PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah
L1-L2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan
sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis dan
lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Cedera medula
spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 sampai 500.000
orang hampir di setiap negara, dengan perkiraan 10.000 cedera baru yang terjadi setiap
tahunnya. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar 75% dari seluruh
cedera. Setengah dari kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor, selain itu
banyak akibat jatuh, olahraga dan kejadian industri dan luka tembak.
Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula spinalis pada
daerah servikal ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra ini adalah
paling rentan karena ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral
pada area ini. Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita
karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih
banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan
perubahan hormonal (menopause). Klien yang mengalami trauma medulla spinalis
khususnya bone loss pada L2-L3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam
pemenuhan kebutuhan hidup dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain
itu klien juga beresiko mengalami komplikasi trauma spinal seperti syok spinal,
trombosis vena profunda, gagal napas, pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari
itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dengan cara promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari
masalah yang paling buruk.
Kecelakaan medula spinalis terbesar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
tempat yang paling sering terkena cidera adalah regio servikalis dan persambungan
thorak dan regio lumbal. Lesi trauma yang berat dari medula spinalis dapat menimbulkan
transaksi dari medula spinalis atau merobek medula spinalis dari satu tepi ke tepi yang
lain pada tingkat tertentu disertai hilangnya fungsi. Pada tingkat awal semua cidera akibat
medula spinalis / tulang belakang terjadi periode fleksi paralise dan hilang semua reflek.
Fungsi sensori dan autonom juga hilang, medula spinalis juga bisa menyebabkan
gangguan sistem perkemihan, disrefleksi otonom atau hiperefleksi serta fungsi seksual
juga dapat terganggu.
Dalam kasus pra rumah sakit, penanganan pasien dilakukan setelah pengkajian
lokasi kejadian dilakukan. Apabila pengkajian awal lokasi kejadian tidak dilakukan maka
akan membahayakan jiwa paramedik dan orang lain di sekitarnya sehingga jumlah
korban akan meningkat. Dalam kasus ini, kematian muncul akibat tiga hal: mati sesaat
setelah kejadian, kematian akibat perdarahan atau kerusakan organ vital, dan kematian
akibat komplikasi dan kegagalan fungsi organ-organ vital.
Kematian mungkin terjadi dalam hitungan detik pada saat kejadian, biasanya
akibat cedera kepala hebat, cedera jantung atau cedera aortik. Kematian akibat hal ini
tidak dapat dicegah. Kematian berikutnya mungkin muncul sekitar sejam atau dua jam
sesudah trauma. Kematian pada fase ini biasanya diakibatkan oleh hematoma subdural
atau epidural, hemo atau pneumothorak, robeknya organ-organ tubuh atau kehilangan
darah. Kematian akibat cedera-cedera tersebut dapat dicegah. Periode ini disebut sebagai
“golden hour” dimana tindakan yang segera dan tepat dapat menyelamatkan nyawa
korban. Yang ketiga dapat terjadi beberapa hari setelah kejadian dan biasanya
diaklibatkan oleh sepsis atau kegagalan multi-organ. Tindakan tepat dan segera untuk
mengatasi syok dan hipoksemia selama ‘golden hour’ dapat mengurangi resiko kematian
ini.
Dalam menangani kasus ini, meskipun dituntut untuk bekerja secara cepat dan
tepat, paramedik harus tetap mengutamakan keselamatan dirinya sebagai prioritas utama
sebelum menyentuh pasien. Pasien ditangani setelah lokasi kejadian sudah benar-benar
aman untuk tindakan pertolongan.
Berdasarkan uraian di atas diharapkan dengan adanya makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Trauma Medulla Spinalis” dapat bermanfaat
bagi para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari trauma medula spinalis?
2. Apa epidemiologi dari trauma medula spinalis?
3. Apa etiologi dari trauma medula spinalis?
4. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi trauma medula spinalis?
5. Apa manifestasi klinis dari trauma medula spinalis?
6. Apa patofisiologi dari trauma medula spinalis?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada pasien trauma medula
spinalis?
8. Apa saja komplikasi-komplikasi yang terjadi dari trauma medula spinalis?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari trauma medula spinalis?
10. Bagaimana asuhan keperawatan yang akan diberikan pada pasien trauma medula
spinalis?
C. Tujuan Penulisan
1. Apa definisi dari trauma medula spinalis?
2. Apa epidemiologi dari trauma medula spinalis?
3. Apa etiologi dari trauma medula spinalis?
4. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi trauma medula spinalis?
5. Apa manifestasi klinis dari trauma medula spinalis?
6. Apa patofisiologi dari trauma medula spinalis?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada pasien trauma medula
spinalis?
8. Apa saja komplikasi-komplikasi yang terjadi dari trauma medula spinalis?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari trauma medula spinalis?
10. Bagaimana asuhan keperawatan yang akan diberikan pada pasien trauma medula
spinalis?
BAB II
ISI
A. Definisi
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian.
Cedera medula spinalis adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan
lesi medula spinalis sehingga terjadi gangguan neurologik, tergantung letak kerusakan
saraf spinalis dan jaringan saraf yang rusak.
B. Epidemiologi
Sebuah studi menyebutkan bahwa 10% kasus patah tulang belakang terjadi pada
segmen thorakal, 4% pada segmen thorako-lumbal, dan 3% pada lumbal yang disertai
dengan kerusakan neurologis (Appley, 1995). Tingkat insiden medulla spinalis di
Indonesia pada tahun 2004 diperkirakan mencapai lebih kurang 30 hingga 32 kasus setiap
satu juta penduduk, atau 3000 hingga 9000 kasus baru tiap tahunnya. Ini tidak termasuk
orang yang meninggal dalam 24 jam setelah cedera. Prevalensi diperkirakan mencapai
700 hingga 900 kasus tiap satu juta penduduk (200.000 hingga 250.000 orang). Enam
puluh persen yang cedera 4 berusia antara 16 sampai 30 tahun dan 80% berusia antara 16
sampai 45 tahun. Laki-laki mengalami cedera empat kali lebih banyak dari pada
perempuan. Faktor etiologi yang paling sering adalah kecelakaan kendaraan bermotor
(45%), terjatuh (21,5%), luka tembak atau kekerasan (15,4%), dan kecelakaan olah raga,
biasanya menyelam (13,4%). Lebih kurang 53% dari cedera itu adalah kuadriplegi.
Tingkat neurologi yang paling sering adalah C4, C5, dan C6 pada spina servikalis, dan T-
12 atau L-1 pada sambungan torakolumbalis (Garrison, 1995).
C. Etiologi
Trauma
Tumor
Infeksi
Luka tusuk atau tembak
Kelainan pada vertebra (arthropathi spinal)
Keganasan yang menyebabkan fraktur patologik
Kecelakaan lalu lintas
Osteoporosis
Kelainan congenital
Gangguan vaskuler
Olahraga
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi trauma medulla spinalis
1. Usia Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita
karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor.
2. Jenis Kelamin Belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor
osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).
3. Status Nutrisi
E. Manifestasi
1. Komosio Medula Spinalis
Komosio medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla spinalis
hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi.
Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam /
hari tanpa meninggalkan gejala sisa. Kerusakan yang medasari komosio medulla
spinalis berupa edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar
pembuluh darah. Pada inspeksi makroskopik medulla spinalis tetap utuh. Bila
paralisis total dan hilangnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka
kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medulla spinalis lebih
mengarah ke perubahan patologik daripada fisiologik.
2. Kontusio Medula Spinalis
Berbeda dengan komosio medulla spinalis yang diduga hanya merupakan
gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan makroskopik, maka pada kontusio medulla
spinalis didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla spinalis yaitu
perdarahan, pembengkakan (edema), perubahan neuron, reaksi peradangan.
Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan adanya bercak-bercak
degenerasi Wallerian dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron.
3. Laserasio Medula Spinalis
laserasio medulla spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat diskontinuitas
medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok/tusukan,
fraktur dislokasi vertebra.
4. Perdarahan
Akibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural
maupun hematomiella.Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma
maupun akibat dari sepsis.Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang ringan
tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis.Kedua
keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah,
Hematomiella adalah perdarahan di dalam substansia grisea medulla spinalis.
Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau trauma
tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk.
Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medulla spinalis di bawah lesi, yang
sering menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah
diserap maka terdapat perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan posterior
medulla spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella
sebagai berikut : terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah
lesi terdapat paresis otot, dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi
funikulus posterior.
5. Kompresi Medula Spinalis
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun
perdarahan epidural dan subdural.Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom
kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis
vertebralis.Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis flaksid setinggi lesi akibat
kompresi pada radiks saraf tepi.
Akibat hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash)
radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).Pada trauma lecutan
radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian, dan menimbulkan nyeri radikuler
spontan. Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis, yang sebenarnya
lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis.
Di bawah lesi kompresi medulla spinalis akan didapati paralisis otot dan
gangguan sensorik serta otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi
konus medularis terjadi akibat fraktur-dislokasi L1, yang menyebabkan rusaknya
segmen sakralis medulla spinalis. Biasanya tidak dijumpai gangguan motorik yang
menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama
mengenai daerah sadel, perineum dan bokong.
Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urine serta
pada pria terdapat impotensi.
Kompresi kauda ekuina akan menimbulkan gejala, yang bergantug pada serabut
saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai paralisis flaksid dan atrofi otot.
Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat. Kompresi pada saraf
spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilangnya control dari
vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
6. Hemiseksi Medula Spinalis
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medulla spinalis.
Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu setinggi lesi terdapat
kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN) ipsilateral pada otot-otot yang disarafi
oleh motoneuron yang terkena hemilesi. Di bawah tingkat lesi dijumpai pada sisi
ipsilateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan neuron sensorik
proprioseptif, sedangkan pada sisi kontralateral terdapat neuron sensorik protopatik.
a. Sindrom MedulaSpinalis bagian Anterior
Sindrom ini mempunyai gambaran khas berupa : paralisis dan hilangnya
sensibilitas protopatik di bawah tingkat lesi,tetapi sensibilitas protopatik tetap
utuh.
b. Sindrom Medula Spinalis bagian Posterior
Ciri khas sindrom ini adalah adanya kelemahan motorik yang lebih berat
pada lengan dari pada tungkai dan disertai kelemahan sensorik. Defisit motorik
yang lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan akibat rusaknya
sel motorik di kornu anterior medulla spinalis segmen servikal atau akibat
terlibatnya serabut traktus kortikospinalis yang terletak lebih medial di kolumna
lateralis medulla spinalis. Sindrom ini sering dijumpai pada penderita spondilitis
servikal.
c. Transeksi Medula Spinalis
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal
maka akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak yaitu :
1) semua gerak otot pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan Semua
sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang, hilang fungsinya secara
mendadak dan menetap.
2) semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek
terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik
otot tendon maupun otot otonom. Fase renjatan spinal ini berlangsung
beberapa minggu sampai beberapa bulan (3-6 minggu).
Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada
orang dewasa yaitu kurang dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi
traktus urinarius atau keadaan otot yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka
fase syok ini akan berlangsung lebh lama. McCough mengemukakan 3 faktor
yang mungkin berperan dalam mekanisme syok spinal.
Hilangnya fasilitas traktus desendens
Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada otot ekstensor
Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya
sebagai dasar pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan
spinal atau arefleksia dan aktivitas otot yang meningkat.
F. Patofisiologi
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan tanda
yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk pertama
kalinya sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi selanjutnya.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh fragmen-
fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer.
Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran
neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia
grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam
beberapa menit kemudian.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur-dislokasi, fraktur,
dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi
pada tempat-tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti
vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12.
I. Komplikasi
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas cedera
lain dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan
cedera kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak, toraks,
abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi
didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik
terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama setelah
cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok. (Wikipedia, Maret, 2009).
Kerusakan medula spinalis dari komorsio sementara (dimana pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan komperensi substansi medula (baik salah satu
atau dalam kombinasi), sampai transaksi lengkap medula (yang membuat pasien paralisis
dibawah tingkat cidera).
Bila hemoragi terjadi pada daerah spinalis, darah dapat merembes keekstra dural,
subdural, atau daerah subarakhloid pada kanal spinal. Setelah terjadi kontisio atau
robekan akibat cidera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulsi
darah kesubtansia grisea medula spinalis menjadi terganggu.
Daerah lumbal adalah daerah yang paling sering mengalami herniasi nukleus
pulposus. Kandungan air diskus berkurang bersamaa dengan bertambahnya usia. Selain
itu, serabut-serabut itu menjadi kasar dan mengalami hialinisasi yang ikut membantu
terjadinya perubahan kearah hernia nukleus pulposus melalui anulus, dan menekan radiks
saraf spinal.
1. Pendarahan mikroskopik
Pada semua cedera madula spinalis atau vertebra, terjadi perdarahan-perdarahan
kecil. Yang disertai reaksi peradangan, sehingga menyebabkan pembengkakan dan
edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan didalam dan disekitar
korda. Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat aliran darah sehingga
terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul
jaringan ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.
2. Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan refleks.
Pada cedera spinal yang parah, sensasi, kontrol motorik, dan refleks setinggi dan
dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok spinal.
Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua segmen
diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta
syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spnal biasanya
menghilang sendiri, tetap hilangnya kontrol sensorik dan motorik akan tetap
permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang
parah.
3. Syok spinal
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua segmen
diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang hilang adalah refleks yang
mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan
pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara akut semua
muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja
untuk mempertahankan fungsi refleks. Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan
12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul
hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung
kemih dan rektum.
4. Hiperrefleksia otonom
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar refleks,
yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul
setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan
kekorda spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem
saraf simpatis. Dengan diaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi
pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah system. Pada orang yang
korda spinalisnya utuh, tekanan darahnya akan segera diketahui oleh baroreseptor.
Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor, pusat kardiovaskuler diotak akan
meningkatkan stimulasi parasimpatis kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg
melambat,demikian respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh
darah. Respon parasimpatis dan simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan
tekanan darah kenormal. Pada individu yang mengalami lesi korda, pengaktifan
parasimpatis akan memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas
tempat cedera, namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga
vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.
Pada hiperrefleksia otonom, tekanan darah dapat meningkat melebihi 200 mmHg
sistolik, sehingga terjadi stroke atau infark miokardium. Rangsangan biasanya
menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau rektum,atau
stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk nyeri.
1) Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter. Pada
transeksi korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralisis ekstremitas atas dan
bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut
kuadriplegia. Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi korda dibawah
C6 dan disebut paraplegia. Apabila hanya separuh korda yang mengalami
transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis.
2) Autonomic Dysreflexia
Terjadi adanya lesi diatas T6 dan Cervical. Bradikardia, hipertensi
paroksimal, berkeringat banyak, sakit kepala berat, goose flesh, nasal stuffness
3) Fungsi Seksual
Impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi, pada wanita kenikmatan
seksual berubah.
4) Syok hipovolemik
Akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke Jaringan yang rusak
sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
5) Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID)
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau
pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti
plate, paku pada fraktur.
6) Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
Neurogenik shock
Hipoksia
Gangguan paru-paru
Instabilitas spinal
Orthostatic hypotensi
Ileus paralitik
Infeksi saluran kemih
Kontraktur
Dekubitus
Inkontinensia bladder
Konstipasi
Trombosis vena profunda
Gagal napas
Hiperefleksia autonomic
Infeksi
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Kedaruratan
Pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan
yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.
Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara, Trauma
olahraga kontak, jatuh, atau trauma langsung pada kepala dan leher dan leher harus
dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini
disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal (punggung),
dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah Trauma komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi,
rotasi atau ekstensi kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi
dan kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang.
4) Paling sedikit empat orang harus mengangkat korban dengan hati-hati ke atas
papan untuk memindahkan pasien ke rumah sakit. Adanya gerakan memuntir
dapat merusak medula spinais ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang
vertebra terputus, patah, atau memotong medula komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk ke Trauma spinal regional atau pusat trauma karena
personel multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi
perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa jam pertama setelah Trauma.
Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,
pasien dipertahankan diatas papan pemindahan. Pemindahan pasien ketempat tidur
menunjukkan masalah perawat yang pasti. Pasien harus dipertahankan dalam posisi
eksternal. Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk, juga tidak boleh
pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika
merencanakan pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini
bukan Trauma medula, pasien dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa
bahaya.Sebaliknya kadang-kadang tindakan ini tidak benar. Jika stryker atau
kerangka pembalik lain tidak tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras padat
dengan papan tempat tidur dibawahnya.
2. Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis (Fase Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah Trauma medula spinalis lebih
lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan
resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan
kardiovaskuler.
3. Penatalaksanaan medis
Terjadi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,
memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atau cedera lain yang menyertai,
mencegah, serta metu rnengobati komplikasi dan kerusakan neurallebih lanjut.
1) Reabduksi atau sublukasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang-
ed). Untuk mendekopresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang belakang
untuk melindungi koral spiral.
2) Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal,atau
debridement luka terbuka. Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan
ketidak stabilan tulang belakang, cedera ligamen tanpa fraktur, deformitas
tulang belakang, progresif, cedara yang tak dapat di reabduksi, dan fraktur non-
union.
3) Terapi steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaikan aliran darah koral
spiral. Dosis tertinggi metil prednisolin/bolus adalah 30 mg/kg BB diikuti 5,4
mg/kgBB/jamberikutnya. Bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan
memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan
memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.
4) Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi sensorik,
motorik, dan penting untuk melacak defisit yang progresif atau asenden.
5) Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi, dan mecak
keadaan dekompensasi.
6) Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji dari
badan ruas tulang belakang, fraktur proses transverses, spinous,dan lainnya.
Tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang), imobilisasi
dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap.
7) Cedera tak stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi pergeseran, fraktur
memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.
a) Metode reabduksi antara lain:
Traksi memakai sepit (tang) mental yang dipasang pada tengkorak.
Beban 20 kg tergantung dari tingkat ruas tulang belakang mulai sekitar
2,5 kg pada fraktur C1
Menipulasi dengan anestensi umum
Reabduksi terbuka melalui operasi
b) Metode imobilisasi antara lain:
Ranjang khusu,rangka, atau selubung plester
Traksi tengkorak perlu beban sedeng untuk mempertahankan cedera yang
sudah direabduksi
Plester paris dan splin eksternal lain
Operasi
8) Cedera stabil diseratai defisit neurologis. Bilafraktur stabil, kerusakan
neurologis disebabkan oleh:
Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma
langsung terhadap koral spiral atau kerusakan vascular.
Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya
seperti spondiliosis servikal.
Fragmen tulang atau diskus terdorong kekanal spiral.
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak
pada saat pertama kali diperiksa:
Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif.
Cedera di daerah servikal, leher dimobilisasi dengan kolar atau sepit (caliper)
dan diberi metil prednisolon.
Pemeriksaan penunjang MRI
Cedera neurologis tak lengkap konservatif.
Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal. Traksi
tengkorak, dan metil prednisolon.
Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya.
Bila tak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburk maka
lakukan mielografi.
Cedera tulang tak stabil.
Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti imbolisasi, melindungi
dengan imobilisasi seperti penambahan perawatan paraplegia.
Bila defisitneurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti imobilisasi
untuk sesui jenis cederanya.
Bila diperlukan operasi dekompresi kenal spiral dilakukan pada saat yang
sama.
Cedera yang menyertai dan komplikasi:
Cedera mayor berupa cedera kepala atau otak, toraks, berhubungan dengan
ominal, dari vascular.
Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian, aspirasi dan syok.
Menurut Muttaqim, (2008 hlm.111) penatalaksanaan pada trauma tulang
belakang yaitu :
a. Pemeriksaan klinik secara teliti:
Pemeriksaan neurologis secara teliti tentang fungsi motorik, sensorik,
dan refleks.
Pemeriksaan nyeri lokal dan nyeri tekan serta kifosis yang menandakan
adanya fraktur dislokasi.
Keadaan umum penderita.
b. Penatalaksanaan fraktur tulang belakang:
Resusitasi klien.
Pertahankan pemberian cairan dan nutrisi.
Perawatan kandung kemih dan usus.
Mencegah dekubitus.
Mencegah kontraktur pada anggota gerak serta rangkaian rehabiIitasi
lainnya.
4. Farmakoterapy
a) Analgesik
Obat-obatan anti-inflammatory drugs (NSAID) dapat membantu
mengurangi rasa sakit dan mengurangi peradangan di sekitar saraf. Dokter
mungkin merekomendasikan NSAID dngan dosis tinggi jika sakit tergolong
parah. "Obat anti inflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal
dengan sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) adalah suatu
golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik
(penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang). Istilah "non steroid"
digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga
memiliki khasiat serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika"
b) Suntikan
Suntikan kortikosteroid. Disuntikkan ke daerah yang terkena, ini dapat
membantu mengurangi rasa sakit dan peradangan. "Kortikosteroid adalah kelas
obat yang terkait dengan kortison, steroid. Obat-obat dari kelasini dapat
mengurangi peradangan. Mereka digunakan untuk mengurangi peradangan
yang disebabkan oleh berbagai penyakit".
c) Fisioterapi
Fisioterapi merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan guna
memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh dengan penanganan secara
manual maupun dengan menggunakan peralatan. Seorang terapi fisik dapat
mengajarkan latihan stretching / exercises yang memperkuat dan meregangkan
otot-otot di daerah yang terkena untuk mengurangi tekanan pada saraf.
d) Stimulasi Listrik
Bentuk yang paling umum dari stimulasi listrik yang digunakan dalam
manajemen nyeri saraf stimulasi listrik (TENS / Transcutaneus Electrical Nerve
Stimulation) perangkat di gunakan untuk merangsang saraf melalui permukaan
kulit. Tens adalah salah satu dari sekian banyak modalitas/alat fisioterapi yang
di gunakan untuk mengurangi nyeri dengan mengalirkan arus listrik. Cara
kerjanya dengan merangsang saraf tertentu sehingga nyeri berkurang, tanpa
efek samping yang berarti.
e) Ultrasound
Suatu terapi dengan menggunakan getaran mekanik gelombang suara
dengan frekuensi lebih dari 20.000 Hz. Yang digunakan dalam Fisioterapi
adalah 0,5-5 MHz dengan tujuan untuk menimbulkan efek terapeutik melalui
proses tertentu.
f) Traksi tulang
Alat terapi yang menggunakan kekuatan tarikan yang di gunakan pada
satu bagian tubuh, sementara bagian tubuh lainnya di tarik berlawanan.
g) Terapi fisik
Untuk saraf terjepit harus tetap konservatif di awal untuk menghindari
lebih parah kondisi. Penekanan akan di istirahat, mengurangi peradangan, beban
dan stres pada daerah yang terkena. Setelah peradangan awal telah berkurang,
program exercise dan penguatan akan dimulai untuk mengembalikan fleksibilitas
pada sendi dan otot yang terlibat, sambil meningkatkan kekuatan dan stabilitas
pada tulang belakang.
h) Akupunktur
Praktek Cina kuno melibatkan memasukkan jarum yang sangat tipis pada
titik tertentu pada kulit untuk menghilangkan rasa sakit.
i) Stimulator KWD
Alat terapi yang berfungsi sebagai stimulator pada pangkal jarum
akupunktur sehingga menghasilkan berbagai jenis getaran rangsangan yang
bertujuan untuk menstimulasi titik akupunktur/ acupoint.
j) Chiropractic
Perawatan terapi alternatif yang sangat umum untuk nyeri kronis dan
dapat membantu untuk mengobati sakit punggung, terapis chiropractic
menggunakan penyesuaian tulang belakang dengan tujuan meningkatkan
mobilitas antara tulang belakang. Penyesuaian tersebut untuk membantu
mengembalikan tulang ke posisi yang lebih normal, membantu gerak juga
menghilangkan atau mengurangi rasa sakit.
5. Penatalaksanaan Medik trauma Medula Spinalis
Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Segera dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan pemasangan
collar servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan pemberian
oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi Pengobatan :
a. Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
b. Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah akibat
autonomic hiperrefleksia akut.
c. Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas bladder.
d. Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan
tonus leher bradder.
e. Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan uretra.
f. Agen antiulcer seperti ranitidine
g. Pelunak fases seperti docusate sodium.
5. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur
dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
6. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan
mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.
K. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian :
a) Aktivitas dan istirahat
Tanda :
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada bawah lesi.
Kelemahan umum atau kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
b) Sirkulasi
Gejala : berdebar-debar , pusing saat melakukan perubahan posisi.
Tanda :
Hipotensi , hipotensi postural , ektremitas dingin dan pucat.
Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
c) Eliminasi
Tanda :
Inkontinensia defekasi dan berkemih .
Retensi urine.
Distensi berhubungan dengan omen , peristaltic usus hilang.
Melena , emesis berwarna seperti kopi, tanah (hematemesis).
d) Inegritas ego
Gejala : menyangkal , tidak percaya , sedih , marah.
Tanda : takut , cemas , gelisah , menarik diri.
e) Makanan dan cairan
Tanda :
Mengalami distensi yang berhubungan dengan omentum.
Peristaltic usus hilang ( ileus paralitik )
f) Hygiene
Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
(bervariasi).
g) Neurosensorik
Gejala :
Kebas , kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki.
Paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi ,
bergantung pada area spinal yang sakit.
Tanda :
Kelumpuhan , kesemutan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan
pada syok spinal ).
Kehilangan tonus otot atau vasomotor.
Kehilangan atau asimetris termasuk tendon dalam.
Perubahan reaksi pupil , ptosis , hilangnya keringat dari berbagai tubuh yang
terkena karena pengaruh spinal.
h) Nyeri /kenyamanan
Gejala :
Nyeri atau nyeri tekan otot.
Hiperestesia tepat di daerah trauma.
Tanda :
Mengalami deformitas.
Postur dan nyeri tekan vertebral.
i) Pernapasan
Gejala : napas pendek , kekurangan oksigen , sulit bernapas.
Tanda : pernapasan dangkal atau labored , periode apnea , penurunan bunyi
napas, ronkhi , pucat, sianosis.
j) Keamanan
Gejala : suhu yang berluktuasi ( suhu tubuh di ambil dalam suhu kamar ).
k) Seksualitas
Gejala : keinginan untuk kembali berfungsi normal
Tanda : ereksi tidak terkendali (pripisme) , menstruasi tidak teratur.
l) Penyuluan / pembelajaran
Rencana pemulangan :
Pasien akan memerlukan bantuan dalam transportasi , berbelanja ,
menyiapkan makanan , perawatan diri, keuangan , pengobatan atau terapi ,
atau tugas sehari-hari di rumah.
Pasien akan membutuhkan perubahan susunan rumah , penempatan alat di
tempat rehabilitasi.
b. Diagnosis Keperawatan
(1) Ketidakefektifan pola nafas b.d kerusakan tulang punggung ,disfungsi
neurovascular, kerusakan system muskuloskletal , ditandai dengan :
DS : pasien mengatakan sulit bernapas , sesak napas.
DO : penurunan tekanan alat inspirasi dan respirasi , penurunan menit ventilasi,
pemakaian otot pernapasan, pernapasan cuping hidung, dispnea, orthopnea,
pernapasan lewat mulut, frekuensi dan kedalaman pernapasan abnormal,
penurunan kapasitas vital paru.
(2) Resiko penurunan curah jantung b.d kerusakan jaringan otak , ditandai dengan :
DS : Pasien / keluarga mengatakan pasien mengalami kebingungan .
DO : Penurunan tingkat kesadaran (bingung ,letargi, stupor, koma), perubahan
tanda vital, mungkin terdapat perdarahan pada otak , papiledema, nyeri kepala
yang hebat.
(3) Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular , ditandai
dengan :
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan bergerak.
DO : Kelemahan , Parestesia, Paralisis, Tidak mampu , Kerusakan koordinasi ,
Keterbatasan rentang otak , Penurunan kekuatan otot.
(4) Kurang perawatan diri (mandi,gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan:
DS : Klien bedres
DO : Perubahan tanda vital, Penurunn tingkat kesadaran,gangguan anggota
gerak.
(5) Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan gangguan sirkulasi
serebral, Di tandai dengan:
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan berkomunikasi .
DO : Disartria, Afasia ,Kata-kata, tidak di mengerti, tidak mampu memahami
bahasa lisan
(6) Ketidaseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis, di tandai dengan:
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan menelan makanan .
DO : Klien menunjukkan ketidakadekuatan nutrisi, terjadi penurunan BB 20 %
atau lebih dari berat badan ideal, Konjungtiva anemis, Hb abnormal, sulit
membuka mulut, sulit menelan, lidah sulit di gerakkan.
(7) Resiko aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk
menelan, di tandai dengan:
DS : Klien mengatakan sulit menelan.
DO : Batuk saat menelan , Dispnea, Bingung, Penurunan PaCO2.
(8) Risiko cedera atau trauma yang berhubungan dengan paralisis, di tandai dengan:
DS : Klien atau keluarga mengatakan kelumpuhan anggota gerak.
DO : Hemiplegia , Klien dengan bantuan atau alat bantu, Berjalan lamban.
c. Intervensi
No Diagnose keperawatan Tujuan Intervensi
1 Nyeri b.d kompresi akar saraf Setelah dilakukan 1. Kaji skala nyeri
servikalis tindakan keperawatan (P,Q,R,S,T)
selama 1×24 jam 2. Istirahatkan leher
diharapkan nyeri pada posisi
berkurang 2 skala dari fisiologis.
skala sebelumnya , 3. Ajarkan teknik
relaksasi napas
dengan criteria hasil: dalam pada saat
nyeri muncul.
– Secara subjektif
pasien mengatakan nyeri
berkurang.
Batasi jumlah pengunjung
– Pasien tidak dan ciptakan lingkungan
gelisah. tenang.
1. Kolaborasi dengan
tim medis untuk
pemberian
analgesic.
2. Sebagai indicator
untuk menentukan
tindakan
selanjutnya .
3. Posisi fisiologi akan
menurunkan
kompresi saraf leher
untuk menjaga
kestabilan.
4. Meningkatkan
asuan O2 sehingga
menurunkan nyeri
sekunder.
5. Pembatasan jumlah
pengunjung akan
membantu
meningkatkan
kondisi O2 dan
lingkungan yang
tenang akan
menurunkan
stimulud nyeri
6. Untuk proses
penyembuhan
pasien dan
menurunkan tingkat
nyeri
3. TD dalam batas
normal:
Bayi:90/60 mmHg
3-6th:110/70 mmHg
7-10th:120/80 mmHg
11-17th:130/80 mmHg
18-44th:140/90
mmHg
45-64th:150/95 mmHg
>65th:160/95mmHg
(Campbell,1978)
Janin:120-160x/mnt
Bayi:80-180x/mnt
Anak:70-140x/mnt
Remaja:50-110x/mnt
Dewasa:70-82x/mnt
(Campbell,1978)
4.AGD dalam
batas normal:
pH:7,35-7,45
C02:20-26 mEq
(bayi),26-28 mEq
(dewasa)
PO2(PaO2):80-110
mmHg
PCO2(PaCO2):35-
45mmHg
SaO2:95-97%
4=spontan
3=dengan perintah
2=dengan nyeri
1=tidak berespon
4=kalimat tidak
mengandung arti
5=melokalisasi nyeri
4=menghindari nyeri
3=fleksi
2=ekstensi
1=tidak berespons
9. lakukan latihan
berpindah(ROM)
4 x sehari setelah 24 jam
serangan stroke jika sudah
tidak mendapat terapi.
6) Jika berkomunikasi
dengan klien afasia
yang sangat sulit di
pahami, berdiri
dengan jarak 6 kaki
dan langsung
berhadapan dengan
klien. Langsung ke
topik pembicaraan
dan katakan ketika
kamu akan
mengganti topik.
7) Jika kata-kata klien
kurang jelas,
berikan petunjuk
sederhana dan
ulangi sampai klien
mengerti.
8) Jika klien menderita
afasia, sering
lakukan latihan
dengan
menggunakan objek
untuk memudahkan
ingatan.
– Makanan yang
disediakan sesuai
kebutuhan nutrisi habis
A. Kesimpulan
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).
Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu: kecelakaan otomobil, industri terjatuh,
olah-raga, menyelam, luka tusuk, tembak dan tumor.
Cedera medula spinalis adalah suatu trauma yang mengenai medula spinalis atau
sumsum tulang akibat dari suatu trauma langsung yang mengenai tulang belakang.
Penyebab cedera medula spinalis adalh kejadian-kejadian yang secara langsung dapat
mengakibatkan terjadinya kompresi pada medula spinalis seperti terjatuh dari tempat
yang tinggi, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olaghara dan lain-lain.
Cedera medula spinalis dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan jika mengenai
saraf-saraf yang berperan terhadap suatu organ maupun otot. Cedera medula spinalis ini
terbagi menjadi 2 yaitu cedera medula spinalis stabil dan tidak stabil.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke
ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi
kontusio atau robekan pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan
hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi
proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis
akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia,
edema, lesi, hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi
neurologik.Pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma
medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama
pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan
pemindahan.
Penatalaksanaan untuk cedera medula spinalis adalah dengan pemberian obat
kortikosteroid dan melihat kepada sistem pernapasan, jika terjadi gangguan maka perlu
diberikan oksigen.
Asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien cedera medula spinalis adalah
melihat kepada diagnosa apa saja yang muncul. Intinya pemberian asuhan keperawatan
pada pasien dengan cedera medula spinalis adalah memperhatikan posisi dalam
mobilisasi pasien sehingga tidak memperparah cedera yang terjadi.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan Trauma medula spinalis
berbeda penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit lainnya,karena kesalah
dalam memberikan asuhan keperawatan dapat menyebabkan Trauma semakin komplit
dan dapat menyebabkan kematian.
B. Saran
Cedera medula spinalis adalah suatu kejadian yang sering terjadi dimasyarakat.
Tingkat kejadiannya cukup tinggi karena bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja.
Sehingga perlu tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam melakukan setiap aktivitas agar
tidak terjadi suatu kecelakaan yang dapat mengakibatkan cedera ini.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga
kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma medula spinalis dapat
terhindar. Adapun jika sudah terjadi, mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang
telah tertulis dalam makalah ini.
Daftar pustak
Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT. Spinal cord injury. In: Narayan RK, editor.
Neurotrauma Vol II. Mc-Graw-Hill. New York. 1996; II;1041-112.
Hurlbert RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An Inappropriate
Standard of Care. J Neurosurg (Spine). 2000;93: 1-7
Advance Trauma Life Support for Doctor, ATLS Student Course Manual, Eight Edition.
Trauma Medulla Spinalis
York JE. Approach to The Patient with Acute Nervous System Trauma, Best Practice of
Medicine, September 2000
G.B Tjokorda. Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan tulang belakang. Jakarta
2009.
Schreiber D. Spinal Cord Inuries, eMedicine Journal, April, 2002
Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981
Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC; 1997.
Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of Neurology,
7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001.
Alpert MJ. Central Cord Syndrome. eMedicine Journal 2001; 2
Hurlbert RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An Inappropriate
Standard of Care. J Neurosurg (Spine). 2000;93: 1-7
Braken MB. Steroid For Acute Spinal Cord Injury (Cochrane Review): Cochrane
Library, Issue 3, 2002
Batticaca ,B. Fransisca.2008.Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persaraan.
Jakarta: Salemba Medika