Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah
L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan
sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Trauma medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi
motorik volunter total, dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi
motorik volunteer.
Trauma medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi
150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan 10.000 trauma baru yang terjadi
setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75%
dari seluruh trauma. Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003
angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di
dalamnya termasuk angka kejadian untuk trauma medulla spinalis yang berjumlah 20
orang (12,5%).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena
olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih
banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan
perubahan hormonal (menopause).

1.2 Rumjusan Masalah


1. Jelaskan Konsep Medis tentang Trauma Medulla Spinalis!
2. Jelaskan Konsep Keperawatan tentang Trauma Medulla Spinalis!
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Konsep Medis tentang Trauma Medulla Spinalis
2. Mengetahui Konsep Keperawatan tentang Trauma Medulla Spinalis
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Medis


A. Definisi
Suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah
medulla spinalis.
B. Etiologi
Trauma medulla spinalis dapat terjadi karena,
 Kecelakaan
 Luka tusuk atau tembak
 Tumor
C. Patofisiologi
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan
tanda yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi
untuk pertama kalinya sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi
selanjutnya.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh
fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat
dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan
sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit
di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif
dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur-dislokasi,
fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif  ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi
pada tempat-tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi,
seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12.
Gambar Manifestasi plegi pada trauma medulla spinalis

Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa
kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan
lesi yang nyata di medulla spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan
dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis dikenal sebagai trauma
tak langsung. Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), 
jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :
1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan
hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang
dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang
dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke
posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada
jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla
spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma
menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior
dan posterior.

D. Manifestasi Klinik
- Manifestasi lesi traumatic
1. Komosio Medula Spinalis
Komosi medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla spinalis
hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi.
Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam /
hari tanpa meninggalkan gejala sisa.
Kerusakan yang medasari komosio medulla spinalis berupa edema, perdarahan
perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada inspeksi
makroskopik medulla spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan hilangnya sensibilitas
menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis dan
perubahan pada medulla spinalis lebih mengarah ke perubahan patologik daripada
fisiologik.

2. Kontusio Medula Spinalis


Berbeda dengan komosio medulla spinalis yang diduga hanya merupakan
gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan makroskopik, maka pada kontusio medulla
spinalis didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla spinalis yaitu
perdarahan, pembengkakan (edema),  perubahan neuron, reaksi peradangan.
Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan adanya bercak-bercak
degenerasi Wallerian dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron.

3. Laserasio Medula Spinalis


Pada laserasio medulla spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat
diskontinuitas medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau
bacok/tusukan, fraktur dislokasi vertebra.

4. Perdarahan
Akibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural,
subdural maupun hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat
trauma maupun akibat dari sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang
ringan tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis.
Kedua keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah
perdarahan di dalam substansia grisea medulla spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi
akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau trauma tidak langsung  misalnya
akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk. Gambaran klinisnya
adalah hilangnya fungsi medulla spinalis di bawah lesi, yang sering menyerupai lesi
transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat
perbaikan-perbaikan fungsi funikulus  lateralis dan posterior medulla spinalis. Hal ini
menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella sebagai berikut : terdapat
paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis otot,
dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.

5. Kompresi Medula Spinalis


Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun
perdarahan epidural dan subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom
kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis.
Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada
radiks saraf tepi.
Akibat hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan
(Whiplash) radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian, dan
menimbulkan nyeri radikuler spontan. Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai
hematorakhis, yang sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis.
Di bawah lesi kompresi medulla spinalis akan didapati paralisis otot dan
gangguan sensorik serta otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi
konus medularis terjadi akibat fraktur-dislokasi L1, yang menyebabkan rusaknya
segmen sakralis medulla spinalis. Biasanya tidak dijumpai gangguan motorik yang
menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama
mengenai  daerah sadel, perineum dan bokong.
Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urine
serta pada pria terdapat impotensi. Kompresi kauda ekuina akan menimbulkan gejala,
yang bergantug pada serabut saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai 
paralisis flaksid dan atrofi otot. Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang
terlibat.
Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin
dan hilangnya control dari vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.

6. Hemiseksi Medula Spinalis


Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medulla
spinalis. Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu setinggi lesi
terdapat kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN) ipsilateral pada otot-otot yang
disarafi  oleh motoneuron yang terkena hemilesi. Di bawah tingkat lesi dijumpai pada
sisi ipsilateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan neuron sensorik
proprioseptif, sedangkan pada sisi kontralateral terdapat neuron sensorik protopatik.

7. Sindrom MedulaSpinalis bagian Anterior


Sindrom ini mempunyai gambaran khas berupa : paralisis dan hilangnya
sensibilitas protopatik di bawah tingkat lesi,tetapi sensibilitas protopatik tetap utuh.

8. Sindrom Medula Spinalis bagian Posterior


Ciri khas sindrom ini adalah adanya kelemahan motorik yang lebih berat pada
lengan dari pada tungkai dan disertai kelemahan sensorik. Defisit motorik yang lebih
jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan akibat rusaknya sel motorik di
kornu anterior medulla spinalis  segmen servikal atau akibat terlibatnya serabut
traktus kortikospinalis yang terletak lebih medial di kolumna lateralis medulla
spinalis. Sindrom ini sering dijumpai pada penderita spondilitis servikal.

9. Transeksi Medula  Spinalis


Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal maka
akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak yaitu :
1. semua gerak otot pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan hilang
fungsinya secara mendadak dan menetap
2. semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang
3. semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek
terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik otot
tendon maupun otot otonom. Fase renjatan spinal ini berlangsung beberapa
minggu sampai beberapa bulan (3-6 mingu)
Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada orang
dewasa yaitu kurang dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi traktus urinarius
atau keadaan otot yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan
berlangsung lebh lama.
McCough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme
syok spinal.
1. Hilangnya fasilitas traktus desendens
2. Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada otot ekstensor, dan
3. Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya
sebagai dasar pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau
arefleksia dan aktivitas otot yang meningkat.

10. Syok spinal atau arefleksia


Sesaat  setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid,
paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah
tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi
seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang
mendapat penekanan tulang. Sfingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan
kontraksi ( disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat saraf pusat yang lebi tinggi )
tetapi otot detrusor dan otot polos dalam keadaan atonik. Urin akan terkumpul, setelah
tekanan intravesikuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin akan mengalir keluar
(overflow incontinence)
Demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar, retensio alvi dan ileus parlitik.
Refleks genitalia (ereksi penis, otot bulbokavernosus, kontraksi otot dartos)
menghilang.

11. Aktifitas otot yang meningkat


Setelah beberapa minggu respon otot terhadap rangsang mulai timbul, mula-
mula lemah makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul fleksi yang khas yaitu
tanda babinski dan kemudian fleksi tripel muncul.  Beberapa bulan kemudian reflex
menghindar tadi akan bertambah meningkat, sehingga rangsang pada kulit tungkai
akan menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo-ereksi dan
pengosongan kandung kemih secara otomatis.
- Gejala klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah
 Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
 Paraplegia
 Paralisis sensorik motorik total
 Kehilangan ontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih)
 Penurunan keringat dan tonus vasomotor
 Penurunan fungsi pernapasan
 Gagal nafas

Gambar Manifestasi klinis trauma medulla spinalis


E. Komplikasi
 Neurogenik shock
 Hipoksia
 Instabilitas spinal
 Ileus paralitik
 Infeksi saluran kemih
 Kontraktur
 Dekubitus
 Konstipasi

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan
laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3
posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi
AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak
menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI
sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang
paling baik untuk mendeteksi lesi di medulla spinalis akibat cedera/trauma

1. Radiologik

Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang


diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan
mungkin disertai dengan dislokasi.

Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat
membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.

2. Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan
tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan
Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi
perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati,
karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah
terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan
terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.

3. Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma
pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.

G. Pengobatan

I. Manajemen Pre-Hospital

Perlu diperhatiakan tatalaksana disaat pre-hospital yaitu :

 Stabilisasi manual

 Penanganan imobilitas vertebra dengan kolar leher dan vertebra brace.

II. Manajemen Di Unit Gawat Darurat

Tindakan darurat mengacu pada:

1. A (Airway)

Manjaga jalan nafas tetap lapang

2. B (Breathing)

Mengatasi gangguan pernafasan, kalau perlu lakukan intubasi endotrakeal (pada


cedera medula spinalis, cervikalis atas) dan pemasangan alat bantu nafas.

3. C (Circulation)

Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, harus dibedakan antara:

a) Syok hipovolemik. Tindakan : berikan cairanj kristaloid, kalo perlu dengan


koloid.

b) Syok neurogenik. Pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi (awasi edema
paru) maka harus diberikan obat vasopressor :

 Dopamin untuk menjaga MAP > 70


 Bila perlu adrenalin 0,2 mg s.k
 Boleh diulangi 1 jam kemudian

4. Selanjutnya :

 Pasang foley kateter untuk moniter hasil urin dan cegah retensi urin.

 Pasang pipa naso gastrik dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada
distensi dan kepentingan nutrisi enteral.

5. Pemeriksaan umum dan neurologis khusus.

Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis :

 Servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan di


samping kanan kiri leher ditaruh bantal pasir.
 Torakal : lakukan fiksasi (brace)
 Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal

6. Pemberian kortikosteroid :

 Bila diagnosis ditegakkan < 3 jam pasca trauma berikan : methylprednisolon


30 mg/kgBB i.v bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak
diberikan methylprednisolon dalam kurun waktu ini), selanjutnya diberikan
infus teus-menerus methylprednisolon selama 23 jam dengan dosis 5,4
mg/KgBB/jam.

 Bila 3-8 jam, sama seperti yang diatas hanya infus methylprednisolon
dilanjutkan untuk 47 jam.

 Bila > 8 jam tidak dianjurkan pemberian methylprednisolon.

III. Manajemen Di Ruang Rawat

1. Perawatan umum

 Lanjutkan A,B,C sesuai keperluan


 Usahakan suhu badan tetap normal
 Jika ada gangguan miksi pasang kateter

2. Pemeriksaan neurofisiologi klinik


3. Medikamentosa

 Lanjutkan pemberian methylprednisolon


 Anti spastisitas otot sesuai keadaan klinis
 Analgetik
 Mencegah dekubitus
 Mencegah trombosis vena dalam dengan stoking kaki khusus atau fisioterapi.
 Mencegah proses sekunder dengan pemberian vitamin C, dan vitamin E.
 Stimulasi sel saraf dengan pemberian GM1-ganglioside dimulai kurun waktu 72
jam sejak onset sampai dengan 18-32 hari.
 Terapi obat lain sesuai indikasi seperti antibiotik bila ada infeksi.
 Memperbaiki sel saraf yang rusak dengan stem sel.

4. Operasi

1. Waktu operasi

Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan


neurologis, dan komplikasi.

2. Indikasi operatif

 Ada fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis


 Gambaran neurologis progresif memburuk
 Fraktur, dislokasi yang labil
 Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis

Konsultasi ke bagian bedah saraf berdasarkan indikasi.

IV. Neurorehabilitasi

Tujuan :

1. Memberikan penerangan dan pendidikan pada pasien dan keluarga mengenai


medula spinalis.

2. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan self care atau latih langsung.


3. Mencegah komorbiditi (kontraktur, dekubitus, infeksi paru dll)

Tindakan :

1. Fisioterapi

2. Terapi okupasi

3. Latihan miksi dan defekasi rutin

4. Terapi psikologis

2.2 Konsep Keperawatan

1. PENGKAJIAN
A. Riwayat penyakit sebelumnya

Apakah klien pernah menderita :


a. Penyakit stroke
b. Infeksi otak
c. DM
d. Diare dan muntah yang berlebihan
e. Tumor otak
f. Intoksiaksi insektisida
g. Trauma kepala
h. Epilepsi dll.

B. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-otot
pernafasan tambahan.
b. Sistem kardiovaskuler
Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi.
c. Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera kepala.
d. Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis kerusakan,
adanya quadriplegia, paraplegia.
e. Refleks Tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis kerusakan, post spinal
shock seperti adanya hiperefleksia ( pada gangguan upper motor neuron /UMN)
dan flaccid pada gangguan lower motor neuron/ LMN).
f. Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan.
g. Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler.
h. Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung tersumbat,
pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan gangguan penglihatan.
i. Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus, stress
ulcer, feses keras atau inkontinensia.
j. Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia
k. Sistem Muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM)
l. Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal dekubitus
m. Fungsi seksual.
Impoten, gangguan ereksi, ejakulasi, menstruasi tidak teratur.
n. Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan masyarakat.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya refleks
batuk, immobilisasi.
b. Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan paralisis otot pernafasan.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, defisit,
sensasi/ motorik, gangguan sirkulasi, penggunaan traksi.

3. Rencana keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan criteria Hasil Intervensi

1 Bersihan Jalan Nafas tidak NOC : NIC :


Efektif
 Respiratory status : Airway suction
Definisi : Ketidakmampuan Ventilation  Pastikan kebutuhan
untuk membersihkan sekresi  Respiratory status : oral / tracheal
atau obstruksi dari saluran Airway patency suctioning
pernafasan untuk  Aspiration Control  Auskultasi suara
mempertahankan kebersihan Kriteria Hasil : nafas sebelum dan
jalan nafas. sesudah suctioning.
 Mendemonstrasikan  Informasikan pada
Batasan Karakteristik : batuk efektif dan klien dan keluarga
suara nafas yang tentang suctioning
- Dispneu, Penurunan bersih, tidak ada  Minta klien nafas
suara nafas sianosis dan dalam sebelum
- Orthopneu dyspneu (mampu suction dilakukan.
- Cyanosis mengeluarkan  Berikan O2 dengan
- Kelainan suara nafas sputum, mampu menggunakan nasal
(rales, wheezing) bernafas dengan untuk memfasilitasi
- Kesulitan berbicara mudah, tidak ada suksion nasotrakeal
- Batuk, tidak efekotif atau pursed lips)  Gunakan alat yang
tidak ada  Menunjukkan jalan steril sitiap
- Mata melebar nafas yang paten melakukan tindakan
- Produksi sputum (klien tidak merasa  Anjurkan pasien
- Gelisah tercekik, irama untuk istirahat dan
- Perubahan frekuensi dan nafas, frekuensi napas dalam setelah
irama nafas pernafasan dalam kateter dikeluarkan
rentang normal, dari nasotrakeal
tidak ada suara nafas  Monitor status
Faktor-faktor yang abnormal) oksigen pasien
berhubungan:  Mampu  Ajarkan keluarga
mengidentifikasikan bagaimana cara
dan mencegah factor melakukan suksion
- Lingkungan : merokok,
yang dapat  Hentikan suksion
menghirup asap rokok,
menghambat jalan dan berikan oksigen
perokok pasif-POK,
nafas apabila pasien
infeksi
menunjukkan
- Fisiologis : disfungsi
bradikardi,
neuromuskular,
peningkatan saturasi
hiperplasia dinding
O2, dll.
bronkus, alergi jalan
nafas, asma.
- Obstruksi jalan nafas : Airway Management
spasme jalan nafas,  Buka jalan nafas,
sekresi tertahan, guanakan teknik
banyaknya mukus, chin lift atau jaw
adanya jalan nafas thrust bila perlu
buatan, sekresi bronkus,  Posisikan pasien
adanya eksudat di untuk
alveolus, adanya benda memaksimalkan
asing di jalan nafas. ventilasi
 Identifikasi pasien
perlunya
pemasangan alat
jalan nafas buatan
 Pasang mayo bila
perlu
 Lakukan fisioterapi
dada jika perlu
 Keluarkan sekret
dengan batuk atau
suction
 Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara tambahan
 Lakukan suction
pada mayo
 Berikan
bronkodilator bila
perlu
 Berikan pelembab
udara Kassa basah
NaCl Lembab
 Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
 Monitor respirasi
dan status O2

2 Pola Nafas tidak efektif NOC : NIC :


Definisi : Pertukaran udara  Respiratory status : Airway Management
inspirasi dan/atau ekspirasi Ventilation
tidak adekuat  Respiratory status :  Buka jalan nafas,
Airway patency guanakan teknik
Batasan karakteristik :  Vital sign Status chin lift atau jaw
Kriteria Hasil : thrust bila perlu
- Penurunan tekanan  Posisikan pasien
inspirasi/ekspirasi  Mendemonstrasikan untuk
- Penurunan pertukaran batuk efektif dan memaksimalkan
udara per menit suara nafas yang ventilasi
- Menggunakan otot bersih, tidak ada  Identifikasi pasien
pernafasan tambahan sianosis dan perlunya
- Nasal flaring dyspneu (mampu pemasangan alat
- Dyspnea mengeluarkan jalan nafas buatan
- Orthopnea sputum, mampu  Pasang mayo bila
- Perubahan penyimpangan bernafas dengan perlu
dada mudah, tidak ada  Lakukan fisioterapi
- Nafas pendek pursed lips)
- Assumption of 3-point dada jika perlu
 Menunjukkan jalan  Keluarkan sekret
position nafas yang paten
- Pernafasan pursed-lip dengan batuk atau
(klien tidak merasa suction
- Tahap ekspirasi tercekik, irama
berlangsung sangat lama  Auskultasi suara
nafas, frekuensi
- Peningkatan diameter nafas, catat adanya
pernafasan dalam
anterior-posterior suara tambahan
rentang normal,
- Pernafasan  Lakukan suction
tidak ada suara nafas
rata-rata/minimal pada mayo
abnormal)
 Bayi : < 25 atau > 60  Tanda Tanda vital  Berikan
 Usia 1-4 : < 20 atau > dalam rentang bronkodilator bila
30 normal (tekanan perlu
 Usia 5-14 : < 14 atau > darah, nadi,  Berikan pelembab
25 pernafasan) udara Kassa basah
 Usia > 14 : < 11 atau > NaCl Lembab
24  Atur intake untuk
- Kedalaman pernafasan cairan
 Dewasa volume mengoptimalkan
tidalnya 500 ml saat keseimbangan.
istirahat  Monitor respirasi
 Bayi volume tidalnya dan status O2
6-8 ml/Kg
- Timing rasio
- Penurunan kapasitas vital Terapi Oksigen
 Bersihkan mulut,
Faktor yang berhubungan : hidung dan secret
trakea
- Hiperventilasi  Pertahankan jalan
- Deformitas tulang nafas yang paten
- Kelainan bentuk  Atur peralatan
dinding dada oksigenasi
- Penurunan  Monitor aliran
energi/kelelahan oksigen
- Perusakan/pelemahan  Pertahankan posisi
muskulo-skeletal pasien
- Obesitas  Onservasi adanya
- Posisi tubuh tanda tanda
- Kelelahan otot hipoventilasi
pernafasan  Monitor adanya
- Hipoventilasi sindrom kecemasan pasien
- Nyeri terhadap oksigenasi
- Kecemasan
- Disfungsi
Neuromuskuler
- Kerusakan
Vital sign Monitoring
persepsi/kognitif
- Perlukaan pada  Monitor TD, nadi,
jaringan syaraf tulang suhu, dan RR
belakang  Catat adanya fluktuasi
- Imaturitas Neurologis tekanan darah
 Monitor VS saat
pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
 Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
 Monitor TD, nadi,
RR, sebelum, selama,
dan setelah aktivitas
 Monitor kualitas dari
nadi
 Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
 Monitor suara paru
 Monitor pola
pernapasan abnormal
 Monitor suhu, warna,
dan kelembaban kulit
 Monitor sianosis
perifer
 Monitor adanya
cushing triad (tekanan
nadi yang melebar,
bradikardi,
peningkatan sistolik)
 Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign
3 Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :
Definisi :  Joint Exercise therapy :
Movement : ambulation
Keterbatasan dalam Active
kebebasan untuk  Mobility Level  Monitoring vital sign
pergerakan fisik tertentu  Self care : ADLs sebelm/sesudah latihan
pada bagian tubuh atau  Transfer dan lihat respon pasien
satu atau lebih ekstremitas performance saat latihan
Kriteria Hasil :  Konsultasikan dengan
Batasan karakteristik : terapi fisik tentang
 Klien meningkat rencana ambulasi
- Postur tubuh yang tidak
dalam aktivitas sesuai dengan
stabil selama melakukan
fisik kebutuhan
kegiatan rutin harian
 Mengerti tujuan  Bantu klien untuk
- Keterbatasan kemampuan
dari peningkatan menggunakan tongkat
untuk melakukan
mobilitas saat berjalan dan cegah
keterampilan motorik
 Memverbalisasik terhadap cedera
kasar
an perasaan  Ajarkan pasien atau
- Keterbatasan kemampuan
dalam tenaga kesehatan lain
untuk melakukan
meningkatkan tentang teknik ambulasi
keterampilan motorik
kekuatan dan  Kaji kemampuan
halus
kemampuan pasien dalam
- Tidak ada koordinasi atau
berpindah mobilisasi
pergerakan yang tersentak-
 Memperagakan  Latih pasien dalam
sentak
penggunaan alat pemenuhan kebutuhan
- Keterbatasan ROM
Bantu untuk ADLs secara mandiri
- Kesulitan berbalik (belok)
mobilisasi sesuai kemampuan
- Perubahan gaya berjalan
(walker)  Dampingi dan Bantu
(Misal : penurunan
pasien saat mobilisasi
kecepatan berjalan,
dan bantu penuhi
kesulitan memulai jalan,
kebutuhan ADLs ps.
langkah sempit, kaki
 Berikan alat Bantu jika
diseret, goyangan yang
klien memerlukan.
berlebihan pada posisi
 Ajarkan pasien
lateral)
bagaimana merubah
- Penurunan waktu reaksi
posisi dan berikan
- Bergerak menyebabkan
bantuan jika diperlukan
nafas menjadi pendek
- Usaha yang kuat untuk
perubahan gerak
(peningkatan perhatian
untuk aktivitas lain,
mengontrol perilaku, fokus
dalam anggapan
ketidakmampuan aktivitas)
- Pergerakan yang lambat
- Bergerak menyebabkan
tremor
Faktor yang berhubungan :
- Pengobatan
- Terapi pembatasan gerak
- Kurang pengetahuan
tentang kegunaan
pergerakan fisik
- Indeks massa tubuh diatas
75 tahun percentil sesuai
dengan usia
- Kerusakan persepsi sensori
- Tidak nyaman, nyeri
- Kerusakan
muskuloskeletal dan
neuromuskuler
- Intoleransi
aktivitas/penurunan
kekuatan dan stamina
- Depresi mood atau cemas
- Kerusakan kognitif
- Penurunan kekuatan otot,
kontrol dan atau masa
- Keengganan untuk
memulai gerak
- Gaya hidup yang menetap,
tidak digunakan,
deconditioning
- Malnutrisi selektif atau
umum
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis
akibat trauma. Penyebab paling sering untuk terjadinya trauma medulla spinalis adalah
karena kecelakaan lalu lintas, dll.
Sedangkan gejala yang paling sering pada trauma medulla spinalis adalah, nyeri akut
pada belakang leher, paraplegia, paralisis sensorik motorik total, kehilangan kontrol kandung
kemih (retensi urine, distensi kandung kemih) penurunan keringat dan tonus vasomotor,
penurunan fungsi pernapasan, gagal nafas.
Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Therapy operatif kurang dianjurkan kecuali
jika pasien memiliki indikasi untuk dilakukannya operasi.
3.2 Saran
Sebaiknya kita dapat mencegah trauma medulla spinalis ini sedini mungkin agar tidak
terjadi komplikasi yang berakibat yang parah pada tubuh kita. Seperti yang kita ketahui
bahwa penyebab paling sering dari trauma medulla spinalis ini adalah kecelakaan lalu lintas
maka dari itu hendaknya kita berhati-hati dalam berkendaraan dan terutama bagi para
pengndara roda dua jangan luapa untuk menggunakan helem SNI dan bagi para pengendara
roda empat jangan lupa menggunakan sabuk pengaman. Serta selalu mematuhi rambu-rambu
lalu lintas.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.nutritionalsupplementproduct.com/1381/spinal-cord-injury/
http://www.maitriseorthop.com/corpusmaitri/orthopaedic/102_duquennoy/
pec_trauma_med_us.shtml
http://www.physicaltherapy.med.ubc.ca/

Anda mungkin juga menyukai