatan
otot – otot pernapasan, dan diharapan polanafas membaik Observasi
ancaman gagal dengankriteria hasil : 1. Monitor pola napas
napas. 1. Ventilasi semenit (frekuensi, kedalaman,
meningkat usaha napas)
2. kapasitas vita 2. Monitor bunyi napas
lmeningkat tambahan (mis. Gurgling,
3. diameter Torak mengi, weezing, ronkhi
Anterior posteriornya kering)
meningkat 3. Monitor sputum (jumlah,
4. tekanan ekspirasi warna, aroma)
meningkat Terapeutik
5. Tekanan inspirasi 1. Pertahankan kepatenan jalan
meningkat napas dengan head-tilt dan
6. dipsnea menurun chin-lift (jaw-thrust jika
7. penggunaan otot curiga trauma cervical)
bantu nafas menurun 2. Posisikan semi-Fowler atau
8. Pemanjangan fase Fowler
ekspirasi menurun 3. Berikan minum hangat
9. ortopnea menurun 4. Lakukan fisioterapi dada,
10. pemasangan pursed- jika perlu
lip menurun 5. Lakukan penghisapan lendir
11. pemasangan Chuping kurang dari 15 detik
hidung menurun 6. Lakukan hiperoksigenasi
12. frekuensi nafas sebelum Penghisapan
membaik endotrakeal
13. kedalaman nafas 7. Keluarkan sumbatan benda
membaik padat dengan forsepMcGill
14. Ekskursi dada 8. Berikan oksigen, jika perlu
membaik Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
Resiko tinggi penurunan Setelah dilakukan PERAWATAN JANTUNG
curah jantung yang perawatan selama (I.02075)
berhubungan dengan 2x24 jam, Observasi
perubahan frekuensi, irama, diharapkan 1. Identifikasi tanda/gejala
dan konduksi elektrikel. penurunan curah primer Penurunan curah
jantung membaik , dengan jantung (meliputi dispenea,
kriteria hasil : kelelahan, adema ortopnea
1. Tekanan darah paroxysmal nocturnal
menurun dyspenea, peningkatan
2. CRT menurun CPV)
3. Palpitasi menurun 2. Identifikasi tanda /gejala
4. distensi Vena sekunder penurunan curah
jugularis menurut jantung (meliputi
gambaran EKG peningkatan berat badan,
aritmia menurun hepatomegali ditensi vena
5. lelah menurun jugularis, palpitasi, ronkhi
basah, oliguria, batuk, kulit
pucat)
3. Monitor tekanan darah
(termasuk tekanan darah
ortostatik, jika perlu)
4. Monitor intake dan output
cairan
5. Monitor berat badan setiap
hari pada waktu yang sama
6. Monitor saturasi oksigen
7. Monitor keluhan nyeri dada
(mis. Intensitas, lokasi,
radiasi, durasi, presivitasi
yang mengurangi nyeri)
8. Monitor EKG 12 sadapoan
9. Monitor aritmia (kelainan
irama dan frekwensi)
10. Monitor nilai laboratorium
jantung (mis. Elektrolit,
enzim jantung, BNP, Ntpro-
BNP)
11. Monitor fungsi alat pacu
jantung
12. Periksa tekanan darah dan
frekwensi nadisebelum dan
sesudah aktifitas
13. Periksa tekanan darah dan
frekwensi nadi sebelum
pemberian obat (mis.
Betablocker, ACEinhibitor,
calcium channel blocker,
digoksin)
Terapeutik
1. Posisikan pasien semi-
fowler atau fowler dengan
kaki kebawah atau posisi
nyaman
2. Berikan diet jantung yang
sesuai (mis. Batasi asupan
kafein, natrium, kolestrol,
dan makanan tinggi lemak)
3. Gunakan stocking elastis
atau pneumatik intermiten,
sesuai indikasi
4. Fasilitasi pasien dan
keluarga untuk modifikasi
hidup sehat
5. Berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi stres, jika
perlu
6. Berikan dukungan
emosional dan spiritual
7. Berikan oksigen untuk
memepertahankan saturasi
oksigen >94%
Edukasi
1. Anjurkan beraktivitas fisik
sesuai toleransi
2. Anjurkan beraktivitas fisik
secara bertahap
3. Anjurkan berhenti merokok
4. Ajarkan pasien dan keluarga
mengukur berat badan
harian
5. Ajarkan pasien dan keluarga
mengukur intake dan output
cairan harian
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
2. Rujuk ke program
rehabilitasi jantung
Resiko Perubahan kebutuhan Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN NUTRISI (I.
nutrisi: kurang dari keperawatan selama 2x24 jam 03119)
kebutuhan tubuh yang diharapkan pemenuhan Observasi
berhubungan dengan asupan nutrisi klien terpenuhi. 1. Identifikasi status nutrisi
yang tidak adekuat. Dengan kriteria : 2. Identifikasi alergi dan
1. Porsi makanan yang intoleransi makanan
dihabiskan meningkat 3. Identifikasi makanan yang
2. berat badan disukai
meningkat 4. Identifikasi kebutuhan
3. frekuensi makan kalori dan jenis nutrient
meningkat 5. Identifikasi perlunya
4. nafsu makan penggunaan selang
meningkat nasogastrik
5. perasaan cepat 6. Monitor asupan makanan
kenyang menurun 7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika perlu
2. Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
3. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
4. Berikan makan tinggi serat
untuk mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
6. Berikan suplemen makanan,
jika perlu
7. Hentikan pemberian makan
melalui selang nasigastrik
jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
Hambatan mobilitas fisik Dalam waktu 2x24 jam DUKUNGAN AMBULASI
yang berhubungan dengan setelah diberikan tindakan (1.06171)
kerusakan neuromuskular , mobilitas klien meningkat
penurunan kekuatan otot, dan
atau teradaptasi. Kriteria : Observasi
penurunan kesadaran. 1. Identifikasi adanya nyeri
1. Berat badan atau keluhan fisik lainnya
meningkat 2. Identifikasi toleransi fisik
2. berjalan dengan melakukan ambulasi
langkah pelan 3. Monitor frekuensi jantung
meningkat dan tekanan darah sebelum
3. berjalan dengan memulai ambulasi
langkah sedang 4. Monitor kondisi umum
meningkat selama melakukan ambulasi
4. berjalan dengan Terapeutik
langkah cepat 1. Fasilitasi aktivitas ambulasi
meningkat dengan alat bantu (mis.
5. berjalan menanjak tongkat, kruk)
meningkat berjalan 2. Fasilitasi melakukan
menurun menurun mobilisasi fisik, jika perlu
meningkat 3. Libatkan keluarga untuk
6. berjalan jarak pendek membantu pasien dalam
meningkat meningkatkan ambulasi
7. berjalan melewati Edukasi
rintangan meningkat 1. Jelaskan tujuan dan
8. nyeri saat berjalan prosedur ambulasi
menurun 2. Anjurkan melakukan
9. kaku pada persendian ambulasi dini
menurun 3. Ajarkan ambulasi sederhana
10. keengganan berjalan yang harus dilakukan (mis.
menurun berjalan dari tempat tidur ke
11. perasaan khawatir saat kursi roda, berjalan dari
berjalan menurun tempat tidur ke kamar
mandi, berjalan sesuai
toleransi)
Ansietas yang berhubungan Setelah dilakukan tindakan REDUKSI ANXIETAS (I.09314)
dengan ancaman, kondisi Keperawatan selama 2x24
sakit dan perubahan jam, diharapkan ansietas Observasi
kesehatan. hilang dan berkurang. 1. Identifikasi saat tingkat
Dengan kriteria hasil : anxietas berubah (mis.
1. Gelisah Menurun Kondisi, waktu, stressor)
2. perilaku tegang 2. Identifikasi kemampuan
menurun mengambil keputusan
3. keluhan pusing 3. Monitor tanda anxietas
menurut (verbal dan non verbal)
4. Pucat menurut Terapeutik
5. kontak mata membaik 1. Ciptakan suasana
6. orientasi membaik terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan
2. Temani pasien untuk
mengurangi kecemasan ,
jika memungkinkan
3. Pahami situasi yang
membuat anxietas
4. Dengarkan dengan penuh
perhatian
5. Gunakan pedekatan yang
tenang dan meyakinkan
6. Motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
7. Diskusikan perencanaan
realistis tentang peristiwa
yang akan datang
Edukasi
1. Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin
dialami
2. Informasikan secara factual
mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien, jika
perlu
4. Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai
kebutuhan
5. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
6. Latih kegiatan pengalihan,
untuk mengurangi
ketegangan
7. Latih penggunaan
mekanisme pertahanan diri
yang tepat
8. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat
anti anxietas, jika perlu
Koping individu dan Dalam waktu 1x24 jam Dukungan pengambilan
keluarga tidak efektif yang setelah diberikan tindakan keputusan
berhubungan dengan koping individu kembali Observasi: . Identifikasi persepsi
prognosis penyakit yang efektif. Kriteria : mengenai maslah saat pembuatan
tidak jelas, perubahan peran 1. keinginan untuk keputusan kesehatan
keluarga, dan status mendukung keluarga Terapeutik:
sosioekonomi yang tidak yang sakit meningkat ▪ Fasilitasi mengklarifikasi nilai
jelas. 2. Bekerjasama dalam dan harapan yang membantu
menentukan membuat pilihan . Diskusikan
perawatan meningkat kelebihan dan kekurangan dari
3. Partisipasi dalam setiap solusi . Fasilitasi melihat
perencanaan pulang situasi secara realistic
meningkat ▪ Motivasi mengungkapkan tujuan
perawatan yang diharapkan
Fasilitasi pengambilan keputusan
secara kolaboratif . Hormati hak
pasien untuk menerima atau
menolak informasi
▪ Fasilitasi menjelaskan keputusan
kepada orang lain, jika perlu .
Fasilitasi hubungan antara pasien,
keluarga, dan tenaga kesehatan
lainnya Edukasi . Informasikan
alternative solusi secara jelas
Berikan informasi yang diminta
pasien Dukungan Penampilan
Peran Observasi: . Identifikasi
berbagai peran dan periode transisi
sesuai tingkat perkembangan .
Identifikasi peran yang ada dalam
keluarga
ANALISA JURNAL

JUDUL : Hubungan Modified Erasmus GBS outcome Scores (mEGOS) Terhadap


Oneset Motorik pada Sindroma Guillain Barre

Penulis : Margaretta , Dwi Pudjonarko

Metode Penelitian : Subjek penelitian diambil dari data sekunder rekam medis yang
didiagnosis Sindroma Guilain Barre. Analisis data menggunakan SPSS
Statistik versi 17.0. Dilakukan uji normalitas data. Korelasi antara mEGOS
dengan onset motorikmenggunakan uji korelasi spearman’s.Hasil dianggap
bermakna apabila p < 0,05.

Hasil Penelitian : Terdapat 26 kasus SGB dengan jumlah pria 16 (61,5%) dan wanita 10
(38,5%), usia rata-rata 40,38 tahun (SD=14). Onset motorik rata-rata 7 hari
(SD=7,68) dengan kisaran 1-30 hari. Keterlibatan saraf kranial
57,7%.Riwayat infeksi saluran pernapasan (23,1%) diikuti infeksi saluran
gastrointestinal (15,3%), sisanya tidak memiliki riwayat penyakit menular
sebelum onset kelemahan (61,5%), Rata-rata MRC sumscore 4 (SD=2,191).
Nilai median mEGOS 1 rata- rata 6 (SD=2,2) dengan kisaran 1-8 dan
mEGOS 2 rata-rata 6 (SD=3,2) dengan kisaran 1-12. Dari tabel korelasi
spearman’sdidapatkan mEGOS 1 (r=0,096; p=0,640) dan mEGOS 2 (r=-
0,002; p=0,992). Tidak terdapat hubungan antara mEGOS 1 dan mEGOS 2
dengan onset motorik pada SGB.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L. J. (2010). Buku saku diagnosis keperawatan edisi 13. Jakarta: EGC.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2012). Rencana asuhan

keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian

perawatan pasien. Jakarta: EGC.

Hu, M., Chen, C., Lin, K., Wang, H., Hsia, S., Chou, M., … Wu, C. (2012). Risk

Factors of Respiratory Failure in Children with ´ Syndrome. Pediatrics and

Neonatology, 53(5), 295–299. https://doi.org/10.1016/j.pedneo.2012.07.003

Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahren. Buku Saku Diagnosis Keperawatan:

Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Edisi 9. Jakarta:

EGC, 2011.

Nandar, S. (2013). Sindroma Guillain-Barre dalam Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan II Neurologi. Malang: PT Danar Wijaya.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem

persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Rahayu, T. (2013). Mengenal Guillain Barre Syndrome (GBS). Retrieved from

https://journal.uny.ac.id/index.php/wuny/article/download/3525/pdf

https://doc-pak.undip.ac.id/754/2/artikel%20c41.pdf

Anda mungkin juga menyukai