Anda di halaman 1dari 12

Tugas Penanganan Kegawatdaruratan Dan Kritis Dengan Kasus Guillain Barré

Syndrome (GBS) Dengan Ventilator

Oleh :
Arif Tri Widodo
19650118

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2020
I. Latar belakang
Guillain Barré Syndrome (GBS) atau bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada
susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan
saraf tepi, yang didahului oleh suatu infeksi (Bahrudin, 2013). Penyakit ini merupakan
autoimun dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel sarafnya sendiri sehingga
menimbulkan peradangan dan kerusakan pada sel-sel saraf tepi (mielin dan akson)
yang dapat menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensorik (Lanello, 2005;
Inawati, 2010).
GBS termasuk penyakit langka dan jarang terjadi hanya 1 atau 2 kasus per
100.000 populasi di dunia tiap tahunnya dan penyakit ini terjadi sepanjang tahun serta
dapat menyerang hampir semua usia dan genetik (Nyati & Nyati, 2013; Rosen, 2016)
serta insidensi pada tiap negara sangat bervariasi (van den Berg et al., 2014). Insiden
keseluruhan telah diperkirakan berkisar 0,4-2,4 kasus per 100.000 per tahun, dengan
3.500 kasus baru per tahun terjadi di Amerika Serikat (Rosen, 2016). Sementara
insiden terjadinya GBS di Indonesia, pada akhir tahun 2010-2011 tercatat ada 48
kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai variannya. Dibandingkan tahun
sebelumnya memang terjadi peningkatan sekitar 10% (Pdpersi, 2012; Hakim, 2011).
Angka kematian dari GBS dapat meningkat sebesar 1,3 kali pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Angka morbiditas menunjukkan bahwa sekitar 15-
20% dari pasien mengalami penurunan fungsi neurologis dan sekitar 1-10%
mengalami cacat permanen (Andary et al., 2016).
Penyebab GBS masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan terjadi akibat
respons autoimun terhadap sel saraf perifer yang dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri
atau virus (Nyati & Nyati, 2013). Sebanyak 2/3 dari pasien GBS dilaporkan
mengalami saluran infeksi pernafasan atas atau saluran cerna yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi GBS. Sebanyak 30% pasien mengalami 2 GBS yang didahului
oleh infeksi Compylobacter jejuni dan sebanyak 10% terinfeksi Cylomegalovirus
(Yuki & Hartung, 2012). Mekanisme terjadinya GBS sebenarnya masih belum
diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf
yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi (Yuki &
Hartung, 2012). Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah didapatkannya antibodi atau
adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksius
pada saraf tepi, adanya autoantibodi terhadap sistem saraf tepi, dan didapatkannya
penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh darah saraf tepi
inilah yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi (Walling & Dickson, 2013;
Tandel et al., 2016; Andary et al., 2016). Mekanisme GBS juga diyakini merupakan
suatu neuropati inflamasi yang diduga disebabkan oleh reaktivitas silang antara
antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu, seperti
Campylobacter jejuni, yang memiliki struktur dinding bakteri yang mirip dengan
gangliosida. Molekular mimikri ini akan menciptakan antibodi antigangliosida yang
akan menyerang saraf. Antibodi spesifik yang dirangsang dan area targetnya dalam
saraf dapat menjelaskan subtipe yang berbeda dari GBS. Kurang dari satu per 1.000
pasien dengan infeksi Campylobacter jejuni menyebabkan GBS, dimana faktor host
juga memainkan peran penting dalam proses patologis, namun penelitian belum
mengidentifikasi faktor yang meningkatkan suatu risiko individu terkena GBS.
(Walling & Dickson, 2013; Nyati & Nyati, 2013). GBS pada umumnya mudah
diidentifikasi dengan manifestasi klinis yang spesifik dan kelemahan progresif dalam
beberapa hari.
Manifestasi klinis dari GBS yang terpenting adalah adanya kelemahan motoris
yang progresif yang mengenai lebih dari satu anggota gerak dan adanya reflek yang
menurun atau menghilang (hypo- atau areflexia) (Muid, 2005; Yuki & Hartung, 2012;
Fokke et al., 2014). Selain itu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron
(LMN) dari otot-otot ekstremitas, badan dan terkadang juga muka. Kelumpuhan
dimulai pada bagian distal ekstremitas bawah dan naik ke arah kranial (ascending
paralysis) dengan karakteristik adanya kelemahan yang bersifat progresif dan 3
perubahan sensorik. Gejala sensorik ini muncul setelah adanya kelemahan motorik
(Israr et al., 2009; Bahrudin, 2013).
Penyakit GBS yang bersifat akut dengan progresivitas yang cepat
membutuhkan terapi yang tepat dan segera untuk mencegah kondisi pasien semakin
memburuk (Yuki & Hartzung, 2012; Willison et.al, 2016). Terapi yang dibutuhkan
berupa terapi spesifik/ kausatif berupa imunoterapi intravena imunoglobulin (IVIG)
atau plasma exchange (PE) digunakan untuk mengatasi penyebab autoimun yang
terjadi pada pasien GBS. Imunoterapi diberikan dengan tujuan mengurangi beratnya
penyakit dan mempercepat kesembuhan yang ditunjukkan melalui sistem imunitas
(Inayah, 2014). Selain IVIG dan PE, imunoterapi yang dapat digunakan adalah
kortikosteroid. Kortikosteroid dapat diberikan pada pasien GBS sebagai
imunosupresan dan untuk mengurangi inflamasi yang terjadi, namun banyak studi
yang menyatakan bahwa obat ini masih kurang efektif (Saderholm, 2010; Yuki &
Hartzung, 2012; van Doorn, 2013). Terapi GBS lain yang dapat diberikan pada pasien
GBS berupa terapi suportif yang bersifat simptomatis digunakan untuk mengatasi
manifestasi klinik dari GBS seperti kelemahan otot sampai dengan kelumpuhan
motorik, gangguan saraf otonom, gangguan otot pernafasan, dan nyeri serta bersifat
komplikatif yang digunakan untuk mengatasi komplikasi yang terjadi, diantaranya
analgesik, neuroprotektan dan antibiotik. Analgesik diberikan untuk mengatasi rasa
nyeri neuropati pada pasien GBS (Sebastian, 2012). Neuroprotektan (neurotropik)
yang digunakan pada pasien GBS merupakan vitamin B dengan variannya dengan
tujuan memberikan energi pada jaringan saraf dan membantu memeperbaiki saraf
yang mengalami kerusakan (Sweetman, 2009; Hartiningtyas, 2014). Antibiotik dapat
diberikan pada pasien karena kebanyakan pasien GBS mengalami infeksi terlebih
dahulu dan ataupun sangat kemungkinan untuk terjadi infeksi nosokomial akibat
penggunaan alat-alat kesehatan (Nyati & Nyati, 2013).

II. Rumusan masalah dan tujuan


1. Rumusan masalah
Berdasarkan beberapa pemaparan diatas ingin mengetahui bagaimanakah
penanganan secara gawat darurat atau kritis Guillain Barré Syndrome (GBS)
dengan ventilator.
2. Tujuan
Untuk menegetahui bagaimanakah penanganan secara gawat darurat atau kritis
Guillain Barré Syndrome (GBS) dengan ventilator.

III. Konsep teori


1. Pengertian
Sindrom Guillain-Barre (GBS) adalah sindrom klinik yang penyebabnya tidak
diketahui secara pasti yang menyangkut saraf perifer dan cranial (Brunner dan
Suddart, 2002, hal : 2248). Sindrom Guillain-Barre (GBS dilafalkan ghee-yan
bahray) adalah suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan
beberapa nama lain yaitu polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan
polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik
asendens secara primer dengan segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah
gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf perifer, final common
pathway untuk gerakan motorik juga. (Sylvia A. Price, 2006, hal : 1151)
2. Etiologi
Penyebab yang pasti pada Sindrom Guillain-Barre sampai saat ini belum
diketahui. Tetapi pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi virus.
Virus merubah sel dalam system syaraf sehingga sistem imun mengenali sel
tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan
magrofag akan menyerang myelin. Selain itu, limfosit T menginduksi limfosit
B untuk menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu dari selubung
myelin yang menyebabkan kerusakan myelin (NINDS, 2000).
Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah virus yang
menyerang sistem pernapasan (influenza), Measles, Cytomegalovirus (CMV),
HIV dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri yang
paling sering oleh Campylobacter jejuni. Selain beberapa factor diatas ada
beberapa factor predisposisinya yaitu :
 Imunisasi
 Tindakan pembedahan

3. Manifestasi klinis
 Terdapat kelemahan progresif simetris akut, biasanya lebih berat
disebelah distal daripada sebelah proksimal dan lebih buruk di tungkai
daripada di lengan.
 Pasien sering mengeluh kesulitan bergerak, bangun dari kursi atau naik
tangga.
 Paralisis asenden mengenai saraf motorik sering daripada sensorik.
Sensorik hilang (terutama kedudukan dan sesuai sensasi getar)
bervariasi tetapi biasanya ringan.
 Pada beberapa pasien , gejala awal mencakup otot cranial atau
ekstremitas atas (misalnya kesemutan di tangan).
 Secara umum kelemahan mencapai maksimum dalam 14 hari.
4. Penatalaksanaan
 Plasmaferisis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi
antobiotik kedalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada
serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada
pasien dan demielinasi.
 Pemberian immunoglobulin IV
1) Pengertian
Imunoglobulin (Antibodi) adalah protein-protein pelindung
yang terbentuk untuk melawan sel-sel asing yang masuk dalam
tubuh. Di dalam tubuh imunoglobulin yang diproduksi terdiri
dari berbagai tipe antara lain : IgA, IgE, IgD, IgG, IgM.
2) Tujuan terapi immunologi
 Ada imunoglobulin yang sengaja diproduksi untuk
pengobatan. Pada pasien dengan GBS penggunaan
terapi imunoglobulin sangat bermanfaat selain
plasmafaresis.
 Terapi imunoglobulin bertujuan untuk menghambat
terbentuknya antibodi dari dalam tubuh yang merusak
saraf dan meningkatkan kekebalan tubuh.
Immunoglobulin dapat menetralisasi autoantibodi
patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi
tersebut, IVIg juga dapat mempercepat katabolisme
IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau
bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
 Tujuan pemberian imunoglobulin adalah untuk
menormalkan kembali sistem pertahanan tubuh.
3) Rute pemberian immunoglobulin
Imunoglobulin diberikan secara intravena. Sebelumnya
immunoglobulin diberikan secara intramuskular tapi sekarang
diberikan secara IV.
4) Dosis Imunoglobulin
350-500 mg/kg BB yang diberikan sebulan sekali. 150-250
mg/kg BB yang diberikan setiap 2 minggu sekali. Dosis untuk
bayi neonatus 500 mg/Kg BB, Bayi Prematus 750 mg/Kg BB.
Pemberian IVIG ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala
muncul dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Khusus
pada pasien GBS. Waktu pemberiannya selama 1 /2-1jam.
5) Efek samping
Efek samping dari pemberian imunoglobulin terjadi pada 5%
pasien.
 Efek samping yang muncul seperti nyeri kepala,
menggigil, nyeri sendi, pusing, mual, lelah, myalgia,
nyeri punggung, peningkatan tekanan darah pada pasien
dengan resiko hipertensi.
 Reaksi dapat muncul setelah 30 menit pemberian
imunoglobulin intravena dan berkurang setelah infus
dihentikan
6) Kontraindikasi
 Hipersensitivitas terhadap imunogobulin
 Defisiensi IgA
 Antibodi anti IgE / IgG.
7) Hal-hal yang perlu diperhatikan
 Dosis imunoglobulin dihitung berdasarkan berat badan
pasien.
 Untuk terapi awal, sebaiknya digunakan konsentrasi
yang lebih rendah atau laju infusi yang lebih lambat.
 Diberikan pada jalur infus yang terpisah dari obat-obat
lainnya. Bila menggunakan jalur primer, bilas dengan
salin sebelum pemberian.
 Pada pasien berisiko gagal ginjal dosis, laju dan/atau
konsentrasi infus dikurangi. Pengurangan laju infus
atau penghentian infus dapat membantu meringankan
beberapa efek samping (kemerahan pada wajah,
perubahan kecepatan nadi, perubahan tekanan darah).
 Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan hanya memberikan PE atau IVIg
8) Macam-macam sediaan obat immunoglobulin:
 Octagam 10 % Sediaan 100 mg/ml
 Octagam 10 g/200 ml
 Octagam 5 g/100 ml
 Octagam 2,5 g/50 ml
 Gammaplex 5 g/100 ml
 Octagam 5 % Sediaan 1 g/20 ml
 GAMMAGARD LIQUID 10 % berisi 100 mg/mL
protein. 98% dari protein adalah gammaglobulin,
immunoglobulin A (IgA) dan immunoglobulin M, Ig
G.
9) Octagam(R)
Octagam 10% adalah solusi cairan (100 mg/ml) Globulin Imun
untuk pemberian intravena (IVIG)
Diindikasikan untuk penggunaan pada:
 Imunodefisiensi humoral primer(PI);
 Myeloma atau kanker darah limfa kronis dengan
hipogamaglobulinemia sekunder yang parah dan
infeksi berulang, pada anak dengan AIDS bawaan yang
telah terinfeksi bakteri berulang kali;
 Purpura trombositopenik imun (ITP) pada anak-anak
atau orang dewasa yang berisiko tinggi mengalami
pendarahan atau sebelum operasi untuk memperbaiki
jumlah trombosit;
 Sindrom Guillain Barre
10) Penatalaksanaan
Pemberian Obat immunoglobulin
 GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis
sehingga Pasien diatasi/dirawat di unit perawatan
intensif. Amati fungsi respirasi secara ketat, ukur
kapasitas vital untuk mengetahui kekuatan otot paru.
 Karena gagal pernapasan merupakan problema utama
pada sindroma Guillain-Barre. Pasien yang mengalami
masalah pernafasan memerlukan ventilator, kadang-
kadang untuk periode yang lama. Ventilasi mekanik
mungkin diperlukan jika volume ekspirasi paksa
adalah < 12-15 mL/kg, kapasitas vital cepat menurun
atau < 1000 mL dan Pao2 < 70 mmHg, atau jika pasien
sangat sukar mengeluarkan dahak dan diaspirasi.
Sekitar 10% sampai 20% pasien memerlukan ventilasi.
Jika melakukan intubasi endotrakeal, hindari obat-
obatan yang menimbulkan paralisis (misalnya
suksinilkolin) karena meningkatnya resiko
hiperkalemia yang membahayakan hidup.
 Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk
kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung.
 Pemasangan NGT untuk mengatasi kekurangan nutrisi
akibat kesulitan mengunyah dan menelan.
 Distrimia jangan dihubungkan dengan keadaan
abnormal autonom yang diobati dengan propanonol
untuk mencegah takikardia dan hipertensi.
 Atropine dapat diberikan untuk menghindari episode
bradikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi
fisik.

5. Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kelemahan atau paralisis pada otot
otot pernafasan, kardiovaskuler dan kelumpuhanm otot yang menetap.
Komplikasi lain meliputi disritmia jantung, trombosis vena profunda dan
emboli paru. (Buku Saku Patofisiologi. Elizabeth J. Corwin. 2009: hal 266)
IV. Critical thinking
Judul : PENATALAKSANAAN GUILLAIN-BARRE SYNDROME DI ICU
Peneliti : Sudadi, Sri Rahardjo, Adi Hidayat*
Tahun : 2017
Jurnal : Jurnal komplikasi anestesi Volume 4 nomor 2, maret 2017
Problem : Sindrom Guillain Barre merupakan polineuropati demielinisasi akut
dengan berbagai macam jenis yaitu: GBS motor-sensoris, GBS motor
murni, Miller Fisher, bulbar, GBS aksonal primer. Insidensi GBS 1-2
per 100.000 orang dewasa.GBS sering dicetuskan oleh penyakit infeksi
termasuk infeksi Campylobacter jejuni, cytomegalovirus, virus herpes
simpleks dan infeksi saluran nafas atas. Proses ini termasuk aktivasi
komplemen yang mencetuskan destruksi myelin di sistem saraf perifer
Intervensi : Pasien dilakukan intubasi pada hari ke 2 perawatan di ICU
karena pasien mulai mengalami distress respirasi. Gagal nafas
merupakan salah satu komplikasi GBS yang paling sering dan paling
ditakuti. Persentase pasien GBS yang membutuhkan ventilasi mekanik
antara 25% sampai 44%. Demielinisasi nervus phrenikus dan
intercostal menyebabkan mekanikal paru terbatas, kesulitan menelan
akibat kelemahan otot faring menyebabkan risiko aspirasi. Ventilasi
mekanik diberikan jika batuk tidak adekuat, kolaps pulmonal,
berkembangnya konsolidasi, analisa gas darah abnormal, dispneu,
takipneu atau terlihat kehabisan tenaga. Gagal nafas pada pasien GBS
dapat terjadi tiba-tiba, mengancam nyawa dan menyebabkan
morbiditas yang signifikan.Status respirasi pasien GBS harus
dimonitor hati-hati dan frekuen. Pemulihan pernafasan berlangsung
lambat pada GBS, menyebabkan penggunaan ventilator mekanik yang
lama. Setengah dari pasien GBS yang terintubasi membutuhkan
trakeostomi.
Pada pasien dengan nafas spontan, fisioterapi dada dan
monitoring fungsi respirasi merupakan hal yang penting. Penilaian
regular terhadap kapasitas vital merupakan cara terbaik untuk menilai
kegagalan respirasi. Pasien dengan kapasitas vital kurang dari 15ml/kg
atau 30% dari nilai yang diprediksikan, atau peningkatan PCO2 arterial
membutuhkan ventilasi mekanik. Keterlibatan bulbar harus hati-hati
dicari, karena terdapat risiko sigknifikan aspirasi dari sekresi jalan
nafas atas, isi lambung atau makanan yang dicerna. Jika reflek batuk
tidak adekuat, maka proteksi jalan nafas dengan intubasi trakea atau
trakeostomi dibutuhkan. Makanan per oral harus dihentikan pada
pasien yang diduga mengalami keterlibatan bulbar. Indikasi ventilasi
mekanik jika batuk tidak adekuat, paru-paru kolaps atau
berkembangnya konsolidasi, gas darah arteri abnormal, kapasitas vital
kurang dari volume tidal yang diprediksi, pasien sesak nafas, takipneu
atau tampak kelelahan
Plasmapharesis adalah terapi membuang dan mengembalikan
komponen plasma dari sirkulasi darah. Plasmapharesis selanjutnya
disebut sebagai extracorporeal therapy atau prosedur medis yang
dilakukan di luar tubuh. Selama plasmapharesis, darah awalnya
dikeluarkan dari tubuh melalui kateter plasma, kemudian dihilangkan
dari tubuh oleh pemisah sel (cell separator). Tiga prosedur yang
umumnya digunakan untuk memisahkan plasma dari sel darah :
• Discontinuous flow centrifugation : dibutuhkan satu kateter vena.
Secara khusus, 300 ml darah dihilangkan pada satu waktu dan diputar
untuk memisahkan plasma dari sel darah.
• Continous flow centrifugation : dibutuhkan 2 kateter vena. Metode ini
membutuhkan lebih sedikit volume darah untuk dikeluarkan dari tubuh
pada satu waktu karena dapat secara terus menerus memutar plasma.
• Filtrasi plasma : digunakan 2 kateter vena. Plasma difiltrasi
menggunakan peralatan hemodialisa standard. Proses ini
membutuhkan kurang dari 100 ml darah untuk dikeluarkan tubuh pada
satu waktu.
Comparation : Menurut penelitian masyrifah Pemberian terapi imunoglobulin
intravena pada pasien GBS sebaiknya ditentukan berdasarkan kondisi
klinis dari pasien serta dengan mempertimbangkan berbagai faktor
terkait terapi seperti efek samping, ketepatan waktu pemberian, cara
pemberian dan lama pemberian, karena apabila berbagai faktor
tersebut diperhatikan dengan baik maka akan diperoleh respon
efektifitas yang baik dari terapi imunoglobulin pada pasien GBS.
Outcame : Plasma exchange memperbaiki prognosis pada pasien dengan GBS
secara dramatis. Gagal nafas merupakan komplikasi GBS yang dapat
mengancam kehidupan, sebanyak 10-30% pasien GBS membutuhkan
ventilasi mekanik. Terapi segera menggunakan plasma exchange,
bersamaan dengan perawatan suportif umumnya akan sembuh
sempurna. GBS mempunyai prognosis yang secara umum baik jika
komplikasi dapat diterapi segera.

V. Kesimpulan
Guillain Barré Syndrome (GBS) atau bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada
susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan
saraf tepi, yang didahului oleh suatu infeksi (Bahrudin, 2013). Manajemen GBS
meliputi perawatan suportif dari komplikasi yang menyertai, terutama gagal nafas dan
disfungsi otonom. Gagal nafas merupakan komplikasi GBS yang dapat mengancam
kehidupan, sebanyak 10-30% pasien GBS membutuhkan ventilasi mekanik sehingga
sangat penting penggunaan ventilator untuk perawatan suportif.

VI. Daftar pustaka


Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Volume
3.Jakarta: EGC
Carpernito, Lynda Juall. 2007. Buku saku Diagnosis Keperawatan edisi 10.
Jakarta:EGC
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
Volume 3.Jakarta : EGC
Lanello, 2005; Inawati, 2010.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Pdpersi, 2012; Hakim, 2011
Saputra, Lyndon. Intisari ILmu Penyakit Dalam disertai Contoh Kasus Klinik.
Tanggerang : BINARUPA AKSARA Publisher

Anda mungkin juga menyukai