Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gullain Barre Sindrome adalah gangguan yang jarang mengenai
tubuh, dimana sistem kekebalan tubuh menyerang bagian saraf. Penyakit ini
biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit
tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah.
Tercatat kejadian ini hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000.
Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya
dicetuskan oleh infeksi saluran pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok
usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada dewasa
muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre
menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan
segera.
Insidensi syndrome Guillain-Barre bervariasi antara 0,6 sampai 1,9
kasus per 100.000 orang pertahun. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35
tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia
termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun.
Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan
bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1%
Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia
mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian menyebutkan
bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I samapai dekade III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama.
Guillain-Barre Sindrome (GBS) merupakan penyebab kelumpuhan
yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali
mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif,
apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada
umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa varian dari Guillan-Barre Sindrome dapat diklasifikasikan,
yaitu Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP),
Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy, Acute motor

1
2

axonal neuropathy (AMAN), Acute motor sensory axonal neuropathy


(AMSAN), Fisher’s syndrome, Acute pandysautonomia.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan
merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan demielinisasi pada akar
saraf tepi. Sampai saat ini penyebab pasti penyakit ini masih dalam
perdebatan. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada
penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-
tanda radang. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri,
gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya. Namun teori
yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik.
Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan
bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons
terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pengobatan secara simtomatis dan
perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.
Berangkat dari penjelasan menarik di atas penulis bermaksud
membahas lebih lanjut penyakit GBS (Gullain Bare Syndrome) dalam
makalah ini untuk menemukan asuhan keperawatan yang tepat dilakukan oleh
perawat di arena kerja, dengan mengangkat judul “Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Gullain Bare Syndrome”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian GBS (gullain bare syndrome)?
2. Apa penyebab terjadinya GBS?
3. Bagaimana patogenesis/patofisiologi terjadinya GBS?
4. Apa tanda gejala atau manifestasi klinis GBS?
5. Apa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien GBS?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien GBS?
7. Apa komplikasi pada pasien GBS?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui konsep teori dan konsep asuhan keperawatan pada
pasien Gullain Bare Syndrome.
1. Untuk mengetahui pengertian GBS (gullain bare syndrome)?
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya GBS?
3. Untuk mengetahui patogenesis/patofisiologi terjadinya GBS?
4. Untuk mengetahui tanda gejala atau manifestasi klinis GBS?
3

5. Untuk mengetahui a pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada


pasien GBS?
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien GBS?
7. Untuk mengetahui komplikasi pada pasien GBS?
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
1. Definisi
Guillain Barre Syndrome ialah sindrom yang mempunyai banyak
sinonim antara lain polyneuritis akut pasca infeksi, polyneuritis akut toksik
polyneuritis febril, poliradikulopati, dan acute ascending paralysis yang
sering ditemukan pada bagian penyakit saraf yang dicirikan dengan
kelumpuhan otot ekstremitas yang akutt dan progresif, dan biasanya
muncul sesudah infeksi. (Harsono, 2010).
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah terjadinya suatu masalah
pada system saraf yang menyebabkan kelemahan otot, kehilangan reflex,
dan kebas pada lengan, tungkai, wajah, dan bagian tubuh lain. Kasus ini
terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses autoimun.
Guillain-Barre Syndrome adalah penyakit autoimun yang
menimbulkan peradangan dan kerusakan myelin (material lemak, terdiri
dari lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar
beberapa jenis serat saraf perifer. Kerusakan saraf ini dianggap sebagai
hasil dari reaksi kekebalan yang abnormal terhadap mielin sistem saraf
perifer. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala
pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan
seluruh tubuh.
Jadi, GBS merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu
kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang
sarafnya sendiri.
Guillain-Barré syndrome ini memiliki beberapa subtipe yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
(AIDP) dengan
patologi klinis demielinisasi perifer multifaktoral yang dapat dipengaruhi
baik oleh mekanisme humoral ataupun imun seluler. Gejalanya bersifat
progresif dengan kelemahan tubuh yang simetris dan terdapat hiporefleksia
atau arefleksia.

2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya

4
5

antibodi
yang terbentuk dalam tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a,
GalNAc-GD1a, dan GD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai
adanya proses demielinisasi. Berhubungan dengan infeksi Campylobacter
jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas pada pasien muda.
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) memiliki
mekanisme
yang sama dengan AMAN tetapi terdapat proses degenerasi aksonal
sensoris, sehingga pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.
4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana
antibodi
imunoglobulin G merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller
Fisher syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi, yang memiliki gejala
yang khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia dan arefleksia. Selain itu
juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan, dan ekstremitas yang
terjadi pada 50% kasus.
5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas
dimana
kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya berupa gejala otonom khususnya pada
kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus
ini.
2. Anatomi Fisiologi
6

a. Organisasi Struktural Sistem Saraf


1) Sistem saraf pusat (SSP). Terdiri dari otak dan medulla spinalis
yang dilindungi tulang kranium dan kanal vertebral.
2) Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam
tubuh. Sistem ini terdiri dari saraf cranial dan saraf spinal yang
menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan
efektor. Secara fungsional sistem saraf perifer terbagi menjadi
sistem aferen dan sistem eferen.
a) Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor
sensorik ke SSP
b) Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot
dan kelenjar. Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki
dua sub divisi :
i. Divisi somatic (volunter) berkaitan dengan perubahan
lingkungan eksternal dan pembentukan respons motorik
volunter pada otot rangka.
ii. Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respon
involunter pada otot polos, otot jantung dan kelenjar
dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur
i) Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal
pada medulla spinalis
ii) Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sacral
pada medulla spinalis..

b. Sel-Sel Pada Sistem Saraf


Neuron adalah unit fungsional sistem saraf yang terdiri dari badan
sel dan perpanjangan sitoplasma.
7

1) Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan


metabolisme keseluruhan neuron. Bagian ini tersusun dari
komponen berikut :
2) Neurofibril yaitu neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat
melalui mikroskop cahaya jika diberi pewarnaan dengan perak.
3) Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda
dan pendek serta berfungsi untuk menghantar impuls ke sel tubuh.
4) Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih
panjang dari dendrite. Bagian ini menghantar impuls menjauhi
badan sel ke neuron lain, ke sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke
badan sel neuron yang menjadi asal akson.
5) Sel Schwann
Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat)
untuk membentuk selubung myelin.
6) Selubung myelin
Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung Schwann.
Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi myelin
berlemak yang membantu mempercepat perjalanan dan mencegah
impuls pudar atau bocor. Selubung myelin sebagai isolator listrik,
mencegah arus pendek antara akson, dan mempasilitasi konduksi.
Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana akson tidak tertutup
myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan
ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier
memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan
ini adalah dasar konduksi saltatori (meloncat).

Klasifikasi Neuron
1) Fungsi.
Neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah transmisi
impulsnya.
a) Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari
reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke
SSP.
b) Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor.
8

c) Interneuron (neuron yang berhubungan) ditemukan seluruhnya


dalam SSP. Neuron ini menghubungkan neuron sensorik dan
motorik atau menyampaikan informasi ke interneuron lain.
2) Struktur.
Neuron diklasifikasi secara structural berdasarkan jumlah
prosesusnya.
a) Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau
lebih. Sebagian besar neuron motorik, yang ditemukan dalam
otak dan medulla spinalis, masuk dalam golongan ini.
b) Neuron bipolar memiliki satu akson dan satu dendrite. Neuron
ini ditemukan pada organ indera, seperti amta, telinga dan
hidung.
c) Neuron unipolar kelihatannya memiliki sebuah prosesus
tunggal, tetapi neuron ini sebenarnya bipolar.

3. Etiologi
Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi
akhir-akhir ini terungkap ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori
yang dianut sekarang ialah suatu kelainan immunobiologik, baik secara
primary immune response maupun immune mediated process.
Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau
kejadian akut. Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS
sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan
tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada sebagian besar kasus,
GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr
virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus,
hepatitisvirus, dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh
infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada
enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella
dan , Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus,
varicella, dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma,
penyakit kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester
ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya
terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS.
9

4. Patofisiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini
disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls
oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS
menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang
beberapa saraf, Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan
dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini
adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan
suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun.
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan
antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi
diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini
mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi
autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan
autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan
sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda
asing.
Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang.
Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin, bahkan
kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin
yang di invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak
dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan
kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima
lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh Umumnya sel-sel
10

imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun


pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat
sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang
saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan
bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah
keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya
sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel
imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin.
Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin
dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan
tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi
oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel
listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan
melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan
maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari
otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu
jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini
merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan
diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini,
transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai
reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti
bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan
mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit,
sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang
seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu
bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
11

dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi
sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh
penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas,
serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk
berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem
imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan
kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri
dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan
sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta
kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf
perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah
GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau
hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau
melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini
adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi
primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel
saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson
dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses
demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi
yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak
dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis
pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling
sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik,
12

karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan


selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka
panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada
akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan
lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut
terlibat.
13

5. Manifestasi Klinis
14

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National


Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke
(NINCDS), yaitu:
a. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
1) Terjadinya kelemahan yang progresif
Guillain - Barré Syndrome bisa menjadi gangguan yang
menghancurkan karena onset mendadak dan tak terduga . Selain itu,
pemulihan belum tentu cepat. Seperti disebutkan di atas , pasien
biasanya mencapai titik terbesar kelemahan atau kelumpuhan hari atau
minggu setelah gejala pertama terjadi . Gejala kemudian stabil pada
tingkat ini untuk jangka waktu hari, minggu , atau kadang-kadang ,
bulan . Periode pemulihan mungkin sesedikit beberapa minggu atau
selama beberapa tahun . Sekitar 30 persen dari mereka dengan
Guillain- Barré masih memiliki kelemahan sisa setelah 3 tahun .
Sekitar 3 persen mungkin menderita kambuh kelemahan otot dan
sensasi kesemutan bertahun-tahun setelah serangan awal.
2) Hiporefleksi
b. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
1) Ciri-ciri klinis:
a) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
b) Relatif simetris
c) Gejala gangguan sensibilitas ringan
d) Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
e) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dangejala vasomotor.
f) Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
2) Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong
diagnosa:
15

a) Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi


peningkatan pada LP serial
b) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
c) Varian:
i. Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
ii. Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
3) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
a) Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal
Kemudian untuk gejala dapat diklasifikasikan menurut jenis GBS
16

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Spinal tap (tusuk lumbalis)/(lumbar puncture)
Prosedur ini melibatkan menarik sejumlah kecil cairan dari kanal
tulang belakang di daerah (lumbar. Cairan cerebrospinal kemudian
diuji untuk jenis tertentu perubahan yang biasanya terjadi pada orang
yang memiliki sindrom Guillain-Barre. Yang paling khas adalah
adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein
(100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan
hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total
protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik,
bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein
CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Jika memiliki GBS, tes ini
dapatmenunjukkan peningkatan jumlah protein dalam cairan tulang
belakangtanpa tanda infeksi lain.
b. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi
(EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar
17

saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang
telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat
pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4
minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP
kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas
jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang
lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan
yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan
denervasi EMG.
c. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah
selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi
limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu
gejala.
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat,
dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat
demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati
terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis
viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus
hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
d. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
e. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
18

f. Pemeriksaan patologi anatomi


Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni
adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi
multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi
ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan
degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat
terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf
motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada
ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel
radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada
pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
6. Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana GBS meliputi tatalaksana supor tif dan
etiologis. Tatalaksana suportif diperlukan untuk mengantisipasi dan
menangani akibat dari imobilisasi dan keterlibatan saraf yang
mengurus tanda vital (Hakim, 2011). Manajemen suportif meliputi:
a. Pengukuran kapasitas vital. Jika kapasitas vital 12-15 ml/kgBB
maka diperlukan intubasi, sedangkan kapasitas 15-19 ml/kgBB
memerlukan intubasi apabila terdapat paralisis bulbar.
b. Spirometri insentif untuk mencegah atelektasis.
c. Pembersihan bronkus dan bantuan batuk.
d. Rontgen toraks satu kali per minggu atau lebih sering.
e. Pemeriksaan albumin, natrium, nitrogen urea, dan kalsium serum
setiap dua minggu.
f. Pemeriksaan urinalisis setiap minggu.
g. Profilaksis emboli paru menggunakan 5000 unit heparin dua kali
sehari.
h. Pemeriksaan peristaltik.
i. Profilaksis perdarahan gastrointestinal menggunakan antasida yang
mengandung magnesium 30-120 ml atau sukralfat.
j. Profilaksis dekubitus dengan perubahan posisi secara berkala dan
penggunaan matras antidekubitus.
19

k. Tidak menggunakan antibiotik profilaksis Infeksi paru atau saluran


kemih ditatalaksana dengan antibiotik setelah ada hasil kultur dan
resistensi kecuali terdapat septicemia.
l. Pemberian diet kaya serat melalui tube nasogastrik apabila proses
menelan terganggu.
m. Tatalaksana nyeri, gangguan tidur, dan komplikasi psikiatri.
n. Pembatasan flebotomi antekubital apabila direncanakan
plasmafaresis.
Tatalaksana Etiologis Gbs Meliputi:
a. Plasmafaresis
Plasmaferesis dilakukan dengan dosis 50 ml/ kgBB 5 kali
pada waktu yang terpisah dalam jangka waktu 1-2 minggu. Pada
analisis 6 studi eksperimen didapatkan perbaikan disabilitas setelah
4 minggu pada kasus yang mendapat plasmaferesis dibandingkan
kontrol. Pada studi metaanalisis dari keenam studi eksperimen
tersebut, terdapat penurunan proporsi penggunaan ventilator (RR
0.56, 95%CI 0.41-0.76, p 0.0003. Keluaran berupa perbaikan
komplit kekuatan motorik pada satu tahun lebih baik pada
plasmaferesis dibandingkan kontrol (RR 1.24, 95%CI 1.07-1.45, p
0.005). Satu eksperimen kelas II menunjukkan manfaat
plasmafaresis pada kasus GBS yang ringan. Kejadian efek samping
antara kelompok plasmafaresis dan control sama. Plasmafaresis
diasosiakan dengan jangka waktu rawat inap yang lebih pendek
dibandingkan dengan terapi suportif. Penelitian di Inggris
menunjukkan bahwa 4 seri plasmafaresis lebih menghemat biaya
dibandingkan 2 seri plasmafaresis. Perbandingan efektivitas filtrasi
CSF dengan plasmafaresis dikatakan sebanding tetapi besar sampel
terlalu sedikit sehingga perbedaan manfaat keduanya belum dapat
dipastikan. Filtrasi CSF intratekal berisiko menyebabkan infeksi.
Plasmafaresis direkomendasikan untuk kasus GBS imobilisasi
dalam durasi 4 minggu pascaonset (level A, kelas II) dan untuk
kasus GBS
20

nonimobilisasi dalam durasi 2 minggu pascaonset (level B, kelas


II). Efektivitas plasmafaresis dan IVIG setara. Belum ada data
adekuat yang mendukung filtrasi CSF (level U, kelas II).
Plasmafaresis
dilakukan dengan kecepatan 40-50 ml/kgBB empat kali dalam satu
minggu.
b. Imunoabsorbsi
Imunoabsorbsi merupakan teknik alternatif plasmafaresis untuk
menyingkirkan immunoglobulin dengan keuntungan tidak
menggunakan produk darah manusia sebagai cairan pengganti.
Pada studi prospektif, tidak ditemukan perbedaan keluaran antara
11 kasus yang diplasmafaresis dengan 13 kasus yang menjalani
imunoabsorbsi. Akan tetapi belum ada bukti adekuat untuk
merekomendasikan imunoabsorbsi (level U, kelas IV).
c. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Studi eksperimental kelas III menunjukkan adanya perbedaan
keluaran yang lebih baik dalam 4 minggu pada kasus yang
ditatalaksana dengan IV IG dibandingkan terapi suportif. Tidak
terdapat perbedaan efektivitas plasmafaresis kan dengan IVIG pada
3 studi eksperimen. Selain itu pada studi tersebut juga disimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan waktu pemulihan signifikan pada kasus
ringan (masih dapat mobilisasi) dengan pemberian IVIG.
Pada studi lainnya menunjukkan bahwa proporsi kasus
yang membaik satu grade dalam 4 minggu dan kecepatan
kembalinya fungsi optimal kasus pada kelompok IVIG lebih baik
dibandingkan dengan plasmafaresis. Tidak ada perbedaan antara
waktu ketergantungan ventilator dan proporsi kasus yang
mengalami disabilitas atau kematian dalam 1 tahun di antara
kelompok IV IG dan plasmafaresis.
Menurut studi eksperimen, kejadian efek samping lebih
banyak pada plasmafaresis dibandingkan IVIG tetapi hal tersebut
belum terbukti secara metaanalisis. Komplikasi pneumonia,
21

atelektasis, trombosis, dan gangguan hemodinamik lebih banyak


pada kelompok plasmafaresis (22% vs 7%). Tetapi pada studi yang
lebih besar menunjukkan bahwa kejadian efek samping
plasmafaresis (hipotensi, septicemia, pneumonia, malaise,
koagulopati, dan hipokalsemia) sebesar 7% dibandingkan dengan
kelompok IVIG (muntah, meningismus, gagal ginjal, infark
miokardium, dan eritema lokal) sebesar 5%. Dua studi terbesar
menyimpulkan bahwa proporsi diskontinuitas terapi lebih sedikit
pada kelompok IVIG dibandingkan plasmafaresis.
Pada kesimpulannya, IV IG memiliki efektivitas yang sama
dengan plasmafaresis apabila diberikan dalam 2 minggu onset pada
kasus yang masih bisa mobilisasi (kelas I). Belum ada
perbandingan efektivitas antara IV IG dengan plasmafaresis pada
GBS tipe aksonal. Pemberian IV IG direkomendasikan untuk
pasien yang memerlukan bantuan mobilisasi dalam 2 minggu onset
(level A) atau 4 minggu dari onset gejala neuropati (level B). Efek
IVIG dan plasmafaresis dianggap ekuivalen. Dosis IVIG total
adalah 2 g/
kgBB yang diberikan harian sebanyak 5 kali.
A. Kombinasi
Satu studi menunjukkan bahwa plasmafaresis diikuti IVIG
tidak menunjukkan manfaat signifikan dibandingkan plasmafaresis
atau IVIG saja (level A, kelas I). Terapi sekuensial imunoabsorbsi
diikuti IVIG belum ditelaah lebih lanjut (level U,
kelas IV).
B. Steroid
Studi tentang penggunaan steroid pada GBS meliputi penggunaan
ACTH IM 100 unit selama 10 hari, metiplrednisolon IV 500 mg
selama 5 hari, dan prednison 100 mg atau prednisolon 40-60 mg
oral. Tidak ada perbedaan antara kelompok yang diberikan steroid
dengan kelompok plasebo dalam hal perbaikan grade dalam 4
minggu setelah pemberian, perbaikan kekuatan motorik,
22

ketergantungan ventilator, mortalitas, disabilitas dalam 1 tahun.


Komplikasi antara kelompok steroid dan plasebo setara kecuali
hipertensi lebih banyak pada kelompok plasebo. Pada
kesimpulannya, steroid tidak direkomendasikan untuk GBS (level
A, kelas I). Efektivitas kombinasi IV IG dan streroid belum dapat
dibuktikan.

7. Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat
kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen
% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan
hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di
ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna
atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun
sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai
sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih
serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat. Dengan
penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih
sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara
lain sebagai berikut:
a. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
b. Aspirasi
c. Paralisis otot persisten
d. Hipo ataupun hipertensi
e. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
f. Aritmia jantung
g. Retensi urin
h. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
i. Nefropati, pada penderita anak dan Ileus
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Pola-pola pengkajian
1) Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
23

a) Riwayat keluhan utama


Keluhan utama yang paling sering diungkapkan klien
adalah kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum
maupun lokal.
b) Riwayat kesehatan terdahulu
Tanyakan pada klien penyakit yang pernah dialami klien
yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi
keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA,
infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Tanyakan pada klien obat-obat yang sering digunakan
seperti obat kortikosteroid, pemakaian obat antibiotik dan
reaksinya.
c) Riwayat kesehatan sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan
yang berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut
diantaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia
(kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.
Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang
lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal
napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan
gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan
infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul mengarah
pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah
hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien
stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi
kardiovaskular, yang memungkinkan terjadinya gangguan sistem
saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan
distritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam
kehidupan dalam tanda-tanda vital.
d) Riwayat kesehatan keluarga
1) Tanyakan pada keluarga klien apakah ada anggota yang pernah
mengalami gangguan kesehatan yang sama dengan klien, dan
24

tanyakan pula apakah ada anggota keluarga yang pernah


menggalami gangguan ISPA ataupun yang lainnya Pola Nutrisi dan
Metabolik
Gejala : Kesulitan dalam menguyah dan menelan.
Tanda : Gangguan pada reflex menelan.
2) Pola Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal
(anus) atau berkemih dan reflex sfingter.
3) Pola Aktivitas dan Latihan
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang
biasanya dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya
berkembang dengan cepat ke arah atas. Kesulitan dalam bernapas,
napas pendek menyebabkan sulit beraktivitas. Perubahan tekanan
darah (hipertensi/hipotensi) menganggu latihan.
Tanda : Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris), cara berjalan
tidak mantap. Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas,
tampak sianosis/pucat. Takikardi/bradikardi, distrimia.
4) Pola Persepsi Kognitif
Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki
dan selanjutnya terus naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh,
vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu, dan perubahan dalam ketajaman
penglihatan.
Tanda : Hilangnya/menurunnya reflex tendon dalam, hilangnya
tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan. Lalu, adanya
kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata.
Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
5) Pola Peran dan Hubungan Dengan Sesama
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara dan
berkomunikasi.
6) Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah
yang dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan bingung.
e) Pemeriksaan penunjang
a) Pungsi lumbal berurutan: memperlihatkan fenomena klasik dari
tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal,
dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya
25

peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari


pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal
(perlu diulang untuk beberapa kali).
b) Elektromiografi: hasilnya tergantung pada tahap dan
perkembangan sindrom yang timbul. Kecepatan konduksi
syaraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari
unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
c) Darah lengkap: terlihat adanya leukositosis pada fase awal
d) Foto ronsen: dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-
tanda dari gangguan pernafasan, seperti atelektasis dan
pnemonia.
e) Pemeriksaan fungsi paru: dapat menunjukkan adanya
penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan
inspirasi.

2. Diagnosa
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
b. Perubahan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonomic
c. Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
d. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
e. Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis
orofaringeal.
g. Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
h. Hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
i. Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.

3. Intervensi
a. Dx1 : Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
Noc : Pola napas efektif
Nic :
1) Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan
Perhatikan gerakan dada, penggunaan otot-otot bantu, serta
retraksi otot.
2) Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan
membrane mukosa.
3) Pantau poa pernapasan bradipnea, apnea.
4) Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi
bersandar.
5) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress
pernapasan.
26

6) Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).


7) Berikan obat/bantu tindakan pembersihan pernapasan melalui
perksusi dada, drainase postural, vibrasi.
b. Dx. 2 : Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf
autonom.
Noc : Perfusi jaringan efektif
Nic : 1) Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi postural.
Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi
pasien.
2) Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan
adanya distrimia.
3) Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.
4) Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada
lutut/kaki.
5) Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.
6) Pemberian heparin sesuai indikasi.
7) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.

c. Dx 3 : Ganguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler


Noc : Mempertahankan fungsi sensori penglihatan
Nic :
1) Kaji lingkungan terhadap kemungkinan bahaya terhadap
keamanan
2) Pantau dan dokumentasikan perubahan status neurologis pasien
3) Pantau tingkat kesadaran pasien
4) Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa, jika diperlukan
jangan memindahkan barang-barang di dlam kamar pasien tanpa
menberitakn pasien
5) Ajarkan pasien untuk secara visual memantau posisi bangian
tubuh, jika tedapat kerusakan propriosepsi
d. Dx. 4 : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
Noc : Peningkatan keoptimalan mobilitas
Nic : 1) Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan
menggunakan skala 0-5. Lakukan pengkajian secara
teratur sesuai kebutuhan secara individual.
27

2) Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal,


trochanter roll, papan kaki.
3) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif
untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot
4) Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus
dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara
individual.
5) Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.

e. Dx 5 : Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik


Noc : Nyeri teratasi
Nic : 1) Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan menggunakan
skala 0-10.
2) Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut.
3) Berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara
individual.
4) Ajarkan tehnik relaksasi, atau distraksi.
5) Beri obat analgetik sesuai kebutuhan.

f. Dx 6 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d


paralisis orofaringeal.
Noc : Keseimbangan pemenuhan nutrisi
Nic : 1) Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, pada keadaan
yang teratur.
2) Catat masukan kalori setiap hari.
3) Catat makanan yang disukaii oleh pasien termasuk pilihan diet
yang dikehendaki.
4) Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan yang
menyenangkan bagi pasien
5) Beri diet tinggi kalori.
6) Pasang/pertahankan selang NGT.
g. Dx 7 : Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
Noc : Konstipasi tidak ada.
Nic : 1) Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan bising usus.
2) Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (jika
pasien dapat menelan).
28

3) Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu secara


teratur.
4) Beri obat pelembek feses.
5) Tingkatkan diet makanan yang berserat.
h. Dx 8 : hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
Noc : menunjukkan keterampilan interaksi social
Nic :
1) Kaji pola dasar interaksi antara pasien dengan orang lain
2) Bantu pasien meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan
keterbatasan dalam berkomuniikasi dengan orang lain
3) Minta dan harapkan kominikasi verbal
4) Gunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan
dan teknik berkomunikasi.
i. Dx 9 : Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.
Noc : Ansietas berkurang.
Nic : 1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
2) Sediakan informasi factual menyangkut diagnosis, perawatan
dan prognosis.
3) Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan
kehilangan kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi.
4) Sediakan penguatan yang positif ketika pasien mampu untuk
meneruskan aktivitas sehari-hari dan lainnya meskipun
ansietas.
4. Discharge Planning
a. Peningkatan asupan nutrisi yang memadai.
b. Istirahat yang cukup.
c. Penjagaan terhadap hygiene , sanitasi lingkungan.
d. Lakukan check-up ketika timbul gejala yang sama.
e. Teratur konsumsi obat pemulihan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana system
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi
karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang
dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf ini
menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan
respon system otot terhadap kerja sistem syaraf .
Pasien yang diduga mengidap GBS diharuskan melakukan tes darah
lengkap, berupa pemeriksaan kimia darah secara komplit, lumbal puncti
berfungsi untuk mengambil cairan otak, electromyogram (EMG) untuk
merekam kontraksi otot dan pemeriksaan kecepatan hantar syaraf.
Pengobatan GBS adalah dengan pemberian imunoglobulin secara
intravena dan plasmapharesis atau pengambilan antibodi yang merusak sistem
saraf tepi dengan jalan mengganti plasma darah. Selain terapi pokok tersebut
juga perlu dilakukan pemberian fisioterapi dan perawatan dengan terapi khusus
serta pemberian obat untuk mengurangi rasa sakit Pencegahan dapat dilakukan
dengan menjaga kesehatan supaya tidak mengalami infeksi dan melakukan
pemantauan keamanan vaksin.

B. Saran
Nutrisi, hygiene, dan istirahat yang cukup dapat membantu meningkatkan
system imun dari tubuh penderita yang mengalami masalah pada bagian
system imun. Apabila terjadi gejala-gejala Sindroma Guillain Barre sebaiknya
sesegera mungkin memeriksakan diri ke dokter atau pusat kesehatan terdekat.

29
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Volume 3.


Jakarta: EGC.

Comer, Sheree. RN. MS. 2005 Critical Care Nursing Care Plans. Delmar
Learning Thomson Asian Edition;

Doenges, Marilynn dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.

Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3.


Jakarta : EGC

Harsono. 2010. Buku Ajar Neurologis Klinis. Gadjah Mada University Press;
Jakarta

Mutakhi Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem

Persarafan. Salemba Medika : Jakarta

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC

Rahayu, T. 2013. Mengenal Guillain Barre Syndrome (Gbs),


(https://journal.uny.ac.id/index.php/wuny/article/download/3525/pdf+&cd=1
&hl=en&ct=clnk&gl=id). Diakses pada tanggal 9 september 2018.

Raymond et al 2011. Mediscus Scientific Journal,


(http://www.dexamedica.com/sites/default/files/MEDICINUS
%202011%20Des.pdf). Diakses pada tanggal 9 september 2018.

Wibowo, Samekto & Gofir abdul. 2015. Farmakoterapi Dalam Neurologi.


Penerbit Salemba Medika; Jakarta.

Widagdo, Wahyu S.kp. M.Kep. Sp.Kom, dkk. 2008. Askep Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Penerbit Buku Keperawatan dan Kepribadian;
Jakarta.

Wijianti, S. 2016 .Aspek Klinis Dan Penatalaksanaan Guillain–Barre Syndrome,


(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/0dfd19341a5d52541d
3f26a1e8872809.pdf). Diakses pada tanggal 9 september 2018.

30

Anda mungkin juga menyukai