Anda di halaman 1dari 10

Lesi Plexus Brachialis

DEFINISI
Plexus brachialis adalah sebuah jaringan saraf tulang belakang yang berasal dari belakang leher,
meluas melalui aksila (ketiak), dan menimbulkan saraf untuk ekstremitas atas. Pleksus brakhialis
merupakan serabut saraf yang berasal dari ramus anterior radiks saraf C5-T1.
Lesi plexus brachialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk pleksus
brakhialis, mulai dari “radiks” saraf hingga saraf terminal.
Plexus brachialis menerima komponen symphatis melalui ganglion cervicale medius, yaitu n.spinalis
C5-6, melalui ganglion cervicale inferius atau ganglion stellatum untuk n.spinalis C6-7-8, dan melalui
ganglion para vetebrae ThI dan II nervus spinalis Th.1-2.

GEJALA
· Trauma lahir pleksus brakialis berupa gangguan fungsi dan posisi otot ekstremitas atas.
· Timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan bahkan autonomik pada bahu
dan/atau ekstremitas atas.
· Paresis atau paralisis akibat kerusakan syaraf perifer ini dapat bersifat temporer atau permanen.

ETIOLOGI
· Trauma
Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa maupun neonatus.
Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka, cedera iatrogenic.
· Tumor
Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma, malignant peripheral nerve
sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ; jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker
mammae dan kangker paru)
· Radiation-induced
Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8 – 4,9% dari
lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru.
· Entrapment
Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet syndrome. Postur
tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada yang kolaps menyebabkan thoracic outlet menyempit
sehingga menekan struktur neurovaskuler. Adanya iga accessory atau jaringan fibrous juga berperan
menyempitkan thoracic outlet. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik
dinding dada ke depan (anterior dan inferior). Teori ini didukung dengan hilangnya gejala setelah
operasi mammoplasti reduksi. Implantasi mammae juga dikatakan dapat menyebabkan cedera
pleksus brakhialis karena dapat nmeningkatkan tegangan dibawah otot dinding dada dan mengiritasi
jaringan neurovaskuler.

PATOFISIOLOGI
Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau kompresi. Setiap
trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada prevertebral fascia dan mid fore
arm akan melukai pleksus. Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak
pembuluh darah. Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan
menjepit jaringan saraf sekitarnya.

DERAJAT KERUSAKAN
Derajat Kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dilihat dari klasifikasi Sheddon (1943) dan Sunderland
(1951).
A. Klasifikasi Sheddon, yaitu :
· Neuropraksia
Pada atipe ini terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak. Dengan adanya kerusakan mielin
dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan
struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan
paling ringan.
· Aksonotmesis
Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk endoneural masih tetap
intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari lesi (degenerasi Wallerian). Regenerasi
saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi tersebut. Pemulihan sensorik
cukup baik bila dibandingkan motorik.
· Neurotmesis
Terjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun dengan penanganan
bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak sempurna dan dibutuhkan waktu serta observasi yang
lama. Merupakan derajat kerusakan paling berat.
B. Klasifikasi Sunderland
· Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)
· Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)
· Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan epineural masih
intak.
· Tipe IV :aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural masih baik.
· Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural (neurotmesis).

PLEXOPATI SUPRACLAVICULAR DAN INFRACLAVICULAR


1. PLEXOPATI SUPRACLAVICULAR
Pada Pleksopati supraklavikuler lesi terjadi ditingkat radiks saraf, trunkus saraf atau kombinasinya.
Lesi ditingkat ini dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dibanding lesi infraklavikuler.
A. Lesi tingkat radiks
Pada lesi pleksus brakhialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran klinis sesuai dengan
dermatom dan miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat terjadi partial paralisis dan hilangnya
sensorik inkomplit, karena otot-otot tangan dan lengan biasanya dipersyarafi oleh beberapa
radiks.
B. Sindroma Erb-Duchenne
Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi akibat
trauma. Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis, pektoralis
mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor. Refleks bisep biasanya
menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan
tangan
C. Sindroma Klumpke’s Paralysis
a. Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior.
b. Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot lumbrikalis) sedangkan
fungsi otot gelang bahu baik.
c. Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum,
interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan terlihat atrofi.
d. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan ulnaris.
e. Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar dari lengan dan tangan.
D. Lesi di trunkus superior
a. Lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan otot rhomboid, seratus anterior,
levator scapula dan saraf supra - & infraspinatus.
b. Terdapat gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek lateral lengan atas dan lengan bawah
hingga ibu jari tangan
E. Lesi di trunkus medial
a. Sangat jarang terjadi dan biasanya melibatkan daerah pleksus lainnya (trunkus superior
dan/atau trunkus inferior).
b. Gejala klinis didapatkan kelemahan otot triceps dan otot-otot yang dipersyarafi n. Radialis
(ekstensor tangan), serta kelainan sensorik biasanya terjadi pada dorsal lengan dan tangan.
F. Lesi di trunkus inferior
a. Gejala klinisnya yang hampir sama dengan sindroma Klumpke di tingkat radiks.
b. Terdapat kelemahan pada otot-otot tangan dan jari-jari terutama untuk gerakan fleksi,
selain itu juga kelemahan otot-otot spinal intrinsik tangan.
G. Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-T1 / semua trunkus)
a. Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas
pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin terdapat nyeri.
b. Otot rhomboid, seratus anterior dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari
letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal (trunkus)

2. PLEXOPATI INFRACLAVICULAR
A. Lesi di fasikulus lateral
a. Dapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang
dipersyarafi oleh n. Muskulocutaneus dan sebagian dari n. Medianus.
b. Gejala klinisnya yaitu kelemahan otot fleksor lengan bawah dan pronator lengan bawah,
sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak terkena.
B. Lesi di fasikulus medial
a. Disebabkan oleh dislokasi subkorakoid dari humerus.
b. Kelemahan dan gejala sensorik terjadi dikawasan motorik dan sensorik n. Ulnaris.
c. Secara keseluruhan kelaianan hampir menyerupai lesi di trunkus inferior. Kelainan
sensorik terlihat pada lengan atas dan bawah medial, tangan dan 2 jari tangan bagian
medial.
C. Lesi di fasikulus posterior
a. Lesi ini jarang terjadi. Gejala klinisnya yaitu terdapat kelemahan dan defisit sensorik
dikawasan n. Radialis.
b. Otot deltoid (abduksi dan fleksi bahu), otot-otot ekstensor lengan, tangan dan jari-jari
tangan mengalami kelemahan.

PENANGANAN FISIOTERAPI
a. Terapi Latihan
1) Pada trauma yang ringan yang hanya berupa edema atau perdarahan ringan pada pangkal
saraf, fiksasi hanya dilakukan beberapa hari atau 1 – 2 minggu untuk memberi kesempatan
penyembuhan yang kemudian diikuti program mobilisasi atau latihan.
2) Immobilisasi lengan yang lumpuh dalam posisi lengan atas abduksi 90 derajat, siku fleksi
90 derajat disertai supine lengan bawah dan pergelangan tangan dalam keadaan ekstensi
3) Beri penguat atau bidai selama 1 – 2 minggu pertama kehidupannya dengan cara
meletakkan tangan bayi yang lumpuh disebelah kepalanya.
4) Rujuk ke rumah sakit jika tidak bisa ditangani.
5) Pembedahan
b. Terapi Fisioterapi
1. RICE (rest, ice, compression and elevation) /untuk masa akut
a) Istirahat
b) Terapi dingin : digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, dapat diberikan dengan modalitas
sederhana seperti cold pack atau dengan cryojet air yang mengluarkan uap air dingin
bersuhu -40oC selama 20 menit dan dapat diulang tiap 2 jam.
c) Kompresi : dilakukan pada ekstremitas yang edema.
d) Elevation : pada cedera pleksus brakhialis berat (adanya avulsi radiks), dapat terjadi
edema yang signifikan pada ekstremitas yang terkena.
2. Ultrasound
F : 1-3MHz, diberikan selama
I : 20-30 w/m .1-2 kali per hari selama 6-8 hari atau 14 kali pemberian.
T : 5-10 menit
3. TENS
F : frekuensi tinggi (50-100Hz)
I : 15-25w/m. ( menyesuaikan ).Terapi dilanjutkan selama 3 minggu dan dikurangi bertahap
setelah 8 – 12 minggu.
T : 30 menit sampai 1 jam per sesi, maksimal 2 jam per sesi, dengan total 8 jam perhari.
T : Arus IDC
Trauma Flexus Brachialis
Definisi Trauma atau Cedera Kelahiran.

Trauma lahir merupakan perlakuan pada bayi baru lahir yang terjadi dalam proses persalinan
atau kelahiran.
Luka yang terjadi pada saat melahirkan amniosentesis, transfusi, intrauterin, akibat
pengambilan darah vena kulit kepala fetus, dan luka yang terjadi pada waktu melakukan
resusitasi aktif tidak termasuk dalam pengertian. Perlakukan kelahiran atau trauma lahir.
Pengertian perlakuaan kelahiran sendiri dapat berarti luas, yaitu sebagai trauma mekanis
atau sering disebut trauma lahir dan trauma hipoksik yang disebut sebagai Asfiksia. Trauma
lahir mungkin masih dapat dihindari atau dicegah, tetapi ada kalanya keadaan ini sukar
untuk dicegah lagi sekalipun telah ditangani oleh seorang ahli yang terlatih.
Angka kejadian trauma lahir pada beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan
menurun. Hal ini disebabkan banyak kemajuan dalam bidang obstetri, khususnya
pertimbangan seksio sesarea atau indikasi adanya kemungkinan kesulitan melahirkan bayi.
Cara kelahiran bayi sangat erat hubungannya dengan angka kejadian trauma lahir. Angka
kejadian trauma lahir yang mempunyai arti secara klinis berkisar antara 2 sampai 7 per
seribu kelahiran hidup. Berapa faktor risiko yang dapat menaikkan angka kejadian trauma
lahir antara lain adalah makrosomia, malprensentasi, presentasi ganda, disproporsi sefala
pelvik, kelahiran dengan tindakan persalinan lama, persalinan presipitatus, bayi kurang
bulan, distosia bahu, dan akhirnya faktor manusia penolong persalinan. Lokasi atau tempat
trauma lahir sangat erat hubungannya dengan cara lahir bayi tersebut atau phantom yang
dilakukan penolong persalinan waktu melahirkan bayi. Dengan demikian cara lahir tertentu
umumnya mempunyai predisposisi lokasi trauma lahir tertentu pula. Secara klinis trauma
lahir dapat bersifat ringan yang akan sembuh sendiri atau bersifat laten yang dapat
meninggalkan gejala sisa.
Selain trauma lahir yang disebabkan oleh faktor mekanis dikenal pula trauma lahir yang
bersifat hipoksik. Pada bayi kurang bulan khususnya terdapat hubungan antara hipoksik
selama proses persalinan dengan bertambahnya perdarahan per intraventrikuler dalam
otak.

Ada empat jenis cedera pleksus brakialis:


ü Avulsion, jenis yang paling parah, di mana saraf koyak di tulang belakang;
ü Pecah, di mana saraf robek tetapi tidak pada lampiran spinal
ü Neuroma, di mana saraf telah berusaha untuk menyembuhkan dirinya sendiri, tetapi
jaringan parut telah berkembang di sekitar cedera, memberi tekanan pada saraf dan
mencegah cedera saraf dari melakukan sinyal ke otot-otot.
ü Neurapraxia atau peregangan, di mana saraf telah rusak tapi tidak robek. Neurapraxia
adalah jenis yang paling umum dari cedera pleksus brakialis.
2.2 Pengertian Trauma Flaksus Brakialis
fleksus brakialis adalah Sebuah jaringan saraf tulang belakang yang berasal dari belakang
leher, meluas melalui aksila (ketiak), dan menimbulkan saraf untuk ekstremitas atas. Pleksus
brakialis dibentuk oleh penyatuan bagian dari kelima melalui saraf servikal kedelapan dan
saraf dada pertama, yang semuanya berasal dari sumsum tulang belakang.

Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan bawah, atas
dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan terbatas, atau
bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja, banyak
cedera pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi dampak
selama proses persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau robek.
Trauma pada pleksus brakialis yang dapat menyebabkan paralisis lengan atas dengan atau
tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis dapat terjadi pada
seluruh lengan. Trauma pleksus brakialis sering terjadi pada penarikan lateral yang
dipaksakan pada kepala dan leher, selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila
lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya
penarikan berlebihan pada bahu.

Tanda dan Gejala pada Trauma Flaksus Brakialis


Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada brakialis palsi adalah sebagai berikut :
§ Gaguan motorik pada lengan atas
§ Lengan atas pada kedudukan ekstensi dan abduksi
§ Jika anak diangkat, lengan akan tampak lemasdan menggantung
§ Refleks moro negative
§ Refleks meraih gengan tangan tidak ada

Penatalaksanaan atau pengobatan

A.BEDAH
Regangan dan memar pada pleksus brakialis diamati selama 4 bulan, bila tidak ada
perbaikan, pleksus harus dieksplor. Nerve transfer (neurotization) atau tendon transfer
diperlukan bila perbaikan saraf gagal.
1.Pembedahan Primer
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki injury pada plexus
serta membantu reinervasi.
Teknik yang digunakan tergantung berat ringan lesi.

1. Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf.


2. Neuroma excision : Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali
dengan teknik end-to-end atau nerve grafts
3. Nerve grafting: Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan
tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah suralis, lateral dan medial antebrachial cutaneous,
dan cabang terminal sensoris pada n interosseus posterior
4. Intraplexual neurotization menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada spinal
cord sebagai donor untuk saraf yang avulsi.

2. Pembedahan Sekunder

Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini tergantung saraf
yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled muscle transfers, free muscle
transfers, joint fusions and rotational, wedge or sliding osteotomies.

REHABILITASI PASKA TRAUMA PLEKSUS BRAKIALIS

Ø Paska operasi Nerve repair dan graft.


Setelah pembedahan immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4 minggu. Terapi
rehabilitasi dilakukan setelah 4 minggu paska operasi dengan gerakan pasif pada semua
sendi anggota gerak atas untuk mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik
diberikan pada minggu ketiga sampai ada perbaikan motorik. Pasien secara terus
menerus diobservasi dan apabila terdapat tanda-tanda perbaikan motorik, latihan aktif
bisa segera dimulai. Latihan biofeedback bermanfaat bagi pasien agar otot-otot yang
mengalami reinnervasi bisa mempunyai kontrol yang lebih baik.
Ø Paska operasi free muscle transfer

Setelah transfer otot, ekstremitas atas diimobilisasi dengan bahu abduksi 30, fleksi 60 dan
rotasi internal, siku fleksi 100. Pergelangan tangan posisi neutral, jari-jari dalam posisi fleksi
atau ekstensi tergantung jenis rekonstruksinya. Dilakukan juga latihan gerak sendi gentle
pasif pada sendi bahu, siku dan semua jari-jari, kecuali pada pergelangan tangan. Enam
minggu paska operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan otot dan tendon,
dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku. Sembilan
minggu paska operasi, ortesa airbag dilepas dan ortesa elbow sling dipakai untuk mencegah
subluksasi bahu.
Setelah Reinervasi
3 - 8 bulan paska operasi Teknik elektromiografi feedback di mulai untuk melatih otot yang
ditransfer untuk menggerakkan siku dan jari dimana pasien biasanya kesulitan
mengkontraksikan ototnya secara efektif.
Pada alat biofeedback terdapat level nilai ambang yang dapat diatur oleh terapis atau pasien
sendiri. Saat otot berkontraksi pada level ini, suatu nada berbunyi, layar osciloskop akan
merekam respons ini. Level ini dapat diatur sesuai tujuan yang akan dicapai.

Terapi Okupasi

Terapi okupasi terutama diperlukan untuk :


Memelihara luas gerak sendi bahu, membuat ortesa yg tepat untuk membantu fungsi
tangan, siku dan lengan,
mengontrol edema defisit sensoris.
Melatih kemampuan untuk menulis, mengetik, komunikasi.
Menggunakan teknik-teknik untuk aktivitas sehari-hari, termasuk teknik menggunakan satu
lengan,
menggunakan peralatan bantu serta latihan penguatan dengan mandiri.

Terapi Rekreasi

Terapi ini sebagai strategi dan aktivitas kompensasi sehingga dapat menggantikan berkurang
dan hilangnya fungsi ekstremitas.
2. Pengobatan
Pengobatan tergantung pada lokasi dan jenis cedera pada pleksus brakialis dan mungkin
termasuk terapi okupasi dan fisik dan, dalam beberapa kasus, pembedahan. Beberapa
cedera pleksus brakialis menyembuhkan sendiri. Anak-anak dapat puih atau sembuh dengan
3 sampai 4 bulan.

Prognosis juga tergantung pada lokasi dan jenis cedera pleksus brakialis menentukan
prognosis. Untuk luka avulsion dan pecah tidak ada potensi untuk pemulihan kecuali
rekoneksi bedah dilakukan pada waktu yang tepat. Untuk cedera neuroma dan neurapraxia
potensi untuk pemulihan bervariasi. Kebanyakan pasien dengan cedera neurapraxia sembuh
secara spontan dengan kembali 90-100% fungsi

Anda mungkin juga menyukai