Anda di halaman 1dari 31

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Fraktur kompresi adalah terjadi kompresi (penekanan) di tulang belakang yang

disebabkan karena adanya tenaga yang kuat dari tulang yang berada di atasnya

sehingga menekan susunan tulang dibawah dan menimbulkan fraktur di area yang

tertekan.1

Fraktur pada tulang belakang akan mengakibatkan terjadinya instabilitas

kolumna vertebralis. Instabilitas kolumna vertebralis merupakan hilangnya hubungan

normal antara struktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan

fungsi alaminya. Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus vetebralis,

lamina, dan atau pedikel. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban

normal sehingga dapat terjadi deformitas tulang dan menimbulkan rasa nyeri serta

ancaman kerusakan jaringan saraf yang berat.2

1.2 Anatomi
1.2.1 Tulang belakang

Didalam tulang belakang terdapat materi yang dilindungi, yaitu medulla

spinalis. Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf yang terhubung ke susunan

saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang

vertebrae. Apabila fraktur, maka akan terjadi gangguan masukan sensoris dan

motoris, gerakan dari bagian tertentu tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan

dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun

permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut

1
sebagai cedera medula spinalis. Medula spinalis yang cedera akan berkaitan dengan

trauma vertebrae yang dialami, maka dari itu perlu diketahui bagian-bagian dari

tulang belakang, yaitu : 3

1.2.1.1 Tulang Servikal

Leher mendukung berat dari kepala dan memproteksi saraf yang datang dari

otak ke seluruh tubuh. Bagian tulang belakang ini mempunyai 7 tulang vertebra yang

semakin kecil apabila semakin mendekati basis cranii. Kebanyakan pergerakan rotasi

pada tulang servikal datang dari dua segmen atas dan untuk pergerakan fleksi/ekstensi

umunya datang dari C5-C6 dan C6-C7.5

1.2.1.2 Tulang Thorakal

Tulang belakang thorakal terdiri dari 12 tulang vertebra pada punggung atas.

Perlekatan kuat dari tulang iga pada setiap tingkat dari tulang thorakal memberikan

keseimbangan dan dukungan structural kepada punggung atas dan mengakibatkan

pergerakan yang terbatas. Tulang thorakal memberikan proteksi kepada organ-organ

vital seperti paru dan jantung. Punggung atas tidak bertujuan untuk pergerakan, maka

jarang ditemukan cedera pada tulang belakang thorakal.5

1.2.1.3 Tulang Lumbal

Punggung bawah terlibat dengan pergerakan yang lebih dari bagian thorakal

dan juga menerima semua beban dari batang tubuh sehingga menyebabkan bagian ini

paling sering terjadinya cedera. Pergerakan pada tulang belakang lumbal dibagikan

antara 5 segmen pergerakan walaupun jumlah pergerakan yang tidak seimbang

2
terpaksa diterima oleh segmen bawah (L3-L4 dan L4-L5). Oleh karena itu, kedua

segmen ini adalah yang paling rentan untuk terjadi kerusakan.5

1.2.1.4 Tulang Sacrum dan Coccygeus

Di bawah tulang belakang lumbal terdapat tulang yaitu sacrum yang

merupakan bagian belakang dari pelvis. Tulang ini berbentuk seperti segitiga yang

menempati antara dua tulang pelvis dan menyambungkan tulang belakang kepada

bagian bawah tubuh. Sacrum tersambung dengan bagian pelvis (tulang iliaca) pada

sacroiliac joint. 5

Gambar 1.1 Tulang belakang

Gambar 1.2 Penampang vertebrae

3
1.2.2 Medula Spinalis
Berawal dari ujung bawah medula oblongata (foramen magnum) sampai

dengan lumbal 1 dan berakhir menjadi konus medularis. Selanjutnya akan

menjadi korda equina, terdapat 3 traktus, yaitu :


1. Traktus kortikospinalis
Terdapat dibagian posterolateral dari medulla spinalis. Mempersarafi system

motoric ipsilateral.
2. Traktus spinotalamikus
Terdapat dibagian anterolateral medulla spinalis. Mempersarafi system

sensorik kontralateral (nyeri dan suhu).


3. Traktus kolumna posterior
Terdapat dibagian posterior medulla spinalis. Mempersarafi system sensasi

proprioseptif (posisi), getar dan sentuh ipsilateral.6

Gambar 1.3 Penampang medulla spinalis

1.2.3 Dermatom

Dermatom adalah kawasan/area kulit pada satu sisi tubuh yang menerima sinyal

dari satu saraf spinalis. Dermatom merupakan zona dari informasi sensoris atau

perasaan yang dibawa oleh cabang saraf di area tersebut. Para dokter menggunakan

pengetahuan mereka tentang peta dermatom untuk memeriksa area atau zona yang

4
terjadinya disfungsi atau nyeri. Peta tersebut membantu mereka untuk melokalisasi

saraf yang menghantarkan rangsang nyeri.5

Gambar 1.4 Dermatom

5
Gambar 1.5 Miotom

1.3 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) menyatakan pada tahun 2008 telah terjadi

sekitar 13 juta kasus fraktur di dunia dengan prevalensi 2,7% dan meningkat pada

tahun 2009 menjadi 18 juta orang dengan prevalensi 4,2%. Tahun 2010 meningkat

menjadi 21 juta orang dengan prevalensi 3,5%. Fraktur tersebut didalamnya termasuk

insiden kecelakaan, cedera olahraga, bencana kebakaran, dan lain sebagainya.7


Penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak di Helsinki, Finlandia adalah

jatuh (43%), diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan

(4%) dan penyebab lain (9%).2

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 kasus fraktur

di Indonesia terbanyak disebabkan oleh cedera karena jatuh, kecelakaan lalu lintas

6
dan trauma benda tajam atau tumpul. Terdapat 1.775 orang mengalami fraktur dari

45.987 kasus kejadian jatuh.4

Fraktur kompresi merupakan fraktur yang banyak terjadi pada tulang lumbal

dimana angka kejadian fraktur tersebut mengalami peningkatan sepanjang 30 tahun

terakhir. Kejadian traumatik yang menyebabkan fraktur kompresi termasuk jatuh dan

kecelakaan lalu lintas.3

1.4 Etiologi

Terdapat berbagai macam jenis faktur yang diakibatkan oleh kecelakaan. Salah

satu fraktur yang dapat terjadi adalah fraktur kompresi pada tulang belakang. Salah

satu fraktur yang membahayakan adalah fraktur vertebrae torakalumbal. Fraktur

torakalumbal melibatkan korpus vertebra, lamina dan prosesus artikularis, serta

prosesus spinosus dan prosesus tranversus. Daerah T12 sampai L2 merupakan daerah

yang paling rentan terhadap fraktur. Fraktur pada area torakalumbal biasanya

disebabkan oleh cedera pada posisi fleksi seperti jatuh dari ketinggian dan mendarat

menggunakan bagian tubuh seperti kepala, bokong, dan bahu. Hal tersebut

merupakan cedera berbahaya karena akan mengenai saraf spinal dan dapat

menyebabkan kelumpuhan.1

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

a. Cedera Medula Spinalis Traumatik


Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan

kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Cedera

medula spinalis didefinisikan sebagai sebagai lesi traumatik pada medula spinalis

dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan

7
American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for

Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur,

dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.


b. Cedera Medula Spinalis Non Traumatik
Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor

mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada

medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab

dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati

spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit

vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan

perkembangan.1
1.5 Klasifikasi

Klasifikasi Dennis mengklasifikasi fraktur spinal dengan membagi fraktur

spinal menjadi tiga kolom yaitu anterior, middle dan posterior. Penilaian berdasarkan

teori tiga kolom dari vertebra, yaitu :1

1. Bagian anterior merupakan ligamentum longitudinal anterior dan 2/3 bagian depan

dari korpus vertebra dan diskus.

2. Bagian middle merupakan 1/3 bagian posterior dari korpus vertebra dan diskus

serta ligamentum longitudinal posterior.

3. Bagian posterior adalah pedikel, lamina, facets dan ligamentum posterior.

8
Gambar 1.5 Klasifikasi denis berdasarkan bagian dari corpus vertebrae

Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan adanya

preservasi dari fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis, termasuk pada

segmen sakral yang paling rendah. Penilaian tingkat dan komplit atau tidaknya suatu

cedera medula spinalis memungkinkan prognosa untuk dibuat. Jika lesi yang terjadi

adalah komplit, kemungkinan penyembuhan jauh lebih kecil dibandingkan dengan

lesi inkomplit.1

Derajat keparahan cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi beberapa grade

menurut Frankel, yaitu :1

Frankel A : Kehilangan fungsi motorik dan sensorik.

Frankel B : Fungsi sensorik ada, motorik tidak ada.

Frankel C : Fungsi sensorik ada, fungsi motorik ada tetapi tidak berfungsi.

Frankel D : Fungsi sensorik ada , fungsi motorik ada tetapi tidak sempurna.

Frankel E : Fungsi sensorik dan motorik baik.

1.6 Patofisiologi
Pada cedera tulang belakang hal tersebut dapat terjadi perubahan secara primer

dan sekunder. Pada perubahan primer, terjadi cedera fisik yang terbatas hanya sampai

pada kolumna vertebrae disertai jaringan lunak dan beberapa jenis ligamentum yang

menahan, maka akan terjadi fraktur vertebrae dan atau fraktur disertai dislokasi.

Karena hal tersebut maka sangat mungkin medulla spinalis mengalami cedera yang

dapat bersifat inisial trauma atau instabilitas struktur vertebrae segmen yang sedang

berlangsung, yang akan mengakibatkan kompresi langsung dimana terjadi transfer

9
energi yang berat akibatnya physical disruption atau kerusakan pada suplai pembuluh

darah.1
Perubahan sekunder terjadi dalam hitungan jam sampai dengan hari. Hal

tersebut diketahui dari adanya perubahan biokimia pada cedera spinal yang dapat

mengakibatkan gradual cellular disruption dan kelanjutan dari kerusakan saraf

inisial.1
1.7 Diagnosis
a. Anamnesis1
Tanyakan mekanisme kejadian. Penting untuk mencurigai keadaan-

keadaan yang mempunyai resiko terjadinya cedera tulang belakang,

contohnya trauma tumpul diatas clacikula, cedera kepala, pasien dengan

penurunan kesadaran, jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dengan

kecepatan tinggi dan pasien dengan trauma multiple. Sebaiknya keadaan

diatas selalu dicurigai adanya cedera tulang belakang terlebih dahulu, sampai

dipastikan dengan pemeriksaan lanjutan bahwa tidak ada cedera.


Pastikan keluhan yang dirasakan pasien saat di anamnesis, apakah ada

rasa nyeri, apabila iya, dimana lokasinya, bagaimana intensitasnya, menjalar

atau tidak, dipengaruhi pergerakan atau tidak.


Pada pasien dengan cedera tulang belakang keluhan yang umunya

muncul juga yaitu kehilangan indra peraba dan/atau lemah. Tanyakan terasa

lemah di bagian tubuh yang mana, sejak kapan, apabila kelumpuhan terjadi

didaerah pelvis, tanyakan bagaimana buang air kecil dan buang air besarnya,

lalu untuk kehilangan kemampuan sensorik tanyakan sejak kapan terjadi,

dibagian mana yang tidak terasa.

10
Apakah pasien pernah mengalami cedera didaerah tulang belakang

sebelumnya, untuk mengetahui peningkatan resiko terjadinya cedera saat ini,

untuk mengetahui apakah cedera tersebut bersifat primer atau sekunder.


Berkaitan dengan peningkatan resiko cedera, perlu juga ditanyakan

penyakit-penyakit sistemik yang dapat meningkatkan resiko terjadinya

cedera tulang belakang, seperti metastasi dari kanker ditempat lain, atau

pernah menderita penyakit spondylitis tb dan lain-lain. Hal tersebut juga

ditanyakan kepada anggota keluarga lain, untuk menilai kemungkinan

penyakit yang diturunkan secara herediter.1

b. Pemeriksan fisik

Dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk

mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (status lokalis).

Gambaran umum :5

Keadaan Umum : baik, sedang dan buruk


Kesadaran penderita : composmentis, apatis, sopor, koma, gelisah
Tanda vital : tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu
Pemeriksaan sistematik : diperiksa dari kepala sampai dengan kaki

Status lokal :

Perlu dipertimbangkan keadaan perifer dari anggota tubuh terutama

mengenai status neuro vaskuler. Pada pemeriksaan

orthopaedi/muskuloskeletal yang penting adalah :

a. Look
Bandingkan dengan bagian yang sehat
Perhatikan posisi anggota gerak
Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk

membedakan fraktur tertutup atau terbuka

11
Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
b. Feel

Pada saat akan melakukan palpasi, pasien terlebih dahulu diposisikan

untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pemeriksa. Pada dasarnya ini

merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik si

pemeriksa maupun si pasien, karena itu perlu selalu diperhatikan wajah si

pasien atau menanyakan perasaan si pasien.


Hal-hal yang perlu diperhatikan:

Temperatur setempat yang meningkat


Nyeri tekan, nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan

oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
Krepitasi

c. Move

Setelah memeriksa feel pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan

anggota gerak dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.

Apabila terdapat fraktur tentunya akan terdapat gerakan abnormal di

daerah fraktur (kecuali pada incomplete fracture). Gerakan sendi dicatat

dengan ukuran derajat gerakan dari setiap arah pergerakan mulai dari titik

0 (posisi netral) atau dengan ukuran metrik. Pencatatan ini penting untuk

mengetahui apakah ada gangguan gerak.

Pada pasien dengan curiga cedera tulang belakang maka perlu adanya dilakukan

pemeriksaan neurologis, untuk membantu menegakan diagnosis, memperkirakan

tempat terjadi cedera, juga membantu menentukan daerah untuk dilakukan

12
pemeriksaan penunjang yaitu rontgen. Penilaian neurologis pada cedera medula

spinalis meliputi :

1. Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)


2. Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolumna posterior)
3. Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)
4. Refleks (anal dan bulbokavernosus)
5. Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti

disfagia)

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan

completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis

lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi

saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut

sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level

fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat.

Untuk menentukan hal tersebut dapat digunakan asia score untuk membantu

menilai cedera yang ada. Dimana pada asia score pasien dinilai baik fungsi motoric

dan sensorik dengan dibantu oleh gambar untuk melihat dibagian mana letak kelainan

dan sumbernya.

13
Gambar 1.6 Asia Score

c. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Radiologis

Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur.

Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan

keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta

kerusakan jaringan lunak selanjutnya,


Pemeriksaan radiologis dilakukan pada :
Rontgen :

Pasien mengeluhkan nyeri ataupun kekakuan dileher

14
Paraestesi perifer
Cedera kepala
Cedera berat pada wajah (cervical)
Fraktur tulang iga
Memar berat diakibatkan seat-belt trauma (thorakalis)
Cedera abdomen pelvis yang berat (thorakolumbal)
Pasien dengan penurunan kesadaran (routine workup)
Orang tua, atau pasien-pasien yang menderita penyakit yang memungkinkan

terjadi fraktur hanya dengan trauma minor, meski pasien tidak mengeluhkan

nyeri

Computed Tomography Scan (CT Scan)

Computed tomography (CT scan) menunjukkan rincian bidang tertentu

tulang yang terkena. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya

patah tulang di daerah yang sulit di evaluasi seperti fraktur asetabulum dan

fraktur badan vetebrae.

Ct-scan ideal untuk memberikan gambaran struktur yang rusak pada

masing-masing vertebrae dan bila terjadi perpindahan fragmen tulang yang

patah ke kanal vertebrae.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan MRI baik digunakan untuk menilai diskus intervertebralis,

ligamentum flavum dan struktur saraf, juga pada pasien-pasien yang memiliki

gejala gangguan neurologis dan pemeriksaan ini baik dilakukan pada semua

pasien yang dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan.

b. Pemeriksaan laboratorium

15
1. Pemeriksaan darah rutin untuk mengenai keadaan umum, infeksi

akut/menahun
2. Atas indikasi tertentu
Diperlukan pemeriksaan kimia darah, reaksi imunologi, fungsi hati/ginjal
3. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan sensitivity test

1.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan cedera spinal memfokuskan pada dua hal penting yaitu

instabilitas dari kolumna vertebralis dan kerusakaan jaringan saraf baik yang

terancam maupun sudah terjadi.3

Tujuan penatalaksanaan mencakup memperbaiki fungsi saraf, mengurangi

kemungkinan terjadinya cedera saraf yang diakibatkan oleh kompresi, menstabilisasi

tulang belakang dan rehabilitasi pasien.1

Tindakan pembedahan untuk stabilisasi segera pada pasien cedera tulang

belakang apabila ditemukan fraktur unstable yang disertai dengan kelainan neurologis

yang menurun secara progresif dan MRI memberikan gambaran cedera saraf yang

lebih lanjut dan juga pada pasien yang secara kontroversial memiliki fraktur unstable

namun pasien tersebut juga mengalami cedera multiple. Tindakan stabilisasi memiliki

tujuan untuk mengembalikan stabilitas tulang dan mengoreksi deformitas yang terjadi

akibat fraktur. Stabilisasi dilakukan dengan menggunakan plate dan screw sebagai

sarana untuk menstabilkan tulang. Stabilisasi dapat dilakukan pada bagian anterior

dan posterior tulang belakang sesuai dengan area fraktur kompresi yang akan

distabilisasi.1

16
Tindakan pembedahan yang dilakukakan pada pasien dengan fraktur kompresi

di area tulang spinal selain stabilisasi yaitu dekomrpesi. Tindakan dekompresi

biasanya dilakukan pada fraktur yang mengenai segmen thorakolumbal dan lumbal

tulang spinal terutama dengan defisit neurologi untuk mempercepat proses

penyembuhan. Tujuan utama dari tindakan dekompresi adalah membebaskan kanal

saraf spinal dari tekanan yang menyebabkan penurunan fungsi neurologi. Tindakan

dekompresi meliputi pengambilan tulang yang mengalami fraktur kompresi. Patahan

tulang tersebut diangkat agar tidak menekan saraf spinal yang berada di area tulang

yang fraktur.1

Prinsip Penatalaksanaan fraktur menurut Appley dan Solomon dikenal sebagai 4R

yaitu :1

a. Rekognisi
Rekognisi yaitu suatu cara untuk mengenali, mendiagnosa dan menilai sebuah

fraktur. Rekognisi digunakan untuk menentukan jenis fraktur dan keparahan

fraktur yang terjadi. Tindakan seperti pengkajian fisik dan pengkajian medis

seperti x-ray dapat dilakukan saat rekognisi.


b. Reduksi
Reduksi yaitu suatu cara merestorasi fragmen fraktur sehingga didapatkan posisi

yang stabil dan senormal mungkin. Reduksi dilakukan dengan tiga cara yaitu

dengan manipulasi tertutup, traksi mekanik dengan atau tanpa manipulasi, atau

operasi terbuka. Reduksi manipulasi merupakan standar dari pelaksanaan proses

reduksi pada sebagian besar kasus fraktur. Reduksi manipulasi biasanya dilakukan

di bawah anestes baik local maupun regional. Tujuan tindakan ini guna

mengurangi dampak patahan tulang melukai jaringan lunak disekitarnya,

17
mengurangi tingkat keparahan dari patahan, serta mengembalikan posisi tulang

mendekati posisi yang normal seperti sebelum fraktur. Reduksi menggunakan

traksi mekanik digunakan ketika patahan melukai atau berdampak pada kontraksi

otot-otot besar sehingga fragmen yang patah harus disangga sedemikian rupa

hingga posisi senormal mungkin. Teknik reduksi ini biasa digunakan pada fraktur

femur dan fraktur/ dislokasi pada tulang servikal.


c. Retensi
Retensi merupakan suatu cara melakukan imobilisasi bagian yang fraktur dan

dilakukan setelah reduksi dimana fragmen tulang dipertahankan pada posisi

sejajar. Tujuan retensi adalah untuk mencegah pergeseran fragmen, mencegah

perpindahan tulang sehingga merusak proses penulangan, serta mengurangi nyeri.

Proses retensi biasa dilakukan dengan menggunakan plester atau eksternal

splint/brace, traksi, fiksasi eksternal, fiksasi internal.


d. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu program untuk mengembalikan aktivitas fungsional

pasien setelah dilakukan tindakan pada fraktur yang diderita. Rehabilitasi biasanya

dilakukan segera setelah fraktur diberikan tindakan definitif. Tujuan rehabilitasi

yaitu menjaga fungsi skeletal segera setelah fraktur mengalami penulangan dan

mengembalikan fungsi ke arah normal ketika prose penulangan selesai. Dua hal

yang biasa dilakukan saat rehabilitasi yaitu aktif menggunakan bagian yang fraktur

dan melakukan latihan secara rutin. Aktif menggunakan bagian yang fraktur

merupakan kondisi dimana pasien harus mulai membiasakan diri menggunakan

bagian tubuh yang terluka perlahan-lahan sesuai kemampuan dan tidak kontradiksi

dengan pengobatan yang dilakukan. Meskipun pada beberapa jenis cedera

membutuhkan waktu beberapa hari atau minggu untuk aktif bergerak seperti

18
sebelum cedera, namun memulai aktivitas bergerak kembali sesegera mungkin

setelah diperbolehkan. Sedangkan latihan secara rutin dilakukan pada otot dan

sendi guna menjaga kekuatan otot terutama pada bagian yang telah diimobilisasi

selama beberapa waktu. Tindakan latihan ini dapat berupa latihan rentang gerak,

latihan berjalan, dan lain sebagainya.

19
BAB II
LAPORAN KASUS
a. Identitas pasien

Nama Pasien : Tn. E

No Rekam Medis : 95 99 80

Usia : 48 tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki

Alamat : Dusun koto lamo kampong baru kupitak sijunjung

Pekerjaan : Buruh tambang

Tanggal masuk RS : 25 Oktober 2016

b. Anamnesis
Keluhan utama :

Lemah kedua tungkai sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit sekarang :


Lemah pada kedua tungkai sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Hal

tersebut terjadi setelah pasien mengalami kecelakaan di tempat kerja, saat itu

pasien sedang berjongkok memunggungi dinding tanah yang tidak stabil, tiba-

tiba tertimpa bongkahan tanah berukuran kira-kira sebesar kulkas dengan berat

100 kg. Bongkahan tersebut mengenai punggung bagian atas. Setelahnya

pasien tetap sadar, lalu dibawa ke dukun kampung dalam keadaan tidak bisa

berjalan.
Nyeri dirasakan ada, didaerah punggung yang tertimpa batu, apabila digerakan.

20
Saat dilakukan pemeriksaan didukun kampung, keluarga melihat terdapat

bengkak di punggung sebesar kepalan tangan, dan saat sampai di RSUP Dr. M.

Djamil, bengkak tersebut mengecil.


BAK dan BAB tidak ada sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Trauma ditempat lain tidak ada
Pasien telah dibawa ke dukun kampong sebelumnya, namun BAB dan BAK

tidak ada dan disertai nyeri perut, akhirnya pasien dibawa ke rumah sakit di

sawahlunto, namun pasien dipulangkan karena menunggu kartu bpjs selesai.

Setelah itu pasien kembali mengunjungi rumah sakit sawahlunto, namun

ditolak, kemudian pasien di bawa ke rumah sakit sijunjung, lalu dirujuk ke

rumah sakit solok, setelah itu dilakukan rujukan ke rumah sakit rsup dr. m.

djamil padang.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami cedera pada tulang belakang sebelumnya
Pasien tidak menderita penyakit kronis tertentu
Riwayat keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan keadaan serupa
Tidak ada anggota yang mempunyai riwayat penyakit kronis tertentu
c. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 82 x/menit

Nafas : 20 x/menit

Suhu : 37 oC

Anemis : Tidak ada

Ikterik : Tidak ada

Edema : Tidak ada

21
Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva tidak anemis

Sclera tidak ikterik

Pupil isokor, reflek cahaya +/+

Hidung : Tidak ada deviasi septum

Tidak ada keluar cairan darah atau mukus

Telinga : Tidak ada ganngguan pendengaran

Tidak ada keluar cairan

Gigi dan Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah

Leher : Tidak teraba perbesaran kelenjar getah bening

Tidak tampak adanya jejas trauma

Paru : Inspeksi : Normochest, simetris dada kiri dan kanan

Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial lmcs

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada

Abdomen : Inspeksi : Tidak tampak membuncit, tidak tampak jejas

Palpasi : Supel, hepar lien tidak teraba,

Nyeri tekan tidak ada, nyeri lepas tidak ada

Perkusi : Timpani

22
Auskultasi : Bising usus postif normal

Punggung : Status lokalis

Genitalia : Tidak ada kelainan

Anus : Pemeriksaan reflek bulbocavernosus negatif

Ekstremitas : Teraba hangat, CRT < 2 detik

Status Lokalis : Regio Thorakolumbal

Look : Tampak luka sepanjang 2,5 cm, terdapat bengkak disekitar

luka

Feel : Teraba hangat didaerah sekitar benjolan, supel, tidak teraba

krepitasi

Movement : Pergerakan terbatas


Pemeriksaan neurologis didapatkan kekuatan otot kanan kiri
000 / 000. pada pemeriksaan asia score diperoleh nilai untuk
motorik 50 dan untuk sensorik pin prick score 74, light touch
score 112.

Foto Klinis :

23
24
d. Pemeriksaan penunjang

Foto Rontgen :

25
26
Foto ct-scan :

27
Hasil laboratorium : Hb : 10,2 gr/dl

28
Hematokrit : 31 %

Trombosit : 166.000 / mm3

Leukosit : 11.100 /mm3

Pt / Aptt : 11 / 38,7

Gula darah sewaktu : 148

SGOT / SGPT : 57 / 78

e. Diagnosis : Fraktur kompresi lumbal 3 frankle tipe A


f. Tatalaksana :

IVFD RL 28 tts/menit

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr iv

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp iv

Inj. Metilprednisolon 3 x 1 amp iv

Paracetamol 2 x 500 mg po

Ketorolac 3 x 1 amp iv

g. Rencana :
Stabilisasi dan dekompresi

BAB III
DISKUSI

29
Telah datang seorang pasien laki-laki berumur 48 tahun, ke RSUP Dr. M.

Djamil Padang, dengan keluhan utama kedua tungkai lemah sejak 4 hari sebelum

masuk rumah sakit. Pasien didiagnosis dengan fraktur kompresi lumbal 3 frankel tipe

A. Fraktur kompresi merupakan fraktur yang terjadi dikarenakan adanya tekanan

berlebih yang yang berasal dari tulang diatasnya dikarenakan trauma yang

menyebabkan patahnya tulang yang mengalami tekanan. Munculan klinis yang terjadi

dapat bervariasi, maka dari itu fraktur kompresi dapat di klasifikasikan ke dalam

pembagian manifestasi klinis berdasarkan frankel.


Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan mekanisme trauma yang dialami

pasien, yaitu pasien seorang pekerja tambang, saat itu pada posisi berjongkok pasien

tertimpa batu di bagian punggung atas, dimana batu yang menimpa diperkirakan

sebesar kulkas, setelah pasien mengalami trauma pasien masih sadar, namun pasien

langsung mengalami kelemahan pada kedua tungkai. Setelah dibawa ke dukun

kampung, pasien beristirahat dirumah, namun setelah satu hari berlalu pasien tidak

ada buang air kecil ataupun buang air besar, perut terasa membuncit dan terasa sakit.

Lalu pasien dibawa ke rumah sakit terdekat, lalu mendapatkan rujukan ke RSUP Dr.

M. Djamil Padang. Pasien mengeluhkan nyeri didaerah tertimpa batu apabila

melakukan gerakan tertentu.


Pemeriksaan fisik pada status lokalis ditemukan adanya luka terbuka, berukuran

2,5 cm. bengkak ada disekitar luka, tidak tampak hiperemis. Pada perabaan teraba

hangat, supel. Pada movement pasien tidak dapat menggerakan tubuh bagian atas

dikarenakan kelemahan yang dialami. Pemeriksaan neurologis didapatkan kekuatan

30
otot kiri kanan 000 / 000. pada pemeriksaan asia score diperoleh nilai untuk motorik

50 dan untuk sensorik pin prick score 74, light touch score 112.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu laboratorium darah, foto rontgen

dan ct-scan. Hasil laboratorium darah didapatkan adanya anemia ringan, leukositosis

dan peningkatan SGOT dan SGPT. Rontgen thorakolumbal dapat terlihat adanya

fraktur kompresi pada lumbal 3. Pada ct-scan dapat terlihat adanya fraktur kompresi

di lumbal 3.
Pada pasien dilakukan pemberian cairan intravena ringer laktat untuk

maintenance cairan harian. Pemberian antibiotik ceftriaxone untuk memberikan

perlawanan terhadap luka yang dialami apabila adanya infeksi, pemberian analgetik

ketorolak untuk mengobati sakit yang dirasakan, pemberian ranitidine untuk

mendampingi pemberian analgetik yang dapat mengurangi pertahanan dinding

lambung, metilprednisolon diberikan untuk mengurangi peradangn yang terjadi

didaerah cedera dan paracetamol diberikan untuk menurunkan demam.


Pasien direncanakan untuk stabilisasi dan dekompresi yang bertujuan

memfiksasi fraktur yang terjadi untuk menstabilkan tulang yang cedera,

meminimalisir nyeri yang timbul dan menurunkan resiko terjadinya kerusakan

neurologis lebih lanjut. Perlu dilakukan edukasi pada keluarga tentang prognosis dari

keadaan pasien dan diberitahu bagaimana perawatan yang baik.

31

Anda mungkin juga menyukai