PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yang ketiga dapat terjadi beberapa hari setelah kejadian dan biasanya
diaklibatkan oleh sepsis atau kegagalan multi-organ. Tindakan tepat dan segera
untuk mengatasi syok dan hipoksemia selama ‘golden hour’ dapat mengurangi
resiko kematian ini.
Dalam menangani kasus ini, meskipun dituntut untuk bekerja secara
cepat dan tepat, paramedik harus tetap mengutamakan keselamatan dirinya
sebagai prioritas utama sebelum menyentuh pasien. Pasien ditangani setelah
lokasi kejadian sudah benar-benar aman untuk tindakan pertolongan.
Berdasarkan uraian diatas di harapkan dengan adanya makalah yang
berjudul “Trauma medulla spinalis” dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk
dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
B. Rumusan Masalah
1. Medula Spinalis
e. Vertebrata Coccygis.
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia,
mengalami rudimenter.
Kemudian diantara beberapa saraf, ada yang menjadi satu ikatan atau
gabungan (pleksus) membentuk jaringan urat saraf. Pleksus terbagi menjadi 3
macam, yaitu:
1) Plexus cervicalis (gabungan urat saraf leher)
2) Plexus branchialis (gabungan urat saraf lengan)
Saraf Spinal. 31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks
dorsal (posterior) dan ventral (anterior). Pada bagian distal radiks dorsal
ganglion, dua radiks bergabung membentuk satu saraf spinal. Semua saraf
tersebut adalah saraf gabungan (motorik dan sensorik), membawa informasi
ke korda melalui neuron aferen dan meninggalkan korda melalui neuron
eferen.
1. Divisi. Setelah saraf spinal meninggalkan korda melalui foramen
intervertebral, saraf kemudian bercabang menjadi 4 divisi
a. Cabang meningeal kecil masuk kembali ke medulla spinalis melalui
foramen sama yang digunakan saraf untuk keluar dan mempersarafi
meninges, pembuluh darah medula spinalis dan ligamen vertebralis
Setiap saraf spinal keluar dari sumsum tulang belakang dengan dua buah
akar, yaitu akar depan (anterior) dan akar belakang (posterior). Setiap akar
anterior dibentuk oleh beberapa benang akar yang meninggalkan sumsum
tulang belakang pada satu alur membujur dan teratur dalam satu baris. Tempat
alaur tersebut sesuai dengan tempat tanduk depan terletak paling dekat di bawah
permukaan sumsum tulang belakang. Benang-benang akar dari satu segmen
berhimpun untuk membentuk satu akar depan. Akar posterior pun terdiri atas
benang-benang akar serupa, yang mencapai sumsum tulang belakang pada satu
alur di permukaan belakang sumsum tulang belakang. Setiap akar belakang
mempunyai sebuah kumpulan sel saraf yang dinamakan simpulsaraf spinal.
Akar anterior dan posterior bertaut satu sama lain membentuk saraf spinal yang
meninggalkan terusan tulang belakang melalui sebuah lubang antar ruas tulang
belakang dan kemudian segera bercabang menjadi sebuah cabang belakang,
cabang depan, dan cabang penghubung.
Cabang-cabang belakang saraf spinal mempersarafi otot-otot punggung
sejati dan sebagian kecil kulit punggung. Cabang-cabang depan mempersarafi
semua otot kerangka batang badan dan anggota-anggota gerak serta kulit tubuh
kecuali kulit punggung. Cabang-cabang depan untuk persarafan lengan
membentuk suatu anyaman (plexus), yaitu anyaman lengan (plexus brachialis).
Dari anyaman inilah dilepaskan beberapa cabang pendek ke arah bahu dan
ketiak, dan beberapa cabang panjang untuk lengan dan tangan. Demikian pula
dibentuk oleh cabang-cabang depan untuk anggota-anggota gerak bawah dan
untuk panggul sebuah anyaman yang disebut plexus lumbosakralis, yang juga
mengirimkan beberapa cabang pendek ke arah pangkal paha dan bokong, serta
beberapa cabang panjang untuk tungkai atas dan tungkai bawah. Yang terbesar
adalah saraf tulang duduk. Saraf ini terletak di bidang posterior tulang paha.
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula
ablongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir
C. Meningen Spinal
Meningen adalah selaput otak yang merupakan bagian dari susunan
saraf yang bersiaft non neural. Meningen terdiri dari jarningan ikat berupa
membran yang menyelubungi seluruh permukaan otak, batang otak dan medula
spinalis. Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu Piamater, arakhnoid dan
duramater.
Duramater yang merupakan lapisan yang kuat, Membran fibrosa,
Bersatu dengan filum terminale. Piamater berupa lapisan tipis, kaya pembuluh
darah, nyambung dengan medula spinalis. Rongga antara periosteum dengan
duramater disebut dengan epidural yang merupakan area yang mengandung
banyak pembuluh darah dan lemak. Rongga antara duramater dengan arachnoid
disebut dengan subdural. Sub dural tidak mengandung CSF. Rongga antara
Arachnoid dan Piamater disebut dengan Subarachnoid. Pada rongga ini terdapat
Cerebro Spinal Fluid, Pembuluh Darah dan akar-akar syaraf
Piameter merupakan selaput tipis yang melekat pada permukaan otak
yang mengikuti setiap lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura-fisura,
juga melekat pada permukaan batang otak dan medula spinalis, terus ke kaudal
sampai ke ujung medula spinalis setinggi korpus vertebra. Arakhnoid
mempunyai banyak trabekula halus yang berhubungan dengan piameter, tetapi
tidak mengikuti setiap lekukan otak.
D. Cairan SerebroSpinal
Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan
salah satu proteksi untuk melindungi jaringan otak dan medula spinalis
terhadap trauma atau gangguan dari luar.
Pada orang dewasa volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume
otak sekitar 1400 ml, volume cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml)
dan darah sekitar 150 ml. 80% dari jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstra
sel maupun intra sel.\
G. Konsep Refleks
Refleks merupakan kejadian involunter dan tidak dapat dikendalikan
oleh kemauan. Tindakan refleks merupakan gerakan motorik involunter atau
respons sekretorik yang diperlihatkan jaringan terhadap stimulus sensorik,
seperti refleks menarik diri, bersin, batuk, dan mengedip (Sue Hinchlift).
Secara fisiologis dengan ringkas dapat dijelaskan bahwa suatu respons
refleks terjadi bila suatu otot rangka dengan persarafan untuk diregangkan, otot
ini akan kontraksi. Respons seperti ini disebut refleks regang. Rangsangan yang
membangkitkan refleks regang adalah regangan pada otot, dan responsnya
adalah kontraksi otot yang diregangkan itu. Reseptor refleks ini adalah
kumparan otot (muscle spindle). Impuls yang tercetus oleh kumparan otot
dihantarkan ke SSP melalui serat saraf sensorik penghantar cepat. Impuls
kemudian diteruskan ke neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot yang
teregang itu. Neurotransmitter di sinaps pusat adalah glutamat.
H. Saraf spinal
Saraf spinal pada manusia dewasa memiliki panjang sekitar 45 cm dan
lebar 14 mm. Pada bagian permukaan dorsal dari saraf spinal, terdapat alur
Trauma pada servikal bisa menyebabkan cedera spinal stabil dan tidak
stabil. Cedera stabil adalah cedera yang komponen vertebralnya tidak akan
tergeser oleh gerakan normal sehingga sumsum tulang yang tidak rusak dan
biasanya resikonya lebih rendah. Cedera tidak stabil adalah cedera yang dapat
mengalami pergeseran lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur dari
oseoligamentosa posterior (pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus tulang
posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa), komponen pertengahan
(sepertiga bagian posterior badan vertebral, bagian posterior dari diskus
intervertebralis dan ligamen longitudinal posterior), dan kolumna anterior (dua-
pertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebralis,
dan ligamen longitudinal anterior).
Pada cedera hiperekstensi servikal, pukulan pada muka atau dahi akan
memaksa kepala kebelakang dan tak ada yang menyangga oksiput hingga
kepala itu membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat
rusak atau arkus saraf mungkin mengalami kerusakan.
Pada cedera fleksi akan meremukan badan vertebra menjadi baji; ini
adalah cedera yang stabil dan merupakan tipe fraktur vertebral yang paling
sering ditemukan. Jika ligamen posterior tersobek, cedera bersifat tak stabil dan
badan vertebra bagian atas dapat miring ke depan diatas badan vertebra
dibawahnya.
Cedera vertebra torako-lumbal bisa disebabkan oleh trauma langsung pada
torakal atau bersifat patologis seperti pada kondisi osteoporosis yang akan
mengalami fraktur kompresi akibat keruntuhan tulang belakang. Fraktur
kompresi dan fraktur dislokasi biasanya stabil. Tetapi, kanalis spinalis pada
segmen torakalis relatif sempit, sehingga kerusakan korda sering ditemukan
dengan adanya manifestasi defisit neurologis.
Kompresi vertikal (aksial); suatu trauma vertikal yang secara langsung
mengenai vertebra yang akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus
akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material
diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi
pecah (burst). Pada kondisi ini terjadi Burst Fracture, kerusakan pada badan
1. Fleksi
5. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen
vertebra, dan sendi faset.
Klasifikasi trauma Medula Spinalis
Trauma medula spinalis dapat diklasifikasikan :
Menurut menurut ENA (2000 : 426), tanda dan gejala adalah sebagai
berikut:
1) Pernapasan dangkal
2) Penggunaan otot-otot pernapasan
3) Pergerakan dinding dada
4) Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg)
Prognosis
Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72
jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi
sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan
kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medula spinalis
dapat sembuh dan mandiri
1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi.yang sangat
terbatas
2. Pasien dengan complete cord injury memiliki kesempatan recovery yang
sangat rendah, terutama jika paralysis berlangsung selama lebih dari
72 jam.
3. Prognosis jauh lebih baik untuk incomplete cord syndromes
1. Pendarahan mikroskopik
Pada semua cedera madula spinalis atau vertebra, terjadi perdarahan-
perdarahan kecil. Yang disertai reaksi peradangan, sehingga menyebabkan
pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
didalam dan disekitar korda. Peningkatan tekanan menekan saraf dan
menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis
meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf
didarah tersebut terhambat atau terjerat.
3. Syok spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua
segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang hilang adalah
refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan
darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara
akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari
otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks. Syok spinl biasanya
4. Hiperrefleksia otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar
refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia
otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu
rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu
refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis. Dengan
diaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh
darah dan penngkatan tekanan darah sistem.
Pada orang yang korda spinalisnya utuh, tekanan darahnya akan segera
diketahui oleh baroreseptor. Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,
pusat kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis
kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian respon saraf
simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah. Respon parasimpatis
dan simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah kenormal.
Pada individu yang mengalami lesi korda, pengaktifan parasimpatis akan
memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat cedera,
namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga vasokontriksi
akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.
Pada hiperrefleksia otonom, tekanan darah dapat meningkat melebihi
200 mmHg sistolik, sehingga terjadi stroke atau infark miokardium.
Rangsangan biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi
kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk
nyeri.
1. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter. Pada
transeksi korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralisis ekstremitas atas
dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut
kuadriplegia. Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi korda
G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik Meliputi:
a. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien
tiba di rumah sakit
b. Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri
tekan, gangguan gerakan(terutama leher)
c. Pemerikaan Radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada
servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
d. Bila hasil meragukan lakukan ST-Scan,bila terdapat defisit
neurologi harus dilakukan MRI atau CT mielografi.
Pemeriksaan Diagnostik
Rontgen foto
Pemeriksaan positif AP, lateral dan obliq dilakukan untuk menilai:
1. Diameter anteroposterior kanal spinal
2. Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
3. Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Kedaruratan
Pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan
fungsi neurologik. Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan
berkendara, Trauma olahraga kontak, jatuh, atau trauma langsung pada kepala
dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis
sampai bukti Trauma ini disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal
(punggung), dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk
mencegah Trauma komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk
mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk
mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau
alat imobilisasi servikal dipasang.
Penatalaksanaan medis
1. Terjadi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang
masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atau
cedera lain yang menyertai, mencegah, serta metu rnengobati
komplikasi dan kerusakan neurallebih lanjut. Reabduksi atau
Pencegahan.
Faktor – faktor resiko dominan untuk Trauma medula spinalis meliputi
usia dan jenis kelamin. Frekuensi dengan mana faktor- faktor resiko ini
dikaitkan dengan Trauma medula spinalisbertindak untuk menekankan
pentingnya pencegahan primer. Untuk mencegah kerusakan dan bencana ini ,
langkah- langkah berikut perlu dilakukan :
1) Menurunkan kecepatan berkendara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Cedera medula spinalis adalah suatu kejadian yang sering terjadi
dimasyarakat. Tingkat kejadiannya cukup tinggi karena bisa terjadi pada siapa
saja dan dimana saja. Sehingga perlu tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam
melakukan setiap aktivitas agar tidak terjadi suatu kecelakaan yang dapat
mengakibatkan cedera ini.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat
menjaga kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma
medula spinalis dapat terhindar. Adapun jika sudah terjadi, mahasiswa dapat
melakukan perawatan seperti yang telah tertulis dalam makalah ini
DAFTAR PUSTAKA