Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis
dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Cedera
medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000
sampai 500.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan 20.000 cedera baru
yang terjadi setiap tahun. Insiden tahunan spinal cord injury termasuk kematian
pra-rumah sakit telah diperkirakan 43-77 per juta penduduk di Amerika Serikat
yang setara dengan sekitar 20.000 pasien setiap tahun. (Bernhard et al, 2005)
Sekitar 20% dari pasien ini meninggal sebelum mereka diterima di rumah
sakit. Kejadian spinal cord injury dikaitkan dengan prevalensi sekitar 200.000
pasien di Amerika Serikat. Dari pasien SCI ini 50-70% adalah antara 15 dan 35
tahun usia, sedangkan 4-14% berusia 15 tahun atau lebih muda. Rasio kejadian
pada pria dan wanita adalah 4:1. Estimasi biaya untuk perawatan Spinal cord
injury di Amerika Serikat adalah sekitar US $ 4 miliar per tahun. Oleh karena itu,
Spinal cord injury merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada
orang muda dan sebagai hasilnya memiliki besar dampak pada masyarakat secara
keseluruhan (Bernhard et al, 2005).
Penyebab paling sering Spinal cord injury pada orang dewasa adalah
kecelakaan kendaraan bermotor (40%), jatuh (21%), tindak kekerasan (15%), dan
cedera yang berhubungan dengan olahraga (13%). Pada anak-anak, spinal cord
injury sebagian besar disebabkan karena olahraga (24%) dan kegiatan rekreasi air
(13%). Dalam tampilan grafik retrospektif dari 331 pasien, pada penelitian yang
dilakukan Domeier et al (2005), menggambarkan distribusi lokasi cidera spinal
cord injury 29% terjadi pada servikal, 24% pada torakal, 37% pada lumbal, dan
10% pada sakral. Penilaian pada pasien trauma (Trauma Life Support) dilakukan
pemeriksaan neurologis menyeluruh untuk mengidentifikasi cedera tulang
belakang serta transfer pasien pada petugas kesehatan yang berkompeten.
Kolaborasi tim kesehatan yang berasal dari multidisplin ilmu dapat mengelola
penatalaksanaan pasien spinal cord injury. Medical and surgical tim serta nursing

1
expertise bersama-sama memanajemen pasien mulai dari penanganan pertama
yang tepat, fase hospitalisasi, pencegahan komplikasi seperti menghindari ulserasi
dekubitus dan komplikasi lain dari cedera tulang belakang hingga fase rehabilitasi
seperti rehabilitasi medik; dan psikososial. (White & Thumbikat, 2012).
Pada kasus trauma ini, peran perawat sangat diperlukan untuk dapat
membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan spinal cord
injurybaik saat prehospital management, fase hospital, maupunrehabilitatif,
sehingga masalah yang dihadapi oleh klien dapat teratasi dan terhindar dari
komplikasi yang lebih lanjut.

1.2 RumusanMasalah
1.2.1 Apa pengertian Trauma MedulaSpinalis?
1.2.2 Apa penyebap terjadinya Trauma MedulaSpinalis?
1.2.3 Bagaimana patofisiologi Trauma MedulaSpinalis?
1.2.4 Apasajaklasifikasi Trauma MedulaSpinalis?
1.2.5 Bagaimana manifestasi klinis Trauma MedulaSpinalis?
1.2.6 Apa saja pemeriksaan penunjang untuk mengetahui terjadinya
Trauma Medula Spnalis?
1.2.7 Apa prognosis dari Trauma MedulaSpinalis?
1.2.8 Bagaiamana pentalaksanaan medis bagi Trauma MedulaSpinalis?
1.2.9 Apa saja komplikasi yang terjadi pada Trauma MedulaSpinalis?
1.2.10 Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
Trauma Medula Spinalis?

1.3 Tujuan
1.3.1 TujuanUmum
Untuk memenuhi tugas kelompok yang diberikan oleh dosen
fasilitator, serta mengetahui bagaimana konsep penyakit atau Trauma
Medula Spinalis serta bagaimana Asuhan Keperawatannya.

1.3.2 TujuanKhusus

2
1. Mengetahui pengertian Trauma MedulaSpinalis
2. Mengetahui penyebap Trauma MedulaSpinalis
3. Mengetahui patofisiologi Trauma MedulaSpinalis
4. Apasajaklasifikasi Trauma MedulaSpinalis
5. Mengetahui manifestasi klinis Trauma MedulaSpinalis
6. Mengidentifikasi pemeriksaan penunjang Trauma MedulaSpinalis
7. Mengidentifkasi prognosis dari Trauma MedulaSpinalis
8. Mengidentifikasi penatalaksanaan dan algoritma medis Trauma
Medula Spinalis
9. Mengetahui komplikasi yang terjadi pada Trauma MedulaSpinalis
10. Mengidentifikasi dan menjelaskan konsep asuhan keperawatan
Trauma Medula Spinalis

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Trauma Medula Spinalis/ Spinal Cord Injury


Medula Spinalis adalah bagian dari sistem saraf yang membentuk sistem
kontinu dengan batang otak yang keluar dari hemisfer serebral dan memberikan
tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti pada kulit dan otot.
Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Medula spinalis ini
memanjang dari foramen magnum di dasar tengkorak sampai bagian lumbar
kedua tulang belakang, yang berakhir di dalam berkas serabut yang disebut konus
medullaris. Seterusnya di bawah lumbar kedua adalah akar saraf, yang
memanjang melebihi konus, dan disebut kauda equina dimana akar saraf ini
menyerupai akar kuda. Saraf-saraf medula spinalis tersusun atas 33 segmen yaitu
7 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 5 segmen koksigius. Medula
spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen mempunyai
satu untuk setiap sisi tubuh. Seperti otak, medula spinalis terdiri atas substansi
grisea dan alba. Substansi grisea di dalam otak ada di daerah eksternal dan
substansi alba ada pada bagian internal (Sherwood,2001).
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang
mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang
mengenai tulang belakang, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, dan sebagainya. Trauma pada tulang belakang dapat
mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang
belakang sendiri dan susmsum tulang belakang atau spinal kord. .Apabila Trauma
itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu
tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan
pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan. (Muttaqin,
2008).

4
Merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang diakibatkan
terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf
perifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan komplet
atau inkomplet.
Trauma Medula Spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan
yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebebkan
transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia (Fransisca
B.Batticaca,2008 : 30).

2.2 Etiologi Trauma MedulaSpinalis


Cedera Medula Spinalis disebapkan oleh trauma langsung yang mengenai
tulang belakang dimana trauma tersebut melampaui batas kemampuan tulang
belakang dalam melindungi saraf-saraf di dalamnya. Cedera sumsum tulang
belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah
servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi,
atau rotasi tulang belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung
dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan
dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulanmg belakang dapat
beruypa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa
gangguan peredaran darah, atau perdarahan.Kelainan sekunder pada sumsum
belakang dapat doisebabkan hipoksemia dana iskemia.iskamia disebabkan
hipotensi, oedema, atau kompressi.Perlu disadar bahwa kerusakan pada
sumsum belakang merupakan kerusakan yang permanen karena tidak akan
terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat
dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya
dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.
Menurut Arif muttaqin (2008, hal. 98) penyebab dari
cedera medula spinalis adalah
1. Kecelakaan dijalan raya (penyebab paling sering).
2. Olahraga

5
3. Menyelan pada air yang dangkal
4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
5. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
6. Kejatuhan benda keras
7. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis
yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang. (Harsono,
2000).
8. Luka tembak atau luka tikam
9. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis slompai,
yang seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan
saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla
spinalis dan akar mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non
infeksi osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada
vertebra, singmelia, tumor infiltrasi maupun kompresi, dan penyakit
vascular.
10. Keganasan yang menyebabkan fraktur patologik
11. Infeksi
12. Osteoporosis
13. Mengkonsumsi alkohol dan obat-obatansaatmengendaraimobilatausepeda
motor.

2.3 Patofisiologi
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien
sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla,
(lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla
(membuat pasien paralisis). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis,
darah dapat merembes ke ekstradural subdural atau daerah subaracnoid pada
kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-
serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis
menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan
kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut.

6
Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti
baik pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal
terpusat pada turunan asam amino eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat
pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal, dimana
konsentrasi ini cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam
setelah cedera. Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa
aktivitas neuron lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah
menunjukkan disfungsi ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino
eksitasi.
Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada
spinal cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran
untuk sodium (natrium) influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA) yang memiliki saluran untuk natrium dan kalium
dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi kalsium intraseluler dengan kalium
efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari pembengkakan
neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron
disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2-
carboxypiperazin-4-yl)-propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates,
serta antagonis nonkompetitif seperti phencyclidine, ketamin, magnesium,
dextrorphan, dan MK-801 telah menunjukkan dapat menurunkan cedera
neurologissekunder.
Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, beta-
endorphin, leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa,
mu, dan delta. Opiat berhubungan dengan hipotensi yang terjadi setelah SCI.
Perawatan dengan obat yang dapat bekerja sebagai antagonis opiat menghasilkan
fungsi yang lebih baik.
Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi
membrane phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya
asam arakidonat dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh
siklooksigenase terhadap asam ini memproduksi peroksida lipid, sedangkan
aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi leukotrien dan prostanoid.

7
Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi SCI
eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap prostasiklin meningkat
abnormal hingga 18 jam. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera
sekunder oleh karena terbatasnya perfusi jaringan. Faktanya, pada model
eksperimental aliran darah pada spinal cord terukur pada 40-54% terhadap level
kontrol. Penggunaan steroid dan analognya dapat meningkatkan pemulihan,
kemungkinan berhubungan dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap
peroksidasi lipid atau supresinya terhadap pelepasan asam amino eksitasi.
(Rowland, 2008)

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur dapat diklasifikasikan berdasar beberapa hal,
diantaranya:
2.4.1 Berdasarkan dari besar kecilnya kerusakan anatomis atau berdasarkan stabil
atau tidakstabil.
’Major Fracture’ bila fraktur mengenai pedikel, lamina atau korpus vertebra.
’Minor Fracture’ bila fraktur terjadi pada prosesus transversus, prrosesus spinosus
atau prosesusartikularis.
Suatu fraktur disebut ’stable’, bila kolumna vertebralis masih mampu
menahan beban fisik dan tidak tampak tanda – tanda pergeseran atau
deformitas dari struktur vertebra dan jaringan lunak. Suatu fraktur disebut
’unstable’, bila kolumna vertebralis tidak mampu menahan bebannormal,
kebanyakan menunjukkan deformitas dan rasa nyeri serta adanya ancaman
untuk terjadi gangguan neurologik.
2.4.2 Berdasarkanpenyebab
Klasifikasi SCI berdasarkan penyebabnya adalah traumatic dan non-
traumatic spinal cord injury. Kecelakan di jalan raya serta trauma secara
langsung lainnya merupakan jenis traumatic, sedangkan non traumatic
akibat dari penyakit degenerative, infeksi, tumor, dan penyakit
inflammatory lain.
2.4.3 Berdasarkan letaktrauma

8
`Klasifikasi berdasar Letak trauma pada vertebra: (Hanafiah, 2007)
a. Cervical Spine, terjadi sebanyak55%
b. Thoracic Spine, pada 15%kejadian
c. Thoracolumbar Spine, 15% kejadian;dan
d. Lumbosacral Spine, 15%kasus.
2.4.4 Berdasarkanmekanisme
Klasifikasi berdasar mekanisme ini dibagi dua yakni complete dan
incomplete. Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik
dipergunakan Frankel Score. (Chin, 2013)
a. FRANKEL SCORE A: kehilangan fingsi motorik dan sensorik
lengkap/complete loss. Motoris (-) sensoris(-)
b. FRANKEL SCORE B: Fungsi motoric hilang, fungsi sensorik utuh.
Motoris (-), sensoris(+)
c. FRANKEL SCORE C: Fungsi motoric ada tetapi secara praktis tidak
berfungsi (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris(+)
d. FRANKEL SCORE D: Fungsi motoric terganggu (dapat berjalan
tetapi tidak dengan normal‖gait‖). Motoris )+) dengan ROM 4,
sensoris(+)
e. FRANKELSCOREE: Tidak terdapat gangguan neurologik.
Motoris (+), sensoris(+)

2.5 ManifestasiKlinis
Gejala bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang
menyebabkan kelemahan dan hilangnya rasa pada lokasi cidera dan di bawahnya.
Seberapa berat gejala yang ditimbulkan tergantung pada apakah seluruh corda
spinalis cidera berat, (complete) atau hanya terluka sebagian (incomplete). Berikut
adalah gejala yang timbul sesuai dengan lokasi cidera: (Bhimji, 2014)
a. Cervical (Neck)Injuries
Ketika cedera tulang belakang terjadi pada daerah leher, gejala dapat

9
mempengaruhi lengan, kaki, dan bagian tengah tubuh. Gejala- gejala dapat
terjadi pada satu atau kedua sisi tubuh. Gejala juga dapat mencakup kesulitan
bernapas dari kelumpuhan otot-otot pernapasan, jika cedera yang terjadi
setinggi/diatas leher.
b. Thoracic (Chest Level) Injuries
Ketika cedera tulang belakang terjadi pada level dada, gejala dapat
mempengaruhi kaki. Cedera yang terjadi pada cervical atau high thoracic
spinal cord juga dapat mengakibatkan masalah tekanan darah, berkeringat
abnormal, dan kesulitan mempertahankan suhu tubuh normal.
c. Lumbar Sacral (Lower Back)Injuries
Ketika cedera tulang belakang terjadi pada level punggung bawah, gejala
dapat mempengaruhi satu atau kedua kaki, serta otot-otot yang mengontrol
usus dan kandung kemih.
Cedera pada lumbar vertebra pertama dan di bawahnya tidak menyebabkan
cedera tulang belakang (SCI). Namun, mereka dapat menyebabkan "sindrom
cauda equina" yang trejadi cedera pada akar saraf di daerah ini. Jenis cedera
tulang belakang yang seperti ini merupakan keadaan darurat medis dan
membutuhkan operasi segera. Tanda dan gejala umum: (Bhimji,2014)
1. Peningkatan tonus otot ( spastisitas)
2. Kehilangan kontrol bowel dan bladder (konstipasi, inkontinensia, dan
bladderspasms)
3. Kekebasan (numbness)
4. perubahan sensori
5. nyeri
6. Kelemahan dan kelumpuhan(paralysis)

2.6 PemeriksaanPenunjang
1. Haemoglobin and haematocrit levels untuk memonitor kadar kehilangan
darah
2. Renal function and electrolytes:dehidrasi.

10
3. urinalisis untuk mendeteksi terkait cederagenitourinary
4. X-ray:
Pencitraan diagnostik dimulai dengan sinar - X dari wilayah yang terkena
dampak dari tulang belakang. Di beberapa tempat, CT scan telah
menggantikan plain X-ray dan menampilkann lokasi fraktur yang terlewat
saat x-ray. Serangkaian pemeriksaan trauma X - ray biasanya pertama kali
dilakukan (cervical spine, chest and pelvis). 3 standart views untuk
pemeriksaan cervical spine yang direkomendasikan adalah
anteroposterior, lateral andodontoid.

5. MRI
Fraktur C6 dengan burst component. A) pemeriksaan radiografi (x-ray)
lateral view dari cervical spine. B) pemeriksaan CT scan axial. C)
pemeriksaan MRI (T2-weighted sagittal) menunjukkan fraktur yang
meluas di tiga kolumna vertebralis menyebabkan cidera yang ekstensif
pada corda spinalis (bright signal dalam cord). Perubahan sinyal
terang(bright signal) di sepanjang C anterior dari badan vertebra (panah)
menunjukkan kerusakan ligament. Elemen posterior dari C4 terlihat
fraktur (panah). CT scan yang paling baik dan berguna dalam
menggambarkan cedera tulang, sedangkan MRI membantu untuk
mengidentifikasi tingkat kerusakan corda dan ligament (Thumbikat et al,
2009)
6. CTmyelography
Jika lateral cervical radiograph dan CT scan negative, MRI merupakan
pilihan investigasi untuk menyingkirkan ketidakstabilan. Pasien dengan

11
focal neurological signs, yang dibuktikan dengan cord atau disc injury,
and pasien yang membutuhkan pemeriksaan pre-operative Sebelum
dikakukan operasi. Whole spine MRI diindikasikan untuk multilevel atau
ligamentous injuries, dan cauda equine injuries. MRI merupakan pilihan
terbaik untuk pemeriksaan suspected spinal cord lesions, cord
compressions, vertebral fractures pada multiple
levelsdanligamentousinjuries atau soft tissue injuries lain maupun
pathology. MRI digunakan untuk mengevaluasi soft tissue lesions, seperti
extradural spinal haematoma, abscess atau tumour, spinal cord
haemorrhage, contusion and/or oedema. Neurological kerusakan biasanya
disebabkan karena secondary injury, resulting in oedema and/or
haemorrhage. MRI adalah gambar diagnostik terbaik untuk
menggambarkan perubahan ini. (Tidy, 2014)

2.7 Prognosis
1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi.yang sangat
terbatas
2. Pasien dengan complete cord injury memiliki kesempatan recovery yang
sangat rendah, terutama jika paralysis berlangsung selama lebih dari 72
jam.
3. Prognosis jauh lebih baik untuk incomplete cordsyndromes
4. Prognosis untuk cervical spine fractures and dislocations sangat
bervariasi, tergantung pada tingkat kecacatanneurologis.
5. Prognosis untuk defisit neurologis tergantung pada besarnya kerusakan
saraf tulang belakang pada saatonset.
6. Selain disfungsi neurologis, prognosis juga ditentukan oleh pencegahan
dan keefektifan pengobatan infeksi - misalnya, pneumonia, dan infeksi
salurankemih.
7. Secara umum, sebagian besar individu mendapatkan kembali beberapa
fungsi motorik, terutama dalam enam bulan pertama, meskipun mungkin
ada perbaikan lebih lanjut yang perlu diamati diamati di tahun akan

12
dating. (Tidy,2014)

2.8 Penatalaksanaan
Didalam penatalaksanaan trauma spinal ada dua hal yang sangat penting
yaitu, Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (Spinal Instability) dan Kerusakan
jaringan saraf, baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual and
potential neurologic injury) (Hanafiah, 2007). Yang dimaksud dengan instabilitas
kolumna vertebralis (spinal instability) ialah hilangnya hubungan normal antara
strukturstruktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan dari
fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal.
Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa
nyeri; keadaan ini juga merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan
saraf yang berat (catastrophic neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena
fraktur dari korpus vertebralis, lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan
lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari komponen komponen anatomi yang
pada akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat terjadi secara
bersamaan.
Terdapat lima prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal yaitu:
immobilisasi, stabilisasi medis, mempertahankan posisi normal vertebrae,
dokempresi dan stabilisasi spinal, serta rehabilitasi. (Hanafiah, 2007)
1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat
kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah
immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan menggunakan
’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan
penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien
diangkat/dibawa dengan cara ‖4 men lift‖ atau menggunakan ’Robinson’s
orthopaedicstretcher’
2. StabilisasiMedis
Terutama pada penderita tetraparesis/etraplegia.
a. Periksa vital signs

13
b. Pasang ’nasogastrictube’
c. Pasang kateterurin
d. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang
normaldanperfusijaringanyangbaik.Berikanoksigen,monitor

produksi urin, bila perlu monitor BGA (analisa gas darah), dan periksa apa
ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium
Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat
memperbaiki konntusio medula spinalis.
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (‖SpinalAlignment‖)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner- Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi
traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15
menit sampai terjadi reduksi.
4. Dekompresi dan StabilisasiSpinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’
dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi
dengan ’approach’ anterior atau posterior.
5. Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam
program ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot
pernafasan, pencapaian optimal fungsi – fungsi neurologik dan program kursi
roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.

Hal-hal yang harus diperhatikan pada kasus trauma spinal adalah sebagai
berikut:

1. Penanganan trauma spinal telah dimulai sejak di tempatkejadian.

2. Proteksi terhadap ’cervical spine’ merupakan hal yang sangatpenting

3. Mobilisasi penderita ke rumah sakit harus dilaksanakan dengan cara


yang benar.

4. Penatalaksanaan trauma spinal harus menurut prinsip-prinsip baku

14
yang telahdianut.

5. Tindakan operasi dan instrumentasi banyak menolong penderita dari


cacat neurologik yang berat. (Hanafiah,2007)

2.9 Komplikasi
1. Perubahan tekanan darah yang ekstrim (autonomichyperreflexia)
2. Chronic kidneydisease
3. Komplikasi dari immobilisasi:
Deep veinthrombosis
Lung infections Skin breakdown
Muscle contractures

2.10 AsuhanKeperawatan Trauma MedulaSpinalis


2.10.1 Pengkajian
A. Identitas
Trauma medula spinalis dapat terjadi pada semua usia dan jenis
kelaminmeliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin
(kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa
pengaman helm), pendidikan, alamat,pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis.

B. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine
dan inkontinensia alvi, nyeri tekan otot,hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan
deformitas pada daerah trauma.

C. Riwayat penyakit sekarang


Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat dari

15
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, kecelakaan industri, kecelakaan lain
seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena
tali pengaman dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi
hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya
sensibilitas yang total dan melemah/menghilangnya refleks alat diam). Ini
merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa
hari sampai beberapa minggu, ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya
refleks-refleks.
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka
tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan
benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis
(dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitassecara total dan
melemah/menghilangnya refleks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan
hilangnya refleks-refleks.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien atau bila
klien tidak sadar tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan
alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka kebut-kebutan.

D. Riwayat penyakit dahulu


Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degeneratif pada tulang belakang seperti osteoporosis, osteoartritis, spondilitis,
spondilolistesis, spinal stenosis yang memungkinkan terjadinya kelainan pada
tulang belakang. Penyakit lainnya seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan, aspirin, vasodilator,
obat-obatan adiktif perlu ditanyakan untuk menambah komprehensifnya
pengkajian.
Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan
klien sebelum menderita penyakit sekarang , berupa riwayat trauma medula
spinalis. Biasanya ada trauma/ kecelakaan.
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit

16
degeneratif pada tulang belakang,seperti
osteoporosis,osteoartritis,spondilitis,spondilolistesis,spinal stenosis yang
memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang (Masalah penggunaan
obat-obatan adiktif dan alkohol).

E. Riwayat penyakit keluarga


Kaji apakah dalam keluarga pasien ada yang menderita
hipertensi,DM,penyakit jantung untuk menambah komprehensifnya pengkajian
(Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak)

F. Riwayat psiko-sosio
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra tubuh). Adanya perubahan berupa paralisis anggota gerak bawah
memberikan manifestasi yang berbeda pada setiap klien yang mengalami cedera
tulang belakang.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien,yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecacatan,rasa cemas,rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktifitas
secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah.

I. Pengkajian Primer
1) Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar
dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada
penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,

17
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha
untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis
(cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau
rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin
lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung.
Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga
patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas.
2) Breathing.
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika
penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal.1,3,5,6,7,8.
3) Circulation.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah
mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang
relatif normovolemik.
4) Disability.
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran
pasien.
5) Exprosure,
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan
sadar (GCS 15) dengan :Simple head injury bila tanpa deficit neurology
a. Dilakukan rawat luka
b. Pemeriksaan radiology

18
c. Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi
penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakit

II. Pengkajian Skunder.


1) Aktifitas /Istirahat.
Tanda:Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal pada
bawah lesi. Kelemahan umum / kelemahan otot (trauma dan adanya
kompresi saraf).
2) Sirkulasi.
Gejala: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi.
Tanda:hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan
pucat. Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
3) Eliminasi.
Tanda: retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena,
emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis, Inkontinensia defekasi
berkemih.
4) Integritas Ego.
Gejala: menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Tanda: takut, cemas, gelisah, menarik diri.
5) Makanan /cairan.
Tanda: mengalami distensi abdomen yang berhubungan dengan
omentum., peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
6) Higiene.
Tanda: sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari
(bervariasi)
7) Neurosensori.
Tanda: kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi
perubahan pada syok spinal). Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat
kembaki normak setelah syok spinal sembuh). Kehilangan tonus otot
/vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam.

19
Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang
terkena karena pengaruh trauma spinal.
Gejala: kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi, bergantung
pada area spinal yang sakit.
8) Nyeri /kenyamanan.
Gejala: Nyeri atau nyeri tekan otot dan hiperestesia tepat di atas daerah
trauma,
Tanda: mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
9) Pernapasan.
Gejala: napas pendek, kekurangan oksigen, sulit bernapas.
Tanda: pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi
napas, ronki, pucat, sianosis.
10) Keamanan
Suhu yang berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
11) Seksualitas.
Gejala: keinginan untuk kembali berfungsi normal.
Tanda: ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur

Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan klien.
1. Pernapasan.
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otot-otot pernapasan) dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma
pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis
terputus. Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang
pada daerah servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik

20
sebagai berikut.
a. Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi
pemapasan, retraksi interkostal, dan pengembangan paru tidak
simetris. Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas
ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.
b. Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
c. Perkusi. Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma
terjadi pada toraks/hematoraks.
d. Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor,
ronchi pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan
batuk menurun sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang
yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma).
2. Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang
didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskular kliencedera tulang belakang pada beberapa
keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing
saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat.

3. Persyarafan
Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan
fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan,
tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien
yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami
perubahan status mental. Pemeriksaan Saraf kranial:
a. Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang
dan tidak ada kelainan fungsi penciuman.

21
b. Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi
normal.
c. Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak
mata dan pupil isokor.
d. Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis
pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan
e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.
f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Ada usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk
h. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi, Indra pengecapan normal.

Pemeriksaan refleks:
a. Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan refleks
patela biasanya melemah karena kelemahan pada otot hamstring.
b. Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali yang didahului dengan refleks patologis.
c. Refleks Bullbo Cavemosus positif menandakan adanya syok spinal
d. Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada
kaudaekuina, mengalami hilangnya sensibilitas secara me-netap pada
kedua bokong, perineum, dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial
dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi cedera akibat trauma di
daerah tulang belakang

4. Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,

22
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.

5. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya
ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung
dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal yang
akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi
berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.

6. Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena

Pemeriksaan Sistem Perkemihan dan Pencernaan


1. Bila terjadi lesi pada kauda ekuina (kandung kemih dikontrol oleh pusat
S1-S4) atau dibawah pusat spinal kandung kemih akan menyebabkan
interupsi hubungan antara kandung kemih dan pusat spinal.
Pengosongan kandung kemih secara periodik tergantung dari refleks
lokal dinding kandung kemih. Pada keadaan ini pengosongan dilakukan
oleh aksi otot-otot destrusor dan harus diawali dengan kompresi secara
manual pada dinding perut atau dengan meregangkan perut.
Pengosongan kandung kemih yang bersifat otomatis seperti ini disebut
kandung kemih otonom. Trauma pada kauda ekuina klien mengalami
hilangnya refleks kandung kemih yang bersifat sementara dan klien
mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan

23
mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermitten dengan teknik
steril
2. Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bowel sound, kembung,
dan defekasi tidak ada. Ini merupakan gejala awal dari tahap syok
spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan intake nutrisi
yang kurang
3. Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya
lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya
dehidrasi.

2.10.2 DiagnosaKeperawatan
Ketidakefektifan Pola Nafas b.d gangguan persarafan pada
1. kontrol gerak diafragma, kehilangan fungsi otot interkosta
komplit/sebagian.
2. Nyeri akut b.d kompresi saraf
3. perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengankelumpuhan
otot perkemihan
4. Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan fungsi motorik

24
2.10.3 IntervensiKeperawatan
Diagnosa Keperawatan : Ketidakefektifan Pola Nafas b.d gangguan persarafan
pada
kontrol gerak diafragma, kehilangan fungsi otot
interkosta komplit/sebagian.
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam pasien akan menunjukkan pola nafas
efektifyang ditandai dengan:
RR dalam rentang normal
Kriteria hasil : Pemeliharaan ventilasi yang memadai yang dibuktikan dengan
tidak adanya gangguan pernapasan dan hasil dari BGA dalam
batas yang dapat normal. Menunjukkan perilaku yang sesuai
untuk mendukung
upaya pernafasan
Intervensi Keperawatan Rasional
Kelola oksigen dengan metode Metode ditentukan oleh tingkat cedera,
yang sesuai, misal ventilator, tingkat insufisiensi respirasi, dan
masker, nasal kanul, intubasi. jumlah pemulihan fungsi otot
pernapasan setelah fase syok spinal.
Berikan oksigen masker 3lpm Menyediakan supply oksigen yang
adekuat, meminimalkan resiko
kelelahan, dan mencegah terjadinya
ARDS.
Memelihara kepatenan jalan nafas: Pasien dengan cedera leher rahim tinggi
menjaga kepala dalam posisi yang dan gangguan muntah / batuk refleks
tepat yaitu mempertahankan posisi akanmemerlu kan bantuan dalam
normal vertebra (‖Spinal Alignment‖). mencegah aspirasi /
mempertahankan jalan napas
paten

25
Memeriksa serangan tiba-tiba dari Perkembangan emboli paru dapat
dispnea, sianosis dan/atau tanda lain ―silent‖ karena persepsi nyeri
yang mengarah pada distress mengalami perubahan dan/atau
pernafasan. thrombosis vena dalam tidak mudah
dikenali.
Auskultasi bunyi nafas. Catat area Hiperventilasi secara umum dapat
dimana terjadi perubahan suara nafas menyebabkan akumulasi sekret,
atelektasis dan pneumonia (komplikasi
yang sering terjadi)
Kaji warna kulit dari sianosi, Dapat menunjukkan kegagalan
kehitam-hitaman pernafasan, membutuhkan segera
evaluasi pengobatan dan intervensi.
Latih otot pernafasan pasien, Untuk mengoptimalkan fungsi
dengan cara pengaturan dari fungsi pernafasan pasien,dan untuk
ventilator yang dipasang atau metode meningkatkan kekuatan otot pernafasan
weaninguntuk pasien yang dipasang pasien.
ventilator.

Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut b.d kompresi saraf


Tujuan : dalam waktu 1x24 jam pasien memperlihatkan penurunan
rasanyeri Kriteria hasil : pasien melaporkan penurunan rasa nyeri,
mengidentifikasicara-cara
mengatasi nyeri, pasien bisa mendemontrasikan teknik
relaksasi da distraksi
Intervensi Keperawatan Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi relaksasi dan nonfarmakologi
dan non invasif. Seperti pereda nyeri lainnya telah menunjukkan
golongan 1 keefektifan dalam mengurangi
yaitu morphinatau petidhin nyeri

26
Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk Akan melancarkan peredaran
menurunkan ketegangan otot rangka, darah, sehingga kebutuhan O2
yang dapat menurunkan intensitas nyeri oleh jaringan akan terpenuhi,
dan juga tingkatkan relaksasi masase. sehingga akan mengurangi
nyerinya.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri Mengalihkan perhatian nyerinya
akut. ke hal-hal yang menyenangkan

Kolaborasi denmgan dokter, Analgetik memblok lintasan nyeri,


pemberian analgetik. sehingga nyeri akan berkurang.

Observasi tingkat nyeri, dan respon Pengkajian yang optimal akan


motorik klien, 30 menit setelah memberikan perawat data yang
pemberian obat analgetik untuk obyektif untuk mencegah
mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - kemungkinan komplikasi dan
2 jam setelah tindakan perawatan selama melakukan intervensi yang tepat.
1-2
hari.

Diagnosa Keperawatan : perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan


dengan
kelumpuhan otot perkemihan
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam pola eliminasi optimal sesuai
keadaan normal Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, klien dapat
melakukan eliminasi urindengan
atau tanpa pemasangan urine
Intervensi Keperawatan Rasional
Kaji pola berkemih, dan catat setiap 6 jam Untuk mengetahui fungsi
Sekali ginjal
Palpasi adanya distensi kandung kemih, dan Menilai perubahan akibat dari
observasi pengeluaran urine inkontinensia urine
Anjurkan klien minum 2000 cc/hari Membantu mempertahankan
fungsi ginjal

27
Pasang well kateter Membantu proses pengeluaran
urine
Lakukan bladder training Membantu meningkatkan
kemampuan pola eliminasi
urin.

Diagnosa Keperawatan : Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan fungsi motorik


Tujuan : Gangguan mobilitas dapatdiminimalkan.
Kriteria hasil : Mempertahankan posisi fungsi yang dibuktikan dengan tidak
adanya kontraktur, footdrop. Meningkatkan kekuatan tidak
terpengaruh/kompensasi bagian tubuh. Menunjukkan
teknik/perilaku yang
memungkinkan dimulainya kembali kegiatan.
Intervensi Keperawatan Rasional
Kaji fungsi motorik secara berkala Evaluasi status situasi
individu (gangguan
sensorik-motorik) untuk
tingkatan spesifik
cedera dan memilih intervensi.
Menjaga pergelangan kaki 90o dengan Mencegah footdrop dan
papan kaki. Gunakan trochanter rolls rotasi eksternal pangkal
sepanjang paha saat di ranjang. paha.
Ukur dan pantau tekanan darah pada fase akut Hipotensi orthostatic dapat
atau hingga stabil. Ubah posisi secara perlahan. terjadi sebagai hasil dari
penyatuan vena (sekunder
untuk kehilangan tonus
pembuluh darah).

28
Inspeksi kulit setiap hari. Kaji terhadap area Perubahan sirkulasi,
yang tertekan, dan memberikan perawatan kehilangan sensai, dan
kulit secara teliti. paralisis memungkinkan
pembentukan tekanan sakit.
Ini merupakan pertimbangan
seumur hidup
Membantu/mendorong pulmonary hygiene Imobilisasi/bedrest
seperti nafas dalam, batuk, suction meningkatkan resiko

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis


dan lumbali akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma
medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering
kali oleh kecelakaan lalu lintas. Gejala yang ditimbulkan bervariasi tergantung
pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang menyebabkan kelemahan dan
hilangnya rasa (lumpuh) pada lokasi cidera dan pada area bawahnya. Klasifikasi
dari trauma medula spinalis dibedakan menjadi 2 yaitu komplet (kehilangan
sensasi dan fungsi motorik total) dan tidak komplet (kehilangan dari salah satu
fungsi sensori dan fungsi motorik).

3.2 Saran
Setelah anda mengetahui dampak dari trauma medula spinalis maka penting
bagi kita untuk mengetahui cara menangani atau mencegah cedera medula
spinalis agar tidak terjadi trauma yang lebih fatal atau parah lagi. Untuk
kedepannya apabila terdapat korban kecelakaan di jalan maka kita sebagai tenaga
kesehatan harus tahu cara yang benar dalam penanganan gawat darurat sebagai
pencegahan terhadap trauma medula spinalis

30
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Bernhard et all, 2005. Spinal cord injury (SCI)—Prehospital management. Journal


Elsevier Resuscitation 66 (2005) 127–139.

Bhimji, S. 2014. Spinal cord trauma. U.S. National Library of Medicine U.S.
Department of Health and Human Services National Institutes of Health.
A.D.A.M., Inc

Chin, L. S. 2013. Spinal Cord Injuries. American Association of Neurological


Surgeons WebMD LLC

Hanafiah, H. 2007. Penatalaksanaan Trauma Spinal. Majalah Kedokteran


Nusantara Volume 40 No. 2 Juni. Medan

Harsono, 2000. KapitaSelektaNeurologi. Yogyakarta: UGM

Muttaqin,A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Rowland. 2008.. Neurosurgery Focus. American Association of Neurological


Surgeons 2008;25(5):E2 WebMD LLC

Sherwood, Lauralee.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi


kedua.Surgery 30:7 326 _ 2012 Elsevier Ltd. All Rights Reserved..

Thumbikat, et al. 2009. Acute spinal cord injury. Orthopaedics II: spine and
pelvis. SURGERY 27:7 282 © Elsevier Ltd. All rightsreserved.

Tidy, C. 2014. Spinal Cord Injury and Compression. EMIS Egton Medical
Information System

White, James P, & Pradeep Thumbikat. 2012. Orthopaedics Ii: Spine And Pelvis.

31

Anda mungkin juga menyukai