Anda di halaman 1dari 36

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Guillain Barre Syndrome adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan dan
kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk selubung
pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah
kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar menimbulkan kelumpuhan. Penyakit
ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar
sembuh sempurna (Iskandar J, 2005).

Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre Syndrom
(GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan
menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena
susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh
kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang
sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.

Manifestasi klinis utama dari Guillain Barre Syndrome adalah suatu kelumpuhan yang
simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.
Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf. Kelumpuhan
dimulai pada bagian distal ekstremitas bawah dan dapat naik ke arah kranial (Ascending Paralysis)
dengan karakteristik adanya kelemahan arefleksia yang bersifat progresif dan perubahan sensasi
sensorik. Gejala sensorik muncul setelah adanya kelemahan motoric. 95% pasien dengan GBS dapat
bertahan hidup dengan 75% diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti
dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. Kelainan ini juga dapat
menyebabkan kematian , pada 5% pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia (Green K,
2005)

1.2 Tujuan Pembahasan

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:

1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS).
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus Guillain
Barre Syndrome (GBS) serta melakukan penatalaksanaan yang tepat, cepat, dan akurat
sehingga mendapatkan prognosis yang baik.
1.3 Manfaat
Beberapa manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:

1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang Guillain Barre
Syndrome (GBS).
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai Guillain Barre
Syndrome (GBS).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnyaprogresif.
Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,maupun susunan saraf
pusat. GBS merupakan Polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden, yang,biasanya
terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.
• GBS merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya
demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.
• GBS adalah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau subakut,
mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi (Harsono,2005)
SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
 Polineuritis akut pasca infeksi
 Polineuritis akut toksik
 Polineuritis febril
 Poliradikulopati
 Acute Ascending Paralysis

2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4 – 2,0 per 100.000
penduduk. GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah sama di
seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina, dimana predileksi
GBS berhubungan dengan Campylobacter Jejuni, cenderung terjadi pada musim panas.
GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden
kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 – 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan penyebab paralisa akut yang
tersering di negara barat.
Angka kematian berkisar antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering adalah gagal

3
jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada 90% – 95% penderita GBS. Antara
5% – 10 % sembuh dengan cacat yang permanen (Newswanger DL, 2004)

2.3 Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:
 Infeksi:
o Chlamydia
o Campylobacter jejuni
o Hepatitis B
o Micoplasma pneumoniae
o Cytomegalovirus
o Epstein – barr virus
o Human immunodeficiency virus (HIV)
 Vaksinasi:
o Group A streptococci
o Rabies
o Influenza
 Penyakit sistemik:
o Keganasan
o Systemic lupus erythematosus
o Tiroiditis
o Penyakit Addison
 Kehamilan atau dalam masa nifas
Gullian Barre Syndrome (GBS) sering sekali berhubungan dengan infeksi akut
non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar 56% - 80%,
yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal (Iskandar J, 2005)

4
2.4 Klasifikasi

Gambar 1. Klasifikasi GBS

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy


Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis
paling umum ditemukan pada SGB, yang juga cocok dengan gejala asli dari sindrom
tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota gerak proksimal
dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus facialis.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf perifer
dan demielinasi segmental makrofag (Gisnberg L,2005).
2. Acute Motor Axonal Neuropathy
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas SGB
epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65% dari pasien SGB
merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas
degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang berkembang cepat dan
sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki

5
prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi
mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat
meningkatkan rangsangan neuron motorik (Gisnberg,2005).

3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy


Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang
berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik. Pasien
biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari
AMAN
4. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy mungkin
terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap
ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada saraf
kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
5. Acute Neuropatic panautonomic
Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada SGB.
Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat kematian
tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia. Gangguan berkeringat,
kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat pencahar atau
bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal
adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala
otonom termasuk ortostatik ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan
dengan intoleransi ortostatik, serta disfungsi pencernaan.
6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)
Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini ditandai dengan onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan
penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE
meskipun presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI memainkan peran
penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE telah dikaitkan dengan SGB
aksonal, dengan indikasi bahwa dua gangguan yang erat terkait dan membentuk spectrum
lanjutan (Harsono,2005).
6
2.5 Patogenesis
Kebanyakan pasien Gullian Barre Syndrome (GBS) menunjukkan ketidakadaan atau
dalam kondisi perlambatan aksi serat saraf. Konduksi ini merupakan hasil dari demyelinisasi
akson. Saraf perifer dan radiks saraf merupakan bagian terbesar yang mengalami
demyelinisasi, namun saraf cranial juga dapat terserang (Price,2006).

Gullian Barre Syndrome (GBS) diyakini merupakan respon autoimun yang dicetuskan
oleh antecedent illness oleh kondisi kesehatan dalam rangka jangka waktu lama. Respon
autoimun terjadi pada sistem imun humoral dan cell mediated components. Pada kebanyakan
pasien GBS, kerusakan akson terjadi akibat serangan langsung akson itu sendiri.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mewakili
terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
 Didapatkan antibody atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi
 Adanya auto antibody terhadap sistem saraf tepi
 Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibody dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling
sering adalah infeksi virus (Iskandar J, 2005)

7
Gambar 2. Patogenesis dan fase klinikal dari GBS

Organ penginfeksi menyebabkan respon imun humoral dan selular. Respon imun humoral
terjadi sebagai hasil dari aktivasi komplemen di bagian luar dari plasmalemma sel Schwann.
Respon imun seluler melibatkan makrofag dan sel T yang menyerang myelin sehat di saraf
perifer dan kranial, menyebabkan blok konduksi dari impuls saraf.
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai suatu penyakit autoimmune, dimana
sistem imun secara “keliru” menyerang myelin atau akson, saraf pembawa signal dari dan
menuju otak. Kekeliruan serangan imun ini dapat timbul akibat permukaan C. jejuni
mengandung polisakarida yang menyerupai glikokunjugat jaringan saraf manusia. Kemiripan
ini disebut “ molecular mimicry “, yang didefinisikan sebagai pengenalan ganda oleh
reseptor sel-B atau sel-T dari suatu struktur mikroba dan suatu antigen host, dan merupakan
mekanisme dimana infeksi mencetuskan reaksi silang antibodi atau sel-T yang dapat
menyebabkan penyakit autoimun.
Sel T memegang peranan penting pada penyakit SGB, dimana sel T help merupakan
prasyarat yang penting untuk maturasi sel B dan produksi antibodi. Pada penderita SGB, sel
T dijumpai di saraf perifer.
Ganglioside-like epitopes berada pada dinding bakteri C.jejuni yang dikenali oleh limfosit
B. Limfosit menghasilkan antibodi yang bereaksi silang dengan gangliosid GM1 yang ada
8
pada myelin saraf tepi pasien SGB. Infeksi oleh organisme lain juga dapat memicu respon
antibodi yang sama. Perbedaan pola SGB kemungkinan diakibatkan oleh keanekaragaman
keterkaitan antara antibodi dan sel-T dari spesifitas yang berbeda (Judarwanto W, 2009).

Gambar 3. Immunophatogenesis GBS

2.6 Gejala Klinis


1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara
natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas.
Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh,
bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan
sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama
beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai

9
tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasiendengan SGB. Saraf kranial III-
VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai
berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia,
Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal
biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB
adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial.
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa,
atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan.
Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas
tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki.
Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien melaporkan
nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling
parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi
bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama
perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar,
kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada
di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien.
Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah
sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi
imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi
paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena
paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.
6. Pernapasan

10
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea
saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang
memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di
beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka ( Hankey GJ, 2008).
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
- Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP
serial;
- jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1
minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ) (Gisnberg L, 2005).
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan konduksi
saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

Gambar 4. Gejala Klinis Klasifikasi GBS


11
2.7 Diagnosis
a. Klinis
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan timbulnya suatu
kelumpuhan akut yang bersifat ascending disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan otonom, sensorik dan motorik perifer. Kriteria
diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu : (Green K, 2005).
Gejala utama :
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia.
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general.
Gejala tambahan :
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS :
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik :
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis :
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
12
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan
paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan
aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang
meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis
seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
c. Pemeriksaan Penunjang
Sebuah tekan tulang belakang (tusuk lumbal) dan tes fungsi saraf umumnya digunakan
untuk mengkonfirmasikan diagnosis sindrom Guillain-Barre: (Seneviratne, 2003).

1. Spinal tap (tusuk lumbalis) = (lumbar puncture)


Prosedur ini melibatkan menarik sejumlah kecil cairan dari kanal tulang belakang di
daerah (lumbar. Cairan cerebrospinal kemudian diuji untuk jenis tertentu perubahan yang
biasanya terjadi pada orang yang memiliki sindrom Guillain-Barre. Jika Anda memiliki
GBS, tes ini dapat menunjukkan peningkatan jumlah protein ( 1 – 1,5 g / dl) dalam cairan
tulang belakang tanpa diikuti kenaikan jumlah sel lain sebagai tanda infeksi lain.
Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan
hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau
kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang
kurang dari 10 / mm3 pada kultur LCS tidak ditemukan adanya virus ataupun bakteri.
2. Tes fungsi saraf
- Elektromiografi membaca aktivitas listrik dalam otot Anda untuk menentukan apakah
kelemahan Anda disebabkan oleh kerusakan otot atau kerusakan saraf. Gambaran
elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada
minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga
mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat
dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang
F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada
minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot,
dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.
- Studi konduksi saraf menilai bagaimana saraf dan otot menanggapi rangsangan listrik
13
kecil. Jika Anda memiliki GBS, hasilnya mungkin menunjukkan melambatnya fungsi
saraf, yang biasanya menunjukkan bahwa kerusakan meliputi selubung mielin dari saraf
perifer.

3. MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira kira
pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda
equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS.
4. Pemeriksaan Serum CK
Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit. Biopsi otot tidak
diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya
denervation atrophy

2.8 Diagnosa Banding


Guillain-Barre Syndrome ini didiagnosis banding dengan :
1. Poliomyelitis
Penyakit ini ditandai dengan adanya demam dan myalgia yang berat, diikuti dengan
kelumpuhan otot tipe flaksid yang asimetris. Pada cairan serebrospinal dijumpai
pleocytosis dan tidak dijumpai keterlibatan sensorik.
2. Botulism
Sering terjadi pada kelompok yang mengkonsumsi makanan kaleng. Gejala diawali
dengan diplopia.
3. Neuropati logam berat
Onset kelemahan lebih lambat. Pada kebanyakan kasus dijumpai riwayat terpapar
logam berat di daerah industri.
4. Paralisis periodik hipo atau hiperkalemik
Onset yang tiba – tiba dari paralisis general dengan disertai salah satu apakah hipo
atau hiperkalemik.
5. Polymyositis akut
Dijumpai kelemahan simetris otot proximal dengan onset akut. Ruam sering didapati
pada dermatomysitis. Laju endap darah dan level creatine phosphokinase meningkat.
6. Myasthenia gravis
Ptosis dan kelemahan okulomotor yang merupakan gambaran GBS pada beberapa
kasus dapat menyerupai myasthenia gravis, tetapi pada perjalanan penyakit selanjutnya

14
tidak dijumpai gangguan sensoris, reflek tendon (+).

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil umumnya
normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal, haemoglobin
dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur , limfosit cenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis, eosinophilia jarang
ditemui. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibody tipe lambat,dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demielinisasi saraf pada kultur jaringan.

2. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)

Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya kenaikan


kadar protein (1 – 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain
(1961), disebut sebagai disosiasi sitoalbumin. Disosiasi sitoalbumin, yakni meningkatnya
jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada kebanyakan kasus, pada hari
pertama jumlah total protein CSS normal, setelah beberapa hari, jumlah protein CSS tetap
naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4 – 6 minggu setelah mulainya gejala
klinis. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung
jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm (Price et al, 2006).

3. Pemeriksaan kecepatan hantaran saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)

Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,


kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan
pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada minggu pertama
serangan gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal latensi
(75%), konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (50%). Pada
minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CAMP,100%), perpanjangan
distal latensi (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%). Manifestasi
elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni, prolongasi atau absennya respon gelombang F
yang menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf motoric, serta

15
berkurangnya KHS. Degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi yang dapat dijumpai 2
– 4 minggu setelah awitan gejala telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas
yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan
yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang
tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu)
serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.

4. Pemeriksaan patologi anatomi

Umumnya didapati pola dan bentuk yang relative konsisten, yakni adanya
infiltrate limfosit mononuclear perivaskuler serta demielinisasi multifocal. Pada fase
lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demielinisasi ini akan muncul Bersama dengan
demielinisasi segemental dan degenerasi Wallerian dalam berbagai derajat. Saraf perifer
dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motoric
intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal
proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel limfosit dan sel mononuclear lain juga
didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.

5. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada hari
ke 13 setelah timbulnya gejala MRI lumbosacral akan memperlihatkan penebalan para
radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Adanya penebalan radiks
kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barrier darah-saraf. Hal ini dapat terlihat
pada 95% kasus GBS dan hasil sensitive sampai 83% untuk GBS akut. Akan tetapi,
pasien dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke GBS sebenarnya tidak
perlu pemeriksaan MRI lumbosacral. MRI lumbosacral dapat digunakan sebagai
modalitas diagnostic tambahan, terutama bila temuan klinis dan elektrodiagnostik
memberikan hasil yang sama.

16
Gambar 5. Gambaran MRI Lumbosakral penderita GBS

6. Pemerikasaan lain

Beberapa pemeriksaan lain yang boleh dilakukan adalah elektrokardiografi (EKG)


yang iasanya memperlihatkan hasil normal atau kebanyakan kelainan yang ditemukan
tidak diakibatkan oleh GBS sendiri. Pemeriksaan serum kreatinin kinase biasanya normal
atau meningkat sedikit. Tes fungsi respirasi atau pengukuran kapasitas vital paru biasanya
menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending). Intubasi
dan mekanisme ventilasi harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada di bawah 15
mL/kgBB atau tekanan oksigen pada arteri berada di bawah 70 mmHg. Biopsi otot tidak
diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya
denervation atrophy (Harsono, 2005).

17
2.10 Penatalaksanaan
1. Terapi Suportif
Manajemen awal meliputi :
 Pertahankan ABC jalur intravena dan bantuan ventilasi sesuai indikasi
 Intubasi harus dilakukan pada pasien yang mengalami gagal nafas. Indikator klinis
untuk intubasi mencakup hipoksia, penurunan fungsi respirasi yang cepat, batuk
yang lemah, dan dicurigai aspirasi.
 Pasien dengan SGB harus dimonitor ketat untuk perubahan tekanan darah, denyut
jantung dan aritmia lainnya.
- Jarang dibutuhkan pengobatan untuk takikardi
- Atropin direkomendasikan untuk bradikardi simtomatik
- Karena labilnya disautonomia, hipertensi sebaiknya ditangani dengan obat
short acting seperti beta blocker atau nitroprusside
- Hipotensi akibat disauotonomia biasanya menunjukkan respon terhadap cairan
intravena dan posisi telentang
- Alat pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan pada pasien dengan blok
jantung derajat dua atau derajat tiga (Seneviratne, 2003).
2. Terapi Spesifik
Pengobatan yang telah diuji secara pada SGB ada tiga macam yaitu kortikosteroid,
plasma exchange dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Dari ketiganya, plasma
exchange dan IVIG yang memperlihatkan keefektifannya, sedangkan studi yang berulang
tidak memperlihatkan keefektifan dari terapi steroid.
Efikasi plasma exchange (PE) dan IVIG tampaknya sama dalam memperpendek
durasi penyakit. Terapi kombinasi tidak memperlihatkan penurunan disabilitas yang
bermakna. Keputusan untuk menggunakan terapi didasarkan kepada keparahan penyakit,
laju progresifitas dan rentang waktu antara simptom pertama dengan presentasi klinis.
Pada GBS dikenal sistem skoring untuk menggambarkan kondisi penyakit yang
disebut sebagai scale of disability (Dewanto G dkk, 2007).

18
Tabel 1. Skala disabilitas untuk SGB
1. Intravenous immunoglobulin
Saat ini IVIG merupakan pilihan terapi untuk SGB. Dosis total standar untuk suatu
pemberian IVIG adalah 2gr/kg. Secara konvensional diberikan 0,4g/kg/hari selama 5 hari.
Intravenous immunoglobulin (IVIG) bekerja dengan menetralisir antibodi myelin
yang melalui antibodi anti-idiotypic, menurunkan sitokin proinflamasi seperti interferon-
gamma (INF-gamma), juga menghambat kaskade komplemen dan memicu remielinisasi.
Pada prakteknya pemberian IVIG relatif lebih mudah dan aman dibandingkan PE,
sehingga umumnya IVIG merupakan pengobatan yang lebih dipilih. Namun terdapat
situasi dimana PE lebih dipilih atau diindikasikan, misalnya :
- Adanya kontraindikasi penggunaan IVIG
- Intoleransi atau efek samping yang serius pada penggunaan IVIG
- IVIG tidak tersedia sedang PE tersedia
2. Plasma Exchange
Albumin digunakan pada PE saat plasma pasien ditukar dengan subsitusi plasma.
Dapat menghilangkan autoantibodi dan kompleks imun dari serum. Plasma exchange
diberikan bersamaan dengan albumin (50 ml/kg) selama periode 10 hari dan terbukti
mempercepat pemulihan dan dapat membantu menghilangkan konstituen sitotoksik dari
serum.
Plasma exchange dilakukan sebanyak lima kali pada hari yang berselang. Setiap kali
PE, 40-50 ml/kg plasma dikeluarkan dan digantikan, setengahnya dengan saline 0,9% dan
setengahnya dengan albumin 5% dalam 0,9% larutan saline. Regimen replacement dengan
menggunakan albumin sama efektifnya dengan regimen yang menggunakan fresh frozen
plasma (Green K,2005).

19
Tabel 2. Treatment of GBS: IVIG vs PE

2.11 Prognosis
Diperkirakan 85% pasien GBS mencapai perbaikan fungsional penuh dalam waktu 6-
12 bulan, maksimal sampai 18 bulan setelah onset. Sekitar 7-15% mengalami sekuele
neurologis yang permanen. Angka mortalitas kurang dari 5%, dengan sepsis, emboli
paru, dan cardiac arrest sebagai penyebabnya ((Newswanger, 2004).
Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor prognostic buruk SGB antara lain :
1. Umur ≥ 60th
2. Kecepatan perburukan klinis
3. Amplitudo konduksi saraf rendah pada saat stimulasi distal
4. Penggunaan ventilator yang lama.
Secara umum “poor long term prognosis” secara langsung berhubungan dengan
beratnya penyakit pada episode akut dan keterlambatan onset terapi spesifik.

20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


a. Nama : Ny. MH
b. Umur : 50 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Alamat : Sibuluan
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : IRT
g. Status Perkawinan : Menikah
h. Tanggal Masuk RS : 24 Februari 2022
i. No. RM : 230***

3.2 Anamnesa Penyakit


Keluhan Utama : Lemah keempat anggota gerak
Telaah : Hal ini sudah dialami os sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit,
berlangsung secara perlahan-lahan. Diawali dengan rasa kebas yang kemudian diikuti
dengan rasa lemah pada kedua tungkai, namun os masih dapat berjalan dengan bantuan
orang lain. Dua hari kemudian rasa lemah ini terasa menjalar sampai ke lengan yang
disertai juga dengan rasa kebas. Os merasakan keluhan semakin memberat sehingga os
tidak dapat berjalan. Os juga mengeluhkan wajah mereng dalam 4 hari ini. Riwayat demam
(+) 1 minggu sebelumnya, os juga mengeluhkan batuk dan suara hilang dalam 2 hari ini.
Riwayat mencret (-), mual dan muntah (-).
RPT : Hipertensi tidak terkontrol
RPO :-

Anamnesa Keluarga :
Faktor Herediter : Tidak dijumpai
Faktor Familial : Tidak dijumpai

21
Anamnesa Sosial
Kelahiran dan Pertumbuhan
Imunisasi : Tidak jelas
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Pernikahan : Menikah
3.3 Pemeriksaaan Fisik
Status Generalis :
Keadaan Umum : Lemas
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 98x/i
Frekuensi Nafas : 24x/i
Temperatur : 36,5oC
Status Lokalisata :
 Kepala :
Normochepali
 Mata :
Pupil isokor, ukuran 2mm/2mm, reflek cahaya (+/+), konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik, rangsang cahaya positif
 Hidung :
Tidak didapatkan napas cuping hidung dan sekret
 Mulut :
Mukosa mulut basah, tidak didapatkan sianosis, faring tidak hiperemis, tonsil tidak
hiperemis dengan ukuran T1-T1
 Leher :
Kelenjar getah bening tidak membesar
 Thorax :
Tidak didapatkan retraksi, dinding dada simetris

22
 Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba, kuat angkat
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, tidak terdengar bising
 Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan dan kiri simetris
Palpasi : Fremitus dada kanan dan kiri simetris
Perkusi : Terdengar suara sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Terdengar suara dasar vesikuler, suara tambahan tidak terdengar
 Abdomen
Inspeksi: Dinding perut datar, simetris, jejas (-)
Palpasi : Supel , Massa (-), defans muscular (-)
Perkusi: Timpani seluruh lapang abdomen
Auskultas : Bising usus (+), peristaltic normal
 Ekstremitas
Tetraparesis
 Genital
Tidak tampak adanya kelainan

23
3.4 Pemeriksaan Neurologi
Sensorium : Compos Mentis
Tanda perangsangan meningeal : Kaku kuduk (-) Brudzinsky I : (-)
Kernig (-) Brudzinsky II : (-)
Tanda peninggian TIK : Sakit kepala (-) Kejang (-)
Muntah (-)
Nervus Kranialis :
a. Nervus I (Olfactorius)

Normosomia

b. Nervus II (Opticus)

Nervus II (Opticus) Dextra Sinistra


Visus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pemeriksaan pemeriksaan
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pemeriksaan pemeriksaan
Refleks cahaya + +

c. Nervus III (Oculomotorius)

Nervus III OD OS
(Oculomotorius)
Gerakan bola mata ke Normal Normal
medial
Atas Normal Normal
Bawah Normal Normal
Lateral Normal Normal
Nistagmus Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Strabismus Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Ptosis Tidak dijumpai Dijumpai
Pupil Normal Normal

24
Bentuk Isokor Isokor
RC langsung Dijumpai Dijumpai
RC tidak langsung Dijumpai Dijumpai

d. Nervus IV (Trochlearis)

NervusIV OD OS
(Trochlrearis)
Pergerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
bawah dan lateral

e. Nervus V (Trigeminus)

Nervus V (Trigeminus) Kanan Kiri


- Motorik
Membuka mata dan Dalam batas normal Dalam batas normal
menutup mulut
Palpasi kekuatan otot Dalam batas normal Dalam batas normal
masseter
Kekuatan gigitan Dalam batas normal Dalam batas normal
Pergerakan rahang Dalam batas normal Dalam batas normal
- Sensorik
Kulit (nyeri, raba, suhu) Dalam batas normal Dalam batas normal
Refleks kornea Dalam batas normal Dalam batas normal
Refleks masester Sulit dinilai Sulit dinilai
Refleks bersin Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan

25
f. Nervus VI (Abducens)

Gerakan bola mata ke Dalam batas normal Dalam batas normal


lateral

g. Nervus VII (Facialis)

a. Motorik

Kanan Kiri
Mimik wajah Dalam batas normal Dalam batas normal
Kerut kening Dijumpai Tidak Dijumpai
Menutup mata + -
Mengangkat alis Dijumpai Tidak Dijumpai
Memperlihatkan gigi Dijumpai Tidak Dijumpai
Meniup sekuat-kuatnya Dijumpai Tidak dijumpai

b. Sensorik

Pengecapan 2/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan


depan lidah pemeriksaan pemeriksaan
Produksi kelenjar Dalam batas normal Dalam batas normal
lidah

h. Nervus VIII (Vestibulocochlearis)

Auditorik Kanan Kiri


Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan

26
Tes Berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Vestibulum
Tinitus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Vertigo Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan

i. Nervus IX (Glosofaringeus)

Pengecapan 1/3 lidah belakang Tidak dilakukan pemeriksaan


Simetris
Palatum molle Berada ditengah
Uvula Tidak dilakukan pemeriksaan
Disatria Tidak dijumpai

j. Nervus X (Vagus)

Disfagia Tidak dilakukan pemeriksaan


Refleks Muntah Tidak dilakukan pemeriksaan

k. Nervus XI (Asesorius)

Kanan Kiri
Mengangkat bahu Normal Normal
Menolehkan kepala Normal Normal

27
i. Nervus XII (Hipoglosus)

Lidah
Tremor Tidak dijumpai
Atrofi Tidak dijumpai
Ujung lidah saat istirahat Normal
Ujung lidah saat dijulurkan Sulit dinilai

Sistem Motorik
Trofi : Eutrofi
Tonus : hipotonus
Kekuatan Otot : ESD : 33333 ESS : 33333
33333 33333
EID : 22222 EIS : 22222
22222 22222
Refleks Fisiologis : Kanan Kiri
Biceps / Triceps : + ↓/ +↓ + ↓ /+↓
KPR / APR : +↓ /+↓ +↓ / +↓
Refleks Patologis : Kanan Kiri
Hofmann Tromner : (-) (-)
Babinski : (-) (-)
Klonus kaki : (-) (-)
Sistem sensibiltas : Hipestesi setinggi Thoracal 10

Vegetatif
Miksi : Dalam batas normal

Defekasi : Dalam batas normal

Potensi dan Libido : Tidak dilakukan pemeriksaan


Pilo erector : Tidak dilakukan pemeriksaan
Vasomotorik : Dalam batas normal
Sudomotorik : Dalam batas normal

28
Vertebrae
Bentuk : Dalam batas normal
Pergerakan : Dalam batas normal
Tes Rangsangan Radikuler
Laseque : Tidak dijumpai
Cross Laseque : Tidak dijumpai
Lhermitte : Tidak dijumpai
Nafziger : Tidak dijumpai
Gejala-gejala Serebellar
Ataksia : Tidak dijumpai
Disartria : Tidak dijumpai
Nistagmus : Tidak dijumpai
Fenomena Rebound : Tidak dijumpai
Vertigo : Tidak dijumpai
Gejala Ekstrapiramidal
Tremor : Tidak dijumpai
Rigiditas : Tidak dijumpai
Bradikiniesia : Tidak dijumpai
Fungsi Luhur : Baik

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Laboratorium:
Hb : 16,7 g / dl Ureum : 62 mg/dl
Ht : 51,5 % Kreatinin : 1,12 mg/dl
Leukosit : 20,600 / mm3 Trombosit : 410.000 / mm3
Natrium : 140 mEq/L KGD ad random : 165 mg/dl
LED : 8 mm/jam Kalium : 4,52 mEq/L
SGPT : 29 U/l Chlorida : 109 mEq/L
SGOT : 141 U/l Albumin : 3,59 g/dl

29
Hasil EKG :
Kesan : EKG dalam batas normal

Foto Thoraks :
Kesimpulan : Pneumonia dd TB Paru

3.6 Resume
Keluhan Utama : Lemah keempat anggota gerak
Telaah : Hal ini sudah dialami os sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit,
berlangsung secara perlahan-lahan. Diawali dengan rasa kebas yang kemudian diikuti dengan
rasa lemah pada kedua tungkai, namun os masih dapat berjalan dengan bantuan orang lain.
Dua hari kemudian rasa lemah ini terasa menjalar sampai ke lengan yang disertai juga
dengan rasa kebas. Os merasakan keluhan semakin memberat sehingga os tidak dapat
berjalan. Os juga mengeluhkan wajah mereng dalam 4 hari ini. Riwayat demam (+) 1 minggu
sebelumnya, os juga mengeluhkan batuk dan suara hilang dalam 2 hari ini. Riwayat mencret
(-), mual dan muntah (-).
RPT : Hipertensi tidak terkontrol

30
Dari hasil pemeriksaan fisik dijumpai :
Keadaan Umum : Lemas
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 98x/i
Frekuensi Nafas : 24x/i
Temperatur : 36,5oC
Kekuatan Otot : ESD : 33333 ESS : 33333
33333 33333
EID : 22222 EIS : 22222
22222 22222
Nervus VII (Facialis)

Motorik

Kanan Kiri
Mimik wajah Dalam batas normal Dalam batas normal
Kerut kening Dijumpai Tidak Dijumpai
Menutup mata + -
Mengangkat alis Dijumpai Tidak Dijumpai
Memperlihatkan gigi Dijumpai Tidak Dijumpai
Meniup sekuat-kuatnya Dijumpai Tidak dijumpai

Hasil pemeriksaan neurologis didapatkan; sistem motorik tetraparesis tipe LMN,


penurunan reflek fisiologis pada keempat ekstremitas. Pada pemeriksaan sensibilitas
dijumpai hipoestesia setinggi Th10. Dari hasil pemeriksaan penunjang rontgen thoraks
dijumpai Pneumonia dd TB paru.

31
3.7 Diagnosis
Diagnosa Fungsional : Tetraparese tipe LMN + Hipestesia setinggi Th10 + Paresis Nervus
VII LMN Sinistra
Diagnosa Anatomis : Saraf perifer
Diagnosa Etiologis : Autoimun

Diagnosa Banding :
1. Sindroma Guillain Barre
2. Miopati
3. Myastenia Gravis

Diagnosa Kerja :
Tetraparese tipe LMN + Hipestesia setinggi Th10 + Paresis Nervus VII ec Sindroma
Guillain Barre + Pneumonia

3.8 Terapi
- Bed Rest
- O2 5 l/i via Nasal Canul
- IVFD RSol 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam IV (Skin test)
- Inj. Methyl Prednisolon 250mg /6 jam IV
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
- Inj. Mecobalamin 1 amp/8 jam IV
- Asam Folat 1x1
- Neurodex 1x1
- Perawatan ICU
- Pasang NGT dan Kateter
3.9 Prognosis
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad malam

32
BAB IV
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING


25-02-2022 S/ Anggota gerak Sens:: Compos Mentis Tetraparese tipe Bed Rest
tangan dan kaki TD : 160/90 mmHg LMN + Hipestesia O2 5 l/i via Nasal Canul
lemah (+) kaki HR : 98 x/i setinggi Th10 + IVFD RSol 20 gtt/i
kiri kebas dan Paresis Nervus VII Inj. Ceftriaxone 1 gr/12
RR : 22 x/i
susah digerakkan ec Sindroma Guillain jam IV (Skin test)
T : 36,5 oC
(+) Barre + Pneumonia Inj. Methyl Prednisolon
250mg /6 jam IV
Inj. Omeprazole
40mg/12 jam
Inj. Mecobalamin 1
amp/8 jam IV
Asam Folat 1x1
Neurodex 1x1

26-02-2022 S/ Anggota gerak Sens: Compos Mentis Tetraparese tipe Bed Rest
tangan dan kaki TD : 150/90 mmHg LMN + Hipestesia O2 5 l/i via Nasal Canul
lemah (+) kaki HR : 86 x/i setinggi Th10 + IVFD RSol 20 gtt/i
kiri kebas dan Paresis Nervus VII Inj. Ceftriaxone 1 gr/12
RR : 24 x/i
susah digerakkan ec Sindroma Guillain jam IV (Skin test)
T : 36, 4oC
(+), sesak saat Barre + Pneumonia Inj. Methyl Prednisolon
duduk (+) 250mg /6 jam IV
Inj. Omeprazole
40mg/12 jam
Inj. Mecobalamin 1
amp/8 jam IV
Asam Folat 1x1
Neurodex 1x1

27-02-2022 - S/ Anggota gerak Sens: Compos Mentis Tetraparese tipe Bed Rest

33
tangan dan kaki TD : 150/90 mmHg LMN + Hipestesia O2 5 l/i via Nasal Canul
lemah (+) kaki HR : 86 x/i setinggi Th10 + IVFD RSol 20 gtt/i
kiri kebas dan RR : 24 x/i Paresis Nervus VII Inj. Ceftriaxone 1 gr/12
susah ec Sindroma Guillain jam IV (Skin test)
T : 36,3oC
digerakkan (+) Barre + Pneumonia Inj. Methyl Prednisolon
250mg /6 jam IV
Inj. Omeprazole
40mg/12 jam
Inj. Mecobalamin 1
amp/8 jam IV
Asam Folat 1x1
Neurodex 1x1

28-02-2022 S/ Anggota gerak Sens: Compos Mentis Tetraparese tipe Bed Rest
tangan dan kaki TD : 150/90 mmHg LMN + Hipestesia O2 5 l/i via Nasal Canul
lemah (+) kaki HR : 86 x/i setinggi Th10 + IVFD RSol 20 gtt/i
kiri kebas dan Paresis Nervus VII Inj. Ceftriaxone 1 gr/12
RR : 24 x/i
susah digerakkan ec Sindroma Guillain jam IV (Skin test)
T : 36,5oC
(+) Barre + Pneumonia Inj. Methyl Prednisolon
250mg /6 jam IV
Inj. Omeprazole
40mg/12 jam
Inj. Mecobalamin 1
amp/8 jam IV
Asam Folat 1x1
Neurodex 1x1

34
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Pasien seorang perempuan dengan usia 50 tahun yang didiagnosa dengan
Sindroma Guillain-Barre berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologi dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama lemah pada keempat anggota
gerak. Dari anamnese didapati bahwa lemah keempat anggota gerak telah dialami
penderita sejak 4 hari sebelum masuk RS, berlangsung secara perlahan-lahan.
Awalnya rasa kebas pada kedua tungkai yang kemudian dikuti dengan rasa lemah
namun os masih dapat berjalan dengan bantuan orang lain sejak minggu yang
lalu. Keesokan harinya memberat sehingga os tidak dapat berjalan. Rasa lemah
ini terasa menjalar sampai ke lengan dua hari kemudian yang juga disertai dengan
rasa kebas dan semakin memberat sehingga os tidak dapat menggerakkan kedua
lengan dan tungkai. . Os juga mengeluhkan wajah mereng dalam 4 hari ini.
Riwayat demam (+) 1 minggu sebelumnya, os juga mengeluhkan batuk dan suara
hilang dalam 2 hari ini.
Dari pemeriksaan neurologis didapatkan; tetraparesis tipe LMN,
penurunan reflek fisiologis pada keempat ekstremitas, hipoestesia setinggi Th10.
Saat masuk os didiagnosa banding dengan myastenia gravis. Pada kasus ini os
dikonsulkan ke ICU karena mengalami kesulitan bernafas akibat kelemahan otot-
otot pernafasan.

4.2 Saran
Perlu penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang penyakit dan
perjalanannya yang lama agar keluarga dan penderita sabar menjalani pengobatan
dan menunggu masa penyembuhan.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. AIDP (Guillain Barre Syndrome ). Available from


https://www.netterimages.com/aidp-guillain-barre-syndrome-labeled-jones-
2e-neurology-frank-h-netter-63612.html
2. Dewanto G, dkk. 2007. Panduan Praktis Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta:
EGC
3. Dr Iskandar J, Guillain Barre Syndrome. Universitas Sumatera Utara ; 2005
4. Ginsberg L. 2005. Lecture Notes Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
5. Green K. Pender et al. T cell Reactivity to P0, P2. PMP-22 and Myelin basic
protein in patients with Guillain-Barre Syndrome and Chronic Inflammatory
Demyeliting Poliradiculopathy. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2005; 76:
1431-39
6. Hankey GJ. Wardlaw JM. Clinical Neurology. 1st 10. Csurhers PA. Sullivan
AA. 2008.
7. https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/24601/Chapter
II.pdf.txt?sequence=26
8. Judarwanto, W. 2009. Sindroma Guillain-Barre (GBS) : Patofisiologi dan
Diagnosis
9. Newswanger DL, Warren CR. Guillain Barre Syndrome. American Family
Physician, 2004; 69: 2405-10
10. PDSSI, Editor : Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, 2005

11. Seneviratne U MD(SL), MRCP. Guillain-Barre Syndrome:


Clinicopathological Types and Electrophysiological Diagnosis. Departement
of Neurology, National Neuroscience Institute, SGH Campus; 2003.
12. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi:Konsep. Klinik
Proses-Proses Penyakit.Jakarta: EGC

36

Anda mungkin juga menyukai