PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gullain Barre Sindrome adalah gangguan yang jarang mengenai
tubuh, dimana sistem kekebalan tubuh menyerang bagian saraf. Penyakit ini
biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit
tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah.
Tercatat kejadian ini hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000.
Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya
dicetuskan oleh infeksi saluran pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok
usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada dewasa
muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre
menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan
segera.
Insidensi syndrome Guillain-Barre bervariasi antara 0,6 sampai 1,9
kasus per 100.000 orang pertahun. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35
tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia
termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun.
Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan
bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1%
Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia
mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian menyebutkan
bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I samapai dekade III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama.
Guillain-Barre Sindrome (GBS) merupakan penyebab kelumpuhan
yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali
mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif,
apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada
umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa varian dari Guillan-Barre Sindrome dapat diklasifikasikan,
yaitu Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP),
Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy, Acute motor
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian GBS (gullain bare syndrome)?
2. Apa penyebab terjadinya GBS?
3. Bagaimana patogenesis/patofisiologi terjadinya GBS?
4. Apa tanda gejala atau manifestasi klinis GBS?
5. Apa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien GBS?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien GBS?
7. Apa komplikasi pada pasien GBS?
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui konsep teori dan konsep asuhan keperawatan pada
pasien Gullain Bare Syndrome.
1. Untuk mengetahui pengertian GBS (gullain bare syndrome)?
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya GBS?
3. Untuk mengetahui patogenesis/patofisiologi terjadinya GBS?
4. Untuk mengetahui tanda gejala atau manifestasi klinis GBS?
3
4
5
antibodi
yang terbentuk dalam tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a,
GalNAc-GD1a, dan GD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai
adanya proses demielinisasi. Berhubungan dengan infeksi Campylobacter
jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas pada pasien muda.
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) memiliki
mekanisme
yang sama dengan AMAN tetapi terdapat proses degenerasi aksonal
sensoris, sehingga pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.
4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana
antibodi
imunoglobulin G merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller
Fisher syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi, yang memiliki gejala
yang khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia dan arefleksia. Selain itu
juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan, dan ekstremitas yang
terjadi pada 50% kasus.
5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas
dimana
kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya berupa gejala otonom khususnya pada
kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus
ini.
2. Anatomi Fisiologi
6
Klasifikasi Neuron
1) Fungsi.
Neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah transmisi
impulsnya.
a) Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari
reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke
SSP.
b) Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor.
8
3. Etiologi
Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi
akhir-akhir ini terungkap ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori
yang dianut sekarang ialah suatu kelainan immunobiologik, baik secara
primary immune response maupun immune mediated process.
Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau
kejadian akut. Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS
sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan
tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada sebagian besar kasus,
GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr
virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus,
hepatitisvirus, dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh
infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada
enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella
dan , Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus,
varicella, dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma,
penyakit kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester
ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya
terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS.
9
4. Patofisiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini
disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls
oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS
menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang
beberapa saraf, Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan
dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini
adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan
suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun.
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan
antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi
diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini
mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi
autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan
autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan
sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda
asing.
Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang.
Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin, bahkan
kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin
yang di invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak
dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan
kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima
lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh Umumnya sel-sel
10
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi
sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh
penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas,
serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk
berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem
imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan
kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri
dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan
sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta
kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf
perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah
GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau
hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau
melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini
adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi
primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel
saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson
dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses
demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi
yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak
dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis
pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling
sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik,
12
5. Manifestasi Klinis
14
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Spinal tap (tusuk lumbalis)/(lumbar puncture)
Prosedur ini melibatkan menarik sejumlah kecil cairan dari kanal
tulang belakang di daerah (lumbar. Cairan cerebrospinal kemudian
diuji untuk jenis tertentu perubahan yang biasanya terjadi pada orang
yang memiliki sindrom Guillain-Barre. Yang paling khas adalah
adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein
(100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan
hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total
protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik,
bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein
CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Jika memiliki GBS, tes ini
dapatmenunjukkan peningkatan jumlah protein dalam cairan tulang
belakangtanpa tanda infeksi lain.
b. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi
(EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar
17
saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang
telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat
pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4
minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP
kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas
jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang
lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan
yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan
denervasi EMG.
c. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah
selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi
limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu
gejala.
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat,
dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat
demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati
terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis
viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus
hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
d. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
e. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
18
7. Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat
kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen
% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan
hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di
ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna
atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun
sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai
sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih
serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat. Dengan
penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih
sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara
lain sebagai berikut:
a. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
b. Aspirasi
c. Paralisis otot persisten
d. Hipo ataupun hipertensi
e. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
f. Aritmia jantung
g. Retensi urin
h. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
i. Nefropati, pada penderita anak dan Ileus
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Pola-pola pengkajian
1) Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
23
2. Diagnosa
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
b. Perubahan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonomic
c. Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
d. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
e. Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis
orofaringeal.
g. Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
h. Hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
i. Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.
3. Intervensi
a. Dx1 : Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
Noc : Pola napas efektif
Nic :
1) Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan
Perhatikan gerakan dada, penggunaan otot-otot bantu, serta
retraksi otot.
2) Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan
membrane mukosa.
3) Pantau poa pernapasan bradipnea, apnea.
4) Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi
bersandar.
5) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress
pernapasan.
26
B. Saran
Nutrisi, hygiene, dan istirahat yang cukup dapat membantu meningkatkan
system imun dari tubuh penderita yang mengalami masalah pada bagian
system imun. Apabila terjadi gejala-gejala Sindroma Guillain Barre sebaiknya
sesegera mungkin memeriksakan diri ke dokter atau pusat kesehatan terdekat.
29
DAFTAR PUSTAKA
Comer, Sheree. RN. MS. 2005 Critical Care Nursing Care Plans. Delmar
Learning Thomson Asian Edition;
Harsono. 2010. Buku Ajar Neurologis Klinis. Gadjah Mada University Press;
Jakarta
Widagdo, Wahyu S.kp. M.Kep. Sp.Kom, dkk. 2008. Askep Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Penerbit Buku Keperawatan dan Kepribadian;
Jakarta.
30